Hari yang Menyebalkan

Sungguh menyebalkan, saat melaksanakan tugas yang berhubungan dengan orang yang tak kukenal, bahkan tak mungkin ada sangkut pautnya di masa depan. Hari-hari pertama masa SMA-ku, tak semenyenangkan teman-temanku. Itu sudah pasti. Andai saja ayah tak mengirimku ke sekolah ini, dan tak mengancam akan membiarkanku, sudah bisa dipastikan bahwa detik ini juga aku akan kabur dari sini.

Kurebahkan tubuh ini di atas bangku yang sebelumnya sudah kusejajar dan sesuaikan dengan tinggi badanku yang sekitar 150 sentimeter, di bagian pojok belakang kelas. Total 5 bangku yang digunakan untuk menopang tubuh ini. Satu tangan ini kuletakkan di atas kepala guna menutupi wajah ... tidak, lebih tepatnya mata, menghalau sinar matahari dari jendela yang menembus kacanya dan menyilaukan mata.

Sungguh, rasanya sangat malas untuk melakukan kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) hari ini. Bayangkan saja, aku yang siswa SMA, harus mendapat seluruh tanda tangan pengurus OSIS SMP dan SMA di sekolah baruku ini. Sungguh kegiatan yang tak masuk akal. Apa gunanya mereka menerapkan aturan seperti itu? Toh nanti kami juga tidak akan berhubungan. Entahlah, apa yang sedang para pengurus OSIS itu rencanakan.

“Zoy, lo ada di sini? Gue cariin juga,” ucap May yang datang secara tiba-tiba dan mengagetkanku. Gadis berkacamata itu adalah seorang teman yang baru kukenal saat bertemu di ruang administrasi pendaftaran siswa baru waktu itu.

Aku terperanjat, dengan kesadaran yang sebelumnya sudah setengah menghilang, kupaksa tubuh ini untuk bangun dan memberikan May duduk di sebelahku. “Lo ngagetin tahu, nggak?” keluhku.

“Bukan gitu, gue nggak sengaja denger kabar kalau para pengurus OSIS akan melakukan inspeksi ke setiap kelas. Kalau ada peserta yang ketahuan nggak ikut kegiatan dan sembunyi di kelas, bakal dihukum jemur sambil hormat di tiang bendera sampai waktu pulang.”

“Lo serius?” Sontak saja informasi dari May membuatku panik sekaligus kesal pada mereka. Bisa-bisanya mengusik ketenanganku.

May hanya mengangguk, kemudian menarikku keluar kelas, tetapi tak berhasil karena tubuh ini melemas sehingga menjadikannya kian terasa berat. “Haish ... ayo, Zoy. Lo mau dihukum?”

Mendengar kata dihukum, makin membuatku kesal dan ingin mengumpat pada si pembuat aturan tak masuk akal. Namun, aku juga tak mungkin membuat ayah dan mama dipanggil pihak sekolah cuma karena hal sepele seperti ini.

“Baiklah, baiklah. Kita keluar sekarang. Tapi, gue ke toilet dulu. Lo duluan aja, cari tanda tangan yang banyak,” ucapku yang memang ingin mencuci dan menyegarkan wajah di toilet.

May pun pergi setelah sebelumnya dia memastikan bahwa aku akan kembali ke tempat MOS. Sedangkan aku yang hendak pergi ke toilet, tiba-tiba berhenti di sebuah ruangan yang kupikir itu sebuah gudang.

Awalnya kupikir, jika memang sebaiknya mengikuti seluruh rangkaian kegiatan MOS di hari terakhir ini, walaupun sangat menyebalkan. Akan tetapi, bersembunyi di sebuah gudang, rasanya akan aman. Bak gayung bersambut, ruangan yang kusangka itu dikunci, rupanya tidak.

Kaki ini melangkah masuk perlahan, sambil sebelumnya menoleh kanan dan kiri, takut jika apa yang sedang kulakukan, akan diketahui orang lain, dan segera menutupnya kembali. Ruangan itu tidak seperti gudang, melainkan kelas yang sudah lama tidak digunakan dan dibiarkan begitu saja. Hanya ada sebuah rak yang berisi buku-buku pelajaran yang sudah tidak digunakan lagi, satu bangku dan meja siswa serta sebuah nampan berisi bunga yang biasa dibawa takziah ke makam dan kue juga secangkir kopi, mirip ... sesajen, di atas meja itu.

Selain bangku dan meja, terdapat papan tulis yang bersih, bahkan ruangan itu juga bersih, hanya ada sedikit bau debu di dalam sana. Rasa penasaranku menyeruak, kucari barang apa pun di sana untuk mengetahui tempat apa ini sebenarnya. Setelah lama dan lelah karena tak menemukan petunjuk apa pun, aku pun duduk di bangku itu sambil memasukkan tangan ke dalam laci meja, seperti kebiasaanku saat sedang penat dengan semua pelajaran.

Tunggu ... seperti ada yang mengganjal tanganku di laci itu, saking penasarannya, kutarik benda itu dan ternyata sebuah buku harian. “Ini punya siapa, ya? Kok ada di sini?” gumamku sambil membuka halaman demi halaman buku itu dengan cepat.

Ada keraguan sebenarnya saat memutuskan untuk membawa buku itu, tetapi rasa penasaran yang besar, terlebih sampul bukunya yang unik, membuat diri ini tak tahan untuk membawa dan membacanya. Lama aku mengulur waktu dan berdiam diri di ruangan itu, hanya untuk menunggu jadwal MOS di hari terakhir, juga ikut berakhir.

Jam tanganku menunjukkan pukul 14.30, di mana kegiatan menyebalkan itu seharusnya sudah hampir berakhir dan peserta didik baru, kembali berkumpul di aula untuk persiapan evaluasi dan pulang.

“Zoya,” panggil seorang laki-laki yang membuatku kaget. Bagaimana tidak kaget? Mata ini sudah memastikan bahwa tak ada siapa pun saat mengintip ke luar, tetapi laki-laki itu muncul begitu saja saat aku sudah keluar dan hendak menutup pintu ruangan itu.

Perlahan, kutolehkan kepala ini ke asal suara sambil berdoa dalam hati agar bukan salah satu anggota OSIS yang memergokiku. “Eh ... Kak Alfa,” ucapku lirih.

“Kamu ngapain di situ? Dari ruangan itu?” tanya laki-laki yang tingginya sekitar 170 sentimeter dengan hidung mancung dan matanya yang agak belo. Tatapannya begitu tajam dan seolah menginterogasi.

“Ah, iya. Barusan nggak sengaja aku masuk ke situ. Eng-enggak, nggak ... aku lagi sembunyi, sih sebenernya,” ucapku dengan nada yang tak terlalu keras.

“Sembunyi? Sembunyi kenapa? Lagi main petak umpet? Tapi, bukannya kamu harusnya MOS hari terakhir? Dan, kok bisa masuk ruangan itu? Itu, kan dikunci.” Pertanyaan bertubi-tubi itu meluncur begitu mulus dari mulut Kak Alfa, seperti sepeda yang meluncur tanpa ada remnya.

“Dikunci?” tanyaku penuh heran, dan Kak Alfa mengiakannya. “Tapi, aku tadi masuk ke sini, kondisi pintunya nggak kekunci. Makanya masuk dan sembunyi di sini.”

Souka. Mungkin petugasnya lupa kunci lagi pintunya. Lupak—”

“Kak, di dalam, kok ada kaya sajen gitu, sih? Emang itu ruangan apa?” tanyaku setelah memotong dengan cepat omongan Kak Alfa.

Kak Alfa tersenyum kecil, tetapi matanya tak henti sambil melirik ke arah ruangan itu. “Nanti saja aku ceritakan, sebaiknya kamu segera kembali ke aula, atau para pengurus OSIS itu akan menghukummu.”

Kak Alfa adalah senior di sekolah ini. Kami saling mengenal saat dia sedang melakukan daftar ulang, yang bertepatan dengan hari aku mendaftar ke sekolah ini bersama ayah. Ya, selain dengan May, aku juga berkenalan dengan Kak Alfa juga. Beruntung sebenarnya ada dia, setidaknya Kak Alfa membantu kami dalam proses pendaftarannya.

Aku hendak berlari ke arah aula, sebelum akhirnya Kak Alfa kembali menghentikan langkahku. “Ada apa, Kak?” tanyaku.

“Itu apa di tangan kamu?” tanyanya balik.

“Mmm ... ini?” jawabku sambil menunjukkan buku catatan untuk keperluan MOS yang memang aku bawa sejak tadi. “Buku catatan.”

“Bukan, bukan yang itu. Yang satunya. Buku apa?”

“Oh ... ini? Diary,” jawabku singkat, “Udah dulu ya, Kak. Aku mau balik dulu ke aula. Takut dihukum. Kita ngobrol lagi nanti. Oke!” Langsung saja kaki ini melangkahkan kaki dengan cepat. Tak menghiraukan panggilan Kak Alfa, yang entah ada maksud apa. Lebih penting kembali ke aula sekarang, daripada mengobrol dengan senior yang satu itu.

Beruntunglah, aku belum telat. Bisa-bisa hukumanku menjadi double, sudahlah tidak mengerjakan tugas terakhir, telat pula.

“Zoy, lo ke mana aja, sih? Gue khawatir tahu, nggak?” tegur May saat aku sudah duduk tepat di sampingnya.

“Panjang ceritanya. Nanti gue cerita.” Tangan ini tak hentinya mengipas-ngipas wajah yang penuh keringat akibat berlari. Ah, sungguh menyebalkan. Aula sebesar ini, yang bisa menampung sekitar seribu orang, tak menggunakan AC di dalamnya. Hanya ada kipas angin berukuran besar di beberapa titik. Pengap.

“Tadi ada yang cari lo,” ucap May.

“Siapa?”

“Itu tuh, kakak yang yang keren itu.” May menunjuk ke arah seseorang yang berada di jajaran pengurus OSIS.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top