[Special Chap 2] Gilang: Dua Hari
Tidak ada perasaan yang lebih buruk selain perasaan tidak berdaya.
"Eh? Sudah pingsan? Mudah sekali..."
Di belakang kepalaku terasa kesadaran Eka menjauh. Ya, meski aku tidak sedang melihat ke belakang, napas Eka yang melambat dan teratur, detak jantungnya yang semakin tenang dan bau darahnya yang kuat menguar memberi tahuku informasi ini. Eka pingsan. Aruna keparat di belakangku meminum darahnya.
Sekuat tenaga aku menggenggam pergelangan tangan aruna yang dengan kurang ajarnya menyentuh wajahku. Sayang, dengan kekuatanku sekarang, hanya beberapa tulang yang bisa kupatahkan. Kuayunkan aruna itu melingkar hingga tubuhnya terpental ke belakang. Ia melepaskan wajahku tapi tak lupa meninggalkan oleh-oleh lima torehan dalam di sana.
Aku berbalik cepat dan melihat Eka sudah tidak ada di kursinya. Mengecek ke bawah bus, aruna bernama Emil yang kurang ajar itu menggengga, pergelangan tangan Eka, mengangkat tubuh mungil gadis itu hingga kakinya tak menapak tanah dan mengayun-aynkannya di udara seolah dia sayuran layu. Dengan keadaan hampir tak sadarkan diri seperti sekarang, Eka tidak bisa melawan.
Matanya masih terbuka.
Dia bisa melihatku.
Tidak. Ini bukan saatnya khawatir soal apa dia akan membenciku atau tidak. Itu bisa dipikirkan nanti. Sekarang saatnya—
Tepat ketika aku akan bergerak, Emil menancapkan dua jarinya ke lubang tempat tanda pemberianku berada. Amarah berada di puncak kepalaku saat Emil menyeringai penuh kemenangan. Darah mengalir dari luka terbuka di leher gadis itu. Lagi-lagi darahnya tumpah. Mataku memerhatikan luka di perutnya. Luka yang sama dengan milikku dan memang diakibatkan olehku. Karena tanda perbudakan yang menghubungkan kami. Keparat, lukaku juga belum pulih!
"Ada apa, Elder?" ejeknya. Lidahnya terjulur menghinaku. Sumpah aku akan merusak mulut itu nanti. "Kenapa tidak menyerang kami? Takut aku merobek leher gadis ini?"
Saat itu juga, Emil melepaskan dua jarinya dari leher Eka. Kepala gadis itu lantas ditutup karung. Tubuhku hampir melompat dari bus, menerjangnya, ketika seorang vampir nyaris merenggut jantungku dari belakang. Aku merenggut kepalanya dan melepaskan organ itu dari tubuhnya. Di antara darah yang memancar aku melihat wajah takut semua orang. Jeritan pecah di antara kami saat seorang aruna mengambil seorang bocah dari ibunya. Sang ibu sendiri diseret seorang aruna lain.
Saat aku melihat keluar lagi Emil sudah menghilang. Eka juga sudah tidak ada. Ah bau mereka masih ada. Kalau sekarang kuikuti, pasti masih bisa.
"Ibu!"
Berputar lagi, aku melihat keadaa dalam bus lebih kacau dari sebelumnya. Ibu dari anak yang hendak direnggut oleh aruna itu sudah tergeletak tak bergerak dengan satu aruna menghisap darah dari lehernya. Tujuh aruna yang kesemuanya kuyakin sekelompok dengan Emil sudah ada di dalam bus. Tapi aku tidak melihat keberadaa dua orang yang berlagak seperti pemimpin itu. Jangan bilang mereka ikut kabur bersama Emil tadi.
Argh! Mereka di sini bukan siapa-siapa. Perdagangan manusia sudah biasa di Jakarta. Lima belas orang mati atau menjadi budak bukanlah jumlah besar. Lagipula aku tidak kenal mereka. Eka juga kelihatannya tidak kenal mereka. Aku tidak perlu menyelamatkan mereka. Tidak ada motif bagiku untuk melakukannya.
Tapi apa yang menjerit di dalam dadaku ini?
Sebelum pertanyaan itu terjawab, tahu-tahu tinjuku sudah menembus kepala seorang aruna. Tanganku merasakan dengan jelas denyut kehidupannya yang perlahan sirna. Tubuh itu secara kejam kucampakkan begitu saja ke lantai. Darah merahnya menciprati barang-barang penumpang tapi masa bodo dengan itu.
Bau darah menggodaku dan tanpa aku sadar betul, seteguk cairan merah itu sudah mengalir melewati kerongkonganku. Ah aku meminum darah yang menetes dari tangan. Energi mengalir perlahan di tubuhku bagai percik batu korek api dalam pemantik. Bersamaan dengan energi itu, datang dorongan lebih besar dari dalam, seperti ombak yang menggilas batu karang tanpa ampun, pikiran untuk mendapatkan darah lebih banyak langsung membanjiri setiap sel neuronku.
Tidak. Aku tidak boleh melakukan ini. Tidak selagi aku tahu Eka bahkan tidak minum.
Di dalam mulut, terasa lidah yang kupotong mulai tumbuh lagi. Ah ya, aku belum minum obat penenang untuk dua jam ini. Tubuhku semakin merengek minta diberi makan. Aku sudah diberi stimulus dan siap berburu. Sayangnya hal itu tidak bisa kulakukan sekarang.
Detik berikutnya, kepala dari aruna yang asyik memangsa korban di tempat umum tanpa kenal malu itu sudah tercabut dari leher sang ibu. Sekalian juga dari lehernya. Darah memancar deras ke udara. Sang ibu memelototiku dari lantai. Tidak terbius atau jadi boneka tak berguna. Dia imun rupanya. Sementara sang anak dan aruna yang menggendongnya hanya termangu melihatku.
Aku tahu mencabut-cabuti kepala aruna seperti manusia memanen singkong kedengaran mengerikan, tapi menyerang dan menyasar jantung jauh lebih merepotkan. Belakangan ini aku menyukai serangan efisien, dan jalan yang tersisa selain menyerang jantung adalah memenggal kepala, jadilah aku memilih cara membunuh yang agak kotor begini. Tapi memang apa salahnya?
Kematian ini pantas bagi aruna seperti mereka.
"Kenapa?!" Aruna di hadapanku berteriak frustasi. "Kamu Elder! Kamu seharusnya membantu kami membunuh mereka semua! Kenapa kamu malah membunuh kami?!"
Mulut dan lidahku agak kelu saat digerakkan tapi tetap saja aku ingin bicara. Seringai yang entah seperti apa di mata mereka, tersungging di bibirku. "Tikus yang terpojok mulai mencicit," Tawa keluar dari mulutku. "Elder? Itu hanya julukan yang seenaknya kalian alamatkan padaku. Aku hanya aruna seperti kalian. Lagipula..." Senyumku lenyap. Kupelototi aruna itu dan menikmati setiap detil ketakutan di wajahnya dan kengerian yang kutebarkan di udara, "kalian yang tadi tidak kelihatan hormat apalagi takut padaku. Kenapa sekarang takut?"
Belum sempat percakapan kami berlanjut, seseorang menyerangku dari belakang. Berkat tindakan cerobohku tidak meminum apa-apa selama seminggu ini, refleksku payah. Luka robek di lenganku jadi bayaran yang pas saat tanganku mencengkam dan memecahkan jantungnya di tempat.
Sekarang semua aruna di sana pasang sikap siap menyerang.
Nah, sekarang ke mana gelar elder yang tadi mereka sebut-sebut? Sudah kubilang kan? Gelar Elder hanya sampah. Tidak ada gunanya selain untuk aruna yang haus pujian dan gila hormat.
Beberapa menit kemudian kuhabiskan dengan membabat habis aruna-aruna rendahan ini.
***
Bau Eka menghilang.
Tidak mungkin mereka bisa lari dari penciumanku secepat ini. Baru tiga menit berlalu. Aruna original sekalipun tidak bisa jadi tidak terlacak secepat ini. Jangan-jangan mereka pakai kendaraan? Tidak. Mereka tidak mungkin pakai kendaraan. Untuk apa pakai benda yang bahkan lebuh lambat dari kecepatan kaki?
Tidak. Mereka bukannya cepat. Akulah yang semakin lemah.
"Dia... aruna kan? Kenapa dia nolongin kita?"
"Bukan sembarang aruna. Elder kata mereka."
"Apa kita mau dijadikan barang lelang?"
Suara bisik-bisik itu membuatku melirik ke belakang. Lima belas penumpang yang telah keluar dari bus menatapku takut dan penuh kewaspadaan seolah aku akan menerjang dan mencaploki kepala mereka satu per satu. Menyebalkan memang mengingat apa yang sudah kulakukan untuk mereka, tapi mengingat sejarah panjang antara dua kaum kami, mereka berhak pasang wajah lebih horor dari itu.
Sudahlah. Ada yang lebih penting dari sekadar memikirkan ketakutan segelintir manusia di belakang.
Berpaling, aku meraih ponsel dari saku jaketku. Masih utuh dan menyala. Baguslah. Segera kutekan nomor yang kutuju di sana dan menunggu panggilan diterima.
Telepon di seberang terangkat di dering kedua.
"Katakan alasan yang bagus kenapa aku harus mengangkat telepon dari orang gagu." Suara pria paruh baya bergaung dk seberang sambungan.
"Aku butuh bantuanmu." jawabku tanpa memedulikan lelucon darinya. "Pertama hubungi kepolisian dan keamanan khusus, katakan pada mereka ada lima belas penumpang bus terlantar di jalan lima ratus meter dari terminal kota Bogor. Kedua—
"Hei, hei, hei!" tukasnya galak. "Pelan-pelan! Aku tahu sudah lama kamu tidak menggunakan lidahmu tapi aku repot di sini! Bernapaslah dulu!"
"Bernapas bisa menunggu nanti. Sekarang—
"Biar kutebak... Eka ya?"
Aku diam untuk memberi diriku sendiri ketenangan. Aku lupa betapa pria ini sering memancing kesabaranku hingga di ambang batas.
"Apa ini artinya kamu tidak bisa membatuku, Fei?"
"Jangan marah." guraunya lalu mendesah, menimbulkan dengung statis di sambungan telepon. "Kamu ini benar-benar tidak bisa diajak santai sedikit. Baiklah, kamu butuh apa?"
"Lacak keberadaan aruna original..." Tidak. Nama biasa tidak akan membantu. Ada ratusan nama Emil, Gio, dan Anjas di luar sana, baik milik aruna maupun manusia. Aku tidak punya waktu mengecek satu-satu. Waktuku hanya tiga hari dan terus mundur. Mencari lewat nama sejati mungkin membantu, tapi tidak ada database nama sejati. Ganti rencana.
"Aruna original yang menerobos kota Bogor."
"Kelompok Giovani." Fei menyebut nama yang familiar. "Grup mereka tidak terlacak berapa besarnya lho. Semuanya terdiri dari original."
"Di mana mereka sekarang?"
"Di mana saja di dunia ini." jawab Fei ringan.
Artinya keberadaan paati kelompok itu tidak diketahui.
"Eka berurusan dengan kelompok itu?" tebak Fei dengan intuisi khas informan miliknya. "Dia berurusan dengan kelompok yang cukup gawat. Giovani punya koneksi ke sepuluh dari dua belas pelelangan di Jakarta, belum lagi pelelangan ilegal di kota lain."
"Lacak semuanya. Pelelangan yang akan diadakan tiga hari lagi ada di mana? Persempit wilayahnya—
"Napasmu tidak teratur," tukas Fei dengan nada tajam. "Kenapa tidak datang dulu ke sini dan minum teh?" Nada suaranya berubah santai lagi.
"Aku tidak bercanda, Fei! Cepat cari saja—
"Aku memaksa, Tuan." Lalu sambungan telepon pun ditutup.
Dengan amarah nyaris meledak, aku memasukkan handphone itu kembali kesaku celana. Napas tercekat terdengar di belakang dan aku pun menoleh. Wajah-wajah ketakutan itu tertuju hanya padaku. Beberapa saling berpelukan sambil pasang wajah memohon belas kasihan, beberapa lainnya sudah memegang alat seadanya alias sepatu, ikat pinggang, atau tas sendiri untuk dijadikan senjata. Mata mereka menatapku penuh kengerian, amarah, dan ketakutan di saat yang sama.
Manusia memang makhluk yang tak tahu diuntung.
Andaikan saja bukan untuk Eka, aku tidak akan mau bersusah oayah menolong orang-orang rendahan begini.
"Gue pernah dijarah abis-abisan sama orang yang gue tolong. Dan gue balas dendam sama orang itu. Tau gak? Ternyata dia jarah gue waktu itu buat kasih makan adik-adiknya. Makanya sejak itu, gue nolong semuanya tanpa peduli apa mereka. Soalnya pada dasarnya, Lang, semua makhluk itu punya kebaikan dalam diri mereka."
"Seburuk-buruknya makhluk, mereka juga makhluk penghuni dunia ini. Mereka punya hak hidup, sebusuk apapun bau napas mereka."
Dua orang tolol itu benar-benar membawa pengaruh buruk padaku.
"Kalau lo mendekat selangkah aja, kami nggak akan segan-segan serang lo!" kata seorang pemuda dengan wajah berapi-api.
Wajah pengecut.
Seringai mengejek mengembang di bibirku. "Kalau begitu ke mana kamu sejak tadi? Ke mana kamu saat mereka mulai menyerang orang-orang? Atau kamu memang muncul begitu saja dari udara?" Kata-kata itu sukses membungkam mulutnya.
Celaka. Mataku mulai menatap lehernya.
Baiklah, sebaiknya aku memang pergi ke Jakarta.
***
Sebenarnya aku malas sekali pergi ke kota basis aruna seperti Jakarta. Kalau bukan karena informan brengsek itu menyuruhku ke rumahnya aku tidak akan mau. Itu pun karena dia mengajakku ke rumahnya, bukan ke tempat lain.
Seperti biasa, aku masuk lewat pintu belakang tanpa ketahuan satu pun penjaga keamanan di kantor duta besar yang jadi kediamannya sekarang. Dan seperti biasa pula, Wen, istri informan itu, menyambutku ramah di pintu depan.
"Selamat siang," sapanya ramah. Dulu dia sering kali gugup di hadapanku, tapi sekarang sudah tidak lagi. Sekarang hanya anaknya yang sering ketakutan melihatku, meski aku sama sekali tidak punya niat menakuti.
Baru saja mendapat sambutan ramah, aku mendengar nada 'uhm' panjang dari wanita itu. Ia memerhatikan bajuku yang penuh darah.
"Ceritanya panjang. Mana Fei?"
Mata cemas Wen jatuh kepadaku. "Kamu buru-buru?" Lalu dia melihat jaket kotorku lagi. "Aku tidak menyarankannya."
Sial. Aku mulai menatap leher Wen. Kepalaku mulai pusing. Sangat pusing. "Cepat panggil Fei saja!"
"Baiklah, tunggu di sini." Lalu wanita itu pun masuk ke dalam rumah. Dia masuk dengan tergesa-gesa, dalam kecepatan aruna. Baguslah. Ini tidak akan makan waktu lama. Eka tidak bisa menunggu. Emil dan teman-teman sialannya itu bisa saja sudah melakukan sesuatu ke Eka.
Kalau sampai sesuatu terjadi padanya, aku tidak akan mengampuni mereka. Aku akan... ah sial. Kepalaku sakit sekali. Kerongkonganku seperti terbakar dari dalam dan pandangan mataku terus menerus berganti visi. Sialan, rengekan tubuh ini benar-benar sulit dikendalikan.
"Oi! Hei, bertahanlah!"
Aneh. Seperti ada yang memanggilku dari jauh.
***
Manis.
Ada bau manis masuk ke hidungku.
Segalanya menjadi jelas seterang siang ketika aku membuka mata. Aku bisa melihat laba-laba memintal jaring di sudut ruangan, debu-debu yang beterbangan di dalam kamar, serta beberapa nyamuk yang terbang sangat lambat di dekat wajahku.
Bau manis itu tercium lagi dan aku pun menoleh.
Menatap gelas berisi cairan merah yang diletakkan di atas nakas. Tanpa aku sadari betul, tanganku sudah terulut nyaris menyentuh permukaan gelas kaca itu. Aku mungkin akan langsung meneguk habis isinya jika wajah Eka tidak mendadak muncul di kepalaku. Buru-buru bangun, aku mengabaikan cairan itu dan berlari cepat menuju pintu.
Dinding luas dan langit-langit lorong yang tinggi menyambutku ketika pintu terbuka. Lorong bernuansa krem dan emas ini terlalu familiar di mataku. Dengan cepat aku berbelok ke lorong sebelah kanan.
Semua lorong di rumah Fei memiliki nuansa emas. Hanya warna dominan di tembok yang membedakannya. Tembok lorong sayap barat dicat warna putih, sementara sayap timur dicat warna krem. Warna merah digunakan untuk kamar tuan rumah dan keluarganya, warna kuning digunakan untuk warna kamar tamu. Warna kuning yang sama juga digunakan untuk aula besar dan tempat-tempat lain di rumah setengah gedung ini yang digunakan sebagai tempat pertemuan, baik dengan aruna maupun dengan manusia. Tempat-tempat pribadi dicat dengan warna putih, seperti teras dan balkon. Selain warna, dekorasi yang diletakkan di lorong juga menjadi penanda ada di mana tamu berada.
Meski nyaris tidak sempat, aku memerhatikan beberapa detail di kamar. Tadi aku berada di kamar bercat kuning, langit-langitnya putih. Kasur yang kugunakan berukuran king sized, ukuran yang ada di semua ranjang di gedung ini, lalu lorong di depan kamarku berwarna krem sepanjang dua puluh meter ke kiri dan sepuluh meter di kanan. Guci yang ada di lorongku berwarna biru dan putih, kebanyakan berukiran dewi Yue, dan tanaman yang menghiasinya adalah bambu cendana.
Aku ada di sayap timur, lorong ketiga, lorong yang berada tepat di sebelah ruang kerja Fei.
Keluar dari lorong itu setelah membuat beberapa pekerja dan petugas keamanan terkejut dengan kecepatan yang kugunakan, akhirnya aku sampai di ruang kerja Fei. Ruang itu tertutup pintu kayu jati setinggi tiga meter. Aku mengetuknya tanpa pelan-pelan sama sekali. Inginnya pelan karena ini rumah orang—kedutaan besar tepatnya—dan aku sudah diberikan kamar yang terbaik. Tapi rasa pning di kepala, rasa terbakar di tenggorokan, dan rasa frustasi mendapati Eka masih di luar sana, membuatku sulit untuk tenang.
Ada tiga detak jantung di dalam sana. Detak jantung normal. Bau Fei dan keluarganya. Bagus. Aku tidak perlu mengobrak-abrik salah satu perundingan diplomatis.
Wen membuka pintu itu. Wanita itu tidak berkurang kekhawatirannya melihatku berdiri bagai zombie di ambang pintu ruang kerja suaminya. Wajahnya malah semakin pucat.
"Astaga, sudah kubilang untuk—
"Aku butuh Fei. Segera."
"Biarkan dia masuk, Wen." Suara Fei. Wanita itu, Wen, istri Fei, menyingkir dan membiarkanku masuk.
Fei ada di ruang kerjanya, duduk di balik meja dengan wajah tenang. Mata merah sipitnya menatapku penuh selidik. Senyum tenang terkembang di bibirnya yang lebih tebal dibanding matanya sendiri. Di pangkuannya, Mei menggelayut menyembunyikan wajahnya.
"Aku butuh info tentang—
"Cara terbaik mencari orang hilang adalah dengan kepala dingin, Elder," Fei menukasku tanpa takut. Kalau saja dia bukan informan sekaligus orang yang kupercaya, sudah kupenggal kepalanya.
Dari cara bicara dan logatnya, dia sudah dapat info.
Fei merentangkan tangannya dengan gaya bangsawan mempersilakan tamu untuk duduk. Dia memberiku kursi di depan meja kerjanya. Wen dengan senang hati menarik kursi itu untukku.
Tahu aku tidak akan dapat apa-apa kalau belum menurut, akhirnya dengan berat hati aku duduk di hadapannya.
"Babak belur itu punya dampak yang besar pada kondisi psikis kelihatannya," Fei berbasa-basi, memancing kesabaranku. "Kamu tahu sudah pingsan berapa hari?"
Pertanyaan itu mengguncangku lebih dari yang seharusnya. "Berapa hari?" Hari dan bukannya jam?
"Sudah satu hari penuh. Kalau kamu menghampiri bocah itu dalam keadaan begini kamu hanya akan mengoyak lehernya," lanjut Fei. "Ini hari kedua kamu di sini dan sekarang sudah pukul tiga sore."
Fei menyeruput minumannya yang tercium seperti jus daun panas di hidungku,alih-alih teh herbalnya yang biasa.
"Lelang di Jakarta Barat lumayan ramai. Aku tidak sabar menghadirinya besok," kata Fei tenang. Inilah gayanya. Dia selalu memberi info yang harus dimengerti sendiri oleh kliennya. "Kamu berurusan dengan salah satu kelompok original penyedia barang lelang. Kelompok Gio terkenal sudah menyediakan barang lelang kepada lebih dari empat puluh pelelangan legal dan ilegal di seluruh pulau Jawa dan Bali."
"Di mana gudang penyimpanan mereka?"
"Banyak tempat sepanjang Jawa dan Bali, ada lebih dari yang bisa kamu cari dalam waktu tiga hari. Mereka selalu berpindah dalam pola acak." Fei mengangkat bahu tak acuh. "Kamu bisa mulai satu-satu kalau mau. Aku yakin Eka masih akan segar bugar saat kamu menemuinya nanti."
Aku benar-benar ingin memotong lidah sialan itu.
"Fei, jangan membuat suasana hatinya bertambah buruk." Wen, dengan bijaksana, memecah ketegangan, walaupun menurutku tindakannya agak terlambat. Yah mereka tidak akan jadi suami istri jika tidak punya kesamaan.
Fei tertawa, padahal tadi itu istrinya tidak bermaksud membuat lelucon. "Oh ya, maaf. Otakmu itu agak lamban belakangan ini, jadi sedikit gurauan kupikir akan membantu." Heran, kenapa aku belum pernah mencoba membunuh aruna ini barang sekali. "Hei, kamu ini elder. Bukan kamu mencari, tapi kamulah yang dicari."
"Mereka tidak kelihatan sedang mencariku."
Fei menyeringai. Ia meletakkan tcangkir tehnya. "Yang namanya barang itu, semakin bersih akan semakin bagus harganya. Tapi yang namanya makhluk serakah, pasti mau mencoba memakai barang baru sebelum menyerahkannya ke orang lain kan?"
Mengesampingkan rasa tidak sukaku ketika Eka disamakan dengan barang, aku berujar lagi, "Maksudmu Eka diminum darahnya."
"Kamu dan aku tahu apa arti budak satu-satunya dan betapa tingginya harga mereka jika dijual, terutama yang masih bersih," jelas Fei. "Tapi budak satu-satunya juga sayang untuk diserahkan tanpa kita mencobanya dulu kan?"
"Jadi mereka pasti akan mencariku," simpulku, merasa tenang dan juga tidak tenang di saat bersamaan. Tenang karena aku berhasil mendapat kesimpulan yang ternyata klise sekali, dan tidak tenang karena tahu ada banyak yang ingin meminum darah Eka. "Dengan atau tanpa paksaan."
"Kemungkinan besar dengan paksaan. Kelompok Gio bukan original yang menghormatimu," imbuhnya.
"Hampir tidak ada yang menghormatiku dalam populasi."
"Karena kamu seenaknya membuat tabu dan peraturan, walaupun aku paham kenapa kamu membuat tabu itu." Fei menyesap tehnya lagi hingga habis.
Suara ketukan di pintu ruang kerja Fei membuat kami berdua menoleh ke sana. Fei mempersilakan siapapun yang mengetuk itu untuk masuk, kemudian masuklah seorang pria putih berjas hitam rapi ke dalam ruangan. Aku mengenali pria itu sebagai kepala keamanan di rumah ini. Mata merahnya memandangi kami berdua dengan heran, terutama aku. Pria itu buru-buru membungkuk, tapi aku menghentikannya sebelum dia berlutut.
"Hentikan formalitas itu. Bicara saja dengan Fei dan abaikan aku," ujarku dengan mata terpaku pada secarik kerta di tangan pria itu.
"Baik," Dengan segan, pria itu menghampiri Fei. Dia gugup sekali saat melewatiku tanpa formalitas. Lalu diserahkannya kertas itu kepada Fei.
Pria keturunan Cina itu lantas menyeringai. "Kamu boleh pergi, Tseng," suruhnya pada kepala keamanan itu. Pria itu lantas keluar ruangan. Kali ini ia membungkuk sedikit kepada Fei dan berlutut kepadaku sebelum meninggalkan ruangan dengan tenang.
Fei lantas menyerahkan secarik kertas itu kepadaku. Sejak kertas itu masuk ke dalam ruangan, bau darah menguar kuat, memancingku. Aku meraihnya dan melihat sederet alamat di sana yang ditulis dengan darah.
"Sepertinya aku memang dicari." Aku segera mengantongi alamat itu.
Sebelum aku sempat bergerak, Fei sudah berkata lagi, "Apa tidak apa-apa? Mungkin samaranmu selama ini akan berakhir."
"Aku tidak berniat memperpanjangnya," jawabku seraya bangkit dari kursi. Tubuhku berbalik membelakangi Fei, melepaskan lensa kontak hitam yang selama ini menutupi mataku yang merah darah sepanjang waktu. "Anak itu berusaha lebih sering sekarang dan aku takut kepalanya akan meledak kalau dia terlalu banyak mencoba."
"Setidaknya ganti bajulah dulu atau minum sesuatu. Kamu tidak berniat ini akan jadi pertemuan terakhirmu dengan Eka selamanya kan?" tawar Fei.
"Ini bukan yang terakhir, tapi..." Tanganku terangkat dan berhenti di dagu, "ini akan jadi yang terakhir bagi Gilang sang staff kebersihan akademi." Kemudian tanpa ragu, aku memasukkan tanganku ke mulut.
Dan menarik lidahku dari sana.
Rasa darah yang menjijikkan segera memenuhi mulutku. Rasanya lebih mengerikan dari sakit yang aku alami dari tindakan gilaku ini.
Baik Fei maupun Wen hanya menatapku prihatin. Wen bahkan menggeleng-gelengkan kepala kepadaku seperti berkata bahwa ia tak habis pikir dengan tindakan nekatku yang jelas menyiksa diri sendiri. Biarlah mereka berpikir begitu. Ini jalan yang sudah kuambil. Sepenuhnya ini adalah urusanku.
Kurasa kalau mau mengakhiri semua, harus mulai dari sini. Aku harus datang sebagai Gilang yang diubah menjadi aruna agar ia tidak curiga. Agar aku bisa menikmati kebersamaan terakhir dengannya sebelum berpisah entah untuk berapa lama ke depan.
***
Alamat yang kutuju ternyata adalah bangunan bekas gudang yang ada di wilayah terbengkalai. Sejujurnya aku lebih suka menyebut wilayah terabaikan pascaperang ini sebagai wilayah terlupakan karena wilayah ini sperti dilupakan, tidak pernah disentuh, tidak pernah dilirik. Seperti ingin dilupakan dari benak semua orang. Tidak ada kehidupan di sini selain denyut dari para aruna.
Mataku memicing menatap bangunan persegi setinggi lima meter di hadapanku. Tidak tercium bau darah segar dari dalam sini jadi kemungkinan besar Eka bukan dibawah ke sini. Di udara hanya tercium bau darah kering yang sudah ada di sana kemungkinan selama puluhan tahun. Aku menghitung dua puluh detak jantung ada di dalam gudang.
Ah koreksi.
Dua puluh satu.
"Maaf membuat Anda datang ke tempat ini, Tuan."
Aku berbalik menatap Giovani yang menyeringai padaku, bertingkah seolah dialah yang lebih kuat dan berkedudukan lebih tinggi dariku.
Tanpa banyak bicara, ia berbalik memunggungiku. "Ikut aku."
Aku pun mengikutinya tanpa banyak bicara meninggalkan wilayah terlupakan. Secara wajar, kami melewati wilayah jantung kota yang ramai. Tidak perlu bersembunyi. Hanya aku dan Gio di antara ribuan aruna yang memadati jalan. Kelompoknya yang ada di gudang tadi tidak mengikuti. Mungkin puluhan orang itu bukanlah anggota kelompoknya, atau memang mereka kelompok yang bergerak secara terpisah.
Lewat dari hiruk pikuk kota, kami melewati check point. Aku benci tempat ini. Banyak sekali mata yang memandangku. Kalau di kota kebanyakan sibuk dengan urusan masing-masing namun di sini, ketika semua aruna sedang bosan dalam antrian, keberadaanku jadi sangat jelas. Semua menatapku, gadis-gadis dan para wanita menggodaku dalam berbagai cara dan berbagai kesempatan. Godaan itu mulai datang dari antrian di check point. Semua itu keluar lewat berbagai isyarat mulai dari bisik-bisik hingga yang lebih ekstrim dengan menyapa langsung, pura-pura menyenggolku, atau bahkan sengaja jatuh di hadapanku dengan alasan tersandung. Untuk dua cara ekstrim itu aku mengabaikan mereka dengan cara yang ekstrem pula, dengan mengabaikan terang-terangan, membiarkan mereka menuburk udara kosong dan jatuh secara memalukan di hadapan ratusan pasang mata atau melangkahi mereka yang tergeletak di lantai. Biar saja mereka malu.
Di depanku Gio tersenyum.
Akan kupastikan itu jadi senyumnya yang terakhir.
***
Bangunan itu ternyata bangunan lima lantai yang dari luar seperti bangunan terbengkalai. Sekali lagi kami ada di wilayah terbengkalai, tapi wilayah ini terletak di luar Jakarta, berada di dalam wilayah perbatasan antara Jakarta dan Bekasi. Sangat dekat dengan check point, wilayah aman yang jauh dari jangkauan pihak manapun.
Kenapa? Karena para aruna sadar akan keberadaan tempat ini beserta puluhan manusia di dalamnya tapi tidak akan ada yang cukup peduli untuk menolong, tidak peduli apa manusia di dalam sana budak ataupun non budak. Di lain pihak tidak akan ada manusia yang mampu menyentuh wilayah ini karena zona garis luar Jakarta memanjang dua belas kilometer dari checkpoint, apapun yang terjadi di sini bukanlah wilayah yuridis yang bisa disentuh manusia. Pelanggaran bisa dianggap kriminal dan mengancam perjanjian gencatan senjata.
Tidak ada lagi yang mau memulai perang merah. Seluruh makhluk di dunia ini sudah muak dengan perang. Karena alasan itulah, tempat di dekatcheck point sering kali dijadikan gudang penyimpanan bagi para vendor pelelangan.
Matahari mulai terbenam di ufuk ketika kami berdua sampai di sana. Tidak biasanya, aku tidak butuh berkonsentrasi untuk mengetahui Eka ada di dalam. Mungkin karena tubuhku benar-benar butuh darah sekarang ini. Bau darah Eka meguar kuat sekali dari suatu tempat di dalam bangunan itu. Dalam keadaan segar. Dan sangat banyak.
Membayangkan gadis itu disentuh orang lain membuat amarahku menggelegak.
"Selamat datang di gubuk kami." Gio berbalik dan membungkuk dramatis di hadapanku. Menjijikkan. "Tenang saja. Anda tidak akan melakukan ini secara gratis. Anda berhak mengambil apapun yang anda mau, Tuanku, karena Anda adalah Elder, yang terkuat dari kaum kita."
Apapun huh? Tanpa sadar seringai mengembang di bibirku. Kalau dia bilang begitu, akan kuambil hadiahku lebih dulu.
Dengan cepat aku menerjang leher aruna itu namun dia berkelit dengan mudah. Sial. Meski inderaku berfungsi lebih baik, kecepatanku menurun drastis dari biasanya.
"Wah, wah, wah, liar sekali." ejeknya. "Baiklah, silakan ambil apapun yang ada di dalam. Saya permisi sebentar."
Tidak membiarkannya lari, aku mengejar aruna keparat itu. Gerakan dan kecepatanku kacau akibat didorong rasa haus yang semakin tidak terkendali. Dalam percobaan kedua, sekali lagi aku gagal mencabik lehernya. Tak hanya itu, aku bahkan kehilangan jejak Gio di tengah bangunan yang di mata payahku tanpa konsentrasi cukup tak ubahnya labirin ini.
Bagusnya, aku menemukan lebih banyak aruna di dalam. Mataku tertuju ke leher dan jantung mereka yang berdetak. Taringku memanjang dan semakin berat. Seringai terkembang di bibirku dan yang kulakukan selanjutnya adalah membantai mereka semua tanpa membiarkan mereka bersuara ataupun menyisakan darah di dalam tubuh-tubuh menyedihkan itu.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyelesaikan mereka semua. Darah hanya mengotori bajuku, tidak ada darah di lantai. Sempurna.
Koreksi.
Beberapa lebam mewarnai kulitku. Untungnya tidak ada yang patah. Kalau ada, aku tidak akan punya muka menghadapi Eka nanti.
Hanya saja rasa hausku semakin tidak terkendali. Aku membutuhkannya. Aku menginginkannya. Tidak. Fokus. Tetaplah fokus.
Aku mendongak, menatap seorang anak kecil yang meringkuk di dalam salah satu sel. Dia ketakutan sekali, tubuhnya gemetar hebat, ia meringkuk di sudut ruangan dengan kaki terlipat, air matanya berlinang, ekspresinya menatapku ngeri.
"J-jangan bunuh aku... a-aku mohon..." tangisnya pilu.
Rajin sekali aku melakukannya, walaupun aku tidak akan menampik bahwa tubuhku menjerit ingin mengoyak leher anak itu sekarang juga dan meminum semua darh yang memancar dari tubuhnya ketika kepala itu lepas dari lehernya.
Sial. Taringku semakin panjang.
Berusaha mengalihkan diri, aku merogoh saku jaket dan celana dari mayat-mayat kering di bawah kakiku. Setelah kutemukan handphone yang masih berfungsi, aku segera menekan nomor Fei ke sana. Kuketikkan pesan berisi alamat gedung ini dan informasi bahwa ada banyak manusia yang bukan budak di sini.
Setelah selesai, kucampakkan handphone itu ke dalam sel sang anak kecil. Anak itu memandang bingung handphon yang disodorkan ke dekat kakinya. Matanya berpindah bergantian antara aku dan handphone itu. Kutatap terus gadis itu hingga ia mendekati handphone yang kuberikan secara cuma-cuma tadi.
Bukannya aku mau memastikan dia menghubungi, tapi Eka pasti akan sangat peduli pada orang-orang ini.
Dia akan lebih memprioritaskan orang lain di atas dirinya. Itu sudah mendarah daging dalam kepribadiannya yang sekeras batu itu.
Gadis kecil itu segera meraih handphone yang kuberikan dan menekan-nekan tombol. Dia menjawab panggilan di telepon itu dengan air mata berderai dan suara gemetar. Berulang kali dia mengulang kalimat sama. Aku mendengar detak jantungnya melambat dan napasnya perlahan semakin teratur. Dia tidak berbohong, kemungkinan besar begitu. Kalaupun dia berbohong, dia tidak akan bisa lolos dengan cepat dari sini, akan kupastikan itu.
Setelah meninggalkan gadis itu, aku naik ke lantai berikutnya mengikuti asal bau darah Eka.
"Hargamu bisa jatuh kalu tanda perbudakanmu sudah menyebar sejauh itu. Pertama, semua racun itu harus dibersihkan, lalu..." Ada suara tertangkap telingaku. Asalnya dari satu lantai di atasku, di lantai yang sama dengan asal bau darah Eka.
Aku berhasil mendarat di lantai tiga tanpa suara, melihat seorang pria botak bicara di depan sebuah sel. Raut wajahnya keliatan cabul sekali. Amarahku semakin menjadi saat sadar dia sedang berbicara di depan sel yang kutuju, sel tempat bau darah Eka berasal.
Dia sedang bicara dengan Eka.
Dengan kecepatan maksimal, aku mendarat di belakangnya, menancapkan kelima cakarku ke kulit kepalanya. Seketika ocehan tak berguna dari mulutnya berhenti. Sebelum dia sempat menoleh, kepalanya sudah tertarik lepas dari tubuhnya. Melegakan. Rasanya seperti membuka tutup botol dengan darah merah memancar memenuhi pandanganku.
Ketika tubuh itu jatuh ke lantai dan darah berangsur mereda, tatapan seorang gadis yang tergeletak di lantai menghunjamku. Tubuhnya berbarig tak berdaya di bawah sana. Hanya kepalanya yang menatapku. Mulutnya setengah terbuka tapi tidak ada suara dari sana. Ia masih mengenakan pakaian yang sama di hari Emil membawanya pergi. Yang berbeda hanya pakaian itu sekarang berlumuran darah banyak sekali.
Aku hampir saja tidak sanggup menatap matanya yang memandangku tak percaya.
Apa yang kau lihat dariku sekarang ini Eka? Apa kau sedang melihat monster berwujud manusia? Sorot bersalah dari mata itu menjawab pertanyaanku. Dia merasa bersalah. Benar juga. Aku memanipulasi pikirannya. Ia tidak mungkin mengira aku berbohong.
Dari sorot penuh kasihan itu, ia pasti mengira aku diubah menjadi aruna.
Andai ia tahu betapa salahnya pikiran itu.
"Gilang..." Ketika suara lemah itu memanggi namaku, aku tahu ini adalah akhirnya.
Ini adalah akhir sandiwaraku sebagai Gilang yang bisu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top