Side Story: Sang Penjaga Makam
Sang penjaga makam muda belajar segala hal dari ayahnya.
Pertama, ia belajar bahwa di masa lalu, orang-orang di negara ini lebih mengenal mereka dengan sebutan "Tukang gali kubur" sebelum dikenal penjaga makam.
Sebuah lelucon pembuka, sang penjaga makam muda mengingatnya. Karen setelahnya, tidak ada lagi lelucon yang enak didengar.
Segera setelah ia belajar dan terbiasa dengan keseharian sebagai penjaga makam, ayahnya mulai mengajarinya hal-hal lain.
Dalam hitungan bulan, sang anak kecil yang sudah menjadi calon pewaris pekerjaan ayahnya di usia tujuh tahun itu lantas belajar berbagai cara penguburan jenazah untuk berbagai kalangan.
Dari sana, ia mengetahui betapa banyak perbedaan yang ia temukan pada jenazah dan orang-orang yang memperlakukannya. Ia memahami betapa kematian tidak mengenal waktu dan usia. Baik itu tua dan muda, mereka yang tubuhnya sebesar pohon kepala maupun sekecil seukuran telapak tangan, semuanya kembali ke liang lahat yang sama.
Atau begitulah yang ayahnya ajarkan.
Meski sama, satu hal mampu membedakan makam ke dalam dua golongan besar.
Ada yang terus menerus mengucurkan uang untuk perawatan makam kerabatnya setiap bulan, ada yang harus terus ditagih oleh ayahnya untuk terus melakukan pembayaran rutin agar makam-makam itu senantiasa terawat, maupun ... yang mendadak hilang setelah prosesi pemakaman selesai.
Ayahnya biasanya menegur tiga kali pada pembayaran yang terlambat sebelum mengabaikannya sama sekali. Membuat sang anak akhirnya bertanya dengan polos pada suatu hari:
"Apa keluarganya nggak akan marah kalau kita nggak urus?"
"Mereka sendiri yang memutuskan pembayaran, artinya emang mereka nggak mau ngurusin makam kerabat mereka itu," jawab sang ayah.
Tapi sang penjaga makam muda tidak begitu saja puas.
"Apa kita nggak bisa gantian mengurusi makam mereka?"
Sang ayah terdiam sejenak. Mata hitamnya yang telah kusam melirik sang anak sesaat sebelum kembali mencatat ke dalam buku tahunan dan menghitung uang yang dijepit dalam buku catatan.
"Nggak akan bisa," jawab sang ayah. "Kalaupun bisa, Ayah nggak akan melakukan itu."
Sang anak tertegun.
"Buat apa ngurusin susah-susah orang mati yang bahkan udah nggak diurus lagi sama keluarganya? Kalau keluarganya aja udah lupa, buat apa kita yang bukan siapa-siapa ini ngurusin sampai sebegitunya?"
Penjelasan itu membuat sang anak terdiam.
"Selain itu, daripada ngurusin orang yang udah mati," Sang ayah mengulurkan tangan dan mengelus kepala putranya, sang calon pewaris pekerjaan ini. "Mendingan Bapak ngurus apa yang Bapak punya."
Setelah mendengar penjelasan itu, sang anak tidak bertanya lagi. Itu adalah kali terakhir, ia bertanya soal makam-makam yang tidak diurus.
***
Pengajaran sang ayah kepada anaknya terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya.
Di suatu hari, ayahnya bilang, dulu pemakaman lebih beragam lagi. Nisan yang digunakan ada beragam bentuknya. Mulai yang berbentuk salib sampai yang bentuknya panjang seperti tiang panjang. Sampai ke bambu runcing dan topi tentara khusus untuk mereka yang gugur di medan perang.
Tapi selepas perang besar yang kemudian diketahui sang anak sebagai Perang Merah, meletus, semua Manusia tanpa kecuali, dimakamkan dengan cara yang sama.
Tua dan muda, prajurit maupun rakyat sipil, semua dimakamkan di bawah nisan batu yang sama. Tidak memandang perbedaan apa pun. Semua peraturan hampir tidak ada lagi selepas perang yang meratakan segalanya.
Semua, kecuali satu.
Satu peraturan yang diwariskan sang ayah kepada sang penjaga makam muda. Peraturan yang tidak lekang bahkan oleh perang sekalipun:
Pemakaman hanya untuk Manusia.
Tidak ada makhluk selain Manusia yang boleh dimakamkan di sana. Saat itu, sang anak sudah mengetahui adanya Aruna. Tapi ia tetap hanya mengitayakan dan mengangguk.
Karena ia tidak pernah melihat ada Aruna yang memakamkan sesamanya di pemakaman umum.
Tapi di malam berhujan itu, pandangannya tentang peraturan makam berubah seketika.
***
Malam itu menjadi serangkaian malam dengan hujan deras. Tidak seperti malam sebelumnya yang diiringi guntur dan kilat, hujan malam itu cukup tenang. Seperti mencoba mendinginkan suhu tanah dan bumi yang sempat menghangat karena matahari yang menyengat di kala siang, hujan malam itu cukup deras untuk membuat genangan, tapi tidak cukup membahayakan untuk membuat banjir melanda.
Suasana yang seharusnya tenang.
Namun pada kenyataannya, sang anak justru mendengar sesuatu yang tidak biasa dari arah makam.
"Bapak denger ada suara dari luar?" Sang anak bertanya, berhenti mengerjakan PR-nya dan menoleh ke arah jendela yang tertutup.
"Suara apa? Suara hujan?"
"Bukan." Sang anak menggeleng, lalu bangkit dari kursinya dan melangkah ke jendela. Tangannya menggapai tirai yang mengayun pelan karena angin yang berhasil menembus jendela. "Kayak ada suara orang ... menggali."
Suara deru hujan mungkin sedikit menutupinya, tapi bertahun-tahun menjadi penjaga makam yang harus berurusan dengan hewan liar yang jadi terbiasa memangsa mayat dan orang-orang aneh yang membongkar makam membuat sang anak terbiasa dengan suara-suara aneh seperti itu.
Seketika ruang keluarga itu diam. Tangan sang penjaga makam muda membeku di tirai, menyadari suasana berubah tegang karena kata-katanya.
Suara orang menggali di tengah pemakaman tanpa memberitahu ayahnya atau rekannya yang lain, tidak pernah menjadi sesuatu yang bagus.
Tanpa bicara, sang ayah menghampiri putranya. Tangannya meraih tirai dan menyibaknya sedikit. Tubuhnya membungkuk sedikit di depan jendela.
Tiba-tiba kedua mata sang ayah membelalak. Tampak kaget luar biasa. Lalu tanpa mengatakan apa pun, ayahnya berlari menyeberangi ruangan dan mengambil senter. Sang anak tidak mengintip. Melihat reaksi ayahnya yang demikian buru-buru membuatnya langsung mengikuti sang ayah keluar, alih-alih mengintip penasaran seperti anak kecil.
Kegelisahan di mata ayahnya hanya berarti satu hal bagi sang anak: ia harus membantunya.
Tapi kali ini, sang ayah justru menghentikannya sebelum keluar dari pintu dan mengatakan hal yang berbeda.
"Kamu tetap di sini. Jangan ke mana-mana."
Biasanya sang anak akan menuruti kata-kata itu, tapi melihat ayahnya keluar tidak membawa tongkat kayu besar yang biasa, tapi sebuah golok tajam yang hanya ayahnya gunakan untuk menebang pohon dan menyembelih hewan, tahulah sang anak bahwa sesuatu tidak benar di luar sana.
Segera setelah ayahnya pergi keluar dari pintu depan dengan jas hujan ponco miliknya, sang anak mengambil payung dan sebatang tongkat kayu.
Hanya tertinggal beberapa langkah, sang anak menyusul membuka pintu yang tidak tertutup rapat saking buru-burunya sang ayah pergi.
Beberapa langkah dari rumah mereka di pinggir makam, tepat di tanah yang kosong karena sudah menjadi bagian dari halaman rumah, seseorang berlutut di tanah.
Seorang pemuda, anak itu menyadari. Anak itu mengerjap heran, sampai mendapati kedua mata sang pemuda merah darah berpendar di tengah gulita. Dengan segera, ia terkesiap dan berlindung di balik tubuh ayahnya yang langsung tegang. Biasanya ia akan langsung dimarahi karena melanggar kata-kata sang ayah, tapi malam itu tidak ada satu pun dari mereka yang berani bersuara di depan sosok yang berlutut di bawah guyuran hujan, hanya terpisah beberapa langkah dari mereka.
Aruna.
Ada Aruna di pemakaman mereka.
Dalam guyuran hujan, tubuh pemuda itu basah kuyub tidak terlidnung payung atau tudung apa pun. Kemeja dan seluruh pakaiannya berlumuran tanah dan lumpur. Tapi kegelapan tidak bisa menghalangi cahaya senter ayahnya dan menyinari jejak darah yang banyak, membanjiri tubuh sang Aruna. Jikalau tidak hujan, sosok Aruna itu pasti sudah akan terlihat bagai bermandikan darah.
Sang anak dan ayah itu bergidik ngeri, tapi tidak bisa memalingkan muka dari pemuda yang berlutut di hadapan mereka.
"B-Bapak...." Sang anak bersuara pelan. Matanya mengarah ke tanah yang digali sang Aruna, sadar akan sesuatu.
Awalnya ia mengira Aruna itu akan memangsa mayat atau mencurinya. Pencurian jenazah oleh Aruna bukan hal yang baru, meski jarang sekali terjadi. Sang anak sudah siap jika harus melihat ada seonggok mayat keluar dari liang mereka saat itu.
Tapi tidak ada pemandangan mengerikan itu terjadi.
Karena sang Aruna ... rupanya menggali sebuah tanah kosong. Tanah yang belum diisi oleh mayat siapa pun.
Ini bukan pertama kalinya sang anak bertemu dengan Aruna. Kadang, di hari-hari yang buruk, ia berpapasan dengan mereka. Dan di setiap kesempatan itu, sang anak selalu ketakutan. Mata Aruna memiliki kebengisan yang tidak bisa dijelaskan. Mata yang menatapnya sebagai mangsa setiap waktu.
Namun mata Aruna di hadapannya ini berbeda. Meski tubuhnya berlumuran darah dan membuatnya bagai monster di tengah malam, matanya tidak menatap apa pun. Tidak tampak memiliki emosi apa pun.
Seperti mata orang mati.
Tentu saja, itu tidak mungkin. Pemuda ini tadi bergerak. Baru saja ia menghadap ayahnya dalam posisi masih berlutut. Ia masih hidup. Kalau begitu, kenapa bisa matanya seperti mata orang yang sudah tidak berjiwa?
"Ada urusan apa kamu ke sini?" Ayahnya mengacungkan golok hitam yang sang anak tahu, terbuat dari bahan yang bisa melukai Aruna. Dengan gagah berani, ayahnya mengacungkan golok itu tepat ke wajah sang Aruna. "Pergi! Ini tempat istirahat Manusia, bukan untuk Aruna. Jangan mengganggu! Kamu nggak akan dapat makanan apa pun di sini dan jangan usik jenazah di sini!"
Pemuda itu tidak menjawab. Aruna itu diam dan menundukkan kepala, membiarkan hujan mengguyur tubuhnya tanpa ampun. Jika saja ia Manusia, mungkin saja ia sudah akan menggigil dan ambruk.
"Saya ingin memakamkan seseorang di sini." Suara pemuda itu keluar. Tanpa emosi. Membuat sang anak bergidik ngeri sekali lagi. Menyadarkannya, bahwa meski ia tampak mati, Aruna itu masih hidup ... dan bukan Manusia. Tidak ada Manusia yang bisa bersuara sedingin itu.
"Saya sudah bilang, ini bukan tempat untuk Aruna." Ayahnya berkata di tengah deru hujan yang mereda. "Ini tempat untuk Manusia. Saya tidak yakin Anda akan nyaman atau senang...."
Suara ayahnya semakin lenyap saat pemuda itu menggeleng perlahan. Satu pertanyaan lalu sama merasuki benak sang bapak dan juga sang anak.
Siapa yang Aruna ini ingin makamkan?
Sang anak keheranan. Ia berpikir, untuk pertama kalinya ia melihat ada Aruna yang peduli pada pemakaman. Ia akan menyaksikan bagaimana Aruna akan dimakamkan.
"Bukan untuk Aruna." Pemuda itu menoleh ke belakang dan sang anak pun menyadari ada bungkusan kain di belakangnya. Kain yang ... seukuran tubuh manusia. "Tapi jika memang tidak diizinkan, saya akan pergi."
Ayahnya terdiam untuk waktu yang sangat lama sampai membuat sang anak resah, takut ayahnya mati berdiri saking syoknya. Tapi ayahnya hanya menatap Aruna itu dengan pandangan tidak terbaca. Sementara sang Aruna, menundukkan kepala. Membuat sang anak terheran-heran dalam diam.
Aruna bukan makhluk yang suka memalingkan muka dari lawan bicaranya, apalagi menundukkan kepala.
Ini pertama kalinya.
Sungguh, ada banyak kejadian yang baru terjadi malam ini dalam hidup sang penjaga makam muda.
"Itu Manusia?"
Sang Aruna mengangguk. Sekali lagi tanpa suara. Sekali lagi ... mengirimkan mereka ke kesunyian yang panjang dan lama.
Sang anak bukan orang yang hijau dalam urusan suara, tapi ia jelas baru dalam urusan kesunyian. Karena yang terbayang di benaknya setelah ini adalah kesedihan. Sebuah alasan yang biasa dilontarkan orang-orang kepada ayahnya agar memberikan sedikit kelonggaran. Sedikit belas kasih dan santunan bagi kondisi mereka yang sedang berduka berkepanjangan.
Tapi Aruna ini diam.
Dia tidak membuat alasan. Tidak pula menyangkal. Ia tidak berusaha memenangkan hati ayahnya yang tadi sudah mengusirnya.
Aruna itu hanya diam ... seperti menerima segalanya.
"Pemakaman terdekat dari sini harus menyeberangi hutan dan satu Basis Manusia lagi." Sang anak mengerjap. Apa ayahnya akan.... "Jika dia memang Manusia, tidak baik bagi jenazah untuk didiamkan untuk waktu yang lebih lama dari ini."
Sang anak melirik sang ayah. Keheranan dan kebingungan menjadi satu dalam wajahnya, tapi ia tidak berkata banyak hal. Keputusan saat ini, masih ada di tangan sang ayah.
"Anda mungkin bisa menempuhnya dengan cepat, saya nggak akan ragu soal itu, tapi...." Sang ayah terdiam sejenak. "Saya nggak bisa membiarkan jenazah sedetik lebih lama lagi, aplaagi di tengah hujan begini."
Mendengar kata-kata itu, sang Aruna mendongak. Kedua mata merahnya membulat dan untuk pertama kalinya sejak ia datang, sang anak melihat emosi muncul di mata pemuda itu.
Dalam guyuran hujan yang membasahi bumi, Aruna tampak seperti sedang menangis. Sang anak menyaksikan mulut sang Aruna membuka, menampakkan taring yang jelas membuatnya takut, langsung berpegangan pada celana sang ayah.
Namun hal yang mengejutkan terjadi.
Aruna itu menempelkan kepalanya ke tanah.
Tanpa ragu, tanpa malu. Ia menunduk ke derajat paling bawah di hadapan mereka berdua yang hanya seorang Manusia. Sang anak terkesiap, sementara sang ayah langsung berlutut, tidak menerima sujud itu sama sekali.
"Tuan—
"Terima kasih....." Samar, tertutup hujan, sang anak mendengar sang aruna berkata dengan suara yang bergetar. Memotong segala protes dari mulut sang ayah yang kini berlutut di hadapan sang Aruna. "Saya benar-benar berterima kasih."
Malam itu, keduanya terdiam untuk waktu yang lama.
***
Lama waktu telah berlalu sejak malam itu. Sang anak telah menjadi penjaga makam menggantikan sang ayah yang wafat dua puluh tahun kemudian. Dan sekarang, sang penjaga makam juga telah memiliki beberapa anak.
Ia pun, suatu hari, entah segera atau nanti, akan pergi dari dunia ini.
Memikirkan segala yang telah terjadi, segala yang hilang dan tidak akan kembali, mendadak saja membuat sang penjaga makam merasa letih. Punggungnya yang telah bungkuk dan kakinya yang harus ditopang oleh tongkat jalan, terasa semakin berat untuk menopang tubuhnya tetap berdiri sekarang ini.
Meski demikian, sang penjaga makam masih bisa tersenyum.
Setidaknya, saat ia menyadari, ada orang yang datang dan sudah berdiri di sisinya sekarang ini.
"Senang melihat Anda masih hidup, Tuan."
Hanya ada jawaban sekenanya yang terdengar dari sebelahnya. Sang penjaga makam menoleh. Wajah keriputnya menyunggingkan senyum ramah pada pemuda yang tidak berubah sama sekali bahkan setelah puluhan tahun berlalu.
"Apa akhirnya ada orang yang memukul kepala Anda begitu keras sampai membuat Anda ingat untuk kembali ke mari?"
"Bisa dibilang begitu." Pemuda itu tersenyum. Sang penjaga makam tua memerhatikan, mata pemuda itu kembali hidup. Tidak seperti saat pertama mereka bertemu.
Meski ... tidak bisa dipungkiri, kesedihan senantiasa muncul di kedua mata merah yang sama sekali tidak pernah tampak beringas itu. Terlebih saat memandang nisan dari dua makam di hadapannya ini.
"Aku akan kirimkan bayaran tahunannya." Sang pemuda berkata. "Terima kasih sudah merawat mereka."
Sang penjaga makam mendengkus. "Saya hanya takut akan ada orang gila yang menggedor pintu rumahku malam-malam kalau sampai lalai menjaga mereka."
Sang Aruna tertawa kini. Sedikit kesedihannya tampak telah terobati.
"Abaa!" Seorang kecil dari kejauhan melambaikan tangan kepada mereka. Anak itu mungkin baru berusia dua tahun. Dan langsung berhenti melambaikan tangan saat melihat sang pemuda. Anak itu berlari pergi sambil menangis.
"Siapa itu?" Sang pemuda bertanya, penasaran.
"Cucu saya." Sang penjaga makam berkata dengan sayang dalam suaranya. "Sungguh suatu keajaiban setelah semua ini ... aku dan dia selamat. Bersama anak-anak saya yang lain. Meski ... nggak semuanya."
"Maaf." Pemuda di sebelahnya berkata. "Aku...."
"Saya terima belasungkawanya, Tuan," sang penjaga makam mengangguk. "Tapi sungguh, Anda nggak berhutang maaf apa pun. Anda pun ... kehilangan banyak hal selama semua kekacauan itu terjadi, kan?"
Pemuda itu terdiam sejenak. "Kamu jadi mirip ayahmu."
Sang penjaga makam tertawa pelan. "Kalau sudah seumur saya dan melakukan pekerjaan ini bertahun-tahun, lama kelamaan juga akan tahu wajah mana yang baru saja melihat kematian."
Sang penjaga makam lantas mengingat permintaan tidak masuk akal sang Aruna setelah selesai memakamkan .... Dia yang dipanggil musuh olehnya.
Musuh yang begitu dikasihi, sang penjaga makam mengingat dengan aneh.
Sebuah dusta untuk menutupi kebenaran yang menyakitkan. Sang penjaga makam bukan sekali-dua kali melihat respons duka semacam itu. Biar bagaimanapun, orang-orang menyikapi kehilangan dan kematian dengan cara yang berbeda.
Dan mungkin untuk Aruna, duka akan kehilangan menjadi sesuatu yang begitu memalukan sampai harus ditutupi.
"Tolong buat makam satu lagi." Sang penjaga makam mengingat kenangan di malam hujan badai itu. Tepat setelah untuk sekian lama, darah kembali mengalir di pemakaman ini. "Bukan untuk saya, tapi untuk pemilik Badan ini. Jika masih kurang saya bisa berikan lagi. Sebanyak apa pun. Hanya saja, tolong...."
Sang penjaga makam lalu tertawa masam.
"Atau mungkin kenangan seorang Aruna yang memotong tangannya sendiri untuk dimakamkan begitu membekas di benak saya sampai membuat saya trauma begini," Ia berkelakar. Tapi melihat sang pemuda tidak membalas candaannya, sang penjaga makam kembali serius. "Tolong jangan bilang, Anda mau memotong badan Anda lagi untuk memenuhi syarat pembuatan satu makam."
Sang Aruna tersenyum. "Tidak. Yang ini ... dia bukan saya atau bagian dari tubuh ini." Ia memegang lengannya sendiri saat berkata. Lengan yang dulu ia potong untuk dimakamkan. "Aku rasa, sampai akhir pun, ia hanya akan punya nama di atas monumen, bukan makam."
Sang penjaga makam merenung. Tidak ada makam untuk dikunjungi, tidak ada peti yang dikubur. Hanya sepenggal nama di atas sebuah batu sebagai bukti bahwa Manusia itu pernah ada. Bahwa ada hati yang mengingatnya dan dunia merekam keberadaannya.
Sebuah kehampaan tanpa akhir yang akan menyiksa sampai napas terakhir.
Dalam banyak hal, perasaan seperti itu jauh lebih berat daripada kehilangan. Jika ada makam, kau bisa berduka selama yang kau mau. Kau bisa mengunjunginya jika kau rindu.
Jika hanya sepenggal monument dan nama ... kehilangan yang terasa akan meninggalkan rasa hampa yang jauh lebih menyakitkan dari sekadar duka.
Sang penjaga makam mencuri pandang ke pemuda di sebelahnya. Dirinya telah memiliki keturunan, dua garis keturunan. Tangannya telah keriput, punggungnya telah bungkuk, dan jalannya tidak lagi lurus. Matanya telah rabun dan tenaganya tidak lagi banyak bersisa. Sudah lama waktu berlalu bagi sang penjaga makam muda. Anak kecil yang dulu ketakutan melihat satu Aruna datang di bawah guyuran hujan sudah tidak lagi ada. Menyisakan cangkang tua yang perlahan merasa, dunia sudah terlalu menyilaukan dan melelahkan untuk terus dipijaki.
Tapi Aruna di sisinya, makhluk ini tidak berubah sedikit pun. Waktu tidak memikirkannya. Dunia tidak mengindahkannya. Tidak peduli berapa lama waktu yang berlalu, tidak peduli berapa dalam kesakitan yang ia tanggung, pemuda itu tidak akan tahu batas usianya. Tubuhnya tidak akan menua, fisiknya tidak akan menurun.
Jika saja Aruna ini sama seperti Aruna yang lain, sang penjaga makam tidak akan peduli. Sayangnya, sosok sang pemuda yang bukannya kelihatan angkuh, tapi justru tegar, membuat sang penjaga makam merasa iba.
Merasa dirinya sedikit lebih beruntung karena bisa menyambut jika kematian datang kepadanya yang sudah usang ini suatu hari nanti.
Hidup sebagai makhluk abadi yang terus merasa kehilangan ... ia tidak berani membayangkan betapa berat semua itu bagi Aruna yang terlalu punya banyak emosi.
"Apa Anda nggak pernah kepikiran untuk ... biarkan aja semuanya?" Sang Aruna melirik sang penjaga makam. Tidak tampak tersinggung, jadi sang penjaga makam tua pun berkata lebih lanjut. "Menanggung emosi sebegitu banyak, merasa kehilangan dan berkunjung ke makam ini secara rutin ... dengan segala hormat, Tuan ... Anda bukan Manusia. Anda ... mungkin tidak dibuat untuk menanggung emosi sebanyak itu."
Sang penjaga makam menatap nisan di depan mereka sekali lagi.
"Ya ... aku bahkan tidak pernah yakin aku punya emosi sampai aku kehilangan mereka," Sang Aruna berujar. "Aku juga bertanya-tanya, bagaimana bisa tubuh kalian yang rapuh dan berumur pendek, menanggung begini banyak emosi ... tanpa hancur sama sekali?"
Sang penjaga makam menghela napas.
"Oh, beberapa dari kami hancur, Tuan." Ia berkata dengan sedih. "Beberapa hancur dan tidak bisa kembali. Beberapa memilih jalan pendek untuk menghancurkan dirinya sendiri. Tapi sekalipun lama menanggung semuanya, akhir selalu datang dengan pasti bagi kami. Setidaknya ... sejauh apa pun melangkah, kami bisa melihat garis akhir dari semua ini. Saat penantian berakhir."
Sementara Anda entah harus berapa lama lagi berjuang.
Keduanya lantas terdiam. Membiarkan angin sepoi-sepoi berembus di tengah-tengah mereka.
"Katakanlah aku keras kepala," Sang Aruna menyentuh dadanya sendiri. Kedua matanya terpejam. "Tapi melupakan semua perasaan yang mereka telah berikan, memperlakukan kenangan mereka sebagai sebatas memori ... adalah penghinaan paling besar yang bisa aku berikan kepada mereka."
Ada kesedihan dalam suaranya. Ada penderitaan mencambuki dirinya. Tapi ia masih bersikeras menghukum dirinya sendiri untuk itu. Sang penjaga makam termenung. Bagi Manusia, orang yang telah lama mati hanya akan menjadi konsumsi jiwa dan tinggal dalam memori.
Sang penjaga makam mengenang saat Aruna itu datang. Betapa wajahnya seperti orang mati. Betapa kesedihan dan kehilangan yang terpancar dari mata itu begitu mengoyak hati sampai sang anak ketakutan karenanya.
Melihat Aruna yang begitu tidak terikat pada emosi dunia, rasanya Aruna itu bisa membunuh semua orang tanpa ragu. Tanpa melihat ke belakang lagi untuk berduka.
Beberapa kunjungan sebelum ini, sang Aruna tidak lagi menampakkan begitu banyak kesedihan. Malahan, ia tampak sedikit lebih damai. Tapi setelah apa yang menimpa negara ini, sorot mati itu kembali.
Kali ini, diiringi kesedihan mendalam yang alih-alih membuat takut, justru membuat sang penjaga makam merasa kasihan.
Aruna ini ... tengah menahan diri. Dari kehancurannya sendiri. Dari emosi yang menyiksanya.
Mungkin bagi Manusia abadi, kematian memiliki konsep yang sangat asing dan berbeda. Konsep yang tidak akan dimengerti manusia biasa seperti dirinya. Mungkin tidak seharusnya ia paham atau bertanya-tanya kenapa sang Aruna menolak untuk sekadar mengenang.
Ini di luar kuasanya.
"Saya hanya bisa berharap." Sang penjaga makam berkata, menuntaskan pertemuan mereka hari itu. "Semoga penerus saya ... maupun penerus kebijakan sebelum saya, nggak membuat kunjungan rutin anda terhalangi atau terputus begitu saja."
Sang Aruna mendengkus pelan. "Kecuali ada anggaran lebih besar untuk tembok pembatas Basis Manusia untuk kota ini, aku tidak yakin mereka akan bisa menghalangiku."
Sang penjaga makam tua hanya bisa tersenyum. Ia memejamkan mata sejenak dan di sisinya, tidak ada lagi siapa-siapa. Sang Aruna telah pergi sekali lagi, entah ke mana, dan baru akan datang di kunjungan berikutnya.
Sang penjaga makam berharap, dirinya masih hidup untuk menyambut sang Aruna di lain hari. Sekadar untuk membuat sang makhluk penyendiri itu, tidak begitu merasa kesepian. Walau hanya sejenak.
"Semoga kita masih bisa bertemu di kunjungan Anda selanjutnya," ujarnya. "Tuan Gilang."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top