5. Cuti

Di luar dugaan, bulan pertama kulalui dengan lancar.

Yah tidak lancar-lancar amat sih. Teman sebangkuku selalu berganti-ganti. Setidaknya sudah dua belas kali di bulan pertama. Awalnya semua senang dapat bertempat duduk denganku. Kalian tahulah semangat anak baru sekolah. Tapi segera setelah mereka tahu kelakuanku, mereka mundur. Yeah aku memang bukan orang yang mementingkan first imej apalagi jaga imej. Memangnya imej apa yang ingin aku jaga? Rekor paling lama duduk bersamaku adalah seminggu, itu kalau dia tahan aku cuekkin terus.

Lalu ada lagi Airi dan gengnya yang diam-diam memusuhiku. Sering aku memergoki mereka tengah bergosip buruk tentangku. Dari kelakuanku yang super dingin dan belum dapat teman sama sekali, mereka bergosip aku berasal dari sekolah reguler dan dikeluarkan karena kelakuan buruk. Dari nilaiku yang terus sempurna di kelas, mereka bergosip aku menjilat para guru untuk memberiku nilai bagus (guru-guru di sini tidak ada yang tidak kenal aku. Memang aku seringnya dekat ke guru daripada dekat ke murid) dan bahkan aku pernah mendengar mereka bergosip tak pernah melihat namaku di papan pengumuman kelulusan tes masuk yang artinya aku masuk ke sini lewat jalur ilegal.

Yah kalau yang ketiga itu aku tidak bisa membantah.

Berkat tiga gosip itu, reputasiku semakin jatuh. Kalau soal repitasi sebenarnya aku tidak masalah. Yang jadi masalah adalah, gosip-gosip buruk lainnya yang mengikuti tiga gosip pertama tadi. D beberapa kesempatan kudengar ada yang bertanya kenapa aku selalu pakai dasi dan menutup leherku rapat-rapat.

Kalau mereka sampai tahu tanda di leherku, apa yang akan kulakukan ya?

Sementara aku kesusahan membendung gosip di sekolah, kakakku dan seluruh pasukan katanya berhasil menumpas pasukan aruna yang berusaha merebut Bekasi dan Tangerang. Berkat kesuksesan itu, mereka dapat penghargaan bintang Dyaksa—penghargaan bagi pengabdian dan keberhasilan gemilang dalam misi tingkat S yang melibatkan dua komandan rank A dan satu komandan tingkat S—untung aku tidak di rumah. Kalau ya, mungkin wajahku akan dijejali bintang penghargaan itu. Ah tidak, tidak untung juga. Aku kan mengincar bintang penghargaan itu dari dulu!

Mereka enak sekali sementara aku harus hidup biasa-biasa saja di sini. Yang lebih menyebalkan, aku tidak menerima info apapun dari kakakku. Sampai hari ini belum ada surat darinya. Penumpasan aruna sebanyak itu pasti akan menghasilkan info kan? Pasti ada info tentang keluarga kami. Atau setidaknya tentang majikan arunaku.

Kenapa kak Yuda tidak menghubungiku?

Ah memikirkannya membuatku tambah pusing.

Ngomong-ngomong, hari ini tidak ada yang mau duduk denganku. Semua murid menempel pada bangku mereka masing-masing seolah pantat mereka dipaku ke kursi. Aku tidak menaruh lem di kursi mereka kok—aku bukan orang iseng—tapi mereka sendiri yang tidak mau pergi. Takut saat mereka lengah ada yang memindahkan tas mereka ke sampingku, kemungkinan besar.

Detik-detik terakhir sebelum masuklah, aku baru mendapat teman sebangku. Yah siapa lagi kalau bukan gadis aneh tempo hari? Ketika dia datang, seisi kelas mendadak sunyi. Semua perhatian, termasuk aku, tertuju padanya. Dari depan kelas, dia menjelajah seluruh isi kelas. Matanya penuh harap mendapat bangku kosong. Saat dia melihat hanya bangku di sebelahku yang kosong, kukira dia akan pasang wajah bete berat, nelangsa, atau berpaling ke orang lain dengan wajah memohon agar ada yang mau bertukar tempat.

Tapi ternyata tidak.

Gadis berambut panjang itu malah berjalan dengan agak cepat—kurasa setengah terbirit—menuju ke mejaku. Dengan tenang dia meletakkan tas ke atas meja dan mulai menyiapkan buku. Kesunyian yang tadi melanda kelas sudah hilang. Ketegangan yang tadi mencekik seisi kelas, mengendur secara cepat. Semua kembali ke urusannya masing-masing walaupun yah kutahu masih ada beberapa pasang mata yang melirik menunggu reaksiku.

Aku terang-terangan meneliti gadis yang jadi teman sebangkuku hari ini. Rambut gadis itu tebal dan jatuh dalam potongan lurus yang indah. Shaggy panjang kurasa. Tapi berbeda dengan rambut Airi yang jelas sekali hasil salon, rambut anak ini jatuh jelas alami. Warnanya masih hitam dan karena perawatan rajin, tidak ada rambut bercabang yang membuat kepalanya seperti kepala sapu ijuk. Benda itu benar-benar memenuhi fungsinya sebahai mahkota.

Tubuhnya kurus, lebih kurus dariku, dan jelas dia tinggi. Tidak setinggi model cat walk yang bagiku seperti tiang bambu berjalan, tapi tingginya cukup membuatku iri. Kulitnya putih, tidak sepertiku yang agak kemerahan karena selalu diterpa terik matahari. Ah aku jadi membanding-bandingkan antara aku dan dia dengan pikiran nelangsa sekali.

Yah mau apa lagi? Gadis ini cantik dalam artian sederhana. Tipe ini yang jadi kiblatku dalam berdandan. Yah walau hasil usahaku minus dan malah membuatku kelihatan macho.

Dia menoleh tiba-tiba. Sepertinya dia sadar sedang diperhatikan olehku. Dan tanpa ragu aku memandangnya balik.

"Kenapa? Apa aku kelihatan aneh?" Dia bertanya dengan suara tenang. Tidak canggung sama sekali, padahal aku yakin gosip tentangku sudah menyebar dengan sangat cepat di kelas.

Aku menggeleng. "Nggak sama sekali." Yeah tidak mungkin aku bilang aku iri padanya dan ingin berdandan seperti dia kan? "Cuma... rambutmu cakep."

"Thanx." Dia tersenyum tipis. Senyumnya kelihatan tulus, bukan formalitas. Itu juga senyum yang selalu ingin kutampilkan, dan berakhir gagal karena pada akhirnya alih-alih tersenyum anggun begitu, aku malah menyeringai. "Rambut shaggymu juga bagus."

Oke pembicaraan tentang salon ini cewek banget! "Gue juga pengennya panjang, tapi susah rawatnya."

Dia menjawab "oh" dan kupikir percakapan kami akan berakhir di situ.

"Eka Safitri kan?" Aku mengiyakan. "Biasa dipanggil apa? Fitri atau Eka?"

Aneh sekali mendengar pertanyaan itu setelah sebulan kami satu kelas. Guru-guru sudah sering memanggil namaku tapi dia masih menanyakan. Mungkin ini formalitas saja. Kalau dia benar-benar lupa, artinya pikunnya sudah tidak tertolong lagi. Kalau begini, rasanya orang-orang pantas bertanya "kemana aja lo?" kepada kami berdua.

"Eka." jawabku. "Kamu?"

Gadis itu tersenyum. "Ratna. Sebenarnya lengkapnya itu Ratna Kusuma."

Aku hanya menjawab dengan satu Oh. Ratna. Bahkan namanya saja cantik! Beda dengan namaku yang tidak bisa dipastikan jenis kelamin pemiliknya.

"Kamu nggak apa-apa? Wajahmu masih kelihatan pucat. Masih nggak enak badan?" Nada perhatian dalam suara Ratna membuatku kaget.

Namun kekagetan Ratna wajar. Pasalnya sejak masuk hingga hari ini aku sudah pingsan di kelas setidaknya empat kali. Aku bahkan sudah dipanggil ke kantor wali kelas berkaitan dengan kondisi ini. Guru-guru sepertinya rada ketakutan dengan kondisi lemahku yang mendadak ini. Yah wajar saja, badan lemah artinya keluar. Beberapa iba padaku karena merasa sayang aku keluar karena masalah fisik, namun beberapa lainnya malah mengeluarkan selentingan: "Udah tau lemah, tapi kenapa maksain masuk akademi?"

Aduh kalau sudah ditanya begitu, aku hanya bisa diam. Pasalnya nanti pertanyaan mereka akan merambah ke pertanyaan: "emang tes fisik kamu waktu ke sini hasilnya gimana?"

Nah lho. Aku bisa jawab apa? Tahu kalau ada tes fisik saja tidak! Jangan-jangan Ahah memalsukan hasil tesku yang itu! Oke, memang selama lima tahun ini aku baik-baik saja dan tidak pernah melemah lagi kondisinya (kalau selemah ini aku tidak akan bisa masuk K3 atau jadi ranking A!) Tapi entah kenapa sekarang aku kembali lemah... seperti dulu. Aku juga mau tahu kenapa.

Jika kondisiku tidak membaik, aku tidak akan bisa belajar di akademi ini lagi karena pelajaran fisik di sini pastinya sangat keras. Lulusan di sini kan akan langsung masuk ke pasukan K3. Kalau dulu saat butuh pasukan, mereka tidak akan masalah memasukkan anak lemah sepertiku ke dalam pelajaran olahraga dan latihan fisik, tapi di masa-masa gencatan senjata seperti sekarang, orang lemah sepertiku hanya akan dianggap beban.

Ini benar-benar mirip masa lalu. Itu masa-masa yang sudah kulupakan, kukubur jauh-jauh karena hanya mengingatkanku pada kedua orang tuaku, pada masa ketika aku biasa terbangun dengan selang oksigen dan infus di tangan.

Apa ini karena tanda di tubuhku yang semakin menjalar? Memang rasanya semakin sakit. Apa mungkin semakin melemahnya fisikku belakangan adalah karena tanda ini?

"Lehermu sakit?" Aku tersentak dan segera menurunkan tangan yang tanpa sadar memegang leherku. Ratna mengawasi leherku dengan cemas.

"Ya, belakangan ini." Dasar bodoh! Kenapa aku malah mengakuinya?

"Hati-hati ya. Coba periksain deh, takutnya ada apa-apa."

Eh, ternyata dia tidak curiga. Kok bisa? "Ya, ini juga orang tuaku mau dipanggil hari ini."

Ratna ternganga sebentar.. hanya kata ugh menyakitkan yang keluar dari mulutnya. "Aku harap ada jalan keluar terbaik." jawabnya prihatin. "Tapi menurutmu kamu kuat begitu latihan fisik dimulai minggu depan? Kalau merasa kuat, jangan nyerah sama badan!"

Melihat Ratna yang menasihatiku seperti... anak sok dewasa, aku malah tersenyum. Nasihat ini bisa saja munafik, usaha menarik perhatian, atau formalitas. Tapi rasanya disemangati begitu oleh orang yang baru kita kenal beberapa menit, benar-benar aneh dan menyenangkan di saat yang sama.

Anak ini benar-benar unik.

"Apa di kelas ini ada yang namanya Eka Safitri?"

Punggungku langsung tegak secara refleks. Semua mata, tidak hanya aku, berpaling ke arah pintu di mana salah satu guru pria gendut yang mengajari kami Matematika, berdiri di sana, mengawasi wajah kami satu persatu. Matanya setajam elang seperti sedang mencari siapa yang baru saja mencuri sebelah sepatunya.

Aku mengangkat tangan dan seketika seluruh mata berpindah kepadaku. Termasuk mata pak guru gendut itu.

"Kamu dipanggil ke ruang kepala sekolah." ujarnya.

Uh-oh. Cepat sekali. Apa pak Darius yang dipanggil? Atau yang lebih buruk, kak Yuda? Astaga. Semoga yang menungguku di ruang kepala sekolah hanya bu Novi, hanya kepala sekolah itu. Tidak yang lain.

Aku bangun dari bangku dan berjalan menghampiri pintu. Aku mengikuti guru itu tanpa protes. Dari dalam kelas, Ratna memberikan senyum semangat sementara Airi dan gengnya melihatku dengan wajah mencemooh. Jelas sekali mereka akan menyebarkan gosip yang tidak-tidak tentang hal ini.

Tak sampai semenit, aku sampai di ruang kepala sekolah yang terletak di lantai satu di ujung lain lorong. Pak guru itu membuka pintu. Aku menunggu di belakangnya dengan gelisah hingga dia menyuruhku masuk sementara dirinya sendiri pergi kembali mengajar.

Selepas pak guru itu pergi, terbentanglah ruang mirip kantor ayahku di markas pusat K3—hanya saja lebih sempit—dengan bu Novi duduk di belakang mejanya, sedang mengobrol serius dengan seorang pemuda yang duduk di kursi tamu. Wajah wanita berdandan formal itu segera berpindah padaku. Jujur, aku selalu segan kalau disuruh bertemu guru satu ini semenjak se ulan ada di sini. Dandanan formalnya dengan rambut digelung secara rumit hingga membentuk konde di belakang kepalanya, kacamata kerjanya yang membuat figurnya lebih tua sepuluh tahun, keberadaan dia yang sering gentayangan setiap hari di sekolah, dan mimik seriusnya, membuatku mengira dia adalah tipe kepala sekolah yang asal bilang: "kamu dikeluarkan!" kepada setiap murid yang melanggar peraturan. Entah seperti apa dia sesungguhnya karena ini akan adalah kali pertama bicara dengannya langsung.

Pemuda yang bicara dengan bu Novi berbalik menghadapku. Kami saling bertatapan, pemuda itu langsung menyeringai dengan wajah dosa-apa-lagi-kamu-kali-ini-nak. Kurang ajar, memangnya aku berbuat dosa apa hah? Yah, siapa lagi yang berani menyeringai kurang ajar begitu kalau bukan kakak kandungku tersayang, kak Yuda.

***

Atmosfer di ruangan itu benar-benar menegangkan. Kalau saja ruangan ayahku tidak jauh lebih menegangkan, sudah pasti aku banjir keringat di sini. Seluruh hal yang ada di ruangan ini tertata rapi. Nuansa rapi berupa puluhan buku dan pajangan ditata seminimalis dan seefisien mungkin membuat ketegangan semakin kental. Warna ruangan didominasi warna indigo meski cat temboknya sendiri berwarna putih. Warna gelap yang sama mewarnai blouse dan blazer bu Novi. Meja yang memisahkan tamu dan sang kepala sekolah tertata rapi. Semua benda di atas sana lurus pada tempatnya. Tidak ada benda yang miring atau kertas yang keluar dari dalam buku. Aku tidak bisa menilai apapun selain "wow orang ini rapi sekali" dari ruangan ini. Kalau dari jumlah buku yang sedikit, beliau bukan tipe orang yang suka membaca, tapi mana ada kepala sekolah yang tidak hobi membaca?

Lalu jangan harap ada bunga-bungaan di sini. Sepertinya kalau ada orang yang menyarankan menambahkan bunga, orang itulah yang akan dijadikan pajangan di ruangan ini.

"Silakan duduk, Eka." Bu Novi membuyarkan lamunanku dan menunjuk kursi di sebelah kakakku yang masih kosong.

Cara bicaranya persis ayahku: berwibawa, tenang, namun mengandung kesan kalau kita berani bercanda, dia akan langsung melipat lidah kita jadi pita.

Tanpa protes, aku pun duduk di sebelah kakakku. Sempat melirik, kakakku memasang wajah cemas yang jarang sekali ditampakkannya. Jelas sekali matanya tertuju ke telapak tanganku dan leherku. Dia masih cemas soal tandaku yang meluas.

"Kamu tau kenapa kamu dan kakakmu yang juga walimu ini dipanggil ke sini, Eka?" tanya bu Novi.

Aku terdiam. "Karena kondisi badan saya yang menunjukkan akivitas minus belakangan ini."

Bu Novi mengangguk. Matanya melirik kakakku sebentar. "Kami sudah mengobrol banyak soal kamu dan sepertinya badanmu memang sudah lemah dari lahir."

Astaga, sudah sebanyak apa yang mereka bicarakan? "Ya."

"Kamu tahu kalau kebijakan di sekolah ini melarang anak-anak dengan fisik di bawah rata-rata untuk ikut pendidikan di sini?"

"Ya." Sepertinya aku akan dikeluarkan.

"Di sini saya melihat ada yang tidak sesuai dengan hasil tesmu dengan kenyataan yang saya terima," jelas bu Novi sambil membuka map merah yang tak kusadari ada di atas tumpukan buku dan kertas di mejanya. "Di sini dikatakan kamu lulus dengan nilai cukup di tes kesehatan. Kalau melihat kamu yang terus menerus pingsan, ke klinik atas keluhan demam, dan bahkan menunjukkan gejala asma akut, sepertinya ada yang keliru dalam hasil tes ini."

Ayah angkatku itu sebenarnya sudah memalsukan berapa banyak dokumen soal aku sih?

"Untuk pemalsuan ini seharusnya kamu dikeluarkan."

"Saya mengerti."

"Saya belum selesai bicara," tukas bu Novi dengan nada lebih tinggi.

Ups. "Maaf. Silakan dilanjutkan."

"Seperti yang saya bilang, seharusnya kamu dikeluarkan, tapi..." bu Novi menjeda. "kondisimu istimewa."

Istimewa? Apa maksudnya?

Bu Novi membolak-balik kertas dalam map merah itu. "Kalau saja bukan karena Darius yang memintaku secara langsung, sudah pasti kamu kukeluarkan."

Selama beberapa detik, aku hanya bisa mengerjap tak percaya. "Ibu kenal pak Darius?"

Kudengar dengus tawa dari kak Yuda sementara bu Novi menutup kertas di tangannya. Beliau menatapku lurus-lurus. "Ya, saya kenal. Memangnya kamu pikir kenapa kamu bisa ada di sekolah ini dengan kondisimu yang minus banget itu?"

"Sa-saya pikir..."

"Masuk secara ilegal? Tidak ikut tes masuk?" bu Novi menerangkan semua dosa-dosaku tanpa ekspresi. "Memang, kalau ada siswa tidak tahu diri yang seperti kamu, sudah saya tedang jauh-jauh dari sini. Tapi seperti yang saya bilang, kondisimu istimewa. Dengan kondisimu seperti ini, jangankan ranking A, kamu tidak akan bisa masuk pasukan K3. Tapi kenyataannya bukan begitu, ya kan?"

Dia bahkan tahu rankingku di pasukan. Hanya teman dekat ayahku bisa yang tahu informasi sedetail itu. Info soal beliau mengangkat kami berdua sebagai anak saja sedikit sekali yang tahu. Kurasa tidak mungkin juga kepala sekolah di sini tidak tahu hal sepele seperti keganjilan hasil tes masuk. Aku tak ragu, beliau adalah teman dekat ayahku. Dan kalau dia menyinggung kontradiksi antara kondisiku dengan ranking tinggi yang kuraih, yang dia maksud pasti adalah tanda budak ini.

Beliau juga tahu aku ini budak.

"Tapi peraturan tetap peraturan." Lalu bu Novi memandangku dan kak Yuda bergantian. "Saya beri kalian berdua waktu satu minggu untuk menyelesaikan ini. Kalau kondisimu membaik sebelum satu minggu, kamu boleh tetap di sini. Jika tidak, kamu harus keluar."

Aku ingin protes, tapi bu Novi keburu mendelik padaku. "Saya tidak mau dengar ocehan cerewet ayah angkatmu kalau sampai sesuatu terjadi padamu di bawah pengawasan saya. Jadi jangan protes, paham?"

Oke. Aku juga tidak mau dengar ceramah Ayah.

Dengan patuh aku menjawab, "Baik." Sementara Kak Yuda hanya diam saja.

"Saya akan berikan Eka waktu cuti selama seminggu. Selesaikan semuanya dalam kurun waktu itu."

***

"Gue masih belum mengerti apa maksudnya menyelesaikan," ucapku pada kakakku di dalam mobil SUV yang kami naiki.

Sekali lagi aku memandang ke kaca belakang. Melihat akademi yang mulai menjauh dari kami. Lalu di kursi belakang, ada berbagai barang yang dibawa dari akademi. Hanya ada beberapa setel pakaian. Aku tidak membawa satu pun buku atau lebih banyak baju. Memangnya buat apa? Aku hanya seminggu pergi.

Aku kembali duduk nyaman di kursi samping kemudi sementara kakakku menyetir.

"Kita harus cari dia. Cuma dia yang bisa mereduksi racun dalam badan lo."

"Majikan gue." Aku berkata dengan ketus yang dibalas wajah pahit kak Yuda. "Emangnya lo tau di mana dia?"

"Nyaris." Kata lain dari tidak sama sekali.

"Apa nggak ada orang lain?" Jawabannya jelas saja tidak, tapi masa bodo. Aku frustrasi! "Kenapa harus majikan gue? Ini kan artinya gue minta tolong sama aruna yang pengen gue bunuh! Amit-amit banget minta tolong sama dia!"

"Hei, hei! Kalau lo bunuh majikan, lo juga mati lo!" Aku hanya mendecih mendengar jawaban itu. "Kalau soal majikan lo, mungkin dia tau sesuatu."

"Dia siapa?" tanyaku bingung.

"Fei."

"Fei? Aruna informan kesayangan lo dan ayah?" Kak Yuda merespon jawabanku dengan wajah emang-Fei-yang-mana-lagi. "Kitaudah pernah nanya ke semua aruna soalmajikan gue dan soal keluarga kita. Nggak pernah ada hasil. Apa informan itu bisa buka mulut?"

"Kalau dia nggak mau bicara pakai cara biasa, pakai cara kasar. Pokoknya kita harus mengurangi tanda budak lo sampai nyaris nol secepatnya." Dia sekali lagi melirikku dengan

"Yah, karena kita nggak tau kapan gue akan digigit lagi." Aku menghela napas. "Kalau gue digigit sampai tanda sialan ini menjalar ke otak, gue bakalan mati atau... jadi aruna kayak lo."

Mobil yang direm mendadak membuat tubuhku nyaris terpental kalau saja sabuk pengaman tidak mengikatku dengan kuat ke kursi. "Hei, apa-apaan sih lo!"

"Apa-apaan?!" Yuda memelototiku, bukan dengan mata hitamnya, melainkan dengan mata merahnya yang menandakan emosinya sedang meledak-ledak saat ini... dan sedang kehausan. Dengan marah dia menunjuk batang hidugku. "Lo yang apa-apaan! Kenapa lo ngomong mati dan berubah jadi kayak gue segampang itu? Lo mau jadi kayak gue hah? Kalau lo mau, seharusnya gue nggak perlu jaga lo susah payah sampai detik ini. Oke, sekalian aja lo gue biarin digigit sama entah berapa aruna di luar sana! Kalau lo mati nanti tinggal gue kubur dan nari-nari di atas kuburan lo! Kalau lo berubah jadi kayak gue, akan gue ketawain lo sampai puas! Lo mau berakhir kayak gitu hah? Kalau gue sih dengan senang hati ngelakuin itu semua kalau emang lo mau!"

"Lo over akting banget sih! Gue cuma ngomong! Cuma ngomong! Bukan berarti gue pengen. Dan lagi kalau kedengaran enteng, emang nada bicara gue selalu begini kok. Kenapa sekarang baru lo sewot begini?"

Saat itu, jelas sekali mata kakakku tidak sedang memandang balik kepadaku meaki sedang mengomel bak orang kebakaran jenggot. Matanya tertuju hanya ke leherku yang tertutup dasi dan kerah baju. Tubuhnya gemetar. Jangan-jangan selama sebulan ini dia hanya bergantung pada serum penenang dan belum minum darah sama sekali.

Idiot.

Sadar sedang kuamati baik-baik, kak Yuda berbalik menatap kembali ke depan dan berpegangan pada kemudi, yah lebih tepatnya mencengkam cakram itu keras-keras.

"Jangan-membahas-soal kematian lagi. Paham?" Kudengar suara gigi kak Yuda bergemeletak di dalam mulutnya. Saat dia bicara, taringnya tampak memanjang dari ukuran normal.

Melihat tidak ada orang di jalan depan dan menyadari kalau kaca mobil ini dilengkapi polarisator—artinya tidak akan ada yang bisa melihat apa yang kami lakukan di salam sini—aku segera melepas sabuk pengaman yang mengikatku.

"Hei, kenapa? Lo mau ke mana?" kak Yuda bertanya dengan panik dari kursi kemudi.

"Lo tau gue nggak akan mati kalau sampai tanda ini sampai ke otak kan?" senyumku. Aku menoleh, melihat ekspresi putus asa dari kak Yuda. "Tenang aja, gue nggak akan mau mati. Gue nggak akan mati sampai semua ini selesai. Dan lo pun begitu."

Aku menunjuk dadanya, tepat ke jantungnya yang berdetak. "Udah ada undang-undang bahwa aruna mana pun yang menyerang manusia harus dibunuh. Dengan kondisi lo sekarang, hidup lo nggak akan lama, Kak," ujarku dan kulihat ekspresi jijik di wajah kak Yuda. "Dengan keadaan begini, lo bakal bunuh orang pertama yang lo temuin di jalan dan gue nggak mau jadi eksekutor lo atau liat lo dieksekusi."

"Cukup! Pakai sabuk pengaman lo! Kita ke Jakarta sekarang!" kak Yuda menyingkirkan tanganku dengan kasar. Dia nyaris menginjak pedal gas kalau saja aku tidak bertindak lebih cepat.

Aku mengigit jari telunjukku sendiri sampai berdarah. Dengan pendingin udara di dalam mobil ini, bau darah dari jariku tercium kuat. Yang tercium oleh hidungku hanya bau besi yang memuakkan, tapi entah bau macam apa yang dicium kakakku sampai matanya terfokus sepenuhnya pada darah yang mengalir dari jariku ini.

"Kalau cuma sekali lagi, tanda ini nggak akan sampai ke otak gue. Ini yang terakhir."

Mungkin karena sudah tak sanggup mengendalikan diri lagi, kak Yuda dengan cepat sudah ada di hadapanku. Entah kapan dia melepas sabuk pengamannya sebelum mendesakku sampai ke jendela di sisi lain mobil begini. Dengan satu tangan, dia melepas dasiku dan membuka satu kancing kerah leherku. Dia membukanya, sekali lagi membuatku merasa sedang dilucuti. Melihat kondisi tandaku yang sudah hampir mencapai wajah, dia menggertakkan gigi. Bimbang akan keputusan yang harus dia ambil.

"Ini..." Dia menggertakkan gigi. "Ini... yang terakhir. Kalau kondisi gue kayak gini lagi, lo mending jauh-jauh dan nggak usah bertindak bodoh begini. Paham?"

"Kalau tanda ini nggak pulih, gue paham. Tapi kalau nanti emang pulih lagi, gue nggak janji bakal berhenti ya?"

Mendengar jawabanku yang tak pasti, kak Yuda hanya tersenyum pahit. "Lo emang adik yang susah diatur."

Kakakku mendekat. Napasnya yang hangat terasa di leherku yang terbuka. Kemudian rasa sakit itu menghunjamku. Darah yang hangat mulai keluar dengan deras dan membasahi kulit leherku. Kak Yuda meminum semua cairan itu dalam tegukan-tegukan yang terdengar sangat lega, seperti orang kehausan yang terpuaskan dahaganya.

Untungnya aku tidak melihat kaca spion. Kalau ya, yang akan kulihat hanyalah pemandangan menyedihkan dari sepasang saudara yang sudah bukan lagi manusia. Sepasang saudara yang tergantung satu sama lain. Sepasang saudara menyedihkan yang jadi keturunan terakhir dari keluarga mantan pejuang di perang melawan aruna puluhan tahun silam. Dan sepasang saudara yang hidup hanya untuk jadi gambaran betapa sudah jatuh dan berakhirnya keluarga Caiden ke lubang yang sangat dalam.

***

Author's Note:

Bab berikutnya akan menceritakan Jakarta. Untuk yang bertanya-tanya, apa kota-kota di cerita ini seperti di Maze Runner... setengah benar. Karena banyak wajah kota di Indonesia telah berubah di universe ini. Tapi tidak sehancur itu. Biar bagaimanapun, latar di ceritaEka sekarang adalah tiga puluh tahun lebih setelah perang. Kota-kota di dunia sudah mulai membangun ulang kota-kota mereka, termasuk di Indonesia. Soal penggambaran bagaimana Jakarta dan isinya, tunggu saja di chapter berikutnya ya.

xoxo

Diahsulis

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top