Peringatan!

Melody benar-benar berbahaya. Sikapnya di depan umum dan penampilannya saja yang manis, tetapi sayang, perangainya buruk. Bisa kutebak, dia bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun, aku tak pernah takut sedikit pun dengan ancamannya, bahkan dengan tegas aku menolak untuk memberikan diary tersebut pada gadis itu.

Melody yang mengangkat tangannya dan hendak menghempaskannya lagi ke meja, tertahan oleh Kak Alfa yang muncul dari arah belakangnya. Gadis itu terkejut, saat melihat teman satu angkatannya itu.

“Lo mau ngapain? Di sini kelas sepuluh. Kelas lo bukan di sini,” tegur Kak Alfa.

Terlihat jelas kemarahan di wajah Melody. Dia berdiri, menyejajarkan tubuhnya di hadapan Kak Alfa, memberi laki-laki itu tatapan tajam, dan kemudian menunjuk dada Kak Alfa.

“Gue tahu, ini bukan kelas gue, dan gue juga tahu banget ini juga bukan kelas lo. Gue peringatin sama lo, cewek ini bakal bikin masalah besar buat kita semua. Gu—”

“Zoya, itu urusan gue. Dan, gue jamin sama lo, dia nggak akan bikin masalah. Sekarang mending lo pergi dari sini, dan jangan pernah ganggu Zoya lagi. Biarin dia sekolah dengan tenang di sini.” Kak Alfa memberi teguran tegas pada Melody. Akan tetapi, gadis yang memiliki tahi lalat di bagian ujung bibir sebelah kanannya itu, masih berusaha mendebat Kak Alfa.

Perdebatan mereka berhenti saat May mengatakan bahwa kelakuan mereka berdua sudah dia rekam, dan akan disebarluaskan jika Melody tak juga pergi dari kelas kami. Lagi-lagi seniorku itu terpaksa pergi. Sebenarnya aku merasa heran dengan sikap kebanyakan gadis di sekolah ini, sejauh yang kuperhatikan, mereka justru bermuka dua.

Saat di hadapan para guru dan cowok, mereka akan bersikap manis, lembut, dan sopan. Sedangkan di hadapan antar gadis, justru menunjukkan sikap yang 180 derajat berkebalikan. Mereka hanya ingin membangun imej yang baik tanpa diiringi innerbeauty dan sikap yang baik di hadapan sesama jenisnya. Padahal, hal itu juga akan membuat diri mereka lelah, karena harus memerankan dua karakter berbeda di situasi dan kondisi yang berbeda, bahkan bisa saja terjadi dalam satu waktu.

“Kamu nggak pa-pa, kan, Zoy?” tanya Kak Alfa setelah kepergian Melody.

“Iya, Kak. Ak—”

“Zoy, ini belum berhadapan dengan arwah Zahwa aja, kamu selalu dapat masalah sama Melody gara-gara buku itu. Gimana kalau sampai kamu diganggu arwahnya Zahwa? Aku nggak akan sanggup bantuin kamu.” Kak Alfa terlihat khawatir, tetapi aku tak sedikit pun memercayai perihal arwah itu.

“Kak, arwah itu nggak ada. Aku nggak percaya dengan hal-hal yang begituan. Pasti ada maksud kenapa diary itu ada di sana. Dan, aku yakin ini bukan soal arwah. Pasti ada rahasia di balik ruangan itu dan kematian Zahwa.”

Kak Alfa tersenyum sinis, sambil nenggaruk keningnya. “Ya udah, ya udah, aku cuma mengingatkan kamu, dan berharap arwah Zahwa nggak akan marah lagi dan bikin kacau sekolah ini. Kamu sebaiknya berhati-hati aja.”

Aku mengangguk yakin. “Eh, iya, Kak. Aku mau tanya, kakak kan kelas dua belas, sama dengan Tristan, berarti kakak kenal, kan sama dia?” tanyaku.

Kak Alfa langsung menoleh ke arahku saat nama Tristan kusebut. Wajahnya seolah tak ramah. Tak tampak kehangatan seperti tadi, bahkan saat memberi peringatan, wajah teduhnya masih bisa kurasakan. Namun, beda saat bibir ini menyebut nama salah seorang pengurus OSIS itu.

“Jangan ... pernah ... kamu dekat-dekat dengan Tristan.” Bahuku dipegang erat oleh Kak Alfa, hingga terasa sedikit sakit, tatapan mata laki-laki di hadapanku ini juga berubah, ada kemarahan yang terpancar dari sorot matanya. Namun, entah karena apa.

Melihat tatapan Kak Alfa, membuatku merinding. Aku syok, belum pernah aku melihat tatapan amarah seperti ini sebelumnya. Bahkan, sebenarnya aku tak percaya bahwa yang sedang di hadapanku adalah Kak Alfa. Mungkinkah, ada kisah cinta segitiga di antara mereka dulu? Atau ... memang mereka sudah berkonflik entah karena apa.

“Kamu denger aku, kan, Zoy?” Kak Alfa mengguncang tubuhku.

“I-iya, Kak. A-aku denger,” ucapku terbata-bata.

Perlahan emosi itu mereda. Kak Alfa kemudian meminta maaf padaku atas sikapnya. Ingin sekali aku menanyakan tentang masalah yang ada di antara dia dan Tristan. Namun, hati yang masih syok, tak memberiku keberanian melakukan hal itu.

“Tristan bukan orang yang baik. Aku nggak mau kamu terjebak dengan ketampanan dan sikapnya yang sok polos dan baik. Dia nggak seperti itu. Jangan pernah menyukai cowok itu,” ujar Kak Alfa yang kembali memberiku peringatan.

Hening. Tak ada pembicaraan di antara kami. May yang awalnya berada di antara kami pun pergi entah ke mana. Gadis itu memang suka menghilang tanpa jejak. Kadang tiba-tiba muncul dan menghilang dalam sekejap, seperti jailangkung, datang tak dijemput, pulang tak diantar.

“Nanti kamu pulang naik ojek online?” tanya Kak Alfa, memecah keheningan di antara kami. Di sekitar memang banyak murid di kelas yang secara teknis memang ramai. Namun, diamnya kami berdua, membuat suasana di antara aku dan Kak Alfa menjadi dingin dan canggung.

Aku mengangguk pelan. “Mmm ... Kak,” panggilku, Kak Alfa menoleh padaku tanpa suara, tetapi tatapannya sudah cukup mengartikan bahwa dia menjawab panggilan itu.

“Aku merasa ada yang harus diluruskan. Aku nggak pernah suka sama Tristan. Aku menanyakan cowok itu, karena aku membaca sekilas tentang Tristan dari diary itu,” lanjutku.

Kak Alfa terkejut, matanya memicing. “Jadi kamu masih baca buku itu? Kamu beneran nggak ada niat untuk ngembaliin atau musnahin buku terkutuk itu?”

What the .... Jadi, Kak Alfa terkejut karena aku masih membaca buku harian milik Zahwa? Bukan .... Ah, kenapa dia sebegitunya ingin aku berhenti membaca buku itu? Apakah ada sesuatu? Atau, memang dia benar-benar denial, terlalu percaya pada mitos yang tak masuk akal.

“Aku akan mengembalikan buku itu, atau memusnahkannya hanya jika aku sudah selesai membaca semuanya,” tegasku.

“Zoy, please! Aku tahu, kamu cewek yang baik, berani, dan cerdas. Pendirianmu nggak mudah goyah, walau usiamu masih sangat mudah, bahkan belum genap tujuh belas tahun, kan?” Aku mengangguk, menyetujui apa yang Kak Alfa ucapkan. “Tapi, itu semua nggak baik untuk kita semua. Lagi pula, bukankah membaca buku harian milik orang lain itu nggak baik? Bahkan Zahwa meninggal karena hal itu, loh.”

Sejenak aku berpikir. Benar memang, apa yang Kak Alfa ucapkan. Namun, gosip kematian Zahwa dan ruang kosong itu juga tak mungkin aku abaikan. Pasti ada petunjuk dalam buku itu untuk mengungkap semuanya.

Keras kepala, mungkin itu yang saat ini tengah kulakukan. Akan tetapi, jika ini demi kebaikan semua orang, bukankah tidak akan menjadi masalah. Aku siap menerima risiko apa pun, asal semua ini bisa segera terungkap. Kasihan Zahwa, sudah mati saja, tetapi masih menjadi kambing hitam dari semua kekacauan yang timbul di sekolah ini.

“Baiklah, lupakan soal buku itu. Sekarang, aku mau tanya sama kamu. Apa kamu benar, kalau nggak suka sama Tristan? Dia cakep, pengurus OSIS, prestasi di bidang olahraga dan akademiknya juga bagus. Apa kamu yakin, kalau kamu nggak suka cowok kaya gitu?”

Oh Tuhan, pertanyaan itu mencoba menggoyahkanku. Namun, apa yang dikatakan Kak Alfa, lagi-lagi ada benarnya. Gadis mana yang tak akan menyukai laki-laki nyaris sempurna seperti Tristan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top