Kerasukan Setan

Keesokan harinya, aku yang memang sudah sering berangkat dan sarapan bersama dengan Kak Alfa, melihat May dan Melody seperti sedang berselisih paham di depan salah satu kelas dua belas.

“Kak ... i-itu bukannya May dan Melody?” tanyaku memastikan bahwa penglihatan ini masih normal.

“Iya, ya. Itu mereka, tapi kok kaya lagi berantem gitu?” Kak Alfa yang juga melihat keduanya, justru balik menanyaiku.

Aku yang hendak pergi untuk melerai mereka ... tidak, lebih tepatnya membantu May, hampir saja terjatuh karena Kak Alfa menarik lenganku dengan keras.

“Ada apa, sih, Kak? Aku harus bantuin May,” ungkapku yang sudah setengah panik.

“Tapi, Zoy ....”

Tanpa mendengarkan penjelasan Kak Alfa, aku lantas berlari ke arah May, setelah mengempaskan tangan laki-laki itu dari tanganku. Tangan ini langsung menjambak rambut indah milik Melody, hingga si empunya meringis kesakitan.

“Untung lo dateng, dia hampir aj—”
“Buku itu kok ada di lo?” tanyaku yang terkejut saat melihat buku yang sebelumnya aku cari, kini ada di tangan May.

Kuempaskan tubuh Melody dengan keras ke lantai. Tangan ini menyambit diary milik Zahwa di tangan May.

“Gue nggak nyangka, ya lo senekat itu? Gue kira lo sahabat gue. Tapi, lo justru ambil buku ini, yang udah jelas-jelas gue larang.” Dadaku terasa sesak, kekecewaan membuncah di sana. Aku benar-benar tak menyangka, jika May mengambil buku itu tanpa seizinku.

“Zoy, lo salah paham.” May menggelengkan kepala, wajahnya terlihat panik. “Gue kemarin telepon lo, mau bicarain tentang ini,” ujar May meyakinkanku.

Aku tak mau mendengar penjelasan May. Lalu, kuarahkan pandanganku pada Melody yang tengah membersihkan rok sekolahnya sambil menggerutu. Namun, kekesalan yang kurasakan, membuatku mencengkeram erat dagu yang sedikit lancip milik Melody dan memaksa gadis itu melihatku.

“Jangan ... pernah ngarep buku ini bakal jatuh ke tangan lo! Paham?” Tanpa menunggu jawaban dari Melody, aku meninggalkan kedua gadis itu di tempat mereka beradu emosi pagi ini.

Kaki ini melangkah cepat menuju kelas. Sengaja aku berpindah ke bangku sebelah pojok kanan belakang kelas ini. Kebetulan, bangku itu memang kosong. Kulakukan itu untuk menghindari May.

Setelah merapikan bangku dan meletakkan hoodie berwarna biru langit kesayanganku ke dalam tas, aku berniat membaca lagi diary itu. Aku benar-benar merasa heran, karena Melody terobsesi untuk mendapatkan buku ini?

Kuyakini, ada rahasia gadis itu dalam buku ini, mengingat Zahwa selalu menuliskan semua hal tentang teman-temannya, baik itu yang berhati tulus, maupun berhati iblis, dan aku yakin bahwa Melody termasuk ke golongan teman-teman Zahwa yang berhati iblis.

Dengan cepat aku membuka buku harian bersampul hitam itu. Lembar demi lembar kubuka, mencari nama Melody tercantum di sana. Di pertengahan, terlintas nama Melody. “Nah, ini dia yang aku cari.”

Melody yang merupakan sahabat karibku, tiba-tiba berubah setelah mengetahui bahwa aku juga menyukai Tristan.

Gadis yang selalu menampilkan sisi femininnya, tiba-tiba berubah seperti kerasukan setan.

Dia selalu menerorku untuk menjauhi Tristan, bahkan tak segan mengancam akan melukaiku, jika laki-laki itu tetap membelaku.

Mel ... aku kangen kamu yang dulu. Aku kangen persahabatan kita yang tanpa pamrih.

Lebih baik ... aku mengalah dan pergi jauh dari Tristan, yang penting, kamu kembali menjadi sahabatku.

Maafin aku, Mel ....

Gang Persahabatan, 10 November 2018.

“Jadi, gadis itu ....” gumamku sambil mengingat semua perilaku Melody selama ini.

“Coba aja kalau lo berani!” bentak Kak Alfa dari luar kelas yang terdengar hingga ke bangku baru yang kutempati.

Merasa penasaran, kaki ini secara refleks melangkah ke luar kelas, melihat apa yang terjadi hingga Kak Alfa berteriak seperti itu. Dari ambang pintu, aku mencari keberadaan Kak Alfa, dan netra ini menangkap sosoknya yang berada di depan kelas ... lebih tepatnya pojok depan kelas yang bersebelahan dengan kelas lain.

Dahiku mengerut, mata ini pun memicingkan mata, penasaran akan apa yang tengah terjadi di antara Kak Alfa, dan May yang tengah berada di hadapannya.

“Ini ada apa?” tanyaku yang sudah berada di tengah-tengah antara May dan Kak Alfa. Badanku kini tengah menghadap ke arah sahabatku dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Menuntut penjelasan hanya dari mulut gadis itu.

“Zoy, lo harus jauhin Kak Alfa. Dia bukan orang baik,” ungkap May dengan nada agak keras, hingga semua mata yang berada di sekitar kami, kini melihat ke arah kami.

“Emang lo sendiri udah baik? Mengambil barang sahabatnya tanpa izin. Dan gue yakin, kok. Lo pasti udah baca, kan isinya? Padahal, gue udah larang lo dengan tegas untuk nyentuh buku itu. Apalagi sampai baca isinya,” ketusku.

“Gue tahu, Zoy, gue salah untuk hal itu. Gue minta maaf. Tapi, ini penting buat lo! Lo harus bin wajib jauhin dia! Dia cowok nggak normal!” ujar May yang kurasa makin mengada-ada.

Aku benar-benar terkejut mendengar pernyataan May. Bisa-bisanya gadis itu mengatakan hal seperti itu di hadapanku dan Kak Alfa.

“Cukup, ya, May! Lo udah bener-bener keterlaluan! Lo lihat, kan, Kak Alfa nggak pernah nunjukin tanda-tanda kalau dia nggak normal. Tiap hari gue sama dia, bahkan tiap waktu. Jadi, jangan ngaco kalau ngomong dia nggak normal,” tegasku dengan nada yang tak kalah keras.

Kak Alfa berusaha menengahi kami. Membuatku tenang dan mengingatkanku bahwa aku tak boleh bersikap demikian terhadap sahabat sendiri. Namun, aku yang terlanjur sangat kecewa masih saja menegur May dan memberinya peringatan keras.

“Kalau lo masih mgotot, sekarang gue kasih lo kesempatan untuk buktiin semua ucapan lo tentang Kak Alfa! Gue kasih waktu lo satu minggu. Inget, satu minggu. Nggak lebih,” jelasku sambil membuka mata lebar, meluapkan semua amarahku pada May.

“Lagian, lo lucu, ya, May. Lo sendiri yang tanya ke gue, apa gue cinta sama Zoya. Dan, udah gue tegasin kalau gue emang cinta. Eh, sekarang lo sendiri yang begini,” ucap Kak Alfa dengan nada rendah. Kutahu, laki-laki itu sangat kecewa akan tuduhan May.

“Stop, ya, Kak. Lo jangan playing victim. Gue udah tau semua tentang lo! Jadi, jangan pura-pura lagi!”

Aku kembali membentak May. Jujur, aku tak pernah seemosi ini pada gadis itu. Aku memang tak tahu apa yang mendasarinya mengatakan semua hal itu. Namun, apa pun yang dituduhkannya pada Kak Alfa tanpa bukti, itu sungguh keterlaluan.

Dengan tegas aku kembali mengingatkannya untuk membuktikan semua yang dia ucapkan. Dan, itu hanya berlaku satu minggu. Setelah itu lewat dan dia tak bisa membuktikan apa pun, aku mengancam tak ‘kan mau lagi bersahabat dengannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top