Ada yang Berbeda
Saat istirahat sedang berlangsung, May mengajakku ke kantin. Kondisi perut yang terus berbunyi karena aku tak sempat sarapan, membuatku menyetujui ajakan sahabatku itu. Saat di tengah perjalanan menuju kantin, tiba-tiba May menanyakan tentang aku yang menceritakan soal Tristan di telepon.
Aku yang hendak bercerita tentang keraguanku pada laki-laki itu, harus kuurungkan saat mengingat betapa kejamnya Tristan membuat seorang gadis menangis di pagi hari. Benar, itu memang hak Tristan untuk menolak, tetapi caranya yang seolah tak memedulikan perasaan seorang gadis, membuatku merasa kesal dibuatnya.
“Nggak jadi. Sekarang gue yakin kalau Tristan itu emang cowok nggak baik,” ucapku sewot.
May kembali meyakinkanku bahwa Tristan tak seburuk pemikiranku. Bahkan, gadis itu menunjukkan akun sosmed milik Tristan. Di sana, May menunjukkan bahwa Tristan tak mengikuti akun seorang gadis pun. Bahkan, dia memang tak merespons komentar yang dikirim oleh gadis yang mengidolakannya. Hal yang kembali menggoyahkan keyakinanku soal Tristan.
Bahkan, May yang tak sengaja melihat Tristan dan teman-temannya hendak menuju kantin, mencoba memberiku pengertian, bahwa tak mungkin Tristan seorang plauboy, karena dia tak pernah sekali pun bersama dengan seorang gadis.
Aku meralat ucapan May, dan menceritakan apa yang mata dan telinga ini saksikan pagi tadi. Bukannya merespons dengan baik, gadis yang berada di sampingku, justru menertawaiku dengan keras, membuatku heran, lalu menghentikan langkah dengan wajah jutek yang kutunjukkan pada May.
Seolah paham maksud diamku, May juga menghentikan langkahnya, dan berbalik menghadap ke arahku. “Lo coba, deh posisikan ke diri lo sendiri. Misal, ada cowok yang ngejar-ngejar lo. Udah lo tolak, tapi masih aja kekeh minta lo nerima dia. Lo pasti dengan tegas nolak dia, kan?”
Apa yang May katakan memang ada benarnya. Aku pun pasti merasa risih jika ada seseorang yang tak kusukai, tetap menggangguku.
“Yang gue tahu, Tristan itu ya, gitu. Kalau ada cewek yang udah keterlaluan ganggu dia, dia pasti nolak cewek itu dengan tegas. Udah banyak, kok yang begitu,” ungkap May menjelaskan apa yang diketahuinya tentang salah seorang pengurus OSIS itu.
Kembali mengingat semua sikap Tristan, aku benar-benar kembali bingung untuk memercayai keyakinanku pada laki-laki itu. Harus kuakui, hal buruk tentang Tristan yang sudah jelas terlihat di mataku, hanya dua, yaitu saat laki-laki itu membuat gadis lain menangis dan mengedipkan mata di pertemuan pertama kami saat MOS beberapa waktu lalu.
“Hayo, lagi gosipin apa?” terka Kak Alfa yang tiba-tiba muncul dari arah belakang dan langsung merangkul bahuku juga May.
“Haish ... ini orang hobi banget muncul tiba-tiba. Udah sama persis tuh, kaya Mak Lampir itu,” gerutu May yang langsung mendapat tertawaan dari Kak Alfa, dan laki-laki itu juga mendapat sabetan pukulan dari May hingga tangan yang berada di atas pundak May, kini terlepas, menyisakan satu tangan Kak Alfa tetap di pundakku.
“Mak Lampir siapa, coba?” tanya Kak Alfa dengan nada candaan tanpa menghentikan tawa dan melepaskan rangkulannya padaku.
“Ya itu ... si Melody.” Terlihat jelas muka kekesalan May saat menyebut nama Melody, dengan memanyunkan bibirnya.
“Udah, kalian tenang aja, kalau sampai Melody ganggu kalian lagi, biar aku yang akan bales. Sekarang mending kita cari tempat duduk untuk makan. Hari ini, biar aku yang traktir kalian berdua,” tutur Kak Alfa yang kemudian menunjuk sebuah bangku kosong di kantin untuk kami tempati.
“Weh, beneran, nih Kak Alfa mau traktir kami?” Kak Alfa mengangguk sambil mempersilakan kami untuk duduk. “Sepuasnya, nggak?” tanyaku penuh antusias saat sudah duduk cantik di bangku kantin.
Sebuah senggolan dari lengan langsung terasa. “Maruk lo? Eh, iya, sih. Maklumin aja, Kak. Kan anak kos,” ejek May sambil tertawa.
Aku yang merasa kesal akibat ejekan tersebut, langsung berdiri, membuat kedua orang di sebelahku menatapku sambil membuka mulut, seperti orang kaget karena sesuatu. “Mau ngapain, Zoy?” tanya Kak Alfa.
“Mau pesen makan dan bayar sendiri,” ketusku.
May dan Kak Alfa kembali tertawa karena tingkahku. “Dih, gitu doang ngambek. Kaya anak kecil lo, Zoy,” ledek May sambil tertawa.
Aku mendengkus kesal. Membuang wajah dari hadapan kedua makhluk berbeda jenis kelamin yang ada di samping kiri dan kananku.
Kak Alfa kemudian menarik lenganku, memintaku untuk duduk dan berhenti mengambek. Menurutnya, aku akan terlihat jelek dan terlihat seperti anak kecil, jika seperti itu.
“Dahlah, nggak apa. Gue pesen sendiri aja. Mau pilih makanan yang perut gue mau. Kalau udah dapet, nanti tinggal Kak Alfa yang bayarin. Beres, kan?” ucapku dengan nada lesu yang sebenarnya hanya sebuah candaan, dan langsung pergi deretan penjual yang ada di kantin sekolah, berharap akan ada makanan favoritku di salah satu stan makanan itu.
Aku berjalan, memperhatikan setiap menu yang mereka jual. Ada bakso, soto, mi ayam, siomay, batagor, cilok kuah, dan lain-lain. Namun, saat hendak masuk ke stan penjual batagor dan siomay, tanpa sengaja aku menabrak seseorang.
“Sorry. Nggak senga—” Aku tertegun saat mengetahui orang yang kutabrak.
“Nggak pa-pa. Sekarang kita impas, ‘kan? Jadi, kamu nggak perlu menganggapku musuh. Aku pun begitu. Aku minta maaf, kalau di mata kamu, aku selalu salah. Kalau kamu mau beli sesuatu di stan ini, silakan. Duluan aja. Aku bisa nanti aja.”
Untuk kedua kalinya dalam beberapa detik, orang itu membuatku tak bisa berkata apa pun. Nada bicaranya terdengar sangat tulus. Kutatap mata yang baru kusadari ternyata begitu indah, untuk mencari celah kebohongan, tetapi tak sedikit pun tersirat sebuah kebohongan dari pancaran matanya.
Mata dan hati ini masih berusaha menyadarkan diri. Namun, makin menatap matanya, makin terasa keteduhan di hati yang sebelumnya belum pernah kurasakan. Suaranya yang begitu merdu dengan tutur kata yang sangat sopan, seolah berhati-hati saat berbicara padaku, membuatku makin tercengang. Kini aku memahami, bahwa kita memang tak bisa menilai orang hanya dari apa yang mata kita lihat dengan sekilas.
“Ekhm ... sorry ganggu,” tegur Kak Alfa, mengembalikan separuh kesadaran yang entah melayang ke mana.
Tristan benar-benar menghipnotisku kali ini, hingga aku merasa, memang tak mungkin jika laki-laki itu memang jahat dan tega terhadap seorang gadis.
“Ah ... eng-enggak. Nggak ganggu, kok. Ini mau pesen batagor sama siomay. Kak Alfa dan May mau pesen apa? Mau ada pesen sesuatu, kan sama Kakak?” tanyaku dengan cepat seperti mobil tanpa rem.
Setelah semua kesadaranku kembali, aku langsung mencari keberadaan Tristan, yang tanpa sadar telah pergi dari hadapanku, entah sejak kapan.
“Zoy, kamu tadi ngobrol apa sama Tristan?” tanya Kak Alfa yang kembali menunjukkan tatapan kemarahan di matanya.
“Nggak, nggak ngobrol apa-apa. Tadi, kita cuma papasan aja, dan nggak sengaja ketabrak. Terus dia minta maaf,” jawabku yang tak sepenuhnya berbohong.
“Zoya, kamu nggak bisa bohong sama aku. Okelah, kamu boleh dan bebas berteman dengan Tristan, tapi ....” Kak Alfa kemudian memajukan wajahnya mendekat ke telingaku. “Dia yang udah nyebabin Zahwa meninggal. Karena dia udah mainin perasaan Zahwa, akhirnya dia patah hati dan mutusin bunuh diri. Itulah sebabnya, dia nggak pernah terlihat dekat dengan cewek lain, karena dia merasa bersalah,” bisik Kak Alfa.
Namun, entah kenapa, kali ini aku sanksi dengan pernyataan Kak Alfa. Itu membuatku ragu untuk menentukan, siapa yang bisa kupercaya? Jika Tristan berbohong atas sikapnya, mungkinkah dia benar-benar trauma dan merasa bersalah atas apa yang dilakukannya terhadap Zahwa dulu? Akan tetapi, jika Kak Alfa yang berbohong, untuk apa? Apa hubungan Kak Alfa dengan Zahwa atau diary itu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top