Pengakuan Pertama

“Zoya Alycia Sharyl! Cuma lo yang punya buku diary itu. Lebih baik sekarang lo muncul ke hadapan gue sekarang, atau gue yang nyamperin lo!” teriak Kak Alfa.
 
Laki-laki itu terus berteriak, sambil meremas kertas-kertas yang dia kumpulkan. Sambil lalu, Kak Alfa berjalan perlahan, menyusuri tapak demi setapak jalanan di taman belakang sekolah.
 
Aku masih memperhatikan setiap gerak-gerik lelaki itu. Sambil lalu, mata ini juga memperhatikan langkahnya. Khawatir, jika dia bisa saja mendekat dan mengetahui tempat persembunyianku.
 
Sejujurnya aku terkejut, saat mengetahui ekspresi Kak Alfa yang ternyata di luar dugaan dan harapanku. Saat mata laki-laki itu memerah, otot tangannya yang terlihat menyembul di balik kulit saat meremas kertas-kertas itu, sangat jelas menunjukkan jika laki-laki yang beberapa bulan terakhir memang dekat denganku. Dan, aku berpikir jika ekspresi tersebut ada kaitannya dengan keterkejutannya tentang isi diary itu.
 
Hal itu, makin menguatkan alibiku, bahwa gadis bernama Zahwa itu bukanlah meninggal karena bunuh diri, melainkan karena dibunuh. Dan, hati kecilku mengatakan, jika Kak Alfa ada kaitannya dengan kasus ini.
 
“Zoy ... nggak ada gunanya lo jebak gue, adanya lo yang akan celaka. Sebaiknya, lo keluar, biar gue bisa mempertimbangkan hukuman untuk lo!”
 
Kak Alfa masih berusaha mencariku. Memutar-mutarkan tubuhnya sambil menengok ke kanan dan kiri. Sesekali laki-laki itu meneriakkan namaku dan memintaku untuk keluar.
 
“Zoy, jangan sampai gue berbuat nekat, ya, sama lo!” Kak Alfa kembali memberiku ancaman.
 
Tangan ini sudah berkeringat dingin. Jantungku juga sudah berdegup kencang. Tak dipungkiri, jika aku memang sedang takut, takut jika Kak Alfa benar-benar berbuat nekat padaku. Karena, jika memang benar jika dirinya yang telah membunuh Zahwa, itu artinya, dirinya juga tak ‘kan segan untuk menyakitiku juga.
 
“Zoy, apa, sih tujuan lo kaya gini? Lo bener-bener ingin tahu soal kematian Zahwa?” tanya Kak Alfa dengan nada tinggi, sambil masih mencari diriku. Wajahnya menyeringai sambil menunduk, tetapi mata laki-laki itu dapat berbohong.
 
Sorot matanya pernah kulihat, saat aku pertama kali menanyakan soal Tristan waktu itu. Dalam ketakutan, aku hanya meminta Tuhan agar melindungiku. Menjagaku, agar Kak Alfa tak dapat menemukanku dalam persembunyian ini.
 
Jika kalian adalah seorang cenayang, kalian pasti mengetahui jika saat ini aku sedang mengingat semua dosa yang pernah kulakukan pada kedua orang tuaku. Hati kecilku pun mengatakan, jika hidupku saat ini berada di ujung tanduk. Buliran keringat dingin mulai menetes dari keningku, ragu ... apakah rencana ini akan berjalan mulus, atau justru berakhir dengan melayangnya nyawaku.
 
“Kalau lo udah mulai curiga sama gue, dan mau tahu kebenarannya, harusnya lo nggak perlu kaya, gini. Lo tinggal tanya aja sama gue, pasti gue jawab.” Nada bicara Kak Alfa mulai kembali merendah. “Zoya sayang, yuk keluar. Kita ngobrol-ngobrol. Apa pun yang ingin kamu ketahui, aku pasti jawab. Yuk, keluar, sebelum aku yang nemuin keberadaanmu.”
 
Kak Alfa lagi-lagi memintaku keluar, bahkan kali ini nada lembut yang biasa dia tunjukkan padaku, kini kembali lagi. Namun, aku tak ‘kan memercayainya lagi.
 
Laki-laki itu ... seperti memiliki kepribadian ganda. Satu sisi, dia seperti malaikat, yang tak pernah marah atas apa pun yang terjadi, baik itu hal baik maupun buruk. Bahkan, dia juga bisa menjadi penyelamat atas satu masalah. Satu sisi lain, dia seperti siap menjadi seorang iblis yang siap menghabisiku atas kesalahan yang sama pula.
 
 “Kamu mau dengar apakah Zahwa benar-benar mati karena bunuh diri, atau ... karena dibunuh? Baiklah, akan aku ceritakan.” Sesegera mungkin aku mengeluarkan gawai dan membuka fitur perekam suara di sana. “Zahwa ... mati karena dibunuh. Ya, dibunuh!”
 
Tangan Kak Alfa sedang merogoh kantung celananya, seperti orang yang sedang mencari sesuatu. “Argh! Sial! Nggak ada lagi,” ucapnya lirih.
 
Mulut ini hampir saja mengeluarkan suara dengan nada tinggi, tatkala melihat seekor ulat sedang berjalan melenggak-lenggok di baju seragamku. Namun, refleks, tangan kiriku terangkat dan langsung menutup mulut ini, mencegah agar tak ada suara apa pun yang keluar, agar Kak Alfa tak tahu di mana keberadaanku.
 
“Nggak Cuma Zahwa ....” Ucapan Kak Alfa yang terjeda, membuatku memikirkan tentang orang lain. Sahabatku ... May. Mungkinkah .... “Tapi, May ... dia juga bukan mati karena kecelakaan atau jatuh dari tangga. Nggak. Dia ... mati ... karena dibunuh.”
 
Mata ini terbuka lebar dengan mulut menganga setelah mendengar pernyataan Kak Alfa. Dan, bila itu memang terjadi, lalu siapa pembunuhnya? Apa benar, Kak Alfa ada di balik ini semua?
 
“Kamu mau tahu, siapa pelaku pembunuhan Zahwa?” Kak Alfa lagi-lagi melontarkan pertanyaan yang ingin segera kuketahui jawabannya. Namun, aku pun tak bisa bersuara, sebelum Kak Alfa selesai dengan semua pengakuannya.
 
Rupanya rencanaku dengan Tristan memang tepat. Mencoba memancing sang pelaku melalui isi buku harian milik korban. Walaupun, jujur dalam hatiku, ada rasa tak percaya jika Kak Alfa akan terlibat dengan kasus ini.
 
“Pelakunya adalah ...,” Kak Alfa berjalan perlahan, sambil menengok ke balik semak lain. Hal yang membuat jantungku makin berdegup kencang, karena takut jika laki-laki itu menemukanku. “Riana,” ucapnya perlahan.
 
Riana? Jadi benar gadis itu yang telah membunuh Zahwa? Namun, Kak Alfa? Kenapa laki-laki itu bersikap seolah kesal, atas penjebakan ini, jika memang bukan dia pelakunya? Oh Tuhan, teka-teki apalagi ini? Aku sudah salah sangka terhadap Kak Alfa. Sepertinya wajar bila laki-laki itu marah padaku.
 
“Riana, gadis itu yang telah mengantarkan Zahwa yang malang menuju malaikat mautnya.” Kak Alfa melanjutkan ceritanya.
 
Ada satu hal yang tak aku mengerti di sini. Apakah yang dimaksud malaikat maut itu benar-benar ajalnya, atau ... ada orang lain yang membantu Riana membunuh Zahwa? Lalu, apa motif gadis itu membunuh gadis lain yang tak berdosa? Apakah ini ada kaitannya dengan Tristan?
 
Muncul banyak pertanyaan dalam benakku. Aku hanya berharap, jika langkah yang kutempuh ini akan membawaku menemukan jawaban dari semua pertanyaan itu.
 
“Dua gadis bodoh dan malang. Yang satu polos, yang satu gampang dipengaruhi.” Terdengar gelak tawa yang menyeramkan dari mulut Kak Alfa.
 
Kutengok jam yang terpasang cantik di pergelangan tangan ini, memastikan waktu yang tertera di sana dan menunggu kedatangan Tristan, karena makin lama, suasana di taman ini begitu mencekam. Ditambah Kak Alfa yang makin mendekat ke tempat persembunyianku.
 
“Riana ... gadis itu, dengan mata kepalanya sendiri melihat dengan jelas semua kejadian saat itu. Saat di mana Zahwa meregang nyawa.”
 
Jika Riana hanya melihat semua kejadian saat itu, itu artinya bukan Riana pelaku yang sebenarnya. Lalu siapa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top