Ketahuan

Argh! Sial. Suara gawai yang bergema dengan keras sebagai tanda panggilan masuk, kurasa telah membuat Kak Alfa menyadari keberadaanku. Segera mungkin aku mematikan dering tersebut. Namun, tanganku yang basah karena sedari tadi hanya memegang pipi yang basah karena air mata, agak sulit bagiku untuk menekan layarnya. Kukeringkan tangan ini dengan meremaskannya pada rok seragam sekolah, lalu buru-buru kutolak panggilan tersebut dan mematikan nada deringnya dengan mengubahnya ke mode silent.
 
Namun, tunggu ... kenapa suara Kak Alfa tak terdengar lagi? Kulihat ke tempat terakhir laki-laki itu berada, tetapi tak ada siapa pun di sana. Kuedarkan pandanganku ke seisi taman, tetapi tetap saja tak menemukan keberadaan Kak Alfa di mana pun.
“Hai ... cari siapa?” Terdengar suara dari arah belakangku.
 
Suara itu .... Perlahan aku menoleh ke arah belakang, sambil berharap bahwa apa yang kupikirkan tidaklah benar, jika Kak Alfa berada di belakangku saat ini.
 
“Ka-kak Alfa?” Mulut dan mata ini terbuka lebar dengan sendirinya, melihat sosok menakutkan itu berada tepat di hadapanku saat ini.
 
Tak hanya syok, bahkan tanpa kusadari, aku telah menjatuhkan gawai dan buku harian milik orang yang telah dibunuh Kak Alfa. Tubuhku langsung bergetar hebat, keringat dingin mulai muncul dan mengalir dari keningku.
 
“Kenapa?” tanya Kak Alfa dengan suara yang begitu lembut sambil mengaitkan rambut yang terurai ke telingaku.
 
Sebisa mungkin aku menghindar dari sentuhan laki-laki itu, dengan mengedikkan bahu dan memundurkannya. Tak dipungkiri, aku begitu takut pada Kak Alfa saat ini. Hanya diam yang bisa kulakukan sekarang, karena lidah ini terasa begitu keluh, bibir ini pun seolah tal bertenaga untuk berucap.
 
“Tenang, nggak perlu takut. Lagi pula, aku udah tahu, kok kalau suatu saat kamu pasti akan melakukan hal ini. Dan, hari itu telah tiba.” Terlintas senyum yang begitu manis daro bibir Kal Alfa. Namun, tidak dengan matanya yang menyiratkan kemarahan yang begitu besar. “Tuh HP kamu jatuh.”
 
Kulihat ke arah bawah secara perlahan, melihat gawai yang berada tepat di kaki laki-laki itu. Saat berniat untuk mengambil ponsel pintar tersebut, tiba-tiba muncul keraguan dalam hati, karena begitu takut akan apa yang bisa Kak Alfa lakukan padaku karena telah berani mengusik hidupnya.
 
“Kenapa bengong?” tanya Kak Alfa sambil menjentikkan jari, setelah dia keluarkan dari kantungnya. “Ambil aja,” lanjutnya.
 
“I-iya ... ak-aku ambil dulu,” ucapku terbata sambil perlahan merunduk untuk mengambil gawai dan buku harian milik Zahwa.
 
Namun, belum sempat tangan ini meraih gawai dan diary itu, tiba-tiba terasa tarikan keras di rambutku, hingga aku memekik. Rasanya seperti seluruh rambut ini akan dicopot secara paksa hanya dengan sebuah tarikan.
 
Tangan ini langsung meraih rambut, menahannya agar tak terasa begitu sakit. “K-kak Alfa ... tolong lepas, Kak. Ini sakit banget,” pintaku sambil memohon dengan satu tangan memegangi rambut, sedang tangan lainnya, berusaha melepas tangan laki-laki itu dari rambutku.
 
Namun, bukannya melepaskan, laki-laki itu justru makin menarik rambut ini sambil merunduk untuk mengambil gawaiku, hingga membuat tubuh ini juga ikut merunduk. Kepala ini terasa begitu panas, karena tarikan pada mahkota di kepalaku itu begitu keras dilakukan oleh Kak Alfa.
 
Namun, saat kulihat gawai milikku itu berada di tangan Kak Alfa, aku makin berusaha keras untuk melepaskan tarikan di rambutku, dan mengambil gadget itu. Akan tetapi, laki-laki kejam di hadapanku ini rupanya tak menggubrisnya. Satu tangan miliknya masih mencengkeram erat rambutku, sedang tangan yang lain berusaha membuka kunci gawaiku.
 
“Zoya, ini kuncinya apa?” tanya Kak Alfa.
 
Aku menggelengkan kepala, dan kembali memohon pada Kak Alfa untuk melepaskan rambutku. Sakit, panas, perih. Itu yang kepala ini rasakan. Bahkan, begitu sakitnya, aku hingga aku yakin jika banyak helai rambut ini yang terlepas dari kepalaku.
 
“Kamu mau aku lepasin?” tanya Kak Alfa dan aku langsung mengangguk dengan air mata yang masih mengalir deras dari ujung mata.
 
“Oke, aku lepasin ... tapi, sayangnya tanganku udah nempel banget ini ke rambutmu. Jadi gimana, dong?”
 
Sambil menahan rasa sakit dan panas di kepala, aku masih berusaha melepaskan cengkeraman itu dari rambutku. “Aku mohon, Kak. Lepasin aku. Sakit banget. Tolong ....”
 
“Aku akan lepasin, tapi nanti, kalau aku udah tahu, dengan cara apa aku akan kirim kamu ketemu sama sahabatmu itu ... May.”
 
Jantung ini langsung berdegup makin kencang, mata dan mulut juga membulat sempurna. Kepala ini juga menggeleng, tak percaya apa yang kudengar barusan dari mulut Kak Alfa.
 
“Ng-nggak, Kak. Jangan ... tolong maafkan aku.” Aku begitu takut, karena sekarang aku mengetahui bahwa laki-laki ini memang kejam, dan siap melakukan apa pun, termasuk membunuh. Terbukti sudah dua gadis yang dia akui telah dibunuhnya.
 
“Oke, aku akan maafin kamu, asal kamu buka HP kamu ini, terus hapus semua rekaman yang udah kamu lakukan tadi!” seru Kak Alfa.
 
Terlihat jelas kemarahan di mata lelaki itu. Matanya memerah, giginya pun dieratkannya. Walaupun, bibir sensual miliknya selalu tersenyum, tetapi tak dapat meneduhkan hati seperti sebelumnya. Makin dirinya tersenyum, makin hati ini merasa takut.
 
“A-aku nggak ngapa-ngapain, Kak. Sumpah. Nggak ada rekaman apa pun di situ,” jelasku sambil tetap terisak.
 
Namun, Kak Alfa makin kuat mencengkeram rambut ini. “Kamu pikir aku bodoh? Terus ngapain kamu di sini, Zoya? Dan, untuk apa juga kamu menjebak aku dengan cara kuno kaya gini, kalau bukan untuk merekam semua pengakuanku? Sorry, Zoy ... aku nggak sebodoh itu. Paham?” bentak Kak Alfa yang berbicara tepat di dekat wajahku.
 
Kak Alfa lantas meremas gawai milikku tepat di depan mata. “Kamu tahu, kalau ini aku banting, HP-mu akan rusak, dan semua bukti akan lenyap ... termasuk kamu. Jadi, selagi aku masih mau berbaik hati sebelum memberimu permintaan terakhir, jadi jujurlah, Zoy. Buka gawai ini dan hapus semua bukti yang ada di sini,” ujarnya sambil menyeringai.
 
Ya Tuhan ... apakah hari ini adalah waktunya aku mati? Dosaku masih banyak, Tuhan. Tolong selamatkan aku dari iblis berwujud manusia ini. Kalau Engkau menyelamatkanku hari ini, aku janji akan lebih berbakti lagi atas aturan-aturanmu, dan orang tuaku.
 
Aku hanya terdiam, dan masih berharap bantuan Tuhan itu nyata hari ini. Namun, dengan bungkamnya mulut ini, justru membuat Kak Alfa makin geram. Dia pun makin membentakku tepat di samping , hingga telinga ini terasa sakit dan akhirnya berdengung.
 
Dalam hati aku juga terus menyebut nama ayah dan mama. Meminta maaf sedalam-dalamnya, saat membayangkan jika hari ini adalah hari terakhir untukku hidup di dunia ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top