[Cuplikan Bab 1]
-
15 April 1970
Lima orang penambang dari desa Huana, Afrika Barat, tanpa sengaja membuka gua lama yang telah lama tersegel. Melepaskan spesies kelelawar misterius kembali ke alam lepas. Di gua yang kemudian diketahui berusia sekitar sepuluh ribu tahun itu, ditemukan sisa-sisa ratusan fosil dari spesies kuno yang belum teridentifikasi. Penelitian mengatakan, ratusan fosil itu bukanlah fosil. Itu organik dan masih baru. Seperti bagian dari kulit karapas yang telah hancur.
-
Sumpah, kepalaku sakit seperti habis dihantam palu godam! Setiap kali kepalaku bergerak dengan letoy, aku bisa merasakan rambut-rambut yang lengket di belakang kepala, sepertinya kepalaku sempat berdarah.
Oke, siapa pun yang tadi memukul keras kepalaku, berhutang satu benjol besar di belakang kepala mereka!
Aroma lumut yang lembab menusuk hidung, bersama dengan aroma tanah dan debu. Tingkat kelembapannya seperti saat aku masuk ke gudang pengap. Di mana ini? Ketika aku sedang bingung, aroma lain masuk. Aroma yang lebih menusuk dengan kematian yang menyertai.
Aroma darah.
Tapi ini bukan sekadar aroma darah, instingku meneriakkan itu.
Aroma darah yang diiringin aroma wangi yang aneh, harum yang tidak berasal dari dunia ini.
Bau Aruna.
Degup jantungku meningkat. Keringat dingin mengalir dari setiap pori-pori kulitku yang tidak tertutup, dari balik kerah kaus dan jaketku yang terasa lepek. Napasku tercekat. Suara langkah terdengar mendekat.
“Lihat siapa yang sedang tidak berdaya di sini.”
Suara perempuan itu lembut. Ramah. Lengkap dengan bahasa formal yang biasanya hanya akan aku dengar di sinetron televisi. Singkat kata, terlalu sempurna, sampai insting manusiamu meneriakan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada suara itu. Sesuatu yang harus dijauhi. Tanda di leherku berdenyut sakit.
Hanya ada satu kelas yang bisa membuat tanda di leherku bereaksi. Aruna kelas Elder.
Tekanan di udara semakin pekat terasa. Aroma darah semakin pekat tercium, bahkan dari balik karung penutup kepalaku. Kemudian angkah itu berhenti tepat di depan wajahku.
“Ah, lihat siapa yang sedang berpura-pura pingsan di sini.”
Pipiku digampar kencang sampai kepalaku menoleh ke arah lain. Aku merasakan perih di pipi. Darah sepertinya keluar dari sana. Kemudian seseorang menarik kerah bajuku sampai tersibak. Detik berikutnya, seseorang mengendusku dari dekat. Hidungnya tepat ada di leherku.
“Aku kira mereka melebih-lebihkan ketika bilang tandamu tidak pernah mereka lihat dan aromamu tidak pernah mereka kenali sebelumnya,” Betina itu tertawa. “Tapi sepertinya mereka berkata jujur.”
Oke, mumpung dia sudah tahu aku berpura-pura pingsan, sekalian saja aku akhiri akting rendahan ini! Aku segera meronta, berusaha menendang dan menghajar, tapi tubuhku ternyata melayang, tidak menyentuh tanah. Tanganku direntangkan ke atas seperti daging ternak yang siap dicincang.
Karung yang menjadi penutup kepalaku dibuka, bersamaan dengan penutup mataku. Kepalaku langsung menunduk, menghindari sinar lampu yang terang di atas kepala. Namun, belum sempat mataku membiasakan diri, wajahku dicengkam, dipaksa bersitatap dengan sepasang mata semerah darah.
Wajah aruna betina itu merupakan perpaduan sempurna antara Indonesia dan darah Eropa. Kulitnya putih, wajah putih tanpa bekas jerawat atau luka, rambut indah lurus yang kecoklatan. Segalanya soal wajah ini sempurna, kecuali deretan taring yang mencuat perlahan keluar dari dalam mulutnya. Betina itu menyeringai. Sangat lebar.
“Kejutan demi kejutan tampaknya tidak berhenti hari ini.” Ia berujar. “Aku bertanya-tanya, tikus apa yang sudah menghabisi Nely, tapi rupanya dia bukan tikus. Dia anjing pemburu milik Komite.”
Apa?
Keterkejutanku membuatku lengah saat wanita itu menyobek kaus depanku, mempelrihatkan tanda Budak di leher sebelah kananku. Betina itu mendongak kepadaku lagi dan tertawa mencemooh. “Tapi rupanya kesetiaanmu pada Komite hanya sampai sana, hm, Caiden?”
Caiden.
Cukup dengan satu nama itu, aku membelalak kaget. Pikiranku melupakan segalanya. Hal-hal lain terasa tidak penting.
“Tapi ini aneh. Seharusnya Caiden tidak ada lagi. Tapi di sinilah kamu, anak buahku menemukanmu dan sekarang saat melihat wajahmu dengan mata kepala sendiri, aku baru yakin mereka tidak melebih-lebihkan.” Aruna itu menjelaskan dengan suara jijik. “Hei, Bocah, apa hubunganmu dengan Arimbi Caiden sampai kamu punya wajahnya?”
Elder ini tahu. Sebelumnya, tidak ada Manusia dan Aruna kelas tinggi yang tidak mengenal Caiden, tapi tidak ada yang mengasosiasikan aku dengan mereka. Tidak ada seorang pun, kecuali Aruna sialan itu.
Tapi Aruna itu laki-laki. Sementara yang ada di depanku ini perempuan.
Tidak, bisa saja ada tipuan di sini. Aku harus memastikan.
“Lo tau … Arimbi Caiden?” Jika dia tahu ibuku, tidak menutup kemungkinan dia juga terlibat dengan pembunuhan keluargaku lima tahun lalu. Dia mungkin juga mungkin tahu identitas Aruna berengsek itu! Penyebab semua kesialan di hidupku ini! Pembunuh keluarga Caiden dan makhluk yang seenaknya menandaiku sebagai miliknya!
Aruna itu tertawa dengan licik. “Entahlah,” Jelas dia berbohong. “Aku hanya tahu satu hari, mereka semua dibantai seperti hewan ternak.”
Urat di kepalaku rasanya putus saat mendengar hinaan itu.
“Siapa pun yang menghabisi mereka benar-benar membuktikan,” Aruna itu mendelik dengan wajah penuh kesenangan yang sinting. “Keluarga Caiden tidak sekuat yang diagung-agungkan pihak Manusia!”
Tanpa sempat berpikir, kakiku terangkat. Beban tubuhku berpindah ke kaki dan tanganku yang terikat di langit-langit terasa sekokoh baja. Satu gerakan dan kemudian—kakiku tertangkap tangan Aruna itu.
Sial.
“Budak lancang. Majikanmu benar-benar payah dalam mengajar, sepertinya.” Getaran yang mengerikan itu kembali mencengkam tubuhku. Insting dalam kepalaku berkata untuk jangan menantang Aruna ini. Tapi kakiku ada dalam cengkamannya dan tatapan aruna itu sudah terkunci padaku. Sudah terlambat untuk lari. “Sepertinya memang aku yang harus mengajarimu!”
Tubuhku diempas tanpa pikir panjang oleh aruna itu. Tenaganya begitu kuat sehingga rantai di atas kepalaku pun terempas, longgar dan jatuh bergemericing ke tanah saat tubuhku terempas ke dinding terdekat.
Aku mendengar bunyi berderak dari dalam dada. Sepertinya salah satu tulang rusukku kena ampasnya. Aku bangkit berdiri, menatap sekeliling tempat kami berada yang penuh dinding batu, dengan atap yang juga dari batu dan terus bergetar tiada henti. Jadi inilah sebab aroma apak itu.
Kami ada di bawah tanah.
“Lemah sekali.” Suara betina itu terdengar di belakang.
Aku menoleh dan satu tangan dengan kuku panjang meraih wajahku. Aku membelalak saat ia melemparkanku ke udara, lalu menghantamkan wajahku lagi ke tanah.
“Ada apa dengan Caiden sekarang?” ujarnya. “Dulu mendengar nama Arimbi dan Yudhistira saja sudah membuat satu pasukan di peperangan gentar. Tapi sekarang….” Perempuan itu menggeram marah. “Aku tidak percaya Nely terbunuh oleh lawan yang bahkan masih harus dilindungi Manusia lain!”
Satu tendangan lagi mendarat di perutku, menghantarkanku ke sisi lain gua yang lebih pengap, lebih lembab dan dingin.
“Kamu tidak lebih bagus dari seonggok daging yang kebetulan bisa bergerak, tapi masih saja berani membuatku kesal!”
Satu tangan lain meraih rambutku, menjambaknya begitu kuat sampai aku yakin akan tercerabut dari akar-akarnya. Wajah Betina itu muncul lagi di depan mataku. Ia menyeringai.
“Jangan khawatir, karena kamu Budak, aku punya rencana yang bagus untukmu,” Jari jemarinya yang panjang menepuk pipiku. “Tapi aku tidak bisa bilang hal yang sama untuk pacarmu yang sekarat itu.”
Pacar? Pikiranku tersentak, teringat bahwa ada seseorang yang ikut terseret kemari bersamaku. Terseret ke masalah ini hanya karena mencoba melindungiku.
Gilang!
Sayangnya, aku tidak punya waktu untuk bersuara. Aku tidak diberi kesempatan untuk melawan. Betina itu langsung menerjang dengan mulut membuka lebar. Tepat ke leherku.
Jeritan kali ini tidak bisa aku redam lagi. Nadi di dalam leherku sobek dan darah keluar dari dalam sana, langsung dihisap oleh taring-taring buas Aruna itu. Meski tidak ada darah menetes keluar, perih dan panas membara yang ia salurkan lewat racun dan taringnya menjalar dengan. Cepat ketika menikam, lambat dalam menyiksa. Tremor hebat langsung melanda seluruh tubuhku.
Gagal. Sekali lagi, semua berakhir dengan kegagalan. Apa pun yang aku inginkan, apa pun yang aku kejar, pada akhirnya selalu berada di luar jangkauan kemampuanku, semua hanya karena aku terlalu lemah.
Padahal aku ada di dekat Aruna yang tahu keluargaku. Hanya tinggal memeras info dari mereka dan mungkin aku akan keluar dari lingkaran tanpa petunjuk ini. Aku akan bisa memasuki Komite tanpa terlihat terlalu tolol.
Tapi pada akhirnya, sama seperti lima tahun lalu, aku tidak bisa berbuat apa pun. Semuanya dirampas begitu saja dan sekali lagi, seseorang harus menanggung akibatnya.
Gilang.
Dalam kesadaran yang kian lama kian punah, aku memanggil namanya dalam kepalaku untuk kali terakhir, berharap dia baik-baik saja, di mana pun ia berada.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top