3. Tingkat 1
Kututup buku sejarah itu dengan kasar. Wajahku dipenuhi derita saat melihat sampulnya yang bertuliskan "Sejarah untuk Tingkat 1"
Tidak bisa kupercaya aku berakhir di akademi Komite Keamanan Khusus tingkat satu! Jabatanku sudah Rank A—yang artinya kalau dalam pasukan militer, pangkatku setara Mayor—dan aku dipaksa mengulang semua pelajaran di akademi? Okelah aku memang tidak pernah ikut akademi K3 secara resmi. Aku jadi anggota K3 setelah ditempa latihan tanpa pernah ikut sekolah. Tapi ayolah, tingkat satu?! Kalau begitu puluhan misi yang kujalani selama tiga tahun ini apa artinya?
Di kepalaku masih terbayang dua jam lalu, saat aku baru saja pulih dari kesakitan dan berhasil lari dari ceramah kakakku Yuda yang super menyebalkan itu, aku disuruh menghadap ketua Asosiasi Dewan Komite Keamanan Khusus di kota Bogor, pak Darius Sihombing. Bagi yang belum tahu siapa beliau, singkat kata begini saja: beliau adalah orang kepala lima—nyaris enam sebenarnya ehm... tahun depan—bertampang penuh wibawa garis miring angker yang ditakuti seluruh pasukan, tidak hanya di kota, tapi juga tingkat nasional karena kemampuan bertarung dan pengalamannya di medan perang puluhan tahun silam. Yeah, dia sudah ke medan perang saat usianya masih belasan tahun.
Dua jam lalu, di kantor beliau, aku harus berdiri menghadapi beliau yang duduk di balik mejanya. Beliau mendelik padaku dengan wajah horor garis miring marah, wajah yang akan dikeluarkannya setiap aku akan kena damprat habis-habisan. Kutatap lurus-lurus mata itu, walaupun sebenarnya yang kulihat adalah dahi jenong pak Darius yang kinclong dan rambutnya yang klimis bin rapi. Ya iyalah, untuk apa aku menatapnya di sini? Masih akan ada ceramah panjang menunggu di rumah kok.
"Eka Safitri," Saat beliau menyebutkan nama lengkapku, aku langsung berdiri tegap dalam sikap sempurna. Refleks. Rasanya setiap kali beliau memanggil namaku, otakku langsung memerintahkan tubuhku agar tidak melakukan kesalahan sikap macam apa pun. "Boleh saya tau kenapa kamu ikat Charlie di gudang, menyamar sebagai dia, menyusup ke dalam misi, bergerak di luar komando, dan membiarkan satu aruna original kabur?"
Sebanyak itukah kesalahanku hari ini? Sebegitu gagalnya kah misi hari ini karena diriku seorang?
Kukumpulkan segenap keberanianku sebelum menjawab. Sebenarnya aku tidak perlu banyak keberanian karena jawaban yang kukeluarkan selalu sama, hanya saja hari ini ayah angkatku satu ini setingkat lebih menyeramkan dari biasanya. "Saya hanya ingin mencari tahu kebenaran."
Pak Darius menghela napas. "Tapi bukan begini caranya!" Benar dia memang lebih marah. Baru kali ini beliau berteriak saat menegurku. "Kalau kamu mau tau jawaban aruna itu, kamu bisa menunggu hasil interogasi setelah aruna betina itu ditangkap. Kami punya berbagai metode interogasi yang bakal membuat makhluk itu buka mulut cepat atau lambat."
"Maafkan saya, Pak."
"Maaf tidak akan berguna kalau hasilnya tidak berubah." Jleb. "Tindakanmu ini kecerobohan fatal dan di misi yang lebih besar bisa saja mengancam nyawa rekan-rekanmu."
"Saya dihukum?" Saat itu juga di kepalaku langaung terbayang hukuman mengerikan macam membersihkan toilet sebulan penuh, atau diskors, atau yang lebih buruk tak pernah diikutkan lagi ke dalam misi dan pangkatku dicopot. Jeng jeng, jadilah aku pembantu yang mengurus kebersihan rumah kami yang terlalu luas. Pekerjaan yang tidak keren banget!
Argh! Pikiranku jadi melantur begini!
"Tentu saja kamu dihukum." Pak Darius mengiyakan. "Karena kelihatannya kamu perlu diingatkan cara-cara bergerak dalam misi, kamu diistirahatkan dan akan saya masukkan ke dalam akademi selama setahun penuh."
Benar kan aku diskors. Oke, istilahnya memang dirumahkan, tapi hasilnya kan sama saja. Memang aku tidak dikeluarkan. Ini malah kelihatan mudah dan menyenangkan kalau aku mau ambil sisi positif. Tapi apa sisi positif dari dijebloskan ke tempat yang sama dengan anak sekolahan yang cuma tahu tulis menulis dan teori?
Tuhan, kenapa aku harus dari tingkat satu? Memang sih akan jadi aneh kalau aku masuk sini sebagai tingkat tiga atau malah sebagai instruktur, karena aku tidak pernah menempuh pendidikan formal di akademi. Meski sudah mengemban posisi kapten, usiaku—16 tahun. Yeah, kenapa? Belum pernah lihat anak remaja punya badan setinggi anak baru masuk SMP?—adalah usia masuk murid akademi tingkat satu. Dan lagi kalau langsung menempuh tingkat tiga, bisa-bisa namaku jadi topik panas di sana sebagai anak curut yang langsung masuk tingkat tiga lewat jalur belakang. Yang namanya anak yang jadi topik hangat pasti dalam sekejap akan jadi sasaran bully. Dengan benci kuakui, memasukkanku ke tingkat satu memang keputusan tepat.
Yeah, ayahku memang seringnya benar. Menyebalkan.
Ketukan di pintu kamar memembuatku teralih dari kegiatan kasih mengasihani diri sendiri tadi. Kak Yuda berdiri dengan wajah lelah di pintu kamarku. Ibu jarinya menunjuk ke arah luar kamar.
"Makan dulu sana! Ayah udah nunggu."
Ugh, ceramah lanjutan akan dimulai.
***
"Jika kamu berkepala panas seperti ini terus rankingmu lebih baik turun lagi ke C. Di sana kamu bisa bersama orang-orang berakal pendek sepertimu juga." Pak Darius menasehati selagi kami berdua menyantap makan malam kami. Selagi diceramahi, aku mendengar kak Yuda menahan tawa di sofa sambil menyeruput teh melatinya.
Kenapa kakak kurang ajar itu nggak keselek cangkir aja sih?
"Orang-orang di ranking A semuanya bisa mengendalikan diri dan bersikap profesional di lapangan," pak Darius melanjutkan. "Kalau bersikap tenang di tengah lapangan saja kamu tidak bisa, kamu tidak akan bisa naik ke ranking S selamanya. Tapi kalau turun ke ranking C, kemungkinannya terbuka lebar."
Telingaku rasanya terbakar.
Lagipula rangking C? Ranking terendah di Komite Keamanan Khusus? Tempat mereka yang baru saja masuk ke K3? Oke, memang aku juga baru tiga tahun masuk ke dalam Komite, tapi ayolah, masa hanya karena kesalahan ini aku dimasukkan lagi ke ranking C? Apa aku pantas dimasukkan ke sana sampai pernyataan itu keluar dari mulut pak Darius? Selemah itukah aku di matanya?
"Apa kamu mendengarkan?"
"Ya," Aku menjawab dengan lesu. "Aku dengerin kok, Yah."
"Ini bukan hukuman. Salah Ayah juga langsung masukkin kamu ke dalam Komite begitu Ayah rasa kamu udah siap," Ayahku menyuapi mulutnya, mengunyah sebelum akhirnya bicara lagi. "Latihan sendiri selama dua tahun emang tidak cukup untuk mengajarimu."
Aku tidak akan mengatakan latihan bagai neraka itu belum cukup. Justru aku sudah tidak mau merasakan latihan itu lagi. Seumur hidup. Latihannya keras sekali. Siang dan malam, dengan waktu istirahat sedikit sekali dan peraturan yang ketat. Bayangkan saya aku harus bisa menguasai tiga puluh macam gerakan dan teknik dalam waktu satu bulan. Ya, kalian tidak salah dengar. Aku hanya diberi waktu satu hari untuk bisa menguasai semua teknik yang beliau berikan.
Itu sama sekali tidak mudah.
Setelahnya, pak Darius terus-terusan menceramahiku seperti layaknya orang tua kelewat tua untuk bicara. Entahlah apa semua orang yang sudah tua atau hanya orang tua yang begini cerewetnya.
Aku terlalu lelah dan lapar untuk memikirkan hal itu.
***
"Ciee... yang jadi anak akademi."
Mataku langsung memelototi orang yang sudah berkata kurang ajar begitu. Orang itu berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka dengan seringai jahil di wajah. Yah, siapa lagi kalau bukan kak Yuda. Jangan kaget melihat perbedaan mencolok ini. Kak Yuda memang biasanya tengil kalau di luar misi kok.
Dengan gaya tengilnya—atau harus kubilang rada mirip orang sinting?—yang bikin keki, dia menunjuk-nunjukku dengan wajah mengejek. "Jah yang mukanya bete! Jah yang nggak bisa bales!"
"Diem lo!" Inginnya sih kulempar dengan salah satu buku di sini, tapi sayang ah. Buku ini sudah disediakan ayahku langsung hari ini. Benar-benar langsung, tidak tunggu proses. Aku sempat curiga dari mana asalnya. Saat kutanya, beliau bilang buku-buku ini sudah dibeli beliau beberapa bulan sebelum ini.
Oke bolehkah kusimpulkan ada kemungkinan beliau sudah merencanakan semua hukuman ini atau minimal menunggu aku berbuat salah dalam misi agar bisa memasukkanku ke sekolah?
Walaupun kelihatan disegaja, aku tetap tidak mau melampiaskannya pada buku-buku ini. Mending kulampiaskan pada orangnya langsung (eh jangan bilang-bilang ya) Ya aku tahu ini buku yang membuatku menderita (siapa yang tidak menderita kalau harus membaca buku yang isinya sudah di dalam otak semua?) tapi buku ini tetaplah pemberian ayah angkatku. Dengan kata lain, hadiah. Sudah lama aku tidak dapat hadiah. Dan buku sejarah—di luar isinya—adalah hadiah favoritku.
"Yah... lo kan kemaren pasti kayak maling dong mengendap-endap ke akademi? Nah sekarang lo nggak perlu ngendap-endap atau nyekap orang lagi kalau mau menyelinap ke dalam misi. Tapi yah lo harus sabar. Karena gue udah dapet surat peringatan buat nggak ngikutin lo ke dalam misi sampai satu tahun ke depan." Aku lupa kakakku satu ini masih setia nemplok di depan kamarku.
Sial, kenapa dia girang sekali di akhir penjelasannya yang meaningless itu? Dia senang gitu aku tidak bisa ikut misi setahun penuh?
"Ba-cot!" Segera kurapikan semua buku untuk dibawa besok ke dalam tas ransel hitam besarku. Untungnya ini baru masuk tahun ajaran. Aku hanya ketinggalan upacara pembukaan saja, jadi tidak perlulah aku terlalu canggung dengan semua anak di sana. "Kalau nggak ada yang mau diomongin mending minggat aja lo sono!"
"Yaelah segitu aja marah. Nih!" Aku menangkap seikat uang yang dilemparkan kak Yuda tepat ke wajahku. "Itu uang jajan buat bulan ini. Dari Ayah. Yang hemat, Dik!"
Cih. Andai saja dompetku tidak disita dan rekeningku diblokir, aku tidak akan sudi menerima uang yang dilemparkan dengan cara begini. Ah sudahlah lebih baik kumasukkan saja uang ini daripada tambah keki karena tidak sedang dalam posisi bisa melawan saat ini.
Tidak berdaya itu memang menyebalkan.
Aku baru saja bersiap untuk tidur saat kusadari kakakku masih nemplok di pintu. Matanya memandangku lekat-lekat. Sarat akan kecemasan walaupun kalau tidak dilihat baik-baik dia hanya seperti sedang melamun sambil bersandar di kusen pintuku saja. Tatapan matanya jatuh tepat ke tanda yang menjalar dari leherku ke seluruh tubuh. Tidak salah lagi.
"Apa lo nggak mau nutupin luka itu? Lo bisa dibully lho!"
Karena tidak mungkin aku mengakui bahwa aku tersipu atas kecemasannya, aku hanya mendengus, "Gue bisa ngelawan kalau dibully!"
Mata cemas itu berganti lagi jadi jahil. "Yeah, lo paling bakal senjata pamungkas alias bawa-bawa nama Ayah!"
"Emang lo kata gue cewek recehan macam apa?"
"Oh lo baru sadar kalau lo cewek recehan?"
Buset, makin didengarkan mulutnya makin kurang ajar! "Ya, dan lo kakak dari cewek recehan ini! Ha!"
Yuda mengangkat sebelah bahu dengan gaya cuek yang mungkin dikiranya bakal keren, tapi sumpah selain gaya bertarungnya, tidak ada yang keren dari kakakku ini. "Gue nggak masalah jadi kakak cewek recehan. Toh cewek recehan itu adik gue satu-satunya yang selalu bikin gue bangga!"
"Nggak usah ngegombal!" balasku sinis. "Emangnya lo bangga sama tindakan gue yang nyelinap kemarin?"
"Kalo itu sih..." Sesaat kupikir kak Yuda akan menghinaku, tapi ternyata dia diam saja. Hanya saja matanya masih jatuh ke leherku. "Udah, jangan ngajak ribut!" kak Yuda berbalik pergi dengan songongnya. Kurang ajar, memangnya siapa yang ngajak ribut duluan hah?! "Tidur sono! Siapa tau bisa dapet wangsit apa gitu dalam mimpi!"
Emang dia kata aku dukun?
Mataku mendadak menyipit melihat ada yang ganjil pada sikap tubuh kakakku satu ini.
Tubuhnya gemetar hebat.
"Serum penenang di lemari nggak ada," Sesuai dugaanku, dia langsung terkesiap. Tapi semua ekspresi itu dengan cepat berganti ekspresi datar yang dipaksakan. Kesan tertangkap basah terlihat jelas di wajahnya. "Seharusnya serum itu cukup buat minggu depan kan?"
"Berisik." Tanpa ba-bi-bu lagi, dia pergi meninggalkan kamarku. Meninggalkanku dengan mood yang berantakan dan hati yang khawatir pada keadaan saudaraku yang penuh ulah satu itu.
Apa dia akan baik-baik saja selama aku tidak ada?
Pertanyaan itu terngiang di kepalaku berulang kali. Saking tenggelamnya dalam pikiran itu, tanpa sadar aku memegang tanda yang terasa berdenyut sakit di leher, menelusuri alurnya yang berdetak seirama dengan jantungku. Detak yang terasa nyeri setiap detiknya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top