1. Misi yang Kacau

"Charlie, ingat, dengarkan perintahku saja! Jangan bergerak gegabah! Mengerti?"

Aku batuk sekali sebagai respon "ya" sesuai yang sudah kami sepakati tadi. Untung suara batukku rada maskulin.

"Kenapa? Batuk, Mas?"

Oke, andaikan aku bisa mengirim santet jarak jauh, akan kusantet laki-laki satu ini! Bisa-bisanya dia bercanda di saat aku tegang sampai kebelet pipis begini!

Aku dan empat puluh delapan kilo tubuhku lompat beberapa senti dari tanah. Pipiku terpaksa membentur lantai besi bagasi yang dingin. Lalu disusul goncangan lain dan aku bagai penari yang melompat-lompat di dalam bagasi truk ini. Pastinya pipiku bakal setembem bakpao besok. Itu pun kalau aku bisa bertemu hari esok.

Masih hidup atau tidaknya aku tergantung pada misi kali ini. Aku tidak boleh gagal.

Guncangan demi guncangan terjadi, dan gerakan tubuhku jadi tidak terkendali. Kakiku ke sana ke mari dan tanpa sengaja menendang sesuatu. Sesuatu yang mengerang. Ternyata aku tidak sendiri di dalam sini. Andaikan aku bisa membuka penutup mata sialan ini, pasti ada lebih banyak hal yang bisa kulaporkan! Jadi korban memang tidak enak, tapi yah... ini skenario terbaik yang bisa kupikirkan dalam satu malam.

Ketika guncangan berhenti, pipiku berdenyut sakit. Apa aku bisa bicara nanti? Maksudku setelah penyumbat mulutku ini dilepas? Kurasa tidak bisa selama seminggu penuh.

Pintu bagasi terbuka.

Ada cahaya. Setidaknya sedikit penerangan. Sepertinya dari lampu, karena aku tidak bisa merasakan hangat matahari. Ada bau lumut, artinya kami tidak sedang ada di atas tanah, atau kalau ya, kami ada di tempat super lembab dan dingin.

"Wah, wah hanya ini yang kalian dapat?" Suara wanita.

"Tapi ada barang istimewa hari ini, Nona!" Suara pria. Ah ini suara pria yang mendorongku bak sapi ternak ke dalam truk. Dia berhutang padaku satu tendangan di perut, well... kalau dia berhutang padaku, itu tidak akan hanya jadi tendangan.

"Barang istimewa? Mana?" Terdengar suara langkah kaki di dalam bagasi. Semakin dekat suara itu, semakin banyak suara tendangan dan erangan yang kudengar di dalam bagasi. Astaga, ada berapa laki-laki di dalam sini?

Tiba-tiba kerah seragamku ditarik. Aku diseret dan sebagai orang yang diikat tangan dan mulut serta ditutup matanya, aku hanya bisa pasrah. Kuikuti tangan kasar yang merenggut kerahku itu.

Dan wajahku berakhir di tanah. Sungguh posisi yang paling kubenci.

Seseorang menyentakkan rambutku. Hidungku menangkap bau mawar dan darah kuat. Yang pakai parfum seperti ini hanya wanita. Dan bau darah ini jelas dia vampir. Tapi apa dia original yang jadi target kami?

"Hoo... anak akademi. Ini memang bagus." Oh Tuhan, dia mengendusku! Mandi, aku perlu mandi! "Baunya enak. Tapi wajahnya cukup cantik, kurang maskulin, apa dia benar laki-laki?" Aduh, jangan ketahuan! Plis, jangan ketahuan!

"Dia benar laki-laki. Ini dompetnya!"

"Charlie Cristopher." Dia membacakan nama samaranku kali ini. Diam lama sekali sebelum akhirnya dia berkata, "Mungkin tidak apa-apa. Kurasa Madam bisa mentolerir wajah." Wajahku dicampakkan. Benar-benar deh, aku ingin meludahi wajah vampir ini nanti. "Bawa mereka!"

Dua pria yang mengantarku ke sini memasangkan borgol pada leherku. Suara ranai besi berdencing di belakang. Ada suara muatan yang diturunkan tapi aku ragu bisa menghitung jumlah pastinya. Tubuhku didorong dengan kasar dan disuruh berjalan. Aku dan anak-anak calon binatang ternak lainnya digiring berputar-putar berkali-kali agar tak hapal jalan keluar. Dengan mata tertutup begini, aku benar-benar tidak berdaya. Pengawasan sepenuhnya kuserahkan pada pihak yang ada di atas.

Tiba-tiba bau darah kuat tercium. Sepertinya kami sudah berhenti berkeliling. Atau kemungkinan lain, vampir yang dipanggil Madam ini menghampiri kami saking tak sabarnya. Heran. Apa lima desa tak cukup memuaskan dahaganya dan para vampir bawahannya? Serius deh, kapan para vampir puas minum darah dalam sebulan? Dan apa mereka tidak pernah berpikir untuk minum yang lain selain darah, misalnya makan nasi goreng gitu? Makanan itu kan enak banget.

Oh ya, sistem pencernaan mereka tidak bisa mencerna makanan padat. Aku lupa. Yah, tetep saja kan ada jus alpukat, jus mangga, kenapa mereka minum darah saja? Oh, aku lupa lagi. Mereka minum darah karena mereka tidak bisa memproduksi hemoglobin sendiri. Cara memperoleh hemoglobin yang aneh.

Oke, fokus, Eka! Fokus! kamu sedang dalam misi!

"Wah, wah, yang pertama menyambutku adalah murid akademi Keamanan Khusus." Itu suara wanita lagi, lebih berat, lebih kedengaran vulgar, dan... Oh Tuhan, dia memegang daguku! Dan aku bisa merasakan napasnya di wajahku. "Mari kita lihat wajah utuhmu!"

Penutup mataku dibuka, begitu pula penutup mulutku. Kuhirup udara dengan rakus sampai terbatuk. Secara refleks, aku menunduk, menghindari sinar lampu yang terang lagi menyakitkan. Mataku belum terbiasa. Kukedip-kedipkan mataku yang perih agar cepat terbiasa. Dengan cepat aku menganalisis sekitar. Kami berada di depan pintu besi seukuran dua meter yang kuduga sebagai pintu masuk ke lumbung utama. Di depan pintu itu ada dua aruna berjaga. Di sekitarku ditutupi dinding dari batu dan tanah. Benar kami ada di bawah tanah. Tapi di bawah tanah mana?

Belum sempat aku mengecek lebih jauh, daguku kembali diangkat ke atas, dan kini aku berhadapan dengan seorang wanita terjelek dalam hidupku.

Yah... tidak jelek dalam artian fisik, tentu saja karena dari segi fisik wanita ini seribu kali lebih cantik daripada aku. Cowok mana yang mau menolak sepasang mata coklat hazel, alis hitam menggoda, bibir merah alami yang merekah, wajah putih tanpa cacat, dibingkai dengan bentuk muka oval yang pas dengan rambut panjang bergelombang menawan yang dicat coklat. Mereka terlalu sempurna.

Saking sempurnanya, terlihat sangat menakutkan.

Uh-oh. Kenapa wanita ini terlihat jengkel tiba-tiba. "Aku tidak memesan yang berwajah seperti wanita begini." Matanya pergi dariku. Akhirnya. Tanpa sengaja aku menahan napas di depannya. "Hei, aku menyuruh kalian bawakan yang menarik, kenapa yang kecil bertampang wanita begini yang kalian bawa?"

"Tapi, Madam, anda bisa cium aromanya." Itu suara wanita yang menggiringku tadi. Oh Tuhan, dia memainkan rambut palsuku. Jangan sampai lepas! Jangan sampai lepas! "Baunya manis sekali."

Wanita yang dipanggil Madam itu mengendus pipiku.

Astaga! Ini menjijikkan. Menjijikkan! Vampir ini tidak hanya berani menyentuhku tapi juga mengendusku! Dia menyentuh dan mengendusku dengan tubuhnya yang entah sudah bermandikan darah berapa banyak nyawa!

Akan kucincang vampir ini!

Wanita itu menarik diri. "Kamu benar. Dia tercium berbeda. Aromanya lebih manis. Tapi ada yang aneh... aku mencium bau seseorang di tubuhnya. Baunya seperti..." Tangan aruna betina itu perlahan bergerak ke kerah bajuku. Perlahan dia menyingkirkan kerah leherku.

Sekuat tenaga aku berusaha menahan diri agar tak langsung menendang wajah wanita ini. Seluruh misi akan kacau kalau aku tak bisa menahan emosi sekarang dan lagi aku berada di sarang aruna. Aku bisa mengacaukan misi, atau lebih buruk lagi, mati sia-sia di tempat ini.

Membayangkan diriku ada di dalam genggaman aruna membuatku mual.

Menjadi budak saja sudah cukup buruk, tak perlu tambahan dimiliki oleh aruna lain.

Saat dia melihat leherku yang terbuka (Demi Tuhan, padahal ini cuma leher, tapi aku merasa sedang dilucuti!) matanya membelalak lebar. Bibir merahnya menyunggingkan senyum dan aku bisa melihat sepasang taring vampir di dalam mulut itu. Jemarinya menyentuh leherku, tepat di atas sepasang lubang menganga di sana. Jemarinya terasa dingin di kulitku. Dingin dan penuh ancaman. Di bawah sentuhannya, aku merasa sangat kotor seolah seluruh kotoran di dunia ini ada di ujung jarinya dan dia sedang menularkan semua kotoran itu padaku. Rasanya menjijikkan. Sangat menjijikkan.

Tiba-tiba dia menancapkan dua jarinya di lubang itu, membuatku seketika meringis kesakitan.

Rasanya seperti sedang digigit vampir. Percayalah, kamu tidak akan mau merasakannya seumur hidup. Yang ada hanya kesakitan, kepala yang terasa terbakar dan serangkaian mimpi buruk tak berujung.

Mendengar jeritanku yang seperti rengekan pengecut, aruna betina itu tertawa senang. "Rupanya kamu membawakanku sesuatu yang istimewa. Anak ini sudah ditandai. Dia budak... dan sepertinya budak yang cukup istimewa." Tanpa ragu, dia membalikkan tubuhku, menunjukkan leherku yang terbuka kepada orang-orang yang sedari tadi sepertinya berdiri di belakangku: dua orang pria bulukan yang kuingat sebagai penculikku dari akademi dan dua orang wanita yang sepertinya bawahan aruna betina ini.

Di bawah tatapan mereka, aku merasa sehina hewan ternak. Sehina barang yang tidak ada harganya.

Dengan kasar, tubuhku diputar lagi menghadap aruna betina itu. "Wajahmu memang mengecewakan, tapi aku penasaran selezat apa darahmu," seringainya. "Tenang saja, kamu tidak akan kuperlakukan sebagai hewan ternak. Budak berharga sepertimu akan jadi pelayan kesayanganku. Bagaimana? Kedengaran bagus kan? Atau kamu mau kuperlakukan sama seperti yang lain?"

Aku menyunggingkan senyum terbaikku. "Mimpi aja terus!"

Serta merta mata wanita itu membuka lebar. Jelas. Suaraku barusan tidaklah maskulin, malah feminim. Dan itu jelas bukan suara sapi-sapi perah jantan yang ia cari. Akibat yang kuterima cukup jelas.

Bogem mentahnya mendarat di wajahku.

"Apa-apaan ini? Dia perempuan! Aku menyuruh kalian membawa laki-laki, dasar tolol!" Sebelum sempat wanita itu mengucapkan sumpah serapah lagi, borgol di tanganku sudah terlepas dan kakiku mendarat di wajah cantiknya.

Para bawahannya segera mengepungku. Total ada sembilan orang. Tanpa punya waktu melepaskan belitan di tanganku, aku harus bertarung melawan mereka semua. Dengan tanganku yang masih terikat tali dan mereka bersembilan yang punya kecepatan serta kekuatan fisik di atas manusia, jelas aku kalah tanding walaupun kecepatan dan kekuatanku juga di atas manusia normal. Berkali-kali aku kena hajar dan tendangan. Bahkan tendangan salah satu dari mereka cukup keras, membuatku membentur dinding gua dan sepertinya berhasil mematahkan satu tulang rusukku. Dinding gua sempat berguncang karena berbenturan dengan tubuhku. Tanpa daya aku jatuh ke tanah, berlutut.

Satu tendangan dilancarkan ke perutku lagi. Kali ini cairan lambungku keluar.

Sekali lagi kepalaku disentak dengan kasar. Sepertinya bakal banyak rambutku yang rontok setelah ini. "Berani-beraninya kamu menginjak wajahku yang sempurna ini, manusia rendah!" Oke, kutarik kata cantik dari kamusku tentang wanita ini. Tidak ada wanita cantik yang mengomel sambil menyembur-nyembur begini.

"Maaf deh kalau kami manusia rendah."

Aruna itu menoleh, aku melirik ke arah datangnya suara. Di dekat anak-anak yang masih berbaris rapi dengan belenggu yang mengikat mereka, berdiri sesosok pemuda berbaju hitam memegang dua bilah pedang yang berlumuran darah merah gelap. Di belakangnya berdiri lebih banyak orang—mungkin sekitar dua puluh orang—berseragam hitam memegang berbagai senjata, mulai dari pisau hingga senapan. Sementara aruna-aruna yang tadi mengeroyokku sudah tak bergerak lagi di tanah dengan kondisi berlumuran darah dan beberapa termutilasi.

Aruna betina itu mendadak melepaskanku seolah lupa padaku. Ia membelalak tak percaya.

Kesempatan.

Dengan sebelah kakiku, aku menjegal kakinya sekuat tenaga. Aruna betina itu jatuh, tapi refleksnya cepat. Dia sempat menopang berat tubuhnya dengan sebelah tangan, mencegahnya benar-benar jatuh ke tanah. Aku menjegal sebelah kakinya yang lain, tapi dia malah salto menjauh dariku. Suara tembakan membahana di seluruh ruangan. Aku menunduk, sementara aruna itu bergerak cepat ke pintu besi.

Kulihat sebuah granat terlempar ke pintu besi. Meledakkannya sampai tertutup material gua. Aruna itu terjebak sekarang. Tapi bukannya menyerah, dia malah kelihatan siap menyerang. Aku buru-buru berdiri, memasang posisi siap bertarung yang tidak keren-keren amat mengingat tanganku yang masih terikat.

Tiba-tiba ikatan di tanganku dilepas. Aku menengok ke belakang, melihat sosok laki-laki yang pertama datang dan berlagak sok keren tadi. Ups, aku harus segera berbalik lagi sebelum ketahuan.

"Kerja bagus, Li! Sekarang, kita babat aruna itu!" kak Yuda berkata dengan wajah tengil. Dia menyerahkan sebilah pedang padaku, yang kuterima dengan senang hati. Katana. Bagus.

Suara tembakan ramai-ramai terdengar lagi. Aruna itu berhasil berkelit dengan mudahnya di tengah hujan peluru, membuktikan bahwa dia bukanlah aruna lemah sekelas bawahan. Tambahan, dia original yang kebal matahari. Sial.

Saat hujan peluru berhenti dan aruna itu mulai membabat pasukan penembak, aku bergerak maju. Dalam beberapa langkah, aruna itu sudah tepat berada di bawahku. Kak Yuda menyerang dari samping, menghentikan langkah aruna itu dengan melukai pinggangnya. Aku mengakhirinya dengan satu serangan di toraks.

Inginnya sih bilang begitu. Tapi pada kenyataannya, saat kakiku memanjang untuk menendangnya, aruna itu berhasil meraih kakiku, menarik tubuhku higga terjerembab ke tanah. Sial.

Sebelum aku bangun, aruna betina itu menindih punggungku. Kedua kakinya menahan tanganku dan kedua kakinya di kakiku. Aku terkunci. Sekali lagi, sial. Kemudian kurasakan napas dinginnya di leherku dan aku tahu dia sedang membuka mulutnya.

"Sebenarnya aku tak sudi meminum darah sesama wanita, api apa boleh buat! Aku benar-benar butuh!"

Lalu rasa sakit itu menghunjam leherku. Tidak sesakit kedengarannya karena ini bukan gigitan pertama yang aku alami. Tapi dari mulai berkunangnya pandanganku, sekujur tubuh yang mati rasa dan kesadaranku yang semakin menjauh, aku menyimpulkan bahwa aruna betina ini bukanlah majikanku. Bukan aruna sialan yang sudah menandaiku sebagai budaknya.

Baiklah, aku sudah mendapatkan satu dari dua info yang aku butuhkan. Pertanyaannya sekarang, siapa yang akan menolongku? Tubuhku sudah hampir lumpuh total, aku tidak bisa meraih penawar racun yang kusembunyikan di bawah sepatu.

"Jauhin dia, aruna busuk!" kak Yuda menerjang ke arah kami. Kukira kepalaku akan ikut ditebasnya melihat betapa panjang pedang Yuda, tapi serangannya justru membuat beban di punggungku berkurang.

Aruna itu pergi.

Lalu aku merasa ada benda tajam menusuk leherku. Ada cairan yang mengalir dari sana masuk ke dalam pembuluh darahku. Benda tajam itu perlahan mulai terasa dingin dan aku mulai bisa merasakan jari jemariku lagi. Bagus. Penawar racun.

Tak bermanja ria, aku berusaha bangun walau tubuhku lunglai bagai tak punya tulang. Aku bangun dengan kedua tangan dan kaki menopang tubuhku yang masih tak bertenaga. Kepalaku berputar ke belakang. Sempat kuduga berhasil kabur, rupanya kak Yuda sudah berhasil memaku betina itu ke dinding dengan pedangnya. Aruna betina itu menjerit-jerit. Cakar panjangnya berusaha meraih leher kak Yuda atau minimal bisa mencabik wajahnya, namun itu hanya membuat pemuda itu memaku pedangnya lebih dalam ke dinding. Jeritan betina itu semakin menjadi. Lukanya semakin parah dari detik ke detik, darah yang keluar dari mulutnya bertambah banyak.

"Manusia jahanam! Terkutuk kalian!"

Andai aku bisa membalas perkataan jelek itu. Untungnya kak Yuda sudah mengambil alih peran itu dengan baik.

"Yeah, seengaknya kami nggak menghisap darah." Yuda berkata dengan nada santai.

Terkadang aku bersyukur dia menjadi kakakku. Mulut hinaannya kadang berguna untuk mewakili hinaan yang tak sempat keluar dari bibirku.

Aruna itu menyeringai. "Kami? Bukannya kamu sama?" Wajah Yuda mengeras. Jelas dia tahu dan tidak suka arah topik ini. "kamu juga bukan ma—

Saat itu juga Yufda menembus perut aruna betina itu dengan tangan kosong. Terdengar suara batu berderak seperti dipecahkan benda keras. Darah memancar lebih deras. Percikan darah sebanyak itu membuat mata Yuda yang semula coklat berubah merah menyala. Ia menggertakkan gigi dan bisa kulihat taringnya memanjang di dalam mulutnya.

"Keluarga... Caiden..." Aku berniat memotong dan menghentikan amarah kak Yuda. Tapi lidahku yang mati rasa membuat suara parau yang keluar dari muluku malah terdengar lucu dan tidak ada seram-seramnya sama sekali.

Eh sialan kenapa kak Yuda malah setengah mati menahan senyum gitu? Memangnya dia kira dia kelihatan keren kalau menahan senyum dalam wajah aruna begitu?

Dengan susah payah, aku berjalan. Kaki sebelah kananku masih setengah lumpuh sehingga aku harus bersandar pada dinding gua untuk bisa berjalan ke arah aruna betina itu. Tentu saja aku tidak gegabah lagi, kali ini aku berhenti di jarak aman dari tangan maupun kaki aruna betina itu.

"Keluarga Caiden..." kak Yuda meneruskan ucapanku. Sepertinya dia tahu apa yang hendak kuucapkan. Tak heran. Aku selalu menanyakan hal ini kepada semua aruna original atau aruna kelas lebih tinggi yang kutemui. "kamu tahu siapa yang membantai mereka?"

Aruna betina itu meludah. Yuda menghindar dari ludah itu dengan mudah. Dia meludah lagi ke arahku. Sial bagiku, refleksku belum pulih. Jadilah cairan super menjijikkan itu mendarat di wajahku dengan indahnya.

Kuharap kak Yuda membiarkan aku mencincang aruna sialan ini kalau aku sudah pulih nanti.

Yuda menancapkan pedangnya semakin dalam hingga hanya tersisa gagang pedangnya saja di luar. "Aku bertanya baik-baik. Apa kamu tahu siapa yang membunuh mereka, Aruna?"

"Mana aku tahu?! Itu bukan urusanku!" Aruna itu memekik.

Yuda mencabut tangannya dari perut si aruna dan dengan ekspresi kejam, dia menyeringai. Taring di dalam mulutnya masih sepanjang saat dia marah. Ini ekspresi yang paling kubenci darinya. Ia kelihatan semakin mirip aruna setiap harinya. "Aku bisa mengulangi apa yang tadi aku lakukan, sepanjang hari, selama apapun yang aku butuhkan, kalau kamu tidak mau bekerja sama." Ia lantas menjilati tangannya yang berlumuran darah si aruna original. Ugh... seharusnya aku tidak melihatnya. Membuatku mau muntah saja! "Nah..."

Tangan Yuda menancap lagi ke lambung aruna betina itu. Kali ini bahkan iblis itu pun menjerit kesakitan. "Bicaralah..." Yuda berbisik keji.

"Aku benar-benar tidak tahu! Itu kebenarannya! Semua hal tentang pembantaian keluarga Caiden adalah tabu untuk dibicarakan!"

Tabu?

Kami berdua mematung. Selama beberapa saat pikiran kami kosong. Kami lengah. Dan akibatnya, aruna betina itu menendang kak Yuda hingga tubuhnya membentur sisi lain gua. Aruna itu, yang sudah bebas dari tangan kakakku, mencabut pedang yang menancap di bahunya dengan paksa. Aku berusaha meraih aruna betina itu tapi dia lagi-lagi berhasil mengalahkanku dengan mudah hanya dengan satu cekikan di leherku. Kelumpuhan sialan!

"Aku tidak akan melupakan semua ini, manusia! Urusan kalian berdua dan aku barus aja dimulai!" Matanya yang penuh dendam dekat sekali dengan wajahku. Langsung saja aku melakukan apa yang ingin kulakukan sejak tadi.

Meludahinya.

Cekikan betina itu semakin kencang hingga rasanya merobek kulitku. Leherku tiba-tiba terasa panas. Sangat panas. Seperti ada yang melingkarkan belenggu besi yang masih membara ke leherku. Rasa sakitnya membuat tubuhku berkelojotan seperti ulat sekarat dan pekik kesakitan meluncur keluar dari mulutku dengan payahnya. Aku kelihatan benar-benar menyedihkan di bawah tangan aruna ini. Sekali lagi, sial.

Aruna betina itu menyeringai. "Efek karena aku menggigitmu mulai terlihat ya." Matanya turun melihat tanganku dan menyeringai. "Benar-benar budak nakal. Sudah berapa banyak aruna yang menggigitmu sampai tanda ini menjalar begini banyak? Kamu tidak akan laku di pelelangan dan kuyakin tuanmu pun akan membuangmu atas ketidak patuhan ini. Bagaimana kalau ikut bersamaku?"

"Diam aruna busuk!"

"Gadis yang kurang ajar." Dia menyeringai. "Padahal aku sudah bersimpati padamu yang hidupnya tidak akan lama—

Aruna itu tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Sayang dia berhasil menghindari sabetan pedang kak Yuda yang ternyata sudah berdiri di belakangnya. Aruna betina itu melesat, menendang pintu besi begitu mudahnya dan berlari ke dalam. Pasukan pembantu yang sedari tadi kulupakan, secara bersamaan menerjang ke dalam dengan senapan di tangan.

Sementara aku dengan sangat menyedihkan terjatuh ke lantai gua yang berbatu dan dingin. Tubuku masih kejang didera rasa sakit dan luka di leherku bergelenyar memperburuk keadaan. Aku merasakan sesuatu menjalar di bawah kulitku, seperti ada ulat yang merayap cepat hingga sampai ke pangkal leherku. Seakan tidak cukup sampai di situ, sebilh pedang terhunus tepat ke depan wajahku. Dengan susah mataku bergerak ke atas, menatap kak Yuda yang memelototiku dengan mata merahnya yang sepertinya bisa menembakkan laser langsung ke mataku.

"Nah, apa kamu punya penjelasan untuk kakakmu ini, Eka?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top