4. Saka: Mereka yang Berubah

Satu hal merepotkan dari menjadi orang yang memiliki kompas moral adalah: kau tidak bisa mengabaikan ada satu mayat pun yang tergeletak tanpa dikubur.

Maksudku memang ada alasan higienis, penularan, dan beberapa tetek bengek lainnya yang harus diperhatikan selama masa-masa seperti ini, tapi ayolah, itu masalah Manusia. Bukan masalah makhluk sepertiku. Lagipula kenapa juga aku bisa peduli? Aku tidak akan tertular banyak hal kecuali cacing-cacing menyusahkan di luar sana. Tidak ada alasan bagi makhluk berusia lebih dari seribu tahun untuk peduli pada hal-hal kecil yang seharusnya bisa diabaikan.

Tapi kenyataan memang jauh dari angan.

Sekarang aku justru membawa mereka ke dalam pondokku yang ngomong-ngomong jadi tidak ubahnya kandang anjing setelah mereka datang. Sempit sekali. Aku tidak kebagian tempat untuk sekadar duduk.

Yang lebih buruk, aku tidak sekadar menemukan mayat. Yang ini masih berdenyut dan bernapas. Walau keduanya sama-sama dalam kondisi paling tidak jelas yang bisa aku saksikan dari siklus makhluk hidup.

Yang satunya masih berwujud kerangka berbalut kulit.

Yang satunya berwujud utuh tapi tidak juga bangun.

Padahal ini sudah empat hari.

Aku sudah mencoba berbagai cara untuk membangunkan mereka. Mulai dari berteriak keras-keras, menampar, memukul, bahkan menyiram mereka dengan segayung air yang aku bawa langsung dari mata air di hutan.

Tidak ada satu pun yang berhasil.

Yah, bukan berarti tidak ada cara lain.

Aku masih bisa menggunakan cara ekstrim seperti membuat suara seriuh perang atau marching band atau memberikan mereka hewan buas agar mereka bisa bangun karena tercabik atau nyaris tulis karena amukan binatang, tapi aku tidak mau dituduh sudah merusak ekosistem hutan.

Lagipula aku tidak mau lagi dituduh gila. Tidak peduli semenjengkelkan apa pun Manusia, aku tidak mau lagi sudi menggunakan upaya sebesar itu untuk sekadar membangunkan dua onggok anggota mereka yang terlalu malas untuk bangun.

Di samping tempat tidur yang sekarang penuh dan kursi yang juga penuh, aku berdiri seperti orang tolol, mengamati dua anak perempuan yang seenaknya menumpang di rumah ini tanpa bayar sewa.

Dan aku juga merutuki separuh diriku yang membawa mereka padahal tahu tidak akan dapat keuntungan apa-apa.

Padahal aku berniat untuk mengakhiri semuanya. Mengasingkan diri di sini dalam kesunyian seperti biasa ... atau mungkin mengurus satu-dua hal yang tidak bisa aku serahkan kepada orang lain.

Tapi kenyataannya....

"Kalau kau seperti itu, aku tidak akan heran orang-orang malah akan menari-nari di atas kuburmu," Kata-kata tajam kurang ajar dari Albert terngiang dalam benakku. "Alih-alih membantumu atau sekadar mendoakanmu."

Helaan napas berat keluar dari mulutku. "Seandainya saja aku memang benar akan dikubur saat mati nanti...."

Aku ingin menghina, melontarkan kata-kata pedas apa saja, tapi sadar hal itu hanya akan membuatku kelihatan menyedihkan, aku pun urung melakukannya.

Tidak seharusnya makhluk sepertiku menangisi kepergian satu Budaknya. Aku bisa mencari lagi.

Tapi dasar perasaan sialan, hanya karena sudah begitu lama menghabiskan waktu dicerca kata-kata kurang ajar dan tingkah laku yang sama sekali tidak hormat darinya, mendadak harus kehilangan itu semua ... tidak peduli walau aku sudah tahu akan begini jadinya ... tetap saja.....

Aku menyapukan tangan dengan gusar ke wajah, berharap dalam satu kali sapuan seperti itu, emosiku yang carut marut bisa kembali tertata.

Sinar keemasan menembus jendela dalam petak cahaya buram. Aku menoleh ke arah kaca jendela. Tirainya masih tertutup karena aku muak melihat petak cahaya yang buram oleh hamburan partikel. Rasanya debu-debu ini tidak hilang walau aku sudah mencuci setiap jengkal pondok ini sampai seribu kali.

Biasanya aku akan frustrasi luar biasa, tapi kali ini, pagi ini mungkin aku tidak akan punya waktu untuk mengurus sesuatu seperti itu.

Aku menoleh untuk keli terakhir ke arah dua orang perempuan yang sedang tertidur itu. Bukan berarti ada kemungkinan besar mereka bakal terbangun saat aku pergi, tapi aku rasa berjaga-jaga tidak pernah ada salahnya.

Aku melangkah ke arah pintu pondok. Kerapuhan tempat ini sudah teruji. Jika yang di kasur bangun, aku tidak akan heran pondok ini tinggal puing saat pulang nanti. Mungkin sebaiknya aku mulai mempersiapkan bahan baku cadangan jika sewaktu-waktu saat pulang nanti, pondok ini sudah botak atapnya.

Aku lantas menoleh ke arah nakas di samping tempat tidur. Tidak ada apa pun di dalam nakas itu selain debu dan sarang laba-laba. Sementara sekarang ada dua mulut tambahan yang perlu diberi makanan beragam yang merepotkan. Bukan berarti mereka akan kubiarkan berani meminta yang macam-macam tapi tetap saja ... ah, aku benci diriku sendiri.

"Yah...." Aku membuka kunci pintu dan untuk pertama kalinya dalam satu minggu belakangan ini, kembali melangkah untuk tujuan yang jauh. "Bukan berarti mereka akan mati kelaparan saat aku tinggal beberapa jam, kan?"

***

Mengherankan sekali saat melihat Ratna baru sampai di kaki gunung ini padahal dia sudah dua hari berjalan. Aku tidak ragu jika dia ada dalam kondisi prima, di sudah akan sampai di Banyuwangi hari ini, jika tidak begitu sial dan diserang.

Tapi jika pun minus semua penyerangan itu, fakta jika dia bergerak begitu lambat adalah sesuatu yang sebenarnya perlu dipikirkan olehnya.

Kondisi gadis itu menurun drastis. Dia memaksakan diri untuk tetap tersadar sementara seharusnya ia sekarang sudah ikut tertidur, sama seperti Pasangan Jiwanya. Gadis itu tidak akan bertahan lebih lama lagi.

Sayang sekali. Padahal dirinya bisa saja bertemu dengan orang itu. Mereka sudah seharusnya membicarakan akar busuk yang menjadi penyebab semua masalah ini berabad-abad lalu. Mereka bisa bicara seperti dua makhluk berakal dan aku akan menjamin, Klaus dan telinga tulinya itu akan duduk diam seperti anak kucing.

Sekarang masalah justru terletak pada gadis itu.

Keluarga yang merepotkan.

Kenapa juga aku tidak membuang saja mereka dan melepaskan diri?

Ah ya, benar. Perasaan. Sial sekali aku ini.

Entah apa motivasi di balik keputusan Ratna untuk menyembunyikan keberadaan dirinya dan gadis itu dari semua orang. Sebaiknya aku juga jangan bertindak terlalu gegabah. Emosi semua orang sedang dalam masa yang baru saja tenang. Sedikit saja hantaman, kondisi mereka bisa kembali ke satu minggu yang lalu dan aku tidak mau ada di tengah-tengah mereka untuk jadi penonton terakhir yang beradab.

Jadi sampai mendengarnya, aku harus merahasiakan ini dari semua orang.

Sekarang, andaikan saja lawan bicaraku setiap hari adalah orang yang mudah diajak bicara, semua ini tidak akan tampak begitu absurd.

"Kau cukup memakan waktu, Saka."

Aku berputar, menghadap seorang remaja laki-laki dengan usia yang aku berani bertaruh, tidak lebih tua dari Budak Gilang saat ia mati. Berlawanan dengan wajah mudanya, sorot mata pemuda itu tampak tajam. Ia menilai sembari tersenyum, menyapa dalam perhitungan yang terstruktur. Dan untuk itu, aku membungkuk di hadapannya.

"Saka, aku sudah bilang kalau tidak perlu melakukannya."

Aku bangun dengan hati-hati. "Aku hanya tidak mau dituduh kurang ajar."

Klaus tertawa dalam suara remaja yang sama sekali tidak cocok. Dia bicara seperti kakek-kakek, tapi suaranya seperti remaja kasmaran yang aku tahu, biasanya hanya hobi memikirkan perempuan. Kombinasi menggelikan yang di lain hari akan aku jauhi setengah mati

"Siapa yang berani bilang kamu kurang ajar?"

Pertanyaan itu diucapkan dalam nada santai, tapi aku tahu ancaman tersirat di baliknya.

"Hanya perumpamaan."

Aku lantas memalingkan pandang ke depan sekali lagi, memandangi gua yang membetang sepanjang kurang lebih lima belas kilometer lebih di dalam, dengan lebar mulut gua tiga puluh meter. Mataku melirik jalan masuk gua yang hanya selebar satu meter dan vertikal. Aroma lulmut, batuan lembab, air sungai jernih yang telah lama terkurung, memenuhi seluruh gua ini. Aliran angin sepoi-sepoi terasa di ujung lain gua, membelai syal merah yang melingkar di leherku.

Di dinding gua, membentang jauh ke dalam dan menjulang mulai dari tanah sampai ke langit-langit setinggi tiga meter, berdiri kokoh lusinan koloni Aruna yang membentuk kepompong raksasa. Aku melangkah mendekati koloni terdekat, menghitung paling tidak ada dua ratus tujuh puluh aruna yang dorman di dalam kepompong ini.

Pandangku melirik ke arah lusinan koloni lain yang diawasi oleh personil-personil lain, aruna-aruna yang dibiarkan hidup untuk tujuan ini. Tidak ada koloni yang bereaksi, artinya tidak ada Manusia. Itu hal bagus. Aku tidak mau membayangkan akan jadi apa jika satu saja Aruna di dalam kepompong ini merasakan kehadiran manusia. Kesadaran kolektif yang kami miliki saat dorman itu luar biasa merepotkan, mengerikan bahkan, jika aku mengutip kata-kata Manusia.

"Kamu yakin memilih ini, Klaus?" Tanganku menyentuh permukaan salah satu kepompong. Tekstur kistanya mengingatkan aku pada sarang madu dengan lebih sedikit cairan di permukaannya dan aroma yang lebih tajam. Aromanya mirip otak Manusia yang mentah dan segar.

"Menurutmu pilihan ini salah?" Klaus balas bertanya, seperti sebelumnya. Tapi kali ini, aku tidak bisa menebak arah pembicaraannya. Ada lebih sedikit emosi. Lebih sedikit petunjuk untuk digapai.

Di dalam kepompong, salah satu Aruna bergerak menunjukkan kehidupan. Seolah menyimak percakapan kami. "Salah satu dari mereka bisa saja pembuat masalah yang lain kan? Tidak sebaiknya memilih mereka lagi dan menyisakan yang baik saja?"

"Kurasa seleksi itu tidak berlaku bagi Manusia selepas tragedi ini," Aku mendengar langkah Klaus mendekat dan segera berbalik. Memunggungi Klaus tidak pernah terasa nyaman, terlebih sekarang.

Remaja itu tersenyum di belakangku. Tidak ada gerak-gerik mencurigakan darinya, tapi aku juga tidak melihat celah. Dia sepenuhnya dalam mode siap bertarung.

"Aku tidak tahu kamu orang yang cukup senang merepotkan diri seperti itu, Saka. Biasanya kamu tidak peduli." Senyum miring merekah di bibirnya yang tipis. Senyum yang seperti mengejek. Kemudian ia tertawa sendiri. "Sepertinya aku masih harus mengejar ketinggalan. Kalian semua sudah berubah jauh sekali."

"Termasuk dirimu."

Kata-kata itu menghentikan tawa Klaus. Kami bertukar pandang. Ia sedikit terperangah, pastinya tidak menduga kata-kata itu akan keluar. Begitu pun denganku. Di kondisi Klaus sekarang ini, mungkin ia bisa mengganjar orang yang berani menghinanya seperti itu—terutama jika orang itu Manusia—dengan hukuman ringan, tapi aku rasa perlu ada yang bicara seperti itu sesekali kepadanya.

Ketika aku mengira Klaus akan memasang mimik masam, ia justru melemparkan senyum yang kelihatan sangat sedih kepadaku. "Menurutmu begitu?"

Aku melirik ke arah kepompong-kepompong di dalam gua. "Kau bersiap untuk perang selanjutnya."

Klaus menjadi yang pertama berbalik. Seperti dulu. Beberapa yang lebih positif memandang itu wujud kepercayaan dari Klaus, tapi bagiku tu sikap meremehkan, tapi tidak ada siapa pun yang bisa menyerangnya dari belakang sekalipun dia sudah memberikan umpan sejelas itu.

"Manusia yang selamat di luar sana tidak diseleksi selain dari ketahana hidup mereka. Jahat atau tidak, menguntungkan kita atau tidak, mengancam atau tidak, kita tidak pernah tahu." Klaus menyentuh salah satu kepompong dan Aruna di dalamnya bergerak hidup, seperti saat aku melakukannya tadi. "Kenapa kita harus repot menyeleksi sementara ancaman masih ada di luar sana?"

Klaus memalingkan wajahnya kepadaku. Di sana, terdapat seringai yang entah kapan terakhir kali aku melihatnya dari Klaus. Seringai kelicikan. Seringai dari seseorang yang pikirannya dipenuhi berbagai rencana keji.

"Aku lupa kau bisa membuat ekspresi seperti itu juga."

Seringai itu berubah jadi senyum, lalu Klaus memalingkan pandang. "Sudah terlalu lama."

Aku mengiyakan tanpa suara. Yang aku ingat adalah Klaus yan tolol dan terlalu terobsesi untuk menyayangi dan melindungi Manusia. Aku tidak pernah lagi mengingat Klaus yang seperti ini. Bukannya dia tidak pernah bersikap seperti ini, tapi masa-masa itu ada di awal ingatanku dan menarik ingatan-ingatan awal masa hidup itu menyusahkan.

"Jadi ini seperti jaminan?" tanyaku menyimpulkan. Lalu melangkah semakin jauh ke dalam gua. "Agar kita siap saat konflik terjadi lagi?"

Tidak ada jawaban dari Klaus. Tapi aku tahu, itulah tujuan dari pengumpulan semua Aruna yang selamat ini.

Kegelapan di dalam gua semakin lama semakin pekat kaibat waktu yang terus berjalan di luar. Air di dalam gua telah pasang kembali, kini airnya menggenangi mata kaki dan membuat ujung celanaku basah.

Mataku menyisir dengan cepat setiap Aruna pada setiap Koloni. Kami bukan makhluk yang senang hidup dalam Koloni berlapis-lapis jadi pencarian ini cukup mudah. Semua Aruna terlihat, semuanya hidup, tapi tidak ada yang bergerak cukup banyak. Tidak ada yang berbeda.

Apa dia tidak ada di sini?

Aruna yang memiliki Ikatan Jiwa. Aku belum pernah melihat kejadian jika salah satunya hidup lebih lama dari yang lain, tapi aku berusaha mencari apa saja yang berbeda. Tidakkah Ikatan Jiwa cukup menjadi pembeda? Atau itu hanya kesimpulanku yang terlalu dini? Jika Aruna dengan Ikatan Jiwa tidak ada bedanya dengan yang tidak, ini akan jadi semakin menyulitkan.

"Kamu masih harus berjalan satu meter lagi, Saka."

Langkahku berhenti. Air berkecipak di kakiku ketika berbalik, melihat Klaus sudah menghadapku lagi. Berdiri di tempatnya tanpa bergerak, tapi sanggup memberiku tekanan yang membuat seluruh inderaku siaga.

Kedua tanganku tidak bisa diam. Tapi aku menekan keinginan itu kuat-kuat. Memperlihatkan kalau aku siap menyerang hanya akan emmperkeruh suasana dan tempat ini bukan tempat yang strategis untuk baku hantam. Aku melirik ke belakang, menyadari para Aruna di belakang sana sudah bergerak, menutupi jalan keluar yang satu lagi. Nafsu membunuh mereka memenuhi udara di dalam gua yang telah pengap, membuatnya semakin tidak enak dihirup.

Kemudian Klaus menaruh telunjuknya di bibir. Diam.

Aku hampir akan melesat menyerangnya lebih dulu, mengira itu adalah isyarat pertarungan, tapi kemudian Klaus mengarahkan tangannya yang membuka ke telinga, seperti pengumpul suara.

Dengarkan.

Dan aku pun melakukannya. Diam seperti patung. Bahkan tidak bernapas.

Tidak ada dari kami yang bersuara. Bahkan air pun seolah berhenti mengalir dan di sanalah, aku mendengarnya.

Suara yang seperti jeritan kecil. Seperti rintihan agatya, tapi dalam versi yang jauh lebih tinggi nadanya, tapi lebih pelan suaranya. Seakan-akan manusia kerdil dari masa lalu masih hidup dan salah satunya merintih di sini. Aku menoleh ke belakang, melewati para Aruna yang berdiri mengawasi kami untuk menatap salah satu kepompong.

Dan aku melihatnya.

Aruna itu, satu di antara ratusan, bergerak gelisah di dalam kistanya sendiri. Taring-taring mungilnya membuka dan menutup, mengeluarkan suara pilu. Tubuhnya yang mungil menggeliat-geliat di dalam kista yang memaksanya dorman, tapi jelas ia tidak menginginkan semua ini. Ia berusaha melawan, tapi perlawanannya hanya berupa rontaan kecil tak berarti melawan dorongan fisiknya untuk terus tertidur.

Aku mengernyit dan kali ini tidak repot-repot menahan diri dari mengepalkan tangan kuat-kuat. "Kukira aku sudah menyembunyikannya cukup baik."

Klaus tersenyum. "Dan kau memang melakukannya dengan sempurna."

Aliran angin berembus melewati leherku yang tidak tertutup syal, sementara benang-benang rajutan dari syal di leherku mengalun dibelai angin.

Waktu tidak akan pernah berbohong.

"Tapi Saka yang aku kenal tidak akan kembali jika sudah pergi," tambahnya. Kecuali jika ada alasan yang benar-benar kuat."

Dan karena mayatnya tidak ditemukan kruasa, bersama dengan Eka, tapi aku rasa Klaus tidak mengenal Eka. Tidak lebih dari apa yang ia lihat dari Gilang selama pertempuran.

Aku melirik ke para Aruna di belakang. "Dan mereka semua?"

"Aku menjamin lidah mereka tetap di tempat," Klaus berujar. "Kamu tidak perlu repot-repot menumpahkan darah."

Aku menaikkan sebelah alis. "Dan kamu tidak mau menemuinya?"

Pertanyaan itu membuat kedua mata Klaus membuka lebar. Sorotnya yang sebelumnya tenang atau licik, kini berubah sepenuhnya. Topeng emosi yang melindungi dirinya retak, memperlihatkan sebuah ekspresi penyesalan dan rasa bersalah dan rasa malu. Klaus membuka mulut untuk bicara, tapi bibirnya bergetar. Kemudian aruna itu memejamkan mata sesaat dan ketenangannya pun kembali sedikit, walau kesedihan di matanya sepertinya terlalu besar untuk ditutupi jika ditarik keluar.

"Dia baik-baik saja ... kan?"

Aku menyipitkan mata. Sesuatu menggelitik di balik leherku dan aku yakin itu bukan syal ini. Gelitikan itu berasal dari dalam tubuhku dan aku benci karena memahami dari masa asalnya. Memahami Klaus sekarang ini.

"Untuk saat ini," jawabku.

Klaus menatapku penuh tanya sebelum ia paham. "Karena itulah kamu mencarinya ke mari."

"Biar bagaimanapun, aku yang membawanya ke mari juga," ujarnya. "Aku hanya ingin tahu di mana kamu menaruh cecunguk menyusahkan itu."

Klaus berbalik dan ia pun melangkah pergi.

"Kamu tidak mau bertanya lebih jauh?"

Langkah Klaus terhenti. "Menurutmu aku pantas menanyakannya?"

Itu bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Tidak semudah kedengarannya dan aku harus mengakui, Klaus menerima semua ini jauh lebih baik dari yang aku duga. Ia sempat mengakui Ratna sebagai putrinya saat ia sadar, tapi setelahnya, tidak pernah lagi kata itu terucap.

Dulu ia tidak mau mengakuinya, tapi sekarang ... alih-alih tidak mau, aku justru lebih melihat rasa malu ketimbang terluka.

"Yang tidak pantas adalah kamu tidak pernah menanyakannya."

"Dan aku sudah melakukannya dengan baik selama seribu tahun, bukan?" Klaus menoleh dan tersenyum tipis kepadaku. "Menurutmu aku tidak bisa melakukannya lima dekade lagi?"

Senyumnya mengesankan jika ia masih baik-baik saja. Ia masih bis atersenyum. Tapi yang aku lihat adalah seorang pria yang berada di ambang kehancuran.

Seorang pria yang menghukum dirinya sendiri. Seorang ayah oenuh penyesalan yang tahu dirinya sudah tidak pantas mendapatkan maaf, sangat terlambat untuk menyesal, dan sangat tidak pantas mendapatkan pengampunan.

"Aku yakin kamu bisa," Aku mengakui. "Tapi apa itu tidak akan menghancurkanmu di akhir?"

Senyum Klaus semakin pedih dan itu memengaruhiku. Senyum itu berulang kali aku lihat di cermin, berulang kali mengejekku sejak hari Katherine mendingin di dalam dekapanku.

"Bukankah aku juga sudah menghancurkannya, Saka?" sahut Klaus dengan suara getir. "Anggap saja ini setimpal."

"Klaus—

"Anggap saja ini setimpal," Klaus menukas lembut. "Aku pantas mendapatkan ini."

Ayah dan anak ini, benar-benar menjengkelkan.

"Apa kalian tidak pernah tahu caranya bicara?" Aku nyaris hilang sabar. "Kalian bisa membicarakan ini baik-baik seperti makhluk berakal."

Tapi alih-alih menjawab, Klaus justru memunggungiku sekali lagi, kali ini kembali melangkah menjauh.

"Pembicaraan tidak akan menyelesaikan ini, Klaus."

Atau lebih tepatnya dia tidak mau semua ini selesai hanya dengan bicara. Pria sialan itu, ia bahkan tidak merasa pantas untuk bicara dengan anaknya! Kalau begini, apa bedanya sekarang dengan masa lalu?

"Kamu tidak ingin melihatnya?"

"Tidak," Klaus menolak, bahkan kali ini tidak memutuskan untuk berhenti. "Aku sudah mengabaikannya dan aku akan terus mengabaikannya. Seperti biasanya saja."

Dia tidak jujur, aku yakin itu. Dia bahkan tidak sanggup menjawabku sambil menatap muka. Dia lebih memilih lari daripada menghadapi masalah ini.

Pecundang.

"Kau akan memberitahu Gilang?"

Pertanyaanku tidak pernah terjawab. Rupanya Klaus sudah pergi meninggalkan gua.

***

Rupanya Klaus tidak memberitahukan kepada siapa pun, atau setidaknya aku menduga seperti itu. Tidak ada kecurigaan, tidak ada pertanyaan. Dan kuharap ini benar adanya, bukan sekadar ketenangan semu sebelum terjadi badai.

Tidak ada yang curiga ada satu Aruna menghilang dari koloni. Sepertinya yang ini hanya keberuntungan karena pasti akan ada yang memeriksa semua koloni itu diam-diam secara bergantian. Pasti akan ada yang tahu, cepat atau lambat. Tinggal menunggu ke mana bola kecurigaan akan bergulir.

Tidak ada juga yang mengadu kalau Ratna kemungkinan masih hidup. Klaus benar-benar menjaga ini untuk dirinya sendiri.

Gilang tidak pernah ada lagi di satu tempat lebih dari satu jam. Ia memperbaiki infratsuktur, memperbaiki tranfportasi, memperbaiki aliran listrik dan air, lalu bekerja membangun ualgn struktur negara ini dengan dirinya dan Klaus sebagai pondasi utama, lalu diam-diam mencari sisa-sisa pemerintahan Manusia. Dia membangun jalur komunikasi dan dalam minggu depan kami sudah bisa mengembalikan komunikasi video ke negara ini. Semua berlangsung cepat dengan adanya kami, tapi bangunan dan segala hal alami yang punya cara sendiri, berada di luar jangkauan kami, sehingga bebeerapa pembangunan memang membutuhkan waktu lebih.

Tapi luka yang paling besar bukan berasal dari sana.

"Halo? Tes, tes, apa ada orang di luar sana?" Ditya mengecek saluran radio. Di sisinya sudah ada Ghalih dan Adit yang memastikan frekuensi tidak terganggu.

Suara dari radio itu jernih meski pemancarnya dibuat dari radio bekas tahun enam puluhan yang ditemukan di salah satu bangunan bekas museum. Antenanya menggunakan bekas tiang pemancar dan penangkap sinyalnya dibuat dari lempeng besi yang kami temukan di puing-puing. Aliran lstrik dibuat dari generator cadangan yang kami temukan di bekas pabrik. Tapi komunikasi sudah tersambung.

[Kalian tidak tahu yang namanya televisi?] Ada suara di seberang lain radio. [Teknologi ini bukannya sudah terlalu kuno?]

Suara itu tidak membuat sebagian dari kami bahagia. Hanya separuh yang lega dan itu pun aku yakin, hanya karena kami berhasil meraih dunia luar.

Seseorang ada di luar sana, di suatu tempat di pedalaman Kalimantan. Seseorang yang sangat menyebalkan dan aku tidak mau tahu suara siapa itu.

Ditya segera mengambil alih komunikasi dengan memberikan berbagai informasi. Di sisinya, Ghalih dan Adit melakukan hal yang sama. Ketiganya menyibubkkan diri, bahkan mungkin terlalu sibuk.

"Tuan Saka, kami mendapat suara dari Banten," Ghalih melapor. "Mereka melaporkan korban terluka. Lokasinya ada di lima kilometer sebelah Tenggara kota Serang."

"Hubungi Jerald. Ia yang paling dekat dari sana," perintahku. "Tapi jangan dekati daerah tanpa konfirmasi lebih dulu. Kita butuh lebih banyak dosis vaksin."

"Lima puluh vaksin sudah selesai dikearjakan oleh Dokter Citra," Adit melaporkan sembari mengutak-atik kendali radio lain. "Seratus sisanya diperkirakan akan jadi sore nanti."

Aku mengangguk. "Aku mendengar ada kendala pembangunan tembok perbatasan di Selatan, kalian tidak keberatan jika aku tinggal kan?"

"Silakan," Ketiga orang itu menjawab tanpa berpaling dari pekerjaan mereka masing-masing.

Aku langsung berbalik pergi meninggalkan mereka. Percaya pada mereka sepenuhnya.

Masih jelas dan segar dalam ingatanku, betapa terpukul mereka bertiga saat saudari mereka tidak kembali dari pertempuran. Eka diduga lenyap bersama kobaran api di pusat kebakaran sementara Ratna tidak ditemukan. Hanya ada sedikit aroma Ratna tersisa di jasad Albert yang ditemukan di luar perbatasan Jogja, sementara sisanya, nihil.

Apa aku pantas menyembunyikan ini dari mereka?

Bukankah seharusnya aku memberitahu mereka? Tapi dengan kondisi Eka dan Ratna seperti itu, bukankah sama saja aku memberikan harapan palsu kepada mereka?

Aku sudah meninggalkan ruang radio ketika seseorang berderap menghampiri dari belakang.

"Tuan,"

Aku menoleh. Satu Manusia menghampiriku dengan tergesae-gesa. Sambil berlari Seorang pria tiga puluhan dengan codet di mata kirinya menghampiri. Tangan kanannya menggenggam senapan.

"Ada apa?"

Ekspresi pria itu mengeras ketika bicara kemudian: "Ada penyusup di pintu Utara. Manusia. Dia bersenjata. Ada dua orang Manusia dan Aruna yang terluka."

Manusia, pikiranku langsung melayang ke Aruna yang ada di gua. Manusia tidak berguna yang tidak akan membuatku dibenci sekalipun aku membunuhnya.

Rasanya aku sudah menemukan wadah yang pas.

***

-

A/N:

Bercanda di awal, serius di akihr. Rupanya saya lumayan enjoy bikin pembuka dari sudut pandang Saka. Kalian sudah dapat gambaran apa yang terjadi di balik layar. Kira-kira apakah dua tokoh kita akan ketemu? 

Apakah saya akan jadikan Saka sebagai sudut pandang kedua/ Hm...... kita lihat saja nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top