Hilang
Memang ada benarnya, jika May membaca dan ikut membantu mencari tahu tentang kasus kematian Zahwa. Namun, saat dipikir lebih jauh lagi, sepertinya lebih sedikit orang yang mengetahui tentang diary itu, makin bagus. Tidak ada yang tahu saja, Melody sudah menjadikanku buronan, dan Kak Alfa selalu memintaku mengembalikan buku itu, apalagi jika sampai buku itu berpindah tangan?
“Sorry, ya, May. Bukannya gue nggak percaya sama lo. Tapi, biarin gue nyelidikin kasus ini sendirian. Lo tahu, kan, yang ngincer buku ini, tuh ada si Melody. Lo tahu banget dia kaya gimana. Jadi, maaf, ya ... gue nggak bisa biarin siapa pun pegang, apalagi baca buku ini. Kalau gue butuh bantuan lo, gue pasti bilang.” Aku berusaha memberi pengertian pada May. Beruntungnya, gadis itu mau mengerti, walaupun dia mengatakan tetap penasaran akan isi buku harian itu.
Selama satu hari di sekolah, aku hanya fokus menyelesaikan semua tugas, karena malam ini aku berencana untuk pergi berburu makanan khas Kota Bandung, nasi tutug oncom bersama Kak Alfa. Bahkan, tanpa kusadari saat ini tengah berlangsung pelajaran terakhir, dan bel pulang sekolah juga sudah berbunyi.
Aku bergegas memasukkan semua buku di atas meja, dan segera keluar kelas, setelah mendapat notifikasi pesan masuk dari Kak Alfa yang telah menungguku di depan kelas.
“Zoy,” panggil May dengan berteriak. Namun, aku tak mengindahkan panggilan tersebut, walau sudah beberapa kali dipanggil oleh gadis itu.
Aku terus melangkahkan kaki dengan cepat ke luar kelas, dan menghampiri siswa kelas dua belas yang sudah duduk di bangku panjang yang memang ada di setiap depan kelas.
“Hai,” sapaku sambil memegang bagian bawah dan menampilkan senyum pada laki-laki itu.
“Zoy, ini ....” ucap May di ambang pintu.
“Eh, May? Kenapa?” tanyaku, tetapi tiba-tiba ponselku berdering dan tangan ini otomatis menekan tombol menerima panggilan.
“Oh, oke, Ma. Makasih, ya,” ucapku di akhir panggilan telepon tersebut, yang merupakan telepon dari mama. “Oh, ya, Kak, kita mampir ke ATM dulu, ya. Katanya, ayah udah transfer uang bulanan tadi.”
“Zoy, in—”
“May, sorry, ya. Kita ngobrol besok lagi, karena gue buru-buru.” ujarku tanpa memperhatikan May dan pergi begitu saja dari hadapan May. “Yuk, Kak!” Alih-alih mendengarkan May, aku justru langsung pergi begitu saja dengan Kak Alfa.
Entahlah, hari ini sepertinya sangat melelahkan dan membuatku tak fokus. Lebih melelahkan dari hari-hari biasanya. Bahkan, May juga terkena imbas karena hal itu.
“Zoy, kamu kenapa?” tanya Kak Alfa sambil melihatku dari kaca spion motornya di tengah perjalanan kami menuju ATM.
“Nggak, kok, nggak pa-pa. Cuma capek aja.” Suaraku terdengar sangat lesu.
“Kita langsung balik ke kosanmu aja, ya? Biar kamu bisa langsung istirahat dulu?” tanya Kak Alfa, tetapi aku menolaknya dengan alasan membutuhkan uang itu.
Kak Alfa lantas segera mencari ATM bank sesuai dengan rekening milikku, yang terdekat dengan posisi kami. Setelah selesai mengambil uang, Kak Alfa langsung mengantarku pulang ke kos, setelah sebelumnya membelikanku makanan.
“Makasih, ya, Kak!” ucapku saat sudah berada di depan gerbang indekos.
“Kalau kamu capek, nanti malam, kita cancel aja. Kesehatan kamu lebih penting. Wajah kamu lesu banget itu, Zoy,” ujar Kak Alfa, aku hanya mengangguk.
“Mungkin aku kaya gini, karena kecapean, karena semalem aku baca diary itu,” ungkapku.
Kak Alfa langsung terkejut. Selain matanya membulat sempurna, juga terlintas kemarahan dari sorotnya. “Jadi kamu masih baca buku itu? Please, dong, Zoy, jangan keras kepala. Kamu menyelidiki ini juga nggak bikin Zahwa hidup lagi.”
“Bukan begitu, Kak. Tapi ak—”
“Udahlah, percuma ngomong sama kamu. Lebih baik kamu masuk aja dan istirahat.” Setelah mengucapkan hal itu, Kak Alfa kemudian pergi begitu saja.
Setelah masuk ke kamar dan membersihkan badan, aku yang sedang membereskan isi tas untuk kuletakkan di loker, baru menyadari bahwa buku harian itu tak lagi ada padaku. Berkali-kali aku membongkar tas, tetapi nihil, diary itu memang tak ada. Aku begitu panik, takut jika buku itu ditemukan oleh orang yang salah.
Mencoba untuk mulai tenang, dan memikirkan baik-baik, di mana aku meletakkan buku itu terakhir kali. Pikiranku melayang ke beberapa jam yang lalu. Mencoba mengingat ke mana saja aku membawa buku itu hari ini.
Tiba-tiba teringat di mana aku dan May sedang berada di perpustakaan dan kami sedang membicarakan soal buku itu. “Apa May yang ambil buku itu?” gumamku.
Sedetik kemudian, aku menggelengkan kepala dengan cepat, menyingkirkan pikiran negatifku pada gadis penyuka anime itu. “Nggak, nggak mungkin May. Sepenasaran apa pun, gue yakin, dia nggak mungkin lancang amb buku itu tanpa izin dari gue.”
Aku kembali mengingat semua kegiatanku hari ini. Dan, ya, aku teringat meletakkan buku itu di meja saat pelajaran sudah berlangsung. “Mungkin aja buku itu ada di laci gue. Ya, ada di laci gue. Nggak ada yang bakal ambil buku itu.” Aku berusaha meyakinkan diri dan istirahat karena kepala ini betul-betul pusing.
[Zoy, gue mau bicara sama lo besok. Tapi, please, ya cuma kita berdua. Jangan ada orang lain. Karena ini penting banget.] Satu pesan masuk dari May yang kubaca setelah aku menyegarkan badan dengan mandi di sore hari.
Aku tersenyum membaca pesan itu. Berpikir sepertinya sahabatku itu sedang ingin mencurahkan isi hatinya. [Lo mau curhat?] Kukirim pesan balasan padanya.
[Besok aja kita ngobrol. Pokonya, gue mau hanya lo dan gue.] Jika kami sedang face to face, bisa kupastikan bahwa wajah May saat ini sedang tegang dan terlihat serius sekali.
[Iya, iya. Besok kita ngobrol.] Pesan terakhir ini tak mendapat balasan apa pun dari May.
Saat aku tengah bersolek di depan cermin, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Bergegas aku membuka untuk mengetahui siapa yang datang di waktu menjelang malam seperti sekarang.
“Kak Alfa,” ucapku yang merasa heran karena dia datang lebih awal dari jam yang sudah kami tentukan untuk berburu nasi tutug oncom.
“Iya, Zoy, sorry, ya malam ini kayanya kita nggak jadi pergi. Tiba-tiba mama minta aku nemenin dia ke rumah om aku. Makanya aku datang lebih awal untuk antar makanan ini buat kamu.” Kak Alfa menyodorkan sebuah paper bag berisi kotak makan.
“Ya ampun, repot-repot banget. Aturan tuh, ya, kalau Kak Alfa emang nggak bisa, tinggal chat aja. Aku pasti ngerti, kok.”
Kak Alfa lalu menjelaskan bahwa dirinya tak enak hati, pasalnya dia terus teringat janjinya yang akan memenuhi kebutuhan makanku. Aku pun tertawa mendengar pengakuannya. Padahal, sejujurnya aku hanya bercanda saat mengatakan hal itu. Tak ingin berlama-lama, dia pun pamit, karena sang mama terus saja meneleponnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top