Akhir yang Mengejutkan

Di tengah aku yang mulai kehilangan kesadaran, May muncul di hadapanku lalu berkata, "Zoy ... lo bukan cewek lemah. Lo harus bangun. Demi gue, dan orang lain yang sayang sama lo!"

Mendapati May berada di hadapanku, walaupun entah itu hanya dalam ilusi atau mimpi, seraya memberiku semangat untuk bertahan. Perlahan ada seberkas cahaya yang menembus kelopak mata hingga retina dan cukup menyilaukan, dan membuat mata ini perlahan juga terbuka lalu mengedip untuk mengurangi silaunya.

Sedangkan telinga ini, sayup-sayup mendengar suara dua orang berlainan jenis tengah mendebatkan sesuatu.

"Lo jangan gila, ya, Al! Lo belum puas udah bunuh Zahwa? Sekarang lo juga mau bunuh dia? Apa salah gadis ini? Bukannya lo deket sama dia?" Suara gadis itu ... sepertinya pernah kudengar, tetapi aku lupa di mana. Namun, yang jelas itu tak asing di telingaku.

"Riana ... Riana .... Asal lo tahu! Cewek ini ... dia udah tahu rahasia kita."

Suara bariton itu jelas milik Kak Alfa ... dan apa katanya tadi? Dia menyebut nama Riana? Itu artinya, benar jika Riana mengetahui tentang kematian Zahwa. Bahkan ikut terlibat.

"Di-dia tahu?" tanya Riana dengan nada kaget.

"Ah, sial, dia udah sadar. Tangannya barusan gerak," ucap Kak Alfa yang kuyakini jika yang dimaksud adalah diriku. "Sebaiknya lo jangan ganggu rencana gue kali ini, atau semua rahasia kita akan terbongkar. Karena, kalau dia sampai sadar dan laporin gue ke polisi, gue juga akan seret nama lo. Paham?"

Saat mata ini mulai bisa terbuka dengan sempurna, tanpa sengaja kulihat tangan Kak Alfa yang siap mengayunkan tangan dengan batu dalam genggamannya, hendak memukul kepalaku. Seketika indera penglihatan ini menutup kembali dengan rapat. Mulut ini juga tak henti melantunkan doa dan harapan terakhir untuk kedua orang tuaku, semua itu kulakukan tanpa bersuara.

"Zoya ...." teriak seorang laki-laki, yang dari suaranya bisa kupastikan bahwa dia adalah Tristan.

Mata ini secara refleks terbuka lebar, terlihat wajah Kak Alfa dan Riana menegang, mata mereka terbuka lebar, dan tangan Kak Alfa yang sedang memegang batu dan siap untuk menyerangku, kini seolah terpaku dan tetap pada posisinya yang menggantung di atas kepalanya.

"Tristan," ucap Riana menyebut nama laki-laki itu dengan suara yang cukup terdengar jelas di telingaku.

"Ah! Sial!" Kak Alfa lantas melempar batu itu asal, kemudian berdiri dan bergegas pergi dari taman itu, saat langkah Tristan makin mendekat pada kami.

"Kejar dia, jangan sampai lolos, terus bawa ke ruang kepala sekolah, biar pihak sekolah yang laporin dia ke polisi," teriak Tristan menginstruksi beberapa teman yang memang sedang bersamanya. Sedangkan dirinya, terus berlari menghampiri dengan Riana yang masih berdiri mematung di sampingku.

"Tristan ... gu-gue ...."

"Mending sekarang lo pergi, sebelum gue lakuin hal yang nggak pernah lo pikirkan sebelumnya. Karena, gue udah tahu siapa dan gadis macem apa lo sebenernya," ucap Tristan memotong pembicaraan Riana.

Riana pun segera pergi setelah mendapat peringatan tersebut.

Tristan kemudian mengangkat kepalaku secara perlahan, lalu kemudian memindahkan kepalaku di pangkuannya sambil memperhatikan cairan berwarna merah pekat di tangannya, yang berasal dari kepalaku. "Zoya, kamu tahan, ya. Maaf, aku datangnya telat. Kamu pasti akan baik-baik aja."

"Di-dia ... May ... d-dan ...."

Tristan menutup mulutku dengan satu jari miliknya. "Ssttt ... kamu bisa jelasin itu nanti. Sekarang, lebih penting untuk nyelametin nyawa kamu. Kita ke rumah sakit sekarang. Aku nggak mau kenapa-kenapa."

Terlihat jelas kekhawatiran di wajah Tristan. Mata yang kini tengah menatapku lekat itu, juga mulai penuh dengan genangan air yang siap tumpah dan membasahi pipi laki-laki itu kapan pun.

Setelah mengusap keringat yang ada di keningku, Tristan mengangkat tubuh ini, setelah sebelumnya memungut gawai milikku dan buku harian milik Zahwa. Langkah kaki laki-laki ini pun begitu cepat, sambil terus berkata bahwa aku tak boleh memejamkan mata atau tertidur. Dia meminta untuk tetap menjaga kesadaranku.

"Tristan! Pakai mobil gue aja," panggil seorang gadis yang tak lain adalah Melody, setelah kami berada di parkiran.

Tubuh ini berguncang keras saat Tristan membopongku sambil berlari menuju mobil Melody. Mungkin saja, berita penyerangan Kak Alfa terhadapku sudah tersebar luas ke penjuru sekolah. Terlebih, beberapa teman satu kelas Tristan tadi memang melihat kejadian itu, sebelum akhirnya mendapat perintah dari laki-laki itu untuk menangkap Kak Alfa. Jadi, tak mengherankan jika secara tiba-tiba Melody datang dan menawarkan bantuan.

Dengan kecepatan agak tinggi Melody mengendarai mobilnya. Sedangkan Tristan yang saat itu menemaniku di jok belakang, terus saja memintaku bertahan dan meyakinkan jika semuanya akan baik-baik saja. Namun, tidak dengan hati ini yang merasa bahwa ajalku tak lama lagi.

Rasa sakit di kepalaku makin tak tertahan. Pusing yang teramat sangat, dan tubuh yang sudah mulai terasa dingin membuat mata ini selalu ingin terpejam.

"Tahan, ya, Zoy ... di depan udah rumah sakit, kok. Lo pasti bisa bertahan," ujar Melody sambil menyetir.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung mendapat penanganan, walaupun aku tak mengetahui apa saja yang telah para dokter dan perawat lakukan untuk menyelamatkan nyawaku. Satu yang kutahu, bahwa saat mata ini kembali terbuka, aku sudah berada di ruang rawat inap, dengan mama yang berada di samping brankar, tempatku terbaring lemah.

Awalnya mama hendak menanyakan semua kejadian yang telah menimpaku. Akan tetapi, rasa pusing yang kembali muncul mengurungkan niat wanita yang telah melahirkanku tersebut.

Beberapa hari aku dirawat, orang tuaku dan juga Tristan tak pernah absen menjagaku. Kecuali Tristan yang meninggalkan ruang rawat inapku saat jam sekolah saja. Selebihnya, laki-laki itu hanya menghabiskan waktunya di ruang berukuran tiga kali tiga dengan bau khas rumah sakit ini.

Ayah dan mama sudah beberapa kali memintanya untuk pulang dan istirahat di rumahnya, tetapi, Tristan selalu menolak. Bahkan, dia juga tak sungkan mengatakan bahwa dirinya menyukaiku di hadapan ayah dan mama.

"Tristan ...," panggilku, dan si pemilik nama menoleh padaku, saat kami sedang mencari udara segar di taman rumah sakit, "gimana perkembangan kasusnya Kak Alfa?"

"Kamu nggak perlu mikirin itu. Semuanya udah beres. Bahkan, semua kasus yang melibatkan Alfa, sudah dilaporkan ke polisi."

"Tapi ... waktu itu, aku belum klik save pengakuan Kak Alfa. Jadi bukti kita lemah. Kecuali, kasus penyerangannya terhadapku."

Selama berada di rumah sakit, kedekatanku dengan Tristan makin intens. Karena hal itulah yang membuatku sungkan untuk menyebut 'gue-lo' lagi padanya. Ya ... aku-kamu sepertinya memang lebih nyaman didengar telinga.

"Aku sudah periksa HP-mu. Dan, rekaman itu ada di sana, jadi sudah aku serahkan ke polisi. Itu menjadi bukti kuat untuk menjebloskan Alfa ke penjara dengan waktu yang lumayan lama. Nggak cuma Alfa. Riana sekarang juga ditahan, karena dia dianggap juga ikut serta dalam kasus pembunuhan Zahwa. Untuk kasus kamu, om dan tante meminta pada polisi untuk memintai keterangan dari kamunya nanti, setelah kamu keluar dari rumah sakit."

"Terus, buku harian itu ...?" tanyaku.

"Diary itu juga udah aku serahkan ke polisi sebagai salah satu bukti juga."

Aku mengangguk paham atas penjelasan Tristan, lalu memintanya untuk mengantarku kembali ke kamar, karena rasanya ingin sekali menonton televisi.

Laki-laki itu pun menuruti permintaanku. Tak hanya itu, dia juga membantuku merapikan selimut, setela aku terbaring dengan memosisikan kepala brankar lebih tinggi, agar lebih leluasa dan tidak lelah saat menonton televisi.

Saat pertama kali televisi itu menyala, bertepatan dengan berita reka adegan kasus pembunuhan Zahwa yang dilakukan Kak Alfa. Tristan pun lantas duduk di sebelahku, menonton bersama cara Kak Alfa menghabisi nyawa gadis itu.

Aku benar-benar terkejut dan tak menyangka dengan cara laki-laki itu membunuh Zahwa. Dia meminta Riana untuk memberikan minuman yang sebelumnya telah dicampur dengan obat yang bisa menghilangkan kesadaran. Obat tersebut didapatkannya dengan cara ilegal di Black Market.

Lalu, setelah Zahwa tak sadarkan diri dan kondisi sekitar mereka aman, mereka menyeret tubuh Zahwa ke kelas yang sekarang menjadi ruang kosong itu, dan menggantungnya di tiang yang melintang di kelas itu.

"Perbuatan mereka benar-benar keji. Aku nggak nyangka dan menyesal sudah pernah percaya sama Kak Alfa," ucapku sambil menangis, membayangkan setiap adegan pembunuhan yang mereka lakukan sambil bersandar di bahu Tristan, karena laki-laki itu telah menarik kepalaku ke bahunya, sejak awal menyadari diri ini sedang menangis saat menonton berita tersebut.

Setelah menonton berita itu, aku seperti melihat sosok seorang gadis yang muncul di dinding kamar rawat inap ini. Gadis itu mengenakan gaun berwarna putih dan tersenyum ke arahku. Lalu, sosok itu tiba-tiba menghilang, dan membuatku terperanjat.

~ TAMAT~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top