Bukan Siapa-Siapa

Dengan langkah perlahan tapi pasti, aku memasuki sekolah. Walaupun, kondisi pinggul sudah lebih baik dari hari kemarin, tetapi saat berjalan dengan cepat, rasa ngilu itu kembali terasa. Aku sengaja berangkat lebih pagi, untuk mengawasi gerak-gerik Tristan. Hal itu kulakukan untuk meyakinkan hati, bahwa penilaianku terhadapnya itu salah.

Sengaja aku berkeliling area kelas dua belas, memperhatikan setiap ruangan mereka yang masih sepi, karena memang belum banyak murid yang datang. Oh, ayolah, ini masih belum pukul 06:00 pagi. Kalaupun ada yang datang dan membuat parkiran mulai terisi dengan kendaraan roda dua, mungkin saja mereka sedang piket membersihkan kelas, atau olahraga.

“Gue sayang sama lo, tapi sorry, kita nggak bisa jadian. Gue sayang, tapi bukan cinta sama lo.” Terdengar suara seorang laki-laki dan perempuan yang sedang menangis di salah satu kelas.

Gadis itu menangis dan memohon pada sang lelaki. Akan tetapi, seolah tak memiliki rasa iba sedikit pun, laki-laki itu lantas pergi begitu saja. Jendela kelas yang terlalu tinggi untukku, membuat keinginanku untuk mencari tahu siapa yang ada di dalam kelas, jadi terhalang.

Kuputuskan untuk mengintipnya dari pintu. Namun, belum sempat mengintip, laki-laki itu justru keluar dan tepat berada di hadapanku, dan membuatku salah tingkah.

“Zoya Alycia Sharyl. Kamu ada di sini? Ada apa? Mungkin aku bisa bantu,” ucapnya dengan sangat lembut, seolah dia tak merasa bersalah telah membuat seorang gadis menangis.

“Ya Tuhan, kenapa harus ketemu lo lagi, lo lagi, sih? Astaga, hari ini gue pasti sial banget,” gerutuku dengan suara yang sedikit keras.

Laki-laki itu tertawa. “Kayanya kamu belum sarapan, yuk ke kantin dulu. Kita sarap—”

“Jadi, karena anak baru ini, kamu dengan mudahnya lupain kedekatan kita selama ini? Dasar playboy. Nyesel gue pernah suka sama lo.” Gadis itu pergi setelah meluapkan emosinya dengan mata yang masih penuh dengan air mata.

“Eh, eh, kok ini nggak ....” Belum sempat aku menjelaskan apa pun pada gadis itu, dia sudah berlari menjauh. Akan tetapi, hal yang lebih menyebalkan lagi adalah laki-laki yang tak lain adalah Tristan itu, justru menahanku saat hendak mengejar gadis itu. “Lo apa-apaan, sih? Gue mau ngejar dia. Gue harus jelasin kalau kita nggak ada apa-apa. Mau sama lo aja gue ogah. Alergi gue sama playboy kaya lo.”

“Nggak akan aku lepas. Kamu nggak ada hak ikut campur sama urusan kami. Tapi ... oke, aku salah, karena aku, kamu jadi sasaran kemarahan dia. Aku minta maaf.”

Sungguh tak habis pikir. Bisa-bisanya dia masih santai, tak ada rasa bersalah sedikit pun terhadap gadis itu. Hal inilah yang membuat pikiran negatif terhadapnya tak bisa berkurang, adanya makin bertambah.

Hati ini begitu kesal, melihat tingkahnya yang merasa paling keren, hingga dengan tega membuat seorang gadis menangis pagi-pagi. Bagaimana bisa dia masih memiliki banyak idola, dengan sikap buruknya? Tak bisakah para gadis di sekolah ini, tidak hanya melihat seseorang dari luarnya saja? Tak sadarkah mereka, bahwa bisa kapan pun mereka bisa menjadi korban dari playboy itu?

Aku pergi begitu saja, setelah sebelumnya mengempaskan dengan kasar tangan Tristan yang mencoba menahan langkahku tadi. “Gue harus cari tahu, lebih jauh tentang Tristan dan Zahwa. Pasti ada bagian di mana Zahwa menceritakan sisi buruk Tristan dalam buku itu, atau ... jangan-jangan Zahwa meninggal juga ada kaitannya dengan Tristan? Gue harus baca buku itu lagi.”

Langkah ini kupercepat menuju kelas. Suasana yang masih pagi, membuat situasi kelas masih sangat sepi. Kesempatan yang cukup bagus untukku membaca buku itu dengan leluasa, selain di kamar kos.

Dan saat semua orang menyudutkanku hanya karena aku menyukai Tristan, hingga kabar itu tersebar ke seluruh penjuru sekolah, tetapi dia justru membelaku. Bahkan, dia selalu mengatakan, “Siapa pun yang berani nge-bully cewek ini (yang tertuju padaku), dia bakal berhadapan langsung sama gue. Baik itu cowok, atau cewek."

Tuhan ... terima kasih. Walaupun, perasaan ini tak terbalas, pembelaan darinya sudah lebih dari cukup.
 
Ruang Hampa, 30 Oktober 2018.

“Apa ini? Kenapa Zahwa justru muji dia? Apa memang Tristan lagi tebar pesona waktu itu ke Zahwa? Apa karena ini, Zahwa jadi makin suka sama dia, terus dia bunuh diri, karena Tristan ternyata mainin perasaan Zahwa kaya cewek tadi?” gumamku yang menerka-nerka dan menghubungkan semua keterangan yang didapat, pengamatan, serta pernyataan Zahwa melalui buku harian ini.

“Kaya cewek siapa, hayo?” tegur Kak Alfa yang entah sejak kapan dia sudah duduk di hadapanku.

Buru-buru kututup diary itu dan memasukkannya ke dalam laci meja. Kalau Kak Alfa mengetahui aku masih membaca buku itu, pasti dia akan kembali memintaku mengembalikan atau memusnahkan barang tersebut. Padahal, aku meyakini bahwa kasus kematian Zahwa yang sebenarnya, bisa terungkap melalui buku harian miliknya.

Aku menggelengkan kepala sambil menunjukkan senyum khas anak kecil, yang menggembungkan pipi. “Em ... enggak, bukan siapa-siapa, kok. Hehehe.”

“Itu apaan yang kamu sembunyiin?” tanya Kak Alfa dan kujawabi hanya dengan gelengan kepala.

Laki-laki berlesung pipi dengan tubuh atletis itu, menarik headband berwarna biru langit yang kukenakan hingga terlepas. Jika saja aku tak ingat bahwa yang sedang berada di depanku adalah kakak kelas yang sudah menganggapku adiknya, sudah bisa kupastikan bahwa aku akan mengumpat padanya.

“Ish ... rambut aku berantakan, loh. Nyebelin banget jadi kakak. Kalau Kak Alfa kakak kandungku beneran, udah pasti aku bales perbuatan menyebalkan ini,” gerutuku setelah merampas kembali headband favoritku dari tangan Kal Alfa, dan mengenakannya kembali.

“Ya, makanya, jangan main rahasia-rahasiaan sama kakak sendiri. Ngaku, nggak, itu apaan? Jangan-jangan, kamu habis nyuri, ya?” celetuk Kak Alfa dan itu benar-benar membuatku kesal.

“Ya ampun ... mulutnya jahat, ih. Masa aku cantik, body goals, kalem kaya gini, ada tampang-tampang pencurinya, sih? Ngeselin!” seruku lalu kuceritakan pada Kak Alfa tentang sikap Tristan berdasar pengakuan May, isi diary, dan pengamatanku sendiri.

“Jadi, kamu masih baca buku itu? Beneran nggak ada niat untuk ngembaliin ke tempat semula, atau bakar buku itu?” tanya Kak Alfa dengan raut wajah tegang yang menandakan bahwa dia sedang ingin membahas masalah ini dengan serius.

Aku kembali menggelengkan kepala. “Aku masih mau cari bukti yang lebih valid dulu, Kak. Kalau aku yakin kalau dia emang bunuh diri, baru aku akan balikin buku itu,” tegasku yang membuat Kak Alfa semakin tegang.

“Zoy, please dengerin aku kali ini aja. Jangan bangkitkan lagi, hal menyeramkan yang sebenarnya sudah tenang. Biarkan Zahwa tenang,” ucap Kak Alfa setelah sebelumnya dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, seolah sedang mengendalikan emosinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top