[Special Chap 1] Gilang: Mengigau
Sosok kecil itu berada di perpustakaan. Tumben sekali. Biasanya dia akan pergi ke kantin di jam-jam segini untuk merampok setiap nampan prasmanan yang disediakan kantin akademi, tapi sekarang lihatlah dia, meneliti satu rak ke rak yang lain di perpustakaan yang baunya mirip toko buku bekas itu. Seingatku dia bukanlah kutu buku. Hanya sejarah yang menarik minatnya, selain itu tidak ada yang menarik minatnya. Perpustakaan akademi memang kaya akan buku sejarah, tapi dia tidak sedang ada di rak buku sejarah. Ia sedang berdiri di hadapan rak penuh buku-buku biologi.
Apa yang dia cari?
Dari balik bayangan, kuperhatikan sosok mungilnya yang berjalan mencari tanpa tujuan dari satu rak ke rak yang lain. Dia masih tidak berubah. Tidak berubah dalam banyak hal: fisik dan tingkah laku.
Secara fisik, seperti diriku, waktu baginya telah berhenti. Dia sama sekali tidak menua selama lima tahun ini.
Tidak hanya fisik, segalanya tentang dia juga berlum berubah. Seperti sekarang ini, ketika dia nekat belum makan siang, perutnya berbunyi nyaring sekali, lebih berisik dari jam weker Yayan. Kadang aku rindu bunyi nyaring nan sumbang ini.
Ketika berbelok di salah satu rak, mata kami nyaris bertemu dan secara refleks aku bersembunyi. Hanya karena dia tidak menyadariku yang sedari tadi mengamatinya bukan berarti dia buta. Aku tanpa sadar sudah keluar terlalu jauh dari bayangan. Lagi-lagi tubuhku bergerak sendiri ingin menghampirinya.
Ekspresi gadis itu berubah cerah saat menarik satu buku dari raknya. Kuperhatikan judul buku itu: Anatomi dan Fisiologi Aruna.
Tanpa bisa kuhentikan, senyum mengembang di wajahku. Dia masih saja terus mencoba. Benar-benar anak yang susah diatur. Tidak. Seharusnya aku tidak tersenyum. Ini salahku.
Tak tega juga melihatnya terus menerus jadi orang bodoh yang tidak bisa mengingat apa-apa. Tapi untuk sekarang, memang sebaiknya begitu. Setidaknya sedikit lagi. Si sialan itu sudah menemukannya. Tidak lama lagi, manusia-manusia lain pun akan menemukannya. Masa damai palsu ini akan segera berakhir, namun sebelum itu dia harus berbahagia dulu. Dia harus mengisi hari-harinya dengan kegiatan normal anak remaja lain.
"Hei!" Tiba-tiba telingaku dijewer. Untunglah aku tahu siapa yang menarik telingaku, kalau tidak pasti sudah kuhancurkan tangan kurang ajar begini. Kepalaku menengok, berhadapan dengan wajah keriput pak Maman. "Ngapain kamu ngumpet-ngumpet di sini? Sampah di lantai dua kan belum diangkut!"
Oh ya. Tugas yang itu. Pak Maman kelihatannya sudah hampir naik pitam. Pria satu ini senang sekali marah untuk hal remeh-temeh seperti sampah yang belum diurus. Kalau saja aku tidak hormat padanya dan tidak nyaris membuat amarahnya meletus beberapa waktu lalu, sudah pasti aku akan ikut bolos dari tugas ini diam-diam seperti yang biasa dilakukan Yayan di jam makan siang begini.
Dengan menghormat, aku berlalu dari tempat itu dan pergi ke lantai dua akademi, area pembersihanku siang ini.
Keadaanku di sini memang berbeda sekali dengan di luar. Jauh sekali malah, tapi di sini harus kuakui sangat nyaman. Pria tadi, Yayan, bahkan Iwan, menerimaku apa adanya. Mereka tahu apa aku—minus statusku—dan tetap menerimaku sebagai pegawai, bahkan rela datang pagi-pagi buta hanya untuk memberiku celah selama satu menit agar bisa masuk ke akademi ini tanpa muntah-muntah, walaupun sebagai ganti semua kebaikan itu aku harus menceritakan semua detil tujuanku datang ke akademi ini.
Sayangnya kebaikan itu berkurang jauh belakangan ini. Jatah satu menit itu harus dipangkas jadi tiga detik setelah dua belas bocah tengik masuk menyerang akademi. Akibatnya aku harus... berada dalam keadaan sangat menyedihkan lebih sering dari yang pernah kualami.
Untungnya sanksiku hanya di gerbang. Kunciku untuk menghindari seluruh sistem keamanan di sini tidak ikut disita. Kalau tidak memegang kunci serbaguna itu, bisa-bisa sistem keamanan di sini langsung aktif setiap kali aku melewatinya. Bukan berarti ratusan jebakan berlapis itu akan membunuhku di tempat, tapi aku hanya ingin identitasku terjaga dan tidak ada keributan lebih jauh karena ada aruna menyamar sebagai staff kebersihan di akademi.
Ya aku memang tidak mau membebani orang-orang di sini lebih dari ini dan lebih dari itu, aku tidak siap menghadapi Eka sebagai diriku yang asli. Tidak setelah reuni luar biasa mengerikan kami di Jakarta. Baiklah, aku memang keterlaluan di Jakarta. Padahal aku hanya ingin main-main sedikit, tapi ternyata dia serius jadi semakin membenciku.
Tapi kalau dia jadi tidak akan ragu membunuhku bukankah itu bagus? Bukankah dibunuh oleh orang yang kita sayangi demi kebaikan mereka sendiri adalah hal yang bagus?
Bisik-bisik yang mulai terdengar membuatku sadar dari lamunan barusan.
"Eh, ada mang Gilang!"
"OMG, guanteng banget sih tuh orang! Yakin dia cuma kacung di sini? Kok lebih ganteng dari pacar gue sih?"
Apa mereka tidak punya rasa bosan? Mereka sudah mengucapkan hal yang sama berhari-hari!
Selama berjalan ke lantai dua, punggungku bolong-bolong oleh lirikan genit siswi-siswi. Mereka banyak menggodaku dalam berbagai kesempatan dan dalam berbagai bentuk, mulai dari lirikan, senyum centil menjijikkan, hingga datang ke pos satpam dengan alasan curhat ke Yayan tapi ujung-ujungnya aku juga yang ditempeli.
Gadis-gadis yang membosankan.
Perempuan seperti itu sudah sangat banyak stoknya di luar sana dan sangat tidak menarik. Mudah sekali ditebak. Mereka hanya pantas dijadikan boneka pajangan pemanis ruangan.
Hanya ada satu pengecualian. Satu gadis berbeda dari gadis kebanyakan yang menarik perhatianku dan jumlah itu berlum berubah hingga sekarang.
Selesai melakukan pembersihan di lantai dua, aku kembali ke pos satpam. Dalam perjalanan, aku mengambil jalan memutar melewati perpustakaan. Aku bisa apa? Aku ingin sekali melihatnya.
Sudah kuduga dia tertidur di sana.
Segera kuhampiri gadis yang tertidur itu. Sebenarnya dia tidak tertidur. Dia pingsan. Kulepas sarung tanganku yang kotor sebelum meraih buku yang tadi dibacanya. Kutaruh buku itu asal-asalan di dalam rak lalu membangunkan gadis itu.
Andai aku bisa bicara semua ini akan jadi lebih mudah. Andai aku bisa bicara dan langsung memberitahukan semua kepadanya, bebas dan tidak perlu menahan diri lagi, pasti segalanya akan lebih mudah. Ya itu selalu menjadi beban pikiranku selama masuk ke akademi. Tapi kalau aku bicara, dia akan tahu. Kami pernah bertemu di Jakarta dan aku sudah menanamkan imej buruk di kepalanya. Tidak mungkin aku mengungkapkan diriku di sini, bisa-bisa ada adegan berdarah lagi.
Kalau ada darah tumpah lagi karena kecerobohanku, Novia tidak akan memberiku ampun.
Kembali ke usahaku membangunkan gadis ini. Aku hanya bisa memanggil namanya dalam hati samibil mengguncang-guncang pundaknya yang terasa kecil sekali dalam genggaman tanganku.
Sejak dulu kukenal, Eka bukanlah orang yang bisa tidur terlalu lelap. Dia mudah dibangunkan dengan sekali sentuhan ringan macam colekan di pipi. Sekarang pun sama. Dia sudah bangun.
Tapi ada yang aneh. Matanya yang terbuka kelihatan kosong.
"Gilang...?" Jujur, aku masih belum terbiasa dipanggil dengan nama saja seperti itu. Maksudku, Eka sudah lama tidak memanggilku begitu, dan setiap kali dia memanggilku hanya dengan nama saja, ada sesuatu yang... entahlah, nyaris meledak di dalam dadaku.
Menahan diri untuk tetap datar dan tenang, aku menunjuk jam yang melingkar di pergelangan tanganku, berharap dia bisa melihat. Tapi mata anak itu tetap saja kosong terpaku padaku. Jangan bilang... dia mengigau?
"Gilang ngapain di sini?" tanyanya dengan suara parau dan senyum ramah mengembang. Dia benar-benar mengigau.
Untuk beberapa alasan, aku terpaku. Meski dalam keadaan mengigau, aku masih dapat terpukau di bawah tatapan sepasang mata hitam itu. Melihat senyum polos itu, dentaman di dadaku semain kencang.. Senyum itu mirip dengan senyumnya... yang sudah lama tidak kulihat. Senyum yang mustahil kulihat dari Eka jika dia ingat semuanya lagi. Senyum... yang sangat kurindukan.
Semakin sulit berusaha untuk tenang. Kuketuk kaca arlojiku lebih kencang untuk menunjukkan bahwa sekarang sudah jam tiga dan dia sudah membolos satu pelajaran.
"Eh... rambut Gilang berantakan..." Alarm bahaya berbunyi ramai di kepalaku saat kedua tangan mungil Eka terulur tepat ke kepalaku. Tepat sebelum dia menyentuh seujung rambutku, tanganku menghentikannya.
Kehangatan tangan Eka menjalar ke tangan hingga ke seluruh tubuhku, menghisap seluruh tenagaku hingga rasanya kini tak ada pilihan lain bagiku selain pasrah di hadapannya. Rasa lemas itu semakin menjad-jadi saat Eka dengan entangnya menempelkan salah satu tanganku ke pipinya. Senyum lembut merekah di bibirnya.
"Tangan Gilang nyaman..." gumamnya.
Kontak antara tanganku dengan wajahnya memperparah dentaman itu. Rasanya dadaku akan hancur sebentar lagi. Kehangatan dari tangan itu berubah menjadi panas, dan menjadi listrik yang menggerakkan seluruh tubuhku dan memudarkan semua akal sehatku. Segalanya terasa buram dan yang selanjutnya kuingat adalah rasa bibirnya di bibirku.
Dalam keadaan mata terbuka, dia menerimaku. Tidak ada respon darinya. Dia hanya berdiri mematung di sana, menerima semuanya. Dia masih di alam bawah sadar. Pelan-pelan aku melumatnya, menjaga agar dia tetap di alam bawah sadar. Dengan gerakan lembut, aku menyapu bibirnya dengan ciuman ringan. Sebagai akibat kontak kami, perlahan, taringku semakin panjang. Aku menemukan nadi yang berdenyut lemah di permukaan bibirnya yang ranum. Tanpa sadar tanganku meraih belakang kepalanya, mengambil segenggam rambutnya, memperdalam kontak kami dan rasa manis itu menyusup ke tenggorokanku.
Taringku menggores bibirnya. Seharusnya aku menjauh. Menarik diri. Tapi yang kulakukan malah sebaliknya. Aku malah semakin liar. Pengendalian diriku semakin rapuh.
Rasa manis itu terlalu sedikit. Aku ingin lebih banyak. Lagi.
Eka mengeluarkan suara aneh seperti suara terganggu dan tubuhnya jadi sedikit tegang. Energi kembali ke tubuhnya. Ketika aku membuka mata, kesadaran perlahan kembali ke mata itu.
Gawat.
Tanpa pikir panjang, aku membuang muka dan kabur dari ruangan itu secepatnya. Aku baru sadar setelah aku keluar, bahwa aku tadi juga membuang kepala Eka. Di samping ruang perpustakaan aku hendak berhent, kalau saja Yayan tidak sedang duduk di sana juga.
Aku tidak merasakan kehadirannya. Sejak kapan anak itu di sini? Apa dia melihat semuanya?
Tangan pemuda itu asyik menekan-nekan tombol handphone miliknya. "Video porno di sekolah paling hot, penjaga sekolah cium anak murid. Oke, kirim ke pak Maman."
APA?!
Dengan kecepatan maksimal, aku merebut benda itu dari Yayan, tapi sialnya anak itu hari ini tangannya cepat sekali. Sialan. Memang kalau soal seperti ini, dia selalu cepat, bahkan lebih cepat dari para pasukan Keamanan Khusus.
Yayan berdecak dengan wajah menyebalkan. Pemuda itu sudah mengantisipasi seranganku berikutnya dengan mengambil jarak agak jauh. "Adududuh, penjaga sekolah satu ini... bukannya udah dibilang sama pak Maman, maksimal pelukan? Yang waktu itu aja dapat teguran keras apalagi yang ini."
Apa-apaan itu? Dia sendiri juga suka merayu siswi di sini!
"Yah gue sih orangnya fleksibel, tapi... situ kan nyerangnya sambil tidur sih ya?" pancingnya. "Jadi nggak ada pilihan lain selain ngadu sama pak Maman nih." Atau dengan kata lain, dia memerasku untuk mentraktirnya nasi goreng gila langganannya yang biasa berjualan di dekat sini nanti malam.
Melihat dia sedang lengah, aku bergerak cepat dan berhasil merebut handphone itu. Secepat yang aku bisa, aku berlari sejauh mungkin, mengabaikan teriakan histeris Yayan di belakangku.
Baiklah cepat hapus. Semoga belum benar-benar terkirim ke nomor Maman. Semoga. Semoga.
"Woi, Bebeb gue mau lo apain?!" Di belakangku, Yayan sudah mengejar dengan kecepatan banteng mengamuk.
Karena terlalu kaget dengan kecepatan Yayan saat berlari dan berusaha mencerna panggilan aneh macam apa tadi yang dia gunakan untuk benda seluler ini, aku lupa menekan tombol merah di dalam saku celanaku. Tombol merah untuk menon aktifkan sistem keamanan.
Akibatnya, ribuan panah hematit sebesar jarum jahit meluncur tepat ke arahku dalam kecepatan tinggi. Nyaris tanpa suara.
***
Catatan Pengarang:
Nah, kira-kira itulah yang terjadi saat Eka tertidur. Kenapa bibir Eka basah ternyata bukan iler dan kenapa bibirnya berdarah ternyata bukan karena tergigit, well... bukan oleh dirinya sendiri setidaknya.
Ternyata Gilang itu tipe yang suka menyerang saat korbannya tidur ya, waktu itu dipeluk, sekarang... #eeeh. Eka hati-hati ya, cari tempat buat tidur yang jauh dari Gilang, oke?
Baiklah, saya tinggal utang satu special chapter dan satu fun fact lagi. Doakan semoga bisa cepat update sehingga Blood and Faith bisa cepat publish juga ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top