Bab Dua Puluh Lima
Kamis
"Pertama, lu ke gudang dan bawa kardus itu. Di tengah jalan, lu ngeliat kardus itu bertambah berat dan mengeluarkan darah. Ada bercak merah juga di jalanan," gumam Dion lalu mengangguk.
"Kedua, Jenna datang dan bilang kalo kardus itu kosong. Saat dibuka, benar-benar kosong. Lu dan Jenna sempat adu mulut. Meski Jenna membalasnya dengan santai," lanjut Dion lalu mengangguk lagi.
"Ketiga, Jenna bilang jika pikiranlu lagi kacau dan berhalusinasi. Ia kemudian bilang kalo elu over-acting. Lalu dia pergi begitu saja."
"Jadi?" tanya Rick.
"Dua poin pertama, gue ngerti," ucap Dion. "Titik masalahnya ada di poin ketiga."
"Kenapa?" tanya Shena penasaran.
"Bagaimana Jenna tahu jika Rick berhalusinasi?"
Shena, Rick, dan Rama saling bertatapan. Mereka tidak menyadari hal tersebut.
"Ini baru namanya Dion!" kata Shena.
"Bisa aja Jenna berpikir begitu karena perkataan Rick tidak masuk akal, kan?" kata Rama.
"Masalahnya, tidak ada sedikit pun hal yang berhubungan dengan halusinasi," jawab Dion lalu berhenti sebentar. "Maksudnya, tidak ada yang mengungkit tentang halusinasi sama sekali."
"Apa dengan kata lain ... Jenna sengaja membuat Rick berhalusinasi?" tebak Shena.
"Itu mungkin," ucap Dion.
"Bagaimana jika Jenna hanya menebak bahwa Rick berhalusinasi?" tanya Rama.
"Gue rasa kemungkinan ia menebak hanya sedikit," jawab Dion. "Ia bisa saja bertanya terlebih dahulu. Tetapi, Jenna langsung menuduh Rick berhalusinasi."
"Benar juga," kata Shena. "Kalo gue dengar orang ngomong yang tidak masuk akal, gue bakal tanya seperti, 'Ngomong apa sih?' atau 'Ngigo ya?'."
"Bagaimana jika ... kita hubungi Kate?" tanya Rama.
***
Setelah jadwal tambahan selesai, Jenna membereskan barang-barangnya. Beberapa buku ia simpan di laci meja. Ia memang malas untuk membawa tas yang berat. Lagipula, prioritasnya di sekolah ini bukanlah belajar.
Jenna melihat jam dinding yang berada di kelas lalu menghela napas. OSIS ada rapat pukul tiga sore. Sedangkan sekarang sudah hampir pukul empat.
Pelajaran tambahan memang menyebalkan. Aku penasaran dengan kabar Rick sedari tadi, batin Jenna.
Jenna pun segera berjalan keluar kelas dan pergi ke Ruang OSIS. Ia melihat melalui kaca—anggota sudah lengkap. Ia penasaran apa yang sudah mereka bicarakan selama ia mengikuti pelajaran tambahan.
Aku bisa memeriksanya lewat komputer, tenang sajalah, batin Jenna.
Jenna membuka pintu perlahan lalu seluruh pasang mata terarah padanya.
"Maaf, gue lama," ucap Jenna.
Rama mengangguk. "Ayo lanjut bahas saksinya."
Rick pun menyalakan laptop. Kali ini tidak dengan proyektor karena orangnya hanya sedikit. Tim penyelidik tidak ikut hadir dalam rapat ini.
"Maaf, Anda ingin menginterogasi saya tentang apa? Saya lupa."
"Tentang kasus pembunuhan massal sepuluh tahun yang lalu. Apa Anda sudah siap untuk memberi kesaksian?"
Alumni itu ber-oh-ria. "Tentu saja saya siap. Lagipula tidak ada hal penting yang bisa saya beritahu."
"Maksud Anda?"
"Kasus pembunuhan, kan? Di sekolah yang penuh pantangan itu?" Ia tertawa.
"Ya ... bisakah Anda memberi kesaksian?"
"Tidak ada pembunuhan. Kepala sekolah mereka licik. Mereka sengaja mengarang kasus itu agar sekolah mereka banyak peminatnya. Sekolah itu sering ada penampakan karena hantu-hantu itu selalu dibicarakan," ucapnya lalu menyeringai.
Anggota OSIS bertukar pandang. Saksi ketiga ini membalikkan kenyataan seluruh saksi sebelumnya.
"Apa kita harus mencari alumni lagi?" tanya Rama. "Tiga saksi, tiga jawaban yang berbeda."
"Lagipula, ketiga kesaksian tersebut tidak berkaitan satu sama lain," kata Shena. "Sebenarnya apa asal-usul sekolah ini?"
"Kenapa gue merasa saksi kali ini tidak berbohong?" Dion menyipitkan matanya.
"Gue juga berpikir begitu," jawab Rama lalu diam sebentar. "... sebelum melihat seringainya."
"Itu seringai puas atau seringai kebohongan?" tanya Shena.
"Hah? Maksudnya?" tanya Rick.
"Seringai puas karena berhasil membongkar rahasia sekolah atau karena ia telah membohongi kita?" lanjut Shena.
"Harusnya kita suruh para saksi untuk bersumpah dulu sebelum memberi kesaksian," kata Rick.
Dion berdeham. "Gue rasa tidak perlu cari alumni lagi. Semuanya sudah jelas."
"Kenapa?" tanya Jenna.
"Coba kalian pikir sendiri," ucap Dion. "Dari ketiga saksi ini, yang mana yang mendukung seluruh yang kita alami selama ini?"
"Ke- ... tiga?" tebak Rama.
"Kita tidak perlu jauh-jauh mencari saksi. Sebenarnya, kita semua yang ada di sini adalah saksi," tambah Dion.
"Saksi pertama juga benar. Ada tanda-tanda bekas kebakaran di langit-langit kelas XB," ucap Jenna.
"Saksi kedua juga benar," kata Shena. "Ada sesuatu di depan Ruang BK, yang disebut mesin penggi--"
"Berisik, Shen," potong Rick.
"Baiklah, kita anggap saja begini," kata Dion. "Semua saksi benar. Tetapi saksi ketiga yang paling mendukung kita."
"Apanya yang mendukung?" tanya Jenna.
"Jujur saja, kalian semua!" ucap Dion setengah berteriak. "Saat kalian menjalani hukuman kemarin, semuanya tidak sesuai legenda, kan?"
Empat anggota yang lain mencoba mengingat kembali apa yang mereka alami hari Selasa.
"IYA!" teriak Rick sambil mengangkat tangan kanannya. "LO BENER!"
"RICK! TURUNKAN TANGANNYA!" teriak Rama panik.
"Kalian tidak menerima resikonya?" tanya Jenna pelan.
Rick menggeleng. "Tidak sama sekali."
"Legenda mana yang lu jalanin, Rick?" tanya Jenna.
"Ketukan bangku," jawab Rick.
"Gue rasa resikonya baru lu terima tadi siang," kata Jenna.
Rick pun melirik tiga anggota yang lain—meminta bantuan untuk menjawab ucapan Jenna. Dion sendiri pura-pura melihat ke arah langit-langit ruangan sambil bersiul. Sedangkan dua anggota sisanya sibuk berbincang.
"Dion? Rama? Shena?" tanya Jenna. "Apa kalian menerima resikonya?"
"Tidak," jawab mereka bertiga.
"Gue kena ..." Jenna menunduk. Kali ini, nada bicaranya terdengar serius dan jujur.
"Kena?" tanya Shena.
"Gue jalanin legenda di toilet sesuai permintaan Shena," jelas Jenna. "Sesuai legenda, gue dengar jeritan wanita. Sangat jelas."
"Apa jeritannya dari mainan? Kalian tahu mainan yang terdapat sensor? Jika kalian melewatinya, maka mainan tersebut akan mengeluarkan suara," ucap Dion.
"Ah! Mainan itu? Di restoran tante gue ada. Kalo ada pelanggan datang, mainan itu mengeluarkan suara 'Hello, Welcome!'," kata Rick. "Waktu pertama kali gue datang, gue hampir terkena serangan jantung."
"Rick, sekarang bukanlah waktu untuk menceritakan tentang urusan pribadi dan jangan mempromosikan restoran tantelu," jawab Rama.
Jenna terdiam sebentar. Apa benar yang dikatakan Dion? Apa suara itu dari mainan? Tetapi, mengapa terdengar sangat jelas dan nyata? Apa ada orang yang menciptakan mainan dengan suara seseram itu?
"Omong-omong, ini pertama kali kita rapat tanpa bahasa formal," ucap Shena. "Omong-omong lagi, Dion, dari mana lu dapat pikiran begitu?"
"Gue buktikan legenda di laboratorium. Memang benar, salah satu tengkoraknya memiliki tekstur yang berbeda. Tetapi, bukan tulang manusia," cerita Dion. "Di tengkoraknya terdapat baut. Tengkorak robot. Karena itulah gue berpikir seluruh legenda di sekolah ini didukung dengan benda semacam itu."
"Robot?" tanya Jenna sedikit terkejut.
Dion mengangguk. "Lu baru tau?"
"Gue baru tau ...." Kali ini Jenna yang mengangguk. Nada suaranya terkesan tak bernyawa.
"Sekarang udah tau, kan?" kata Dion. "Ayo lanjut bahas saksinya."
"Maaf, gue harus pulang sekarang," ucap Jenna lalu membawa seluruh barangnya keluar ruangan.
Anggota yang lain melihat ke arah pintu. Rapat belum selesai. Sedangkan, sang ketua sudah meninggalkan rapat. Kini para anggota tidak tahu harus melakukan apa.
Rama terlihat memainkan ponselnya beberapa menit lalu menatap ke anggota lain. "Ruangan mana yang tidak terdapat CCTV di sekolah ini?"
"Toilet," jawab Rick cepat.
"Kita bahas di cafe saja," usul Shena.
"Oke."
***
Empat anggota OSIS mengambil tempat untuk lima orang di cafe. Mereka sudah memesan makanan dan minuman masing-masing. Rama terlihat menunggu seseorang. Matanya tidak terlepas dari pintu cafe.
"Ayo mulai aja," ucap Shena. "Mau nunggu sampe makanannya jadi?"
Rama menggeleng. "Kita akan mulai ketika orang ini datang."
"Siapa?" tanya Rick.
"Nah, itu dia," ucap Rama masih melihat ke arah pintu.
Di ambang pintu cafe terlihat seorang perempuan yang penampilannya tidak berubah sama sekali sejak dulu.
"Sudah sampai di mana?" tanya perempuan itu—Kate.
=====
19-12-2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top