4. Akademi
Aku datang terlalu cepat.
Yang menyambutku di pintu gerbang yang baru terbuka sedikit adalah banner berwarna merah putih yang masih cerah. Belum ada cacatnya sama sekali. Banner itu terpasang di atas pintu gerbang dan dicetak dengan tulisan besar-besar: "Selamat Datang Murid-Murid Akademi Tahun Ajaran 2013/2014" Selesai mengamati banner, aku mengamati bangunan sekolah dalam pagar yang luasnya entah berapa hektar itu.
Bangunan yang paling mencolok dari luar jelas adalah gedung sekolahnya yang terdiri dari tiga tingkat. Bangunan bercat putih itu terlihat raksasa dibanding rumah-rumah di sekitar yang bagai liliput. Di sanalah murid dari tingkat satu sampai tiga belajar. Bangunan terbesar kedua adalah gelanggang olahraa. Di sana berbagai kegiatan fisik dari mulai olahraga biasa, bela diri, hingga pelatihan senjata dilakukan. Menurut pendapatku, gelanggang olahraga di sini keren banget. Fasilitasnya lengkap, ada arena latih tanding, alat-alat peraganya lengkap dan konon ada gelanggang lagi di bawah tanah khusus bagi para murid tingkat tiga untuk ujian kelulusan. Dengar-dengar sih di sana ada banyak aruna yang digunakan untuk ujian. Keren kan? Selain dua gedung itu, ada dua asrama di sini. Laki-laki dan perempuan. Gedung asrama tidak bisa dilihat dari luar karena bangunannya cuma seukuran rumah dua lantai. Luas sih tapi tidak terlalu mencolok. Kalau ke sana aku belum pernah.
Di sinilah aku akan menghabiskan satu tahun ke depan.
Tanpa sadar aku menghela napas saat membayangkan kehidupan sekolah. Menyenangkan sih tapi aku merasa tak akan cocok di sini. Yah entah juga ya.
Segera kulihat jam tanganku. Oh baru jam enam. Pantas masih belum ada orang. Bahkan aku belum melihat penjaga akademi yang biasanya sudah gentayangan menyapu dan mempersiapkan hari pertama belajar mengajar ini.
Eh ada satu!
Baru saja aku mau menghampiri penjaga sekolah itu untuk menyapa, seluruh tubuhku langsung mematung. Aku tertegun memandangi penjaga sekolah itu. Kulit wajahnya memang gelap karena banyak terkena sinar matahari, tapi belum berkerut menandakan usianya belumlah kepala tiga. Mata hitam mengikap bak mutiara alih-alih kelereng diamplas menegaskan usia mudanya.
Baru kali ini kulihat staff kebersihan seganteng itu.
Dengan rambut hitam lurus agak acak-acakan yang pastinya karena sudah bekerja dari pagi saat mata murid-murid sepertiku masih terpejam (kurasa semua staff kebersihan memang punya rambut berantakan, tapi itu kelebihan mereka menurutku) sedikit gondrong, bibir tipis yang membentuk satu garis lurus tanpa senyum, dan tubuh tinggi tegap, bisa kusimpulkan dia bukan staff kebersihan selevel tukang sapu pinggir jalan. Apa dia juga dilatih di akademi ini? Karena sumpah tubuhnya tegap setegap kakakku.
Oke aku sudah melantur pagi-pagi! Kayaknya susu yang kuminum kebanyakan gula.
Kulanjutkan langkah yang terhenti tadi dan melangkah melewati gerbang yang belum setengah terbuka. Koper berisi beberapa setel baju plus baju seragam kuseret di tanah yang tidak rata, beberapa kali terantuk batu. Sementara tas ransel ukuran jumbo berisi buku sekolah nemplok di punggungku. Aku jadi mau masuk sekolah reguler saja. Pikiran untuk membawa barang bawaan seberat ini untuk kedua kalinya membuatku nyaris mundur dan hendak naik angkutan umum untuk pulang lagi.
Tidak ada perasaan canggung di dadaku karena aku pernah beberapa kali ke akademi ini. Bukan sebagai peajar tentu saja. Saat itu pun aku tidak memakai seragam dinasku yang hita-hitam itu. Makanya aku sering dikira anak guru di sini. Tidak salah sih, walaupun bukan anak guru juga. Sejujurnya, dari beberapa kunjunganku, baru kali ini kulihat dia. Setahun lalu dia belum ada di sini. Ya deh kuakui kunjungan terakhirku ke sini—minus pengendapanku kemarin—adalah setahun lalu.
Kuhampiri staff kebersihan itu. "Baru ya di sini, Mang?"
Pria itu hanya memandangku lurus-lurus. Datar lagi. Oke, apa ada cabe terselip di gigiku?
Di luar dugaan, staff kebersihan itu menyunggingkan senyum tipis. Dia mengangguk satu kali.
Tidak menjawab langsung.
"Kenapa nggak jawab, Mang? Gagu?" tanyaku penasaran.
Staff itu memalingkan mata dariku. Tampak tak nyaman dengan pertanyaanku barusan. Tidak heran. Aku sudah sering melihat wajah Itu pada orang-orang yang berurusan dengan rasa penasaranku yang kadang kelewat kurang ajar. Itu jelas-jelas wajah kenapa-ini-cewek-nggak-pergi-pergi.
Staff itu mendekat sedikit, menunjuk mulutnya, dan membukanya perlahan.
Oh Tuhan!
Aku dibuat menganga melihat mulutnya yang melongo lebar. Giginya memang lengkap namun tetap saja isi mulut itu ganjil. Tidak ada lidah di sana. Dari bekasnya, sepertinya lidah itu dipotong.
"Maaf." Secara refleks, kata itu keluar dari mulutku.
Aku merasa kasihan padanya, tapi itu tidak menyulutkan rasa penasaranku. Yah habisnya dia tidak mungkin tidak punya lidah dari lahir kan?
"Kena penyakit, Mas?"
Pemuda itu menggeleng. Dia lantas memberi isyarat menulis di telapak tangan dengan jarinya sambil menunjuk tanganku. Oh dia minta aku mengulurkan tangan agar dia bisa menulis jawabannya secara di tanganku.
Kuturuti permintaanya. Kubaca tulisan imajiner itu huruf per huruf. "A-R-U-N-A."
Mulutku membentuk huruf O lebar. Dia salah satu korban penyiksaan para aruna. Aku sering sekali dengar kabar banyaknya korban penyiksaan kaum penghisap darah itu. Semua korbannya adalah manusia, baik yang memang mangsa mereka, manusia yang ditandai alias budak, maupun orang yang hanya tidak sengaja berjumpa dengan mereka di malam hari. Orang-orang yang disiksa ini banyak yang ditemukan mati, sedikit yang bertahan hidup. Yang hidup maupun yang mati tubuhnya pasti sudah tidak utuh lagi dan punya beragam jenis luka permanen yang sebaiknya tak kita tahu bagaimana cara mendapatkannya. Potong lidah termasuk yang paling ringan katanya.
Entah penyiksaan macam apa yang termasuk kategori parah.
"Mereka kejam karena mereka keturunan manusia, atau pernah menjadi manusia." Begitu kata kak Yuda.
Yah, manusia memang hewan paling kejam, kuakui itu. Dan agak naif mengatakan kalau kaum aruna kejam. Memangnya mereka berasal dari mana lagi kalau bukan dari ras manusia sendiri?
Sekali lagi kupandangi pemuda itu. "Maaf, turut berduka."
Lagi-lagi pemuda itu membalas ucapanku dengan senyum. Tidak kelihatan tersinggung sama sekali. Bukan maksudku berbelas kasih padanya—seingatku laki-laki tidak suka dikasihani, menurut kak Yuda sih—namun bersimpati tidak salah kan?
Seandainya pak Darius tidak mengadopsiku dan Kakak, mungkin nasib kami akan sama seperti dia. Terlebih aku. Aku ini budak, manusia yang ditandai. Orang-orang sepertiku adalah piala sekaligus barang dagang yang berharga di antara para aruna, kelas manapun, mulai dari elder sampai original bawahan. Semakin kuat seorang majikan (aruna yang menandai) semakin mahal harga kami. Karena itulah sejak dulu selalu ada gengsi untuk mendapatkan budak dengan majikan terkuat, dengan cara itulah para aruna bawahan menjadi lintah daratnya aruna-aruna original dan elder.
Yeah itu semua karena pendapat konyol bahwa para budak adalah manusia yang disayangi para aruna. Beberapa aruna sungkan menyerahkan budak mereka pada aruna lain—apalagi kepada original bawahan—dan beberapa bahkan akan membayar berapa saja agar budak mereka kembali.
Yeah itu hanya beberapa. Sisanya—hampir semua aruna—menerapkan sistem "Satu hilang, gue tinggal beli yang baru" Sekali mereka kehilangan budak kesayangan, tinggal cari benda kesayangan yang baru. Atau ada yang lebih parah dengan menjaga jumlah budak mereka tetap sedikit sehingga harganya tetap tinggi dan mereka bisa menarik uang dari penjualan itu. Yang kedua ini benar-benar rendah, mereka tetap menjaga budak mereka menjadi komoditi langka bernilai yang bisa mereka jual seenak jidat dan mengambil keuntungan dari penjualan tinggi itu. Kalau budaknya itu mati, mereka tinggal mencari budak baru. Asal kalian tahu, hidup dengan majikan asli belum tentu lebih baik dari hidup dengan pembeli budak. Kalau lebih baik, entahlah aku belum pernah mendengar ada aruna baik hati, tapi kalau lebih buruk, nasib para budak itu akan lebih malang dari kisah naas anak tiri di sinetron zaman dulu.
Daim-diam aku menatap si Mamang dengan prihatin. Di balik baju panjang staff kebersihan itu pasti ada banyak luka. Sebaiknya yang itu tidak kutanyakan. Segini saja pemuda ini kelihatan ingin terbirit-birit pakai sapunya andaikata sapu itu bisa terbang.
Aku tidak bisa bayangkan kenapa dia masih bisa tersenyum padahal sudah tidak punya lidah karena ulah makhluk penghisap darah itu. Kupandangi seragam staff keberaihan miliknya dan menemukan namanya di sana: "Gilang".
"Eka Safitri."
Aku terperanjat. Suara itu bukan berasal dari mang Gilang ini karena mulutnya masih tertutup, pun bukan dariku karena tadi itu suara laki-laki.
Siapa itu yang berani memanggil nama lengkapku? Eh... itu... kalau tidak salah dia Charlie! Si Charlie Cristopher yang kemarin kusekap!
Astaga, pagi-pagi begini langsung ketemu dia! Mana wajahnya bete banget! Dia pasti mau membalas aksiku yang kemarin menyekapnya dan mengurungnya di gudang peralatan kebersihan!
Pemuda itu menghampiriku. Matanya langsung tertuju ke badge di lengan kiriku. Badge kelas! Oh No!
Sesuai dugaanku, senyum mengejek langsung muncul di wajahnya, "Oh, lo tingkat satu? Cewek kuat yang kemarin berhasil nyekap gue ternyata kalau diceburin ke akademi cuma adik kecil ya? Yah... bisa kuduga dari posturnya sih!"
Mengataiku kecil saja sudah kurang ajar. Dan dia juta menghina kemungilan tubuhku yang cuma 152 senti ini? Rupanya cowok ini tidak tahu nasib orang-orang yang sudah menghina postur badanku. Well ini yang pertama, bolehlah dia kulepas. Yang kedua, tidak akan!
Sambil misuh-misuh, aku menegur, "Gue jadi terkenal banget ya?"
"Banget. Pokoknya seluruh pasukan bicarain lo di markas kemarin."Oh dia sempat ke markas kemarin. "Tapi well... di sini lo nggak terkenal. Aman kok." Pemuda itu memberiku sinar mata licik. "Di sini lo cuma murid tingkat satu, bukan anggota Komite Keamanan Khusus ranking A. Dan mulut gue terkunci. Gue nggak akan bocorin ke siapa-siapa kalau lo anak angkat pak Darius."
Anak ini cerewet banget sih! Yakin dia beneran cowok?
Eh tunggu! Nggak akan bocorin ke siapa-siapa? Tapi kan...
Mataku seketika menoleh ke mang Gilang yang masih berdiri dengan polosnya di antara kami berdua. Aku bisa melihat keterkejutan di wajah polos itu. Astaga dia sudah mendengar semuanya. Kupelototi Charlie yang sekarang tampak salah tingkah. Aku berbalik ke mang Gilang lagi, yang sekarang kelihatan tegang dan kepingin ngacir dari sini.
"Mang," Kupasang seringaiku yang paling mengancam. "jangan kasih tau siapa-siapa soal tadi ya?" Mang Gilang langsung mengangguk berkali-kalj dengan kecepatan tinggi mirip pajangan di dasbor mobil. "Dan elo!" Aku menoleh ke Charlie dan segera menuding dagunya dengan jari telunjukku seolah jari itu adalah belati yang bisa menembus ke mulut bacotnya kapan saja aku mau. "Kalau lo nggak mau gue gentayangin seumur hidup, jaga congor lo itu, paham?" Meski masih salah tingkah, Charlie memberi pengiyaan dengan isyarat meritsleting mulutnya, menggemboknya, dan membuang kuncinya. Bagus.
Aku segera berpamitan dengan mang Gilang yang membalas salam pamitku dengan mengangkat topi kerjanya. Kasihan. Dia masih saja kelihatan tegang karena ancamanku barusan. Sedangkan Charlie si cowok jadi-jadian itu masih mengikutiku dan ketegangan sudah hilang dari wajahnya.
"Imej pertama yang buruk ya?"
Dia buta ya? "Menurut lo, elo punya imej pertama yang bagus?"
Dia mengangkat kedua bahunya dengan gaya sok yang minta digilas. "Anggap aja impas. Lo udah nunjukkin betapa nggak menyenangkannya elo ke gue kemarin. Kita sama-sama tau belang masing-masing."
"Nggak semua belang kok. Baru satu." Aku menyeringai padanya dan cowok itu balas menyeringai.
"Ya deh, gue akan perbaikin sikap, karena elo senior gue," Dia mengangkat tangan tanda menyerah. Cih padahal aku tidak berbuat apa-apa.
"Hoo... jadi lo mau menjilat gue?"
"Nggak boleh?" balasnya songong. "Sah-sah aja kan? Toh gue belum ngapa-ngapain kok." Belum, bukan berarti tidak akan. "Kita kan harus membuat koneksi sebanyak mungkin. Dan apa gunanya gue punya koneksi kalau nggak bisa dimanfaatin?"
"Sori, sinyal koneksi gue ngadet banget jadi jangan gunain gue!"
"Ouch! Belum juga kelar ngomong, gue udah ditolak." ucapnya dengan wajah sedih yang sama sekali tidak mengundang simpati. "Yang gue maksud hubungan timbal balik. Lo butuh gue, gue butuh elo. Soalnya gue nggak yakin anak yang ditandai akan diterima dengan baik di sini."
Ah ya. Dia memang audah memergoki tanda yang kupunya kemarin. Tidak sulit karena tandaku sudah menjalar hampir ke seluruh tubuh. Tinggal beberapa gigitan lagi dan riwayatku tamat.
"Atau lo mau pakai kekuasaan bokap lo?"
Anak ini ternyata pintar sekali bicara.
"Fine." Aku sepakat. "Tapi gue nggak pernah janji."
Pemuda itu hanya nyengir lebar.
"Nah karena gue udah tingkat tiga di sini, akan gue ajak lo keliling sekolah, tapi..." Kusadari matanya terarah ke leherku yang tertutup perban. Memangnya masih semencolok itu? Padahal aku sudah meninggikan kerah tinggi-tinggi dan mengikatnya dengan dasi sampai aku sesak napas begini. "Lo kayaknya bakal jadi sasaran bully."
"Bukannya ada elo?" balasku memamerkan senyumku yang nenyebalkan. "Apa gunanya gue kasih koneksi kalau lo nggak bisa kasih feedback?"
"Ternyata lo pinter juga. Posisi lo emang nggak salah." Pinter itu pujian kan? Kok aku tidak tersanjung sama sekali? "Ya, gue akan kasih kontak gue. Tenang aja, kapan pu lo dibully, lo bisa kasih tau gue."
"Omongan lo kedengaran kayak jagoan." ejekku.
"Lho? Emang gue jagoan di sini kok."
***
Setelah perkelahian di pintu gerbang, perkenalan singkat yang agak-agak meaningless di kelas, aku menjalani hidup siswi sekolah yang tak-kusangka-damai-sekali. Bagaimana tidak? Tidak ada misi, tidak ada darah, tidak ada kejar-kejaran dengan aruna. Hanya ada buku tulis, tulisan di papan tulis, dan ocehan tak kunjung berhenti dari mulut guru-guru yang mengajar. Kedengarannya bagus ya?
Yeah, asal kalian tahu, ini membosankan sekali.
Semua yang diajarkan guru di sini sudah ada dalam kepalaku. Dan yang namanya teori berbeda dari kenyataan. Apa yang diajarkan di buku terlalu indah dibandingkan apa yang ada di lapangan. Yah asalkan mereka tidak masuk Komite dalam waktu dekat, kurasa bukan masalah. Mereka tidak akan melihat betapa buruknya kenyataan dalam waktu dekat.
Karena kalian tahulah anak sekolah, hidup mereka hanya dipenuhi tugas, praktek, dan ujian. Mereka belum melihat dunia. Semua kepahitan hanya sekadar kepahitan di buku. Semua semangat mereka yang berapi-api hanya seperti kilat: singkat tanpa jejak. Ah omonganku seperti orang tua padahal usiaku dan anak-anak di sini sebaya. Bukan berarti aku sombong akan pengalaman ya. Di antara pasukan sendiri aku sering dianggap bocah dan terlepas dari pangkat, aku sering direndahkan karena aku budak, mereka bahkan mengatai pangkat yang kudapat ini karena aku bukan manusia murni lagi. "Kalau bukan budak, mana mungkin bocah kayak dia masuk ranking A?" begitu kata mereka. Terserah. Masa bodo. Yang penting buktikan dengan hasil kan?
Kembali ke topik. Tentang anak sekolah. Ya, walaupun kami semua di kota ini, memiliki risiko kehilangan nyawa yang sama, tapi mereka yang berpatroli di lapangan memiliki risiko kehilangan nyawa lebih tinggi. Berbeda dengan anak-anak yang ada di sekolah dengan tingkat keamanan tinggi ini.
Oh aku lupa cerita. Sekolah kami ini dilengkapi siatem keamanan berlapis.
Gerbang sekolah tadi salah satunya. Gerbang itu bukanlah gerbang biasa. Ya gerbang yang tadi pagi kulewati bersama si menyebalkan Charlie itu. Gerbangnya sendiri dilapisi perak dan besi hematit murni, dua benda yang sangat beracun bagi aruna. Perak dan hematit melemahkan mereka, mereka sangat sulit untuk pulih jika dilukai oleh dua benda itu bahkan imobilitas dan vitabilitas mereka menurun jauh menyamai manusia jika ada di dekat dua benda itu. Aku tahu, aneh kan? Apa kalau aku digigit kelelawar aku akan berubah seperti mereka? Amit-amit deh, untungnya kelelawar sudah tidak ada lagi. Oh dan perlindungan sekolah ini tidak hanya sampai di situ. Masih ada beberapa lapis perlindungan lagi, tapi itu sebaiknya tetap jadi rahasia dan kalian tidak perlu tahu. Semakin sedikit yang tahu detail sistem keamanan di sini, semakin baik. Yeah kalian tau betapa antusiasmenya mulut remaja (termasuk aku tentunya) kita akan berbagi gosip dengan orang lain sambil bilang: "ini rahasia, jangan kasih tau siapa-siapa" namun pada akhirnya satu propinsi tahu gosip yang sedang kita bicarakan.
Ngomong-ngomong soal gosip, sepertinya sudah ada semacam gosip tentangku beredar di kalangan anak-anak. Dari tadi aku merasa sedang diintai puluhan pasang mata. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak mencolok mata tak sopan mereka satu per satu. Aku berusaha mengalihkan perhatian dengan terus fokus ke buku sejarah yang setidaknya sudah kubaca separuh isinya di satu jam pelajaran kosong ini.
"Hei!"
Dengan malas aku mendongak. Mataku bertatapan dengan sepasang mata hijau yang pastinya efek soft lens. Mata hijau tidak dimiliki orang berwajah Jawa asli seperti ini. Yap, tidak salah. Gadis satu ini, beserta dua gadis yang pasang badan di sekitarnya seperti bodyguard ini adalah gadis populer. Meski persamaan drajat sudah populer berabad-abad, klasifikasi di sekolah antara populer dan tidak populer masih tetap bertahan.
Mereka punya semua ciri anak populer yang hanya akan membuatku kena darah tinggi seumur hidup. Gadis di tengah—yang paling cantik menurutku— rambut panjang bergelombang, kuku mengilap yang pastinya tidak cocok untuk kerja di lapangan, berbau parfum feminim, kulit yang terlalu halus, dan jelas sekali tidak punya luka atau cacat. Kubayangkan gadis ini sebagai bawang putih, yah andai saja dia tidak memancarkan aura bawang merah. Dua bodyguardnya berpenampilan kurang lebih sama. Yang di sebelah kiri, yang punya tinggi lebih dari si gadis bawang putih, berambut bob pendek dan kelihatan sama kejamnya dengan si gadis bawang putih. Yang di sebelah kanan berambut mirip denganku: shaggy pendek hanya rambutnya lebih tipis. Yang ini kelihatan seperti anak yang hanya ikut-ikutan saja, dilihat dari betapa gelisahnya dia dan arah pandangan matanya yang dari tadi terus menghindariku.
Si gadis bawang putih mengulurkan tangan padaku sambil tersenyum ramah. "Gue Airi. Lo?"
Dengan senyum ramah terbaikku, aku menjawab pertanyaan mereka. "Eka Safitri."
Airi tampak puas, lalu dia menunjuk ke sebelah kanannya. "Gea." Lalu ke sebelah kirinya. "Diva."
Aku mengangguk dan tersenyum ke arah mereka berdua. Gea membalas senyumanku dengan senyum kilat yang di mataku seperti khayalan saja. Sementara Diva tersenyum tipis. Senyumnya kelihatan lebih tulus dan sopan daripada dua temannya.
"Ada apa ya?"
Airi tersentak. "Kita cuma mau kenalan kok. Nggak boleh kan?"
"Kenapa gue?" tanyaku dengan tenang.
Seketika tiga wajah itu melongo. Gea gantian bertanya. "Maksud lo?"
"Dari semua orang baru yang belum saling kenal di kelas ini, kenapa kalian milih gue sebagai yang pertama untuk dikenal?" Aku tidak suka bicara banyak, tapi kalau menghadapi orang yang belum terbiasa dengan gaya bicaraku, aku memang harus sabar.
"Nggak ada maksud apa-apa kok." Diva mencicit. Serius, dia kedengaran seperti mencicit. Ketika menatapnya—aku tidak sedang melotot kok—dia langsung tegang dan seperti ingin ngumpet di balik punggung tinggi Gea.
"Lo cukup nggak ramah ya rupanya?" Airi menyindirku dan saat itu tampaklah sedikit wajahnya yang sebenarnya: wanita angkuh yang tidak akan menerima persaingan namun juga tidak mau mundur begitu saja.
Kenapa aku harus ramah pada salah satu anak yang dari jam pelajaran pertama terus melihatku sambil berbisik-bisik dengan pandangan menusuk? Dan lagi seingatku aku tidak masuk ke sini dengan cara istimewa atau peringkat istimewa. Dari tiga puluh anak di kelas ini selain kami, dengan tiga puluh kemungkinan, kenapa dia memilihku sebagai yang pertama? Tertarik? Kurasa gurat-gurat hitam yang diam-diam mengintip dari kerah leherkulah penyebabnya.
Sebagai jawaban, aku mengangkat kedua bahuku dengan gaya cuek yang kata kakakku menyebalkan abis. "Inilah gue." kataku dengan nada sengak yang kubanggakan.
"Oke." Airi membalas tatapan sengakku dengan wajah sama sengaknya yang tentunya itu merusak wajah cantiknya. "Terserah lo aja."
Dan itu jadi akhir dari percakapan singkat kami. Tiba-tiba punggungku merinding. Seperti ada yang melihat ke arahku. Aku berbalik, menangkap sosok gadis kurus berambut panjang yang diam-diam memandangku. Seperti maling tertangkap basah, dia buru-buru berpaling dan sibuk dengan buku yang secara mendadak dibukanya.
Anak aneh. Menarik, tapi aneh. Berbeda dari Diva yang memang takut padaku, anak itu memandangku dengan sepasang mata bulat sempurna. Dia tidak takut.
Mungkin setelah ini aku harus berkenalan dengannya.
***
e
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top