[Cuplikan Bab 2]
~ Enam bulan sebelumnya
Terkekang itu super menjengkelkan.
Bukan sekadar terkekang dalam artian kau tidak bisa berbuat apa-apa karena orang tua angkat dan kakakmu begitu protektif (Padahal mereka sendiri yang memilih tinggal di luar Basis Manusia!) tapi terkekang secara harfiah.
Dalam kasusku, belenggu itu berbentuk sebuah tanda di sisi kanan leher. Bentuknya seram, seakan ada akar hitam ditanam di bawah kulit, menghitam sepanjang pembuluh arteri dan akan terus menyebar jika racun Aruna yang mengendap di tubuhmu semakin banyak.
Bagi sebagian besar orang, tanda ini memang sangat mengerikan, baik bentuk maupun makna di baliknya. Aku segera menutup tanda itu dengan tudung jaket. Pintu kamarku lantas diketuk.
“Udah siap belum?” Terdengar suara Kak Yuda memanggil dari sisi lain pintu.
“Gue masih mikir ini ide konyol.” Aku meraih ransel dan membuka pintu pintu, berhadapan dengan pemuda yang dengan songong dan santai berdiri di baliknya.
Kak Yuda tersenyum, lalu memukul kepalaku pelan. “Kalau gak yakin bisa bujuk, well, lo harus pasrah aja, Dik.”
Mendengar nasihatnya yang tidak berguna sama sekali, aku pun menggerutu sepanjang jalan. Apalagi karena ini adalah kali pertama aku memakai rok! Ugh, rasanya seperti tidak mengenakan apa pun!
Di depan pintu rumah, Pak Darius sudah menunggu. Pria yang menjadi ayah angkatku itu sejak lima tahun lalu itu adalah tipikal pria di umur mereka yang menginjak pertengahan lima puluh tahun: wajah keriput, rambut yang kelabu saking banyaknya uban, dan wajah yang senantiasa bete seolah beban hidupnya tidak habis-habis.
Tapi untuk ukuran orang yang sudah separuh abad, tubuh Pak Darius jelas masuk ukuran luar biasa fit. Punggungnya masih tegap dan ototnya masih kencang. Aku sering melihat beliau mengangkat sofa dan lemari kayu saat kami bersih-bersih rumah. Dan tidak pernah satu kali pun aku melihat beliau kehabisan napas.
Fenomena endurance yang tinggi memang bukan sesuatu yang luar biasa untukku yang seorang Budak atau kak Yuda yang sudah menjadi Aruna sejak lima tahun lalu, tapi Pak Darius ini manusia. Itu sudah masuk kategori luar biasa.
Terlalu terlarut dalam pikiran membuatku tidak sadar kalau mata kelabu pak Darius menatapku satu detik lebih lama dari biasanya.
“Ada apaan, Pak?” Aku jadi mengamati penampilanku sendiri. “Saya salah kostum?”
Pak Darius mendebas pelan. “Nggak ada apa-apa. Ayo, cepat berangkat.”
Kemudian Kak Yuda datang dan menepuk pundakku. “Nggak usah tegang! Nggak bakal ada yang berani cari masalah sama lo. Tampang lo yang kayak residivis gini, kok.”
Kakak sialan.
Tanpa pikir panjang, aku langsung mendorongnya ke depan karena kesal. Tepat ke petak sinar matahari yang condong ke teras.
Kaki telanjang kak Yuda terpapar sinar matahari dan langsung terbakar. Kulitnya melepuh seperti kulit Manusia yang terkena air panas. Kakak lelakiku itu mengaduh pelan, lalu segera kembali ke dalam pelukan bayangan yang teduh.
“Ish, lo kalau punya dendam, balesnya nanti-nanti aja atau pakai cara lain gitu!” Ia membalas dengan enteng. Tidak tampak sakit hati sama sekali.
“M-makanya jangan nantangin gue pagi-pagi!” Aku mendengkus, berhasil menyembunyikan rasa bersalah. “Jagain rumah yang becus. Jangan sampe pas gue pulang, ada barang gue yang ilang!”
“Nggak jamin.” Kak Yuda menyahut dengan cuek. “Soalnya gue nggak dibayar!”
Aku ingin menyahutinya, tapi di depan sana, Pak Darius sudah kelihatan hampir meledak. Akhirnya, aku pun melangkah masuk ke dalam mobil bak terbuka itu dan duduk tepat di sebelah kursi sopir, di samping pak Darius.
Mobil menyala lancar dan kemudian kami pun melaju ke tembok monolith hitam setinggi lima puluh meter di depan sana.
Tembok perak hitam, julukannya. Tembok dari bijih besi hematit—turunan bijih besi hematit yang bermutasi—dan perak padat setebal lebih dari tiga puluh meter untuk melindungi tempat lima puluh ribu jiwa penduduk kota Bogor.
***
Sekolah, bagi seorang Budak adalah sia-sia.
Tidak akan ada yang mau menerima kami di dalam tembok Manusia. Tidak ada pula kota yang mau membiarkan orang sinting yang menghabiskan hidupnya di luar tembok seperti ayah angkatku masuk Basis Manusia.
Maka dari itu, tidak heran, petugas Komite Keamanan Khusus yang berjaga di pintu checkpoint basis Manusia kota Bogor tidak begitu senang melihat kami datang. Sebuah mobil sipil tanpa simbol elang Komite Keamanan Khusus, berjalan masuk dari hutan di luar basis Manusia: tempat yang seharusnya paling dihindari karena banyaknya Aruna berkeliaran di luar sana.
Tentunya mereka tidak memikirkan hal baik saat melihat kami.
Pak Darius menyodorkan tangannya di mesin pemeriksa PL—Pseudoleukosit— lalu lampu berkedip hijau. Tidak ada kandungan PL di dalam darah pak Darius. Beliau terbukti Manusia. Sementara untukku, ketika tanganku masuk mesin pemindai. Lampu berkedip jingga.
Dua senjata langsung ditodongkan di kepalaku.
“Mohon serahkan berkas sponsor.” Petugas di sebelah Pak Darius berkata. Dan ayahku mengikutinya. Dia menyerahkan berkas dan kartu sponsor atas diriku.
Berkas-berkas itu dipindai keabsahannya. Tidak lama, lampu hijau dari tempat pemeriksaan berkas menyala. Barcode di berkas itu valid. Kemudian kartu paspor perjalananku ditandai. Kami sudah resmi checkin. Waktu untukku telah dihitung mundur.
“Anda boleh masuk.”
Senjata pun kembali diturunkan. Tapi Ayahku lalu memberikan berkas tambahan. Sebuah amplop berlambang yayasan tempatku akan bersekolah. “Anak ini baru masuk SMA.”
Dari balik helm-helm hitam para petugas Komite, aku bisa mendengar kekeh tawa mengejek. Yah, bahkan di telingaku sendiri ide itu terlampau konyol, tidak peduli meski pada kenyataannya, memang ada sekolah dalam naungan sebuah yayasan non profit di dalam kota Bogor yang menaungi pendidikan setara bagi Budak yang selama ini didiskreditkan.
***
Basis Manusia jelas jauh lebih ramai dari rumah sepetak kami di tengah hutan. Ada jauh lebih banyak rumah. Dan ketika aku bilang jauh lebih banyak, artinya ada sekitar seribu lebih rumah yang ada di dalam sini dengan ribuan Manusia di dalamnya. Terlindung aman dari ancaman Aruna di luar tembok.
Beberapa Manusia itu cukup jeli melihat ke dalam kaca mobil ini dan melihat gelang yang mengikat tanganku. Pandangan mereka seketika berubah sinis dan mengikuti ke mana pun mobil kami berjalan. Mereka lantas mengacungkan jari tengah dan melemparkan kerikil ke badan mobil.
Ayah angkatku tidak banyak ambil pusing soal ini. Tapi aku jelas perkara lain.
“Udah saya bilang, ini ide buruk, Pak.”
Mood-ku yang keburu hancur karena sambutan “hangat” ini membuatku tidak terpesona lagi dengan pemandangan kota. Setelah melihat dan menerima semua reaksi orang-orang dari balik kaca mobil yang menuruti peraturan untuk tidak ditutupi lapisan film, aku jadi muak sendiri.
“Ide yang buruk adalah biarin kamu berkeliaran tanpa sponsor di dalam Basis.”
“Buset, Pak!” Aku menyembur tak terkendali, tapi langsung berdeham saat Pak Darius memelototi. “Parah amat, Pak, saya bukan residivis baru keluar penjara!”
“Katakan itu di lain kesempatan, mungkin akan ada yang percaya.”
Kata-kata itu membuatku semakin bete. “Emangnya kenapa, sih, saya harus sekolah, Pak?” Aku bersedekap di kursi tengah. “Saya nggak butuh baca buku buat bunuh Aruna. Dan Komite nerima kejar paket C.”
“Dan membuang kesempatan untuk melewatkan masa remaja?”
“Saya bukan remaja normal.” Aku melirik ke jendela dengan muram.
“Kamu tidak bisa menentukan asal kehidupanmu.” Aku melongo kaget. Apa Pak Darius kesambet setan hutan? Kenapa bisa tiba-tiba bijak? “Tapi kamu bisa pilih jalan hidupmu, kan?”
“Dan saya pilih untuk jadi bebas aja.” Balas dendamku tidak perlu kekang lagi lebih dari tanda kepemilikan di leher ini. “Daripada buang-buang waktu enam bulan di asrama yang udah pasti bakalan nolak saya, mendingan juga saya latihan berpedang atau—
“Nilai meditasi kamu nol besar,”
“Siapa yang tahan disuruh duduk-duduk bengong sambil merem?”
Pak Darius hanya mendebas. “Kamu masih butuh banyak belajar, dan dunia luar jelas menjanjikan pengalaman jauh lebih baik buatmu daripada sekadar di rumah.”
“Tapi dunia luarnya nggak di Basis Manusia juga!” sahutku masih tidak mau kalah. “Lepasin saya di hutan sepuluh hari dan biarin saya survive sambil berburu Aruna! Itu jauh lebih berguna buat melatih saya, kan?”
“Kalau saya lepas kamu ke hutan, itu namanya bukan pelajaran, besoknya kamu pasti pulang.” Pak Darius menyahut dengan nada super enteng. “Kalau kamu interaksi sama Manusia kayak begini, itu baru namanya pelajaran.”
Aku mendengkus. “Ya, belajar sabar.”
***
Dan dugaanku memang terbukti nyata.
Sesampainya di sebuah tanah luas dengan empat bangunan yang berdiri kokoh di empat penjuru mata angin, aku harus menahan keinginan mencopot mata semua orang yang sedari tadi melirikku sinis dan berbisik-bisik di dekatku. Mereka pikir aku tidak sadar?!
“Nggak perlu dipusingkan.” Pak Darius berjalan di sisiku. “Kamu bersama sponsor sekarang.”
“Ya, buat hari ini,” ujarku. “Besok dan seterusnya, saya harus hadapin ini sendiri.”
Kami berdua melangkah masuk melalui gerbang utama yang padat. Aku memerhatikan dua pilar raksasa tempat gerbang berada lalu mendongak ke papan nama sekolah yang dipasang melengkung dan disokong oleh sejenis gapura.
SMA Tunas Bangsa.
Sekolah yang akan aku tempati entah sampai berapa tahun ke depan. Sementara aku bersungut-sungut kesal dalam hati, mataku menangkap ada lampu detektor di dekat lampu yang terlihat aneh. Bentuk lampunya bundar seperti kamera pengawas.
Ah, tentu. Mesin detektor PL yang disamarkan menjadi pintu gerbang. Aku hanya kaget, tidak ada alarm yang menjerit-jerit saat aku masuk.
“Respirator penuh?”
“Ya.”
“Obat asma?”
Aku menunjukkan sekantung penuh pouch obat dari ransel. “Bawa. Entah apa gunanya.”
“Cuma delapan puluh persen kebal obat, bukan berarti obat-obat ini tidak berguna.” Ayah angkatku lanjut menginspeksi.
Lengkap memeriksa, Pak Darius mengangguk, lalu menoleh ke arah antrian para wali murid di depan sebuah ruangan berpintu ganda yang terbuka. Tulisan “Koperasi” tertulis di atas pintu.
“Tunggu di sini, dengar?” Pak Darius menegaskan. “Ini nggak akan lama.”
“Pak, saya bukannya nggak bisa diatur.”
Pak Darius mengerutkan kening dengan skeptis, tapi karena tidak punya pilihan lain, Beliau pun akhirnya mengambil tempat di tengah antrian.
Oke, sip, setidaknya sekarang tidak ada yang mengawasi!
Pelan-pelan, aku melangkah mundur membawa koper besarku. Tetap siaga pada belakang dan depan, lalu diam setiap kali pak Darius melirik ke arah sini.
Satu kali, aku sudah di dekat anak-anak Manusia yang lain.
Dua kali, aku sudah duduk di dipan. Begitu aku menyaru ke kerumunan, semua anak langsung menjauhiku. Mata-mata sinis kembali terarah kepadaku.
“Ih, dia Budak milik Aruna? Yuk pergi dari sini! Bisa-bisa nanti kita dibunuh!”
“Kenapa dia ada di sini? Mana sponsornya?”
“Siapa yang akan bertanggung jawab kalau dia punya perintah dorman berbahaya?”
Kesal pada semua kata-kata itu, aku pun menghilang ke balik kerumunan. Tanpa koper kali ini. Persetan semua ini, persetan dengan Pak Darius, dan persetan dengan sekolah ini!
***
Sial, wilayah sekolah ini lebih luas dari yang aku duga! Di mana pintu keluarnya? Apa langkahku yang lambat? Atau sekolah ini yang terlalu luas?
Aku beristirahat saat napasku sudah tersengal. Bunyi napasku segera berubah. Aku meraih respirator di saku rok dan menunangkannya perlahan sembari berdiri tegap.
Satu helaan napas. Dua helaa napas. Bunyi napasku tidak begitu tercekik lagi.
“Sial.” Aku menyumpah serapah. Tidak menyukai kelemahan tubuhku ini.
Asma. Aku yang Budak ini punya penyakit yang tidak bisa disembuhkan bahkan oleh tanda Budak sekalipun. Bukankah itu konyol? Cacat paru-paru dari lahir ini terbawa sampai sekarang, ketika aku bukan lagi sepenuhnya Manusia. Pak Darius pun tidak bisa menjelaskan. Beliau hanya bilang itu mungkin faktor genetika. Aku tidak mendorongnya lebih jauh untuk itu. Aku cukup tahu diri untuk tidak mendorong orang yang rela mengadopsi aku dan kak Yuda, dua orang asing yang muncul di pekarangan rumahnya suatu malam dalam keadaan bersimbah darah dan amnesia.
Tapi kekonyolan ini sudah ada di luar batas toleransiku. Masih lebih mending jika aku dilatih keras untuk bisa membalas dendam. Tapi jika harus tinggal bersama puluhan Manusia hanya agar aku menjalani hidup normal, itu sama sekali tidak ada dalam kamusku!
Selesai mengurusi asma, aku pun mengatur napas, lalu melirik ke kanan dan kiri, mencari tanda-tanda keberadaan gerbang sekolah atau pintu keluar. Gedung utara, selatan, dan barat, aku sembarangan memberi nama, sembari menelusuri jejak masuk tadi. Jauh sebelum kami harus duduk tiga puluh menit di dalam auditorium super dingin dan mendengarkan ospek dari pihak guru dan pengajar.
Sesuai ingatan, aku pun berlari ke gedung timur itu dan berbelok tajam ke kiri. Benar saja, pintu gerbang belakang yang tertutup ada di sana! Bagus! Aku pun mengatur napas sembari mempercepat lari. Di dekat gerbang, seseorang berdiri memegang sapu di dekat gerbang. Ia tinggi, berkulit sawo matang, dan mengenakan seragam seperti seragam petugas kebersihan.
“Awas, Pak!” Aku menjerit, tidak mau dihalangi.
Sosok itu pun segera menyingkir dari hadapanku, tepat waktu untuk memberiku jarak dan melompat, meraih puncak pagar.
Empasan angin dari kecepatanku menerbangkan topi yang petugas kebersihan itu kenakan. Ia terlonjak dan mundur, sementara aku nangkring di puncak gerbang, sempat meliriknya. Kami bertukar pandang.
Kemudian, waktu seolah berhenti di sekelilingku. Angin yang bertiup terdengar seperti siulan merdu ketika mataku dan mata hitam pemuda itu bertemu dalam sunyi. Menandai awal pertemuan kami. Pertemuan kecil yang mengubah seluruh hidupku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top