Nggak Punya Mata
“Iya, tadi Melody ke sini cari lo, dan dia mau acak-acak tas lo,” ujar May membuatku syok.
Langsung saja aku membuka tas, mengecek semua buku, lebih tepatnya buku harian itu. Jangan sampai barang itu jatuh ke tangan Melody. Penyelidikanku tentang kematian Zahwa harus sampai selesai, dan mengungkap tabir gelap di balik kematian gadis itu. Kalaupun, memang benar dia meninggal karena bunuh diri, setidaknya hal ini harus diluruskan, agar ruang kosong itu tidak digunakan untuk menakut-nakuti murid lain.
“Tenang aja, Zoy, walaupun gue lagi nggak sehat, tapi gue masih mampu, kok melawan cewek rese kaya dia. Tas lo aman,” ujar May dan aku sangat berterima kasih padanya.
“Tuh, kan, bener. Melody pasti ngerjain kamu. Aku harus negur dia biar nggak ganggu kamu lagi,” tutur Kak Alfa dengan menggebu-gebu.
“Kak, please, biarin aja. Kalau nanti kakak negur dia, terus dia kesal, nanti bakal ngerjain aku lagi. Terus aja begitu polanya. Biarin aja. Selama dia nggak coba bunuh aku, aku masih bisa tahan, kok.”
Kak Alfa menarik napas dan kemudian mengembuskannya kasar. “Ya udah, iya, aku nggak akan negur dia. Tapi, kamu nggak bisa larang aku untuk ngawasin kalian. Kalau sekali lagi aku tahu dia ngerjain kamu, aku akan buat perhitungan sama Melody.”
“Kak Alfa perhatian banget sama Zoya, suka, ya?” ledek May.
Mata ini langsung mendelik kesal, sedangkan Kak Alfa hanya tersenyum kecil pada May.
“Aku balik ke kelas dulu. Oh ya, nanti pulang sekolah, aku pulang duluan, ya. Soalnya lagi ada janji. Ingat pesanku, segera hentikan aksimu membaca buku itu. Kembalikan ke tempatnya, atau musnahkan,” ujar Kak Alfa sambil mengacak rambutku, kemudian keluar dari kelas karena bel masuk telah berbunyi.
“Buku apa yang dia maksud?” tanya May setelah kepergian Kak Alfa.
“Bukan, bukan apa-apa,” jawabku singkat sambil membenarkan dudukku karena merasa tak nyaman dan membuat pinggulku makin sakit.
Selama pelajaran berlangsung, aku kembali menjadi murid yang rajin memperhatikan penjelasan guru. Bahkan, aku berusaha aktif bertanya dan menjawab pertanyaan guru. Ya, aku kembali menjadi diriku seperti waktu masih duduk di bangku SMP.
Hari yang terasa lebih panjang dari biasanya. Terlebih, pinggang yang terasa ngilu akibat terjatuh di tangga, makin terasa saat duduk terlalu lama. Saat bel pulang berbunyi, semua siswa dan siswi berhambur keluar kelas dengan cepat, pun dengan May yang sedang mengalami nyeri menstruasi, gadis berambut agak kecokelatan itu langsung buru-buru pulang tanpa menungguku.
“Hari ini sial banget, sih ... jatuh dari tangga, sakit pinggang, nggak ada temen pulang bareng. Mudah-mudahan nggak sampai ketemu kakak kelas yang res—” Gumamanku harus terhenti saat seseorang menabrak dan membuat mulut ini mengaduh, karena orang tersebut menyenggol bagian pinggulku.
“Sorry, sorry. Gue nggak sengaja. Lo nggak pa-pa, kan?” tanya orang yang suaranya sangat familier di telingaku.
Aku menoleh padanya. Astaga, kenapa harus bertemu dengan dia lagi? Tangan ini memegang erat pinggul yang makin terasa ngilu, sambil mulut ini mengeratkan gigi.
“Ya Tuhan, kenapa, sih di sekolah ini, para seniornya rese? Yang cewek genit, ganjen, galak, yang cowok nggak punya mata. Udah nabrak orang yang lagi sakit, bukannya minta maaf, malah nanya, nggak pa-pa, kan?” gerutuku yang jelas terdengar oleh orang yang menabrakku tadi.
“Ya udah, maaf. Gue minta maaf. Gue nggak sengaja nabrak lo tadi. Gimana, kalau sebagai tanda permintaan maaf, gue antar lo pulang. Mau?” tanya orang tersebut.
“Lo pikir, gue bakal kaya cewek-cewek lain yang ngidolain cowok kaya lo? Tampan dan pintar? Okelah, tapi badboy. Ieuh ... sorry, gue bukan cewek yang bisa dengan gampang lo deketin pakai modus kaya gini,” ketusku.
Dia tertawa seolah mengejekku. “Wait, kayanya lo salah paham, deh. Gu—”
“Udah, stop! Gue nggak mau denger apa pun dari cowok yang hobinya tebar pesona ke banyak cewek kaya lo.” Kuarahkan telapak tanganku padanya, meminta orang berjenis kelamin laki-laki itu menghentikan omongannya. “Alergi gue kalau lama-lama ada di deket cowok kaya lo.”
Aku langsung pergi begitu saja sambil menggerutu tentangnya. Ya, dia adalah Tristan, laki-laki yang terkenal memiliki banyak idola di sekolah ini. Aku tak habis pikir, kenapa para gadis hanya menilai seseorang dari wajah dan prestasinya saja? Kenapa tak ada gadis waras yang menilai laki-laki juga dari attitude-nya? Sudah jelas, dia orang yang genit.
Masih membekas dalam ingatan, bagaimana Tristan mengedipkan matanya padaku di hari terakhir MOS. Hari ini, laki-laki yang kebetulan mengenakan jaket bomber berwarna maroon dengan tas ransel yang diselempangkannya di tangan sebelah kirinya, justru memodusiku dengan mengajak pulang bersama.
Sesampainya di kos dan selesai istirahat setelah sebelumnya merelaksasi pinggul dengan air hangat, akhirnya tubuhku kembali segar. Sakit yang tadi terasa, kini mulai berkurang. Kemudian, aku mengingat tentang kejadian di mana Tristan menabrakku.
“Gue harus telefon May. Gue harus cerita gimana ngeselinnya si cowok rese itu.” Kuraih ponsel yang terletak di atas meja belajar, kamar kosku.
Tak lama, telepon kami terhubung. Dimulai dengan basa-basi, menanyakan keadaan May yang tadi memang sedang sakit, kemudian aku mulai menceritakan kejadian saat pulang sekolah pada sahabatku itu.
Aku menceritakan tentang bagaimana sikapnya sejak pertemuan pertama kami waktu MOS juga pada May, lalu menghubungkan dua kejadian itu dan membuat kesimpulan bahwa Tristan memang benar-benar laki-laki yang kurang baik, dan suka tebar pesona pada banyak gadis.
“Zoy, lo nggak bisa ngejudge orang dari luarnya aja. Bisa aja, kan kalau Tristan itu emang baik? Kalaupun, dia tebar pesona ke banyak cewek, itu juga hak dia. Siapa tahu, kan, dia emang lagi cari cewek yang tepat? Atau memang ya sikapnya begitu. Kita nggak bisa ngatur semua orang harus baik dan pendiam,” ucap May di seberang telepon.
“Tapi, May ... harusnya dia memberi contoh yang baik, dong. Apalagi, kan dia itu pengurus OSIS, tapi kaya nggak ada wibawanya sama sekali tahu, nggak?” ucapku sambil memainkan jari telunjuk dan jempol dengan menggosokkan keduanya.
“Zoy, coba lo pikir, kalau dia badboy, terus suka caper dan tebar pesona, nggak mungkin banyak yang ngejar-ngejar atau idolain dia. Gue aja idolain dia, tapi bukan karena dia cowok keren atau jabatannya di OSIS, melainkan karena prestasinya. Gue udah banyak denger tentang Tristan, dan dia belum pernah sekali pun pacaran dari dulu. Jadi, kayanya, lo cuma salah paham aja, deh.”
Sambil mendengar penuturan May, aku teringat jika sekolah itu memang sekolah yang May incar sejak dirinya SMP. Jadi, wajar rasanya jika memang dia banyak mencari informasi tentang sekolah dan murid-murid yang menonjol dalam bidang apa pun di sana. Beda dengan diriku yang masuk sekolah ini juga karena terpaksa atas permintaan ayah.
Semua yang May katakan, memang ada benarnya. Kalau Tristan banyak yang mengidolakan hanya karena ketampanannya saja, rasanya kurang masuk akal. Terlebih, bahkan May yang notabene gadis baik-baik dan memiliki prestasi bagus saat masih SMP saja, mengidolakannya. Rasanya tak mungkin dia mengidolakan laki-laki yang tak memiliki prestasi apa pun.
Di mading sekolah yang terletak tak jauh dari pintu masuk sekolah pun, terdapat foto-foto Tristan sedang mengangkat piala dan medali dengan mengenakan jersey badminton, serta memegang sertifikat juara dalam event Olimpiade antar sekolah tingkat provinsi.
“Udah dulu, ya, Zoy, perut gue masih nyeri. Entar gue telefon lagi. Bye,” ucap May yang langsung mematikan sambungan telepon kami.
Aku pun mulai memikirkan semua ucapan May. Berusaha mengubah stigma negatif tentang laki-laki itu, dan memutuskan akan mulai mengawasi gerak-gerik Tristan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top