8. Saka: Pemanggilan
Tanpa basa-basi, mereka membawaku kembali ke Jawa Barat. Sesuai janji, mereka membawaku ke Jakarta.
Melewati tembok pembatas dengan Basis manusia, Jakarta seolah menjadi surga tersembunyi. Dengan hutan yang terbakar hebat, puing-puing menjadi ganti hutan dan dedaunan yang sempat membentang antara perbatasan Bekasi dan Jakarta. Kini keduanya terpisah oleh puing dan jejak kerusakan.
Sementara wilayah basis manusia lain dipimpin oleh pemerintahan pusat di Bogor, Jakarta kembali beroperasi seperti biasa. Menjadi kota pertama di negara ini yang kembali berjalan, meski bukan Basis Manusia dan tidak lagi diakui secara de jure menjadi bagian dari negara ini.
Tempat yang selama tiga bulan ini mengalami perbaikan besar-besaran itu hampir bisa layak difungsikan kembali sebagai sebuah kota.
Bukan berarti pembangunan di kota lain tidak berjalan. Gilang memiliki skala prioritas yang terus dipantau setiap bulan, terutama mengenai pembangunan wilayah-wilayah terdampak di luar Jogjakarta, tapi dalam hal kebanggaan identitas, Aruna tidak kalah konyol dan egoisnya dari Manusia.
Sementara pembangunan ulang kota Bogor masih berjalan tersendat, aktivitas pemerintahan di Jakarta sudah berjalan, bahkan aku dengar akan ada lebih banyak pembangunan ulang yang diadakan dalam satu bulan ke depan memanfaatkan semua sumber daya dan tenaga kerja yang ada.
Semua itu dipadukan dengan usaha peredaman aktivitas lain yang berpotensi memicu konflik, mengawasi gua dorman para Aruna, serta membantu manusia membentuk kembali pemerintahan dan keamanan mereka, sebuah prestasi jika Gilang belum gila sampai detik ini.
Terlebih setelah sebuah kehilangan yang bahkan tidak bisa ia tangisi lebih dari satu hari.
Aku berhenti tepat di perbatasan Jakarta. Di hadapanku, para petugas perbatasan mulai memeriksa sesuai prosedur. Dari atas kepala hingga ujung kaki.
"Mohon masukkan tangan Anda." Salah seorang petugas membimbingku ke dalam tabung pemeriksaan.
Mereka bahkan menyediakan tempat khusus bagi tangan yang diborgol. Sebuah lubang yang lebih besar dibanding lubang lainnya. Aku memasukkan tanganku ke dalam slot yang lebih besar itu. Sebuah pasak kecil menusuk telapak tanganku. Mesin menyala, melakukan prosedur pemeriksaan kandungan di dalam darah.
[Negatif] Mesin berbicara. Aku aman dari segala racun agatya maupun kandungan PL yang terlalu tinggi.
Para petugas di tempat pemeriksaan membungkuk hormat kepadaku secara serentak.
"Selamat datang kembali, Tuan."
***
Satu orang berdiri di hadapanku, sementara yang lain menyusul di belakang. Selepas aku masuk ke dalam kota, ada enam orang lagi yang menyusul di belakang. Enam orang yang diam-diam mengikuti dalam bayangan.
Gedung dan bangunan mulai kembali dibangun. Di bawah kakiku jalaan telah bersih dan mulai diperbaiki. Lampu-lampu dan aliran listrik mulai kembali untuk fasilitas umum. Aku tidak banyak mencium aroma darah lagi di sini, tidak seperti beberapa hari lalu.
Satu orang berjalan di depanku setelah aku minta. Tadinya tidak ada yang mau. Selain karena merasa tidak perlu ada penunjuk jalan, tidak ada dari mereka yang berani. Aku mendongak, melihat sinar matahari tertutup awan hari ini.
Karena itulah ada Generasi Pertama yang bisa datang menemani.
Sepanjang jalan puluhan pasang mata mengikuti. Mereka yang tengah memperbaiki gedung dan jalan, mereka yang mengevakuasi, mereka yang sekadar lewat, semuanya memalingkan pandang ke arah sekumpulan orang yang berjalan ke Gedung hitam Dewan. Dengan tangan diborgol.
Aku mengabaikan semua tatapan itu dan hanya kembali menatap ke depan ketika telah tiba di hadapan Gilang.
Tepat di ruangan sempit interogasi.
Wajah aruna itu masih sama keruhnya seperti terakhir kali aku temui. Potongan rambutnya disisir rapih, kemejanya disetrika dengan baik tanpa ada lipatan tertinggal, penampilan dan ketenangannya juga sempurna. Degup jantungnya stabil. Tidak ada aroma darah yang melekat terlalu berlebihan padanya.
Tapi wajahnya yang keruh itu mungkin perlu sedikit diperbaiki.
Maksudku, dia memang tidak pernah lagi punya selera humor sejak semua ini berakhir, tapi kali ini wajahnya lebih keruh dari terakhir kali aku menemuinya. Sepertinya ada sesuatu yang salah terjadi.
Tidak mungkin itu karena perbuatanku, kan?
"Kamu tahu pemimpin tidak seharusnya turun tangan, kan?" Gilang membuka pembicaraan saat aku sudah duduk di hadapannya. Suaranya dingin dan tanpa emosi, persis suaraku sendiri. Dan aku merasa terhina karena kesamaan ini.
"Mungkin." Gilang menjawab dengan santai. "Tapi jika pemimpin yang menjadi terduga, siapa yang bisa menginterogasinya selain orang berpangkat sama?"
"Sikap merendah seperti itu tidak akan membawa Anda ke mana-mana, Tuanku."
"Dan tindakan cerobohmu ini bisa membawamu ke tempat yang tidak terduga, Ananta." Gilang menaruh kedua tangannya di atas meja dan aku mengikuti. Sebuah inisiatif kejujuran, meski bukan berarti kata-kata yang akan keluar dari mulut kami selanjutnya adalah murni sebuah kejujuran. "Sebelas rekaman menunjukkan dirimu sedang membebaskan Arka dan menaruhnya ke dalam inang yang baru."
"Salah satu tahananmu," koreksiku. "Bukan kerugian yang besar, aku rasa."
"Sekarang," Gilang mengoreksi balik. "Nanti pastinya kerugiannya akan lebih besar lagi."
Aku tidak menampik itu. Satu langkah sudah terlewati. Gilang unggul dalam sekejap mata.
"Kenapa?" Gilang memulai pertanyaan inti.
Aku melirik kaca hitam di samping kami. Ruangan ini ditanami perak dalam jumlah yang tinggi. Kepalaku pening hanya karena ada di dalam sini. Aroma tajam perak memenuhi hidungku sampai mati rasa. Aku juga mencium aroma hematit. Artinya tidak mungkin bisa menembus tembok di sini dengan selamat.
Ketika aku mencoba mendengarkan, tidak ada detak jantung lain yang cukup keras untuk terdengar. Hanya ada Gilang. Aku yakin mendengar lima detak jantung lain, tapi detaknya terlalu lemah sampai aku tidak berani memastikan.
Aku diam dan menunggu. Mencoba memainkan kartu yang pertama. Menunggu ada yang bicara dan memutar balikkan keadaan. Tapi ternyata tidak. Gilang juga memainkan kartu yang aman Dia tidak mau bertanya dan menunggu.
Aku menatap aruna itu lekat-lekat. Jika dia berniat untuk menunggu, niscaya kami akan benar-benar terdiam di sini sampai pagi. Dan orang-orang yang menonton pun tidak akan bergeming, meski harus diganti berkali-kali.
Embusan napas kelua dari mulutku. Yang jelas, kami tidak akan bisa keluar dari sini jika tidak ada yang mengalah. Atau jika aku memilih diam saja. Aku tidak mau memecahkan rekor baru yang konyol di saat seperti ini.
"Aku hanya ingin berharap."
"Berharap apa?"
"Kamu tahu jawabannya."
Sebuah ekspresi muncul di wajah Gilang. Secercah emosi yang berusaha ditekannya selama ini menyala kembali, datang karena provokasi keci dariku. Sebuah harapan, sekaligus sebuah keputus asaan. Sebuah harapan yang ia tahu, akan terempas begitu saja, sekali ia dihadapkan pada kenyataan yang pahit.
Tapi Gilang bukan makhluk berumur pendek yang mudah sekali terpancing. Dalam sekejap, bahkan lebih cepat dari kedipan mata, ekspresi yang tenang kembali kepadanya.
"Harapan yang sia-sia. Ah, bijak. Dia memilih mengakui daripada menghindari. "Dengan risiko yang kelewat batas, bukan begitu?"
"Semua orang berhak mendapat kesempatan." Aku menengok ke kaca hitam, bertanya-tanya, apa mungkin ia ada di balik kaca itu dan ikut mendengarkan? Tapi aku tahu, itu semua hanya keinginan egois yang tidak beralasan, seperti aruna muda. "Aku hanya ingin memberikannya kepada orang yang aku rasa paling membutuhkan kesempatan saat ini."
Gilang tampak semakin kesal. "Saka, alasanmu tidak cukup—
"Eka mungkin sudah mati." Aku menjatuhkan bom dengan sengaja ke tengah-tengah kami dan aku bisa melihat wajah Gilang berubah gelap. Penuh emosi yang sama sekali tidak ditahan. Aku sudah bisa melihat akhir hidupku di tangannya, jadi aku menambahkan langsung. "Tapi kamu tahu mayat Ratna tidak ditemukan. Mayat Albert diletakkan beberapa meter dari radius ledakan dan utuh. Ada sidik jari dia di sana. Jadi tindakanku tidak sepenuhnya salah."
Ekspresi gelap Gilang sudah berkurang, tapi aruna itu tetap saja mengernyit. "Itu justru menambah masalah, Saka."
Tidak hanya soal Arka, aku tahu apa yang ia implikasikan di sini. Ini juga soal Ratna sendiri. Ia tahu fakta-fakta itu. Banyak spekulasi pula beredar, tapi tidak banyak yang tahu kebenaran. Lebih sedikit lagi yang tahu kalau Arka terikat jiwa dengan Ratna. Kebanyakan orang di ruangan ini hanya tahu kalau Arka terikat jiwa dengan seseorang.
Dan aku sudah menjatuhkan bom di tengah-tengah mereka. Bukan keputusan yang bijak sama sekali. Aku baru saja mengarahkan mata tombak kembali kepada anak yang tadi berusaha aku selamatkan.
Mungkin tidak banyak yang tahu kalau Ratna-lah yang membuat Edric masih selamat dulu. Tapi kalau nyawa gadis itu artinya bisa membunuh Arka, mungkin separuh suara akan mendukung untuk membunuh gadis itu demi memusnahkan satu ancaman perdamaian.
Aku menatap meja putih di depan kami. "Itulah sebabnya aku tidak pernah suka jika sentiment mengambil alih logikaku dalam mengambil keputusan."
Kedua tanganku saling bertaut di bawah meja.
"Tapi aku tidak bisa berbuat banyak sekarang." Aku memejamkan mata. "Sentimen sudah mengambil alih kepalaku ... sudah sejak lama."
Gilang diam. Semua orang diam. Ia bahkan mungkin berhenti bernapas karena aku tidak mendengar suara napas siapa pun. Ah, belum tentu juga. Mungkin ini karena ruangan ini. Inderaku jadi tumpul di ruangan ini.
Tidak merasakan banyak impuls di saat yang bersamaan memang tidak pernah nyaman terasa.
Aku membuka mata. Syal merah tergantung di leherku. TIdak terlepas atas keputusan Gilang yang tetap menghormati. Sekaligus percaya kepadaku. Percaya aku tidak akan melakukan apa pun untuk melawannya.
Kepercayaan yang konyol. Tapi di sinilah aku, menghargai bentuk kelemahan itu, seperti seorang Manusia menyedihkan.
Ah, tidak. Aku memang menyedihkan. Sejak memungut bayi manusia itu dan jadi lembek, aku memang menyedihkan.
"Aku tidak diam saja melihat seorang anak perempuan menangis, Gilang ... tidak lagi." Sekali lagi mataku tertuju ke depan, ke arah Gilang. Lalu melirik ke balik kaca, berharap ia ada di sana dan mendengarkan. "Tidak ketika aku tahu, ada yang bisa aku lakukan."
"Dia bukan anakmu." Gilang memetiskan pendapatku. "Dan tindakan ikut campurmu ini mungkin akan memperkeruh segalanya, alih-alih menyelamatkannya."
"Aku tahu." Aku mendebas. "Tapi beberapa masalah perlu diselesaikan."
Aku menaikkan tangan dengan sengaja ke atas meja. Memperlihatkan kedua pergelangan tanganku yang diikat menjadi satu.
"Dan beberapa orang saudaraku butuh dipukul kencang sekali di kepala untuk bisa sadar." Aku tersenyum pahit, sambil menelengkan kepala. Mendekatkan tubuh ke arah GIlang. "Tapi untungnya kita bukan saudara, bukan begitu?"
Gilang tidak berubah ekspresi sama sekali. "Untung saja."
Aku tersenyum puas. "Kamu bisa menahanku dan memberi hukuman yang pantas," Punggungku bersandar lagi di kursi. "Semua akan tetap berjalan walau aku tidak bertindak."
Kali ini Gilang yang menoleh ke arah kaca hitam. "Kamu kadang tahu sekali caranya memprovokasi seseorang."
"Kalau kamu tumbuh bersama dengan dia selama berabad-abad," Kepalaku mendongak menatap langit-langit, mengernyit karena terangnya lampu. "Kamu akan memahami semua kebodohannya."
Setelah menghela napas sejenak, Gilang lantas berdiri. "Akan aku tinggalkan kamu bersama mereka yang berwenang. Mereka akan tahu cara mengurusmu."
Aruna itu lantas berjalan keluar. Melangkah dengan tenang. Dari kursi, tanpa bergerak, aku memerhatikan punggungnya. Dan tepat sebelum tangannya memegang pegangan pintu, aku pun bersuara lagi.
"Pengendalian dirimu mengagumkan."
Tangan Gilang berhenti. "Kapan?"
"Tadi," jawabku jujur. "Kamu berpikir akan langsung mencarinya, kan? Berharap ia masih hidup setelah aku mengatakan kemungkinan itu."
"Eka...." Harus aku akui, aku sedikit terkejut. Sejak ia kembali dari tengah Jogjakarta tanpa hasil, aku tidak pernah lagi mendengar nama itu keluar dari mulutnya. Hampir seolah ia takut, dengan mengucapkannya, ia akan diganjar kenyataan yang pahit sampai hancur tidak bersisa. "Ada di tengah kota. Bertarung sampai akhir."
Setiap kata, aku bisa merasakan kesakitan dan perjuangan Gilang di setiap kata. Mengucapkannya saja sudah membuat aruna satu itu merasakan sakit yang amat sangat, tapi ia tetap tidak jatuh. Ia tetap berdiri.
"Ia tidak seberuntung itu," imbuhnya. "Tidak seperti gadis lain yang sama sekali tidak ditemukan keberadaannya, Saka."
Gilang menoleh ke arahku untuk terakhir kalinya, memperlihatkan kepadaku sebuah wajah yang tertahan oleh ketenangan dan wibawa. Sebuah emosi yang berkecamuk penuh pilu, tapi sorot matanya tegar dan penuh tekad.
"Dia ada di sana, terbakar sampai tidak tersisa." Kenyataan itu keluar dari mulutnya, mengakhiri diskusi kami soal Eka. Kali ini, untuk selamanya. "Dan aku sudah berjanji akan kuat meski tanpa dirinya."
"Sebuah janji yang konyol dan berat."
"Aku tahu." Gilang kembali menatap ke depan, membuka pintu. "Tapi Eka ingin selalu kuat. Dia tidak mau mengalah bahkan oleh kemanusiaannya sendiri."
Pintu tertutup pelan di belakang Gilang. Dan sekali lagi, aku sendirian.
"Tidak lemah, bahkan ketika terpisah." Aku mengembuskan napas lelah. "Bukannya biasanya orang-orang justru akan bilang: tidak bisa hidup tanpa satu sama lain?"
Sebuah anomali. Kejanggalan di antara kenormalan yang terjadi. Tidak lama, sebuah senyum terlukis di bibirku. Gadis itu benar-benar anak berandal yang benar-benar menyusahkan.
Tapi dialah yang menyelamatkan negeri ini. Dan kenyataan itu tidak berubah, sampai kapan pun.
***
A/N:
Mungkin ini akan jadi sudut pandang terakhir Om Saka selama beberapa saat ke depan. Tapi entahlah. Mungkin saya juga bakalan berubah pikiran. Setidaknya di sini kalian terjawab kenapa Om Saka bisa ketahuan.
Kisah ini akan mulai bergulir dari sudut pandang Ratna lagi. Kira-kira seperti apa, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top