[Cuplikan Bab 3]
Sumpah, dia adalah petugas kebersihan paling tampan yang pernah aku temui.
Perawakannya selayaknya pemuda yang baru menginjak pertengahan dua puluhan, dengan tubuh yang tinggi dan proporsional dan wajah yang tampan—sangat tampan: wajah melayu yang dibalut tulang rahang tegas, alis hitam dengan sorot mata sayu yang tampak tajam sekaligus lembut, bibir yang penuh, dan tangan besar dan aku yakin itu bukan karena sekadar kerja kasar.
Hah?! Apa yang baru saja aku pikirkan?!
Setelah sadar dari momen tolol itu, aku bersiap untuk melompat: “Minggir, saya pinjam gerbangnya dul—Aww!”
Ucapan terima kasihku yang luar biasa murah hati itu terganggu oleh timpukan di belakang kepala. Di dekat kaki, sebuah stampel hitam menggelinding. Tiba-tiba seseorang merenggut tanganku yang dengan tololnya masih membeku di atas pagar gerbang. Di bawah, Pak Darius tampak marah besar. Sementara Petugas kebersihan itu diam-diam melangkah menjauh. Astaga, tampangnya saja yang tampan, tapi mentalnya pengecut!
“Eka!” Pak Darius kembali menegur, menyadarkan lamunanku. “Turun!”
Sial. Aku tertangkap basah! Dan sialnya lagi, Pak Darius datang bersama para guru!
***
Akibat dari tindakanku tadi sangat jelas. Ya, Pak Darius jadi mengantarku langsung ke depan gedung asrama putri dan tidak membiarkanku lepas dari pandangannya sedetik pun. Beliau baru berhenti ketika kami tepat sampai di gedung asrama putri. Tepat di depan wanita paruh baya yang aku rasa adalah ibu asrama.
“Setelah bertemu teman sekamar kamu, keluarlah lagi.” Pak Darius berpesan.
Aku memberengut kesal. “Bapak mau nunggu di sini sampai saya keluar lagi?”
Pak Darius bergeming. “Asal bisa mencegah satu lagi bencana, ya.”
“Pak,” ujarku kesal. “Saya bukannya mau bakar satu asrama.”
“Belum.” Ish, sebegitu kecilnya kah rasa percaya orang tua ini pada anaknya? “Ini tindakan pencegahan. Saya perlu tahu harus minta maaf ke siapa saat kamu bikin masalah nanti.”
Aku hanya bisa mendebas kesal dan masuk ke gedung asrama putih dua lantai itu.
Sama seperti bagian luarnya, bagian dalam gedung pun dicat putih. Tidak banyak noda, kotoran, atau cat tembok yang terkelupas di dindingnya. Di lantai satu, ada ruang berkumpul yang tentu saja sekarang ramai oleh anak-anak yang berkutat dengan ponsel mereka, sibuk menelepon orang-orang terdekat untuk memberi kabar.
Sayangnya, suasana berubah saat mereka menangkap sosokku melangkah masuk ke dalam asrama. Semua orang langsung pucat pasi.
Aku mengencangkan tali tudung jaket, berharap setidaknya tanda di leher ini bisa tertutup. Tapi memangnya siapa yang aku bohongi? Tanda ini sudah menjalar dan terlalu jelas untuk bisa sekadar ditutupi oleh riasan ataupun pakaian.
“Bagaimana bisa—jadi rumor itu benar? Tahun ini sekolah menerima Budak?”
Tanpa banyak peduli, aku melengos saja ke lorong yang membentang di belakang ruang kumpul. Koridor kamar membentang berisi setidaknya dua belas pintu di masing-masing kanan dan kiri. Aku langsung mencari-cari namaku dan rupanya ketemu. Ada di kamar paling ujung sebelah kiri. Dekat dengan jendela di ujung koridor. Namaku terpasang di kolom nama penghuni yang ditempatkan di depan pintu.
Kulihat ada tiga nama di sana.
Eka Safitri
Ratna Kusuma
Aldifa Widya
Aku mengerutkan kening. Rupanya aku punya teman sekamar?
Ah, berani taruhan seluruh isi dompet, ini tidak akan bertahan lama.
Dengan tidak minat, aku pun membuka pintu, sudah siap akan mendapat tatapan sinis lainnya dari penghuni yang sampai pertama kali di kamar.
Namun saat memasuki kamar, dugaanku itu segera terbantahkan.
“Hai.” Sang penghuni kamar yang sudah lebih dulu sampai, duduk menyamping di meja belajar satu-satunya yang ada di ruangan itu. Saat ia sadar kehadiranku, dengan mudahnya melambaikan tangan dan tersenyum. “Di kamar ini juga, ya? Salam kenal!”
***
Bahkan dalam standarku, gadis ini termasuk sangat cantik. Wajahnya tampak putih mulus, tanpa bekas luka, tanpa jerawat seperti para remaja umumnya, belum lagi ia berhias senyum ramah yang aku yakin jika digunakan dengan tepat, dapat mencuri hati siapa pun.
“Hai.” Oke, jangan salahkan aku jika kikuk! Disapa dengan senyum dan “hai” itu tidak pernah ada dalam riwayat hidupku selama lima tahun ini! “Lo di kamar ini juga?”
Kemudian aku teringat memang ada nama lain di depan pintu tadi. Jadi dia salah satu teman sekamarku selama … entah sampai kapan?
“Benar, aku Ratna. Nama kamu siapa?” Gadis bernama Ratna itu bertanya. Sementara ia menyapa, mataku tertuju pada sikap duduk Ratna yang estetik: kedua tangannya ada di atas paha dan kedua kakinya rapat. Sekilas dilihat, aku jadi berpikir, mungkin seperti inilah tampak gadis-gadis bangsawan Jawa jika mereka masih ada.
“Eka,” sahutku setelah entah berapa lama melongo. “Gue juga penghuni kamar ini.”
“Wah!” Ratna bertepuk tangan satu kali. “Kalau begitu tinggal satu orang lagi yang belum datang, ya?”
Aku terdiam menyaksikan antusiasmenya dengan heran. Sangat heran.
“Oh, iya.” Ratna berdiri dari bangku belajar itu dan menunjuk kasur yang sudah ada satu koper. Tepat di seberang kasur yang masih kosong. “Aku tidur di bawah sini, kamu mau tidur di mana?”
Mendengar pertanyaan itu, barulah aku memerhatikan ruangan yang akan jadi tempat tinggalku. Ruangan bercat putih itu hanya berisi dua kasur tingkat. Artinya seharusnya ada empat orang di kamar ini, tapi di daftar nama, hanya ada tiga orang di sini. Entah apa yang terjadi dengan orang keempat, aku tidak mau tahu. Ada satu meja belajar di tengah-tengah kasur yang sepertinya memang harus digunakan bergantian, ada satu lampu tidur, satu lemari, dan tentu saja, tidak ada kamar mandi di dalam sini.
Aku mengarahkan koper ke ranjang di seberang Ratna. Ranjang tingkat yang masih kosong.
“Ah, kamu mau di situ?”
Aku memandang gadis di sebelahku ini dengan aneh. Tanganku meraba sisi leher sebelah kanan. Jika di ruang kumpul tadi saja melihatnya, tidak mungkin gadis ini juga tidak menyadarinya, kan? Kalau begitu kenapa gadis ini bersikap … begini?
“Lo nggak … takut?”
“Kenapa aku harus takut?” Ia malah bertanya balik. “Sama siapa aku harus takut?”
Gadis ini kok terasa agak gawat, ya?
Tanpa malu, aku menunjuk diri sendiri.
Lebih aneh lagi, Ratna malah tergelak. “Ya ampun, kamu itu lucu, deh! Baru pertama ketemu dan udah bikin aku ketawa!”
Lucu dari mana?
“Ngapain juga aku takut sama kamu?”
Aku pun menghadap Ratna sepenuhnya, memperlihatkan tanda budak yang ada di sisi kanan leherku.
Berbeda dari sebelumnya, sekarang Ratna tampak paham. Senyumnya berubah hangat. “Oh, soal itu. Nggak, aku nggak takut, kok.”
HAH?! Gadis macam apa dia ini? “Kita akan tinggal sekamar lama banget, lho!”
“Ya?” Ratna menjawab dengan ringan. “Dan ada masalah soal itu?”
Astaga. “Gue mungkin aja udah ditanami perintah untuk bunuh orang-orang di asrama ini.”
Ratna mengerjap bingung. “Tapi itu belum kebukti, kan?”
Aku mengernyit heran. “Lo yakin nggak ada baut di kepala lo yang lepas?”
Senyum Ratna sedikit berubah. Senyumnya agak dingin. Kedua kakiku langsung tegang. Namun dengan cepat, senyum dingin itu sirna.
“Aku udah biasa kok, tinggal sama Budak,” ujarnya. “Orang tuaku punya panti asuhan untuk korban-korban Aruna.”
Kerutan di dahiku semakin dalam. “Ada pekerjaan kayak gitu?”
Sekarang gantian Ratna yang melongo. “Kamu nggak tau?”
Oh, sial, apa aku tidak sengaja membuat diri sendiri tampak cupu?
Untungnya, Ratna tidak tampak mempermasalahkan itu. “Seperti yayasan Tunas Bangsa yang menaungi sekolah ini, orang tuaku juga pemilik yayasan, walau jauh lebih kecil,” terangnya. “Yayasan kami ada untuk merawat orang-orang yang menjadi korban Aruna di luar kehendak mereka. Kami menaungi mereka, merawat, dan memastikan para korban Aruna dapat penghidupan layak setelah lulus dari lembaga sosial kami.”
“Dan … Basis Manusia menerima lembaga kayak gitu?”
Ratna mengerjap lagi. “Aku tinggal di luar Basis Manusia, kok.”
EH?
Ini sulit dipercaya! Ada orang lain yang tinggal di Basis Aruna selain keluargaku? Bersama sebuah yayasan yang merawat Budak yang menyimpan bahaya laten, bersedia tinggal di hutan, di bawah ancaman Aruna buas dan mungkin Budak yang sudah diperintah oleh majikan mereka dan bisa membunuh kapan saja?
Oke mungkin populasi orang gila di negara ini jauh lebih banyak dari dugaanku.
Mungkin menyadari tampangku yang mungkin blo’on abis, Ratna menambahkan:
“Nggak jauh-jauh amat, kok dari pintu gerbang,” tambahnya. “Kamu juga tinggal di luar Basis?”
“Udah jelas, kan?”
Ratna justru bertepuk tangan girang. “Wah! semoga kita bisa akrab buat seterusnya, ya!”
Tidak, gadis ini aneh! Super duper aneh! Aku tidak mau dekat-dekat dengannya! Bukan maksudnya aku ini masokis yang lebih memilih ditatapi sinis oleh sekitar, tapi jika lawanku adalah gadis yang sebegini ramahnya, aku berhak untuk menjaga jarak! Kalau tahu-tahu dia bekerja sama dengan sebuah Lembaga Penyalur dan sedang mencari korban, mati aku!
“Gue keluar dulu.” Aku segera menaruh koper sejauh mungkin dari gadis itu. “Bokap gue masih nunggu di luar.”
“Ah, oke,” Ratna sekali lagi melambaikan tangan. “Hati-hati ya!”
***
YAP, INTIP BAB SELESAI DI SINI!
Nah, gimana sedikit cuplikannya?☺️
Berbeda dari yang kalian bayangkan?
Apa dugaan kalian akan terjadi di versi buku yang tidak ada dan tidak terjelaskan di versi Wattpad?
Nantikan di buku cetaknya ya ☺️👌
Jangan lewatkan preordernya yang masih berlangsung dan see you di kisah Eka yang lain 💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top