Dia Pembunuh!
Beberapa bulan setelah kematian May telah berlalu. Namun, hati ini masih begitu sulit menerima kenyataan tersebut. Semangatku mulai luntur, bahkan aku benar-benar menjadi pendiam.
Kematian May begitu janggal. Walaupun, sudah dilakukan autopsi dan polisi juga mengatakan bahwa tak ada tanda-tanda kekerasan di tubuh May, sehingga mereka menyimpulkan kejadian itu hanya sebuah kecelakaan, tetapi hatiku tetap tak bisa menerima fakta itu. Bagiku, Melody tetaplah pembunuh May.
Omong-omong soal Melody, gadis itu sudah tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di hadapanku, maupun di sekitar kelasku. Sebenarnya ada bagusnya seperti itu, karena kalau gadis itu masih berani muncul di hadapanku, tangan ini tak ‘kan segan memberinya pelajaran, jauh berkali lipat dari yang pernah dia terima sebelumnya dariku dan juga May, sebagai balasan karena telah berani mencelakakan hingga membuat May terbunuh.
Setiap hari hanya kuhabiskan untuk mencoret-coret buku, atau duduk sambil menelungkupkan wajah di atas meja. Tak pernah ke kantin, atau perpustakaan, seolah semangat hidupku juga ikut pergi seiring dengan kematian May. Bahkan, hubunganku dengan Kak Alfa pun ikut berjarak, karena hati ini masih enggan untuk berkomunikasi dengan siapa pun, bahkan dengan guru sekali pun.
“Hai! Nih, aku bawain minuman sama sosis bakar kesukaan kamu. Kali ini, aku nggak mau ada penolakan,” sapa Kak Alfa yang tiba-tiba muncul di hadapanku saat jam istirahat ‘lah tiba.
Aku memundurkan tubuh dan bersandar pada sandaran kursi. Menatap datar laki-laki di hadapanku sambil bersedekap. “Aku nggak lapar dan haus. Makan saja sendiri.”
“Zoy, kamu nggak bisa kaya gini. Kalau kamu gini, May juga akan sedih lihat kamu dari sana. Lagian, May juga nggak akan bisa balik lagi kalau kamu kaya gini, Zoy.”
Aku menoleh pada Kak Alfa, hatiku begitu bergemuruh. Semua kenangan tentang kebersamaan dengan May, kembali berputar di otakku. Mata ini terasa penuh dengan genangan air mata yang siap kapan pun untuk mengalir.
Dengan sigap, Kak Alfa langsung berpindah tempat duduk di sampingku. Menarik kepala untuk bersandar di bahunya. Tangan kekar miliknya, merangkul bahuku, terasa menghangatkan. Tanpa dikomando, air bening itu mengalir begitu saja dari mataku hingga dan membuatku sesenggukan.
“Keluarin aja, Zoy. Keluarin semua kesedihan kamu. Tapi, setelah itu berjanjilah, kamu harus bangkit.” Kak Alfa mengusap lembut rambutku.
“Semua ini karena Melody. Aku yakin itu,” ucapku di tengah isakan.
“Zoya, polisi sudah menetapkan kalau Melody nggak bersalah. Ini hanya kecelakaan.” Kak Alfa melepas rangkulannya, lalu menegakkan badanku sambil memegang kedua bahuku dengan tangan dan mengarahkan untuk menghadapnya. “Zoy, aku bukan mau menakuti kamu. Tapi, aku sudah pernah ingetin kamu tentang arwah Zahwa yang akan marah kalau kamu berusaha ngusik dia, ‘kan?”
Kuusap jejak air mata yang masih membekas di pipi. “Ma-maksud Kak Alfa ... diary itu?” tanyaku, Kak Alfa mengangguk perlahan.
Kak Alfa lalu menjelaskan bahwa memang kematian May janggal, sedangkan Melody tidak bersalah. Dia mengaitkan tubuh May yang tergeletak di bawah tangga di dekat ruang kosong itu, padahal gadis itu memang hampir jarang sekali, bahkan cenderung enggan melewati area itu jika tidak terpaksa.
Kak Alfa juga menjelaskan bahwa kejadian itu sama persis dengan kejadian beberapa tahun silam, saat ada yang hendak mengusik arwah Zahwa yang sudah tenang. Laki-laki itu mengatakan bahwa teror tidak akan didapat langsung oleh si pengusik, melainkan melalui orang terdekatnya. Hal itu sebagai bentuk peringatan, agar orang tersebut berhenti membaca buku harian milik Zahwa.
“Hal-hal gaib itu ada di sekitar kita, Zoy. Kamu nggak bisa mengingkari itu. Dalam agama apa pun, juga dijelaskan soal hal itu.” Kak Alfa memberiku pengertian dengan cara yang lembut. Dia kemudian mengeluarkan selembar sapu tangan dari kantung celana, lalu mengusapkannya ke wajah, dan terakhir, penyuka lagu-lagu Linkin Park itu juga mengusap ingusku.
Perlahan aku mencerna semua ucapan Kak Alfa, dan kurasa juga ada benarnya. Tak seharusnya aku terlalu keras kepala dan terlalu berpegang teguh pada ketidakpercayaanku pada hal-hal tak kasat mata.
“Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kamu boleh nggak percaya pada hal-hal kaya gitu. Tapi, kamu juga harus bisa menjaga sikap kamu. Terlebih, karena kamu pendatang baru,” lanjut Kak Alfa.
“Kak Alfa mungkin bener, kalau aja aku nggak terlalu keras kepala, May pasti masih di sini, sama aku,” ucapku sambil kembali menangis. Rasa bersalah begitu membuncah, penyesalan pun rasanya sudah sangat terlambat. “Maafin gue, May ... ini salah gue.”
Terlintas kembali ingatanku tentang May; sejak awal kami bertemu, hingga akhirnya saling percaya sebagai sahabat, berbagi suka-duka bersama. Rasa penyesalan terdalamku adalah di hari terakhirnya dia hidup, aku justru memarahi, dan cenderung tak memercayainya. Aku juga tak mau memberi gadis itu kesempatan untuk menjelaskan apa pun.
Kak Alfa kembali menarikku ke dalam pelukannya. “Sssttt ... jangan bilang gitu. Ini semua udah takdir. Sekarang, nggak ada gunanya menyalahkan diri sendiri ataupun Melody.”
“Kak, aku boleh tanya?” tanyaku yang kembali duduk sempurna sambil menatap nanar laki-laki di hadapanku itu.
“Tanya apa?” tanya balik Kak Alfa.
“Kenapa waktu itu May bilang Kak Alfa nggak normal? Dan, kenapa dia tiba-tiba menentang Kakak? padahal sebelumnya dia ngedukung kalau kita deket,” tanyaku saat mengingat masalah sebelum kecelakaan May itu terjadi.
Kak Alfa berdehem, dia lantas memperbaiki duduknya, menghadap ke arah depan, sambil menundukkan kepala. “Ini Cuma salah paham aja, kok,” jawabnya singkat.
Tentu aku tak langsung percaya begitu saja. Aku lantas mencecarnya dengan segudang pertanyaan yang membuatnya harus menceritakan kejadian yang sesungguhnya secara detail.
“Jadi, ya, gitu ... cuma karena dia lihat aku foto sama temen cowok di tempat gym, dia ngiranya aku nggak normal.”
“Tunggu, tunggu, kok bisa Kakak ada di tempat gym? Bukannya kalau nggak salah inget, waktu itu kakak bilangnya mau antar mama ke rumah om?” tanyaku yang masih penasaran karena penjelasan yang tak masuk akal.
“Ah, iya i-itu ... waktu itu, em, mama emang minta antar aku ke rumah om. Tapi, pas nyampek sana, beliau minta ditinggal aja, dan pulangnya, diantar sepupu. Iya, gitu.”
Terlihat mata Kak Alfa selalu menoleh ke atas. Perkataannya juga terbata-bata. Hal itu jelas membuatku sulit memercayainya.
“Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa tanya ke Revan, temen sekelasku yang waktu itu ngajak May ke tempat gym,” lanjutnya yang berusaha membuatku percaya.
“Revan?”
“Iya. Emang kamu nggak tahu, kalau May waktu itu lagi deket sama Revan?” tanya Kak Alfa.
Aku menggelengkan kepala, karena memang tak mengetahui apa pun tentang hal itu. “Kakak nggak bohong?” tanyaku meyakinkan diri.
“Mana pernah aku bohong sama kamu, sih, Zoy?” ujarnya sambil memegang tanganku. “Kamu boleh tanya sama Revan, kalau emang nggak percaya.” Kak Alfa lalu menarik tanganku.
“Eh, mau ke mana?” tanyaku, terkejut saat tangan ini tiba-tiba ditarik oleh laki-laki itu.
“Ya, kita nemuin Revan. Biar kamu bisa tanya langsung ke dia, dan percaya kalau aku nggak bohong.”
Kaki yang telah lelah dan enggan beranjak, membuatku harus mengatakan bahwa aku memercayai Kak Alfa. Walaupun, dalam hati kecil, sulit rasanya untuk percaya. Entah kenapa, hati ini merasa ada yang Kak Alfa tutupi dariku. Tak semua yang dia ucapkan padaku, sepenuhnya benar. Namun, aku juga tidak bisa menegurnya saat ini. Aku butuh bukti, untuk meyakinkan diri bahwa laki-laki itu memang jujur, atau menguak rahasianya jika memang dirinya membohongiku tentang sesuatu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top