17. Eka: Secuil Masa Lalu

Dibandingkan orang aneh yang kerapkali menghukum dirinya sendiri selagi ada kesempatan, sepertinya aku yang membuntuti Nara bahkan setelah perbincangan menyedihkan itu berlalu, saat ini jauh lebih pengecut dan menyedihkan.

Segera setelah semua percakapan itu berlalu, Nara pergi meninggalkan ibu dan anak yang terdiam di tempat itu. Sang anak terlihat sekali cukup terganggu. Ya, tidak aneh. Manusia normal akan dengan mudah terganggu dengan ucapan pembunuhan dan kematian yang dengan mudah keluar dari mulut Nara seperti tadi.

Wanita muda itu segera menuntun ibunya yang masih mengamuk itu ke tenda pengobaran, dibantu oleh beberapa warga lainnya. Sementara Nara pergi dari sana tanpa sepatah kata apa pun. Ditemani beberapa orang yang aku rasa adalah Aruna juga, ia menjauh dari tempat itu. Kedua belah pihak sama-sama menjauh dengan ketakutan dan pikiran masing-masing.

Manusia jelas masih merasa ketakutan dan was-was pada reaksi Nara tadi. Aku melihat kelegaan mereka ketika Nara berbalik dan tidak menoleh lagi. Semnetara dari sisi Aruna, beberapa dari mereka menatap dengan dingin ke arah sekumpulan manusia menyedihkan itu.

Ah, ternyata ... meski tampak ajaib ... yang namanya keajaiban itu memang tidak pernah bertahan lama.

Segera setelah semua keadaan kembali normal, semua keajaiban akan berakhir dan semua permusuhan itu mungkin akan kembali.

***

"Ibu udah mendingan? Padma bisa ambilin apa?"

Ketika aku menghampiri dua orang itu di dekat tenda pengobatan, kondisi sang Ibu sudah lebih tenang dari sebelumnya. Tapi sang ibu tetap keras kepala dan menggeleng, menolak kebaikan anaknya dan memilih untuk berdiam saja di tenda. Menyepi dari orang-orang yang mengamatinya dengan enggan. Sepertinya nenek itu tidak punya reputasi baik atau kalaupun punya, sudah agak tercoreng dengan tindakannya barusan. Tindakan yang jelas-jelas dilakukan di depan publik, tanah terbuka, dan disaksikan banyak orang yang lewat. Tidak hanya dari Manusia, tapi juga dari kalangan Aruna.

Jika bukan Nara yang dia lukai seperti itu, mungkin ceritanya akan lain ... dan penuh darah.

Mau keadaan damai atau bukan, tindakan kekerasan fisik seperti itu pada orang sepenting Nara tidak akan dibiarkan begitu saja.

Dan dengan tidak adanya aku di sisinya ...

Sial, apa dia selalu menerima serangan seperti itu kalau aku tidak ada?

Begitu saja?

Tidak melawan dan malah memperparah serangan itu kepada dirinya sendiri? Seperti menghukum dirinya sendiri?

Astaga. "Tolol banget sumpah!"

Aku berdecak, benar-benar tidak habis pikir!

"Ish, ke mana, sih orang-orang?" Telingaku berjingkat, mendengar seseorang menggerutu di dekatku. Menoleh, aku melihat seorang gadis berlutut di dekat setumpuk box putih yang tertutup rapat. Ada logo palang berwarna hijau ditempel di sana. "Mau nganter ini ke tenda pengobatan aja pada ogah banget disuruh!"

Selama beberapa lama, aku melirik ke kanan dan kiri. Memastikan tidak ada Aruna dalam radar dekat. Aku mendongak, melihat langit yang mendung pekat. Seperti akan hujan. Ada gemuruh samar terdengar di angkasa.

Sepertinya kalau keluar sebentar tidak akan masalah.

Aku pun mengencangkan tudung jaket sampai menutupi seluruh kepala dan melangkah keluar, tepat ke arah gadis yang tampak kesusahan itu.

***

"Bu Asyipa?"

"Ya?" Wanita itu menoleh dan mendongak ke arahku. Berusaha bersikap sopan, aku pun berlutut di hadapannya. "Anda manggil saya?"

"Ya."

Butuh beberapa lama dan aku harus meminjam salah satu sarung tangan lateks agar aromaku tidak menempel di setiap benda yang aku sentuh, tapi akhirnya kesempatan itu tiba. Sebelum terlalu lama. Sebelum keberadaanku di sini ketahuan.

"Ini vitamin. Baru aja dibagiin sama orang-orang."

"Ah, makasih." Wanita itu meraih bungkusan berisi vitamin itu dengan patuh. Kemudian ia menatapku dengan bingung. "Kamu anak baru, ya? Saya kayaknya belum pernah liat kamu."

"Ya, saya anak baru," jawabku tanpa ragu. "Makanya saya tadi agak heran ... kenapa Anda manggil Aruna tadi ... Dokter Surya?"

Rasanya ada biji durian nyangkut di tenggorokanku saat nama itu terucap.

Aku takut, aku tidak akan bohong soal itu. Aku takut Nara, entah bagaimana dan di mana, akan mendengar nama itu secara ajaib dan datang ke mari.

Dan aku takut ... akan info apa yang akan aku dengar soal pria itu.

Kenapa aku keluar ke sini ... mendadak saja aku bertanya-tanya soal itu. Mempertanyakan tindakan super tololku ini.

Hanya karena aku penasaran pada kisah itu.

Meski aku pernah mendengarnya sendiri dari Nara. Meski aku tahu bagaimana kisah akhir dokter itu ... ini pertama kalinya ada orang hidup yang menyebutkannya. Ada orang yang mengenal dokter Surya selain Nara. Seolah pria itu memang benar ada. Pria itu ... memang pernah hidup dan meninggalkan bekas di dunia ini, bukan sekadar memori.

Aku tidak akan bohong saat bilang, aku tidak mementingkan wajah Nara. Bagiku, semua tindakannya itulah yang membuat kami bersama. Semua pilihannya. Bukan seperti apa rupanya, bukan seperti apa wadahnya atau masa lalunya.

Tapi mengetahui sisi Nara yang tidak aku ketahui ... mengetahui sisi lain dari Surya, orang yang menyerahkan tubuhnya dengan sukarela kepada Nara ... aku juga tidak bisa menahan diri dari rasa penasaran itu.

Mungkin ... aku hanya terlalu egois dan penasaran untuk membiarkan kesempatan ini berlalu. Padahal aku bisa saja mengabaikan ini. Aku bisa saja memalingkan muka dan menganggap kata-kata ibu ini sambil lalu.

Tapi rasa penasaran sialanku menang dan ... aku ingin tahu lebih banyak soal Dokter Surya.

Bukan soal Nara.

Aku ingin tahu Surya di mata orang lain yang mengenalnya bukan sebagai seorang penolong.

Bu Asyipa tampak kebingungan sendiri. Kebingungan yang menular kepadaku.

"Dokter Surya....?" Ia terdengar ragu. "Kamu kenal Dokter Surya juga, Nak?"

Nada ragu di awal pertanyaan itu ... apa itu berarti sesuatu?

"Nggak," Aku menggeleng. "Saya cuma nggak sengaja lewat tadi pas Ibu menegur Aruna yang tadi...."

Kata-kataku terputus, surut saat wajah sang wanita berubah sendu. Alih-alih marah atau kaget seperti dugaanku. Ia malah terlihat sangat sedih.

"Ibu udah lama nggak ketemu Dokter Surya. Dia sekarang ada di mana, ya? Beliau dokter yang baik, tapi nasibnya ... kasihan...." Mata Bu Asyipa berkaca-kaca. "Dik Chandra juga bagaimana kabarnya sekarang? Kasihan, mereka masih muda tapi udah nggak punya apa-apa lagi."

Aku hanya bisa ikut tertegun, membayangkan bagaimana Chandra dan Surya dulunya membantu dan merawat orang-orang seperti wanita ini, berdua saja.

Di tengah berbagai kesulitan, di tengah kondisi mereka sendiri yang hanya punya satu sama lain tanpa bisa bergantung pada siapa-siapa.

"Dokter Surya dan Chandra ... kedengaran kayak orang yang baik, Bu."

"Oh, mereka itu bener-bener baik, Nak." Bu Asyipa menggeleng, Tampak amat sedih dan prihatin. "Mereka membantu orang-orang tanpa imbalan apa pun. Tapi kerjanya nggak pernah berhenti. Siang dan malam. Mereka kadang keluar pagar pembatas untuk mencari tanaman obat dan makanan karena banyaknya konflik saat itu. Mereka baru kembali saat sore hari. Kami semua yang kenal Beliau cuma bisa berdoa."

Aku mendengarkan cerita itu dengan seksama.

"Nggak tau, deh, apa masih ada orang yang sebaik mereka di sini sekarang." Ibu itu lanjut merenung. "Kakak yang udah kehilangan rumah dan keluarganya, masih harus merawat adik dan yang lainnya tanpa pamrih sama sekali ... dia bener-bener kayak malaikat."

Malaikat, huh?

"Dokter Surya jadi satu-satunya dokter yang tinggal saat semuanya udah balik ke Jogjakarta. Dia juga jadi dokter pertama yang datang ... padahal kedua kakinya udah nggak bisa diandalkan," lanjut Bu Asyipa. "Saya masih ingat Chandra sering gendong Surya kalau banyak banget puing yang menghalangi yang nggak bisa dilintasi sama kursi roda. Gadis semungil itu...."

Wanita itu kemudian celingak-celinguk, mengedarkan pandang dengan penuh tanya. Sepenuhnya seolah tidak melihatku atau sudah lupa aku ada di hadapannya.

"Kenapa di sini juga nggak ada mereka?" gumamnya. "Apa mereka lagi ada di tempat lain?"

Di hadapan wanita yang kebingungan itu, aku tidak bisa berkata apa-apa. Jelas ... ia sedang lepas dari realita. Ia tidak ada di masa ini ataupun di tepian tenda ini. Ia jauh ada di masa lalu, ketika Surya dan Chandra masih hidup.

Aku mengamati sekeliling dan menyadari, orang-orang tidak lagi begitu enggan menatapnya. Malahan, yang mencuri pandang ke arah sini tampak sedikit iba.

Sepertinya ini bukan kali pertama bagi Beliau untuk bertingkah begini. Dan jelas tidak akan menjadi yang terakhir.

"Ibu?" Aku menoleh ke belakang. Gadis yang ternyata anak sang wanita tua, sudah berdiri di hadapanku. Keningnya berkerut dalam saat melihatku. Kecurigaan dan kewaspadaan memenuhi pandangannya. Matanya langsung saja mengarah ke bungkusan vitamin yang aku berikan kepada sang ibu, bungkusan yang masih dipegang oleh sang ibu seperti jimat keberuntungan. "Kamu ... siapa?"

Dengan tenang, aku berdiri dan tersenyum kepadanya. Mencoba untuk tidak mengundang permusuhan atau apa pun.

"Saya relawan yang baru gabung hari ini," jawabku mudah. Lalu aku menoleh ke arah sang ibu yang terdiam dan kini tampak linglung. "Saya bagiin vitamin ke si Ibu, tapi tiba-tiba beliau ... langsung ngomong soal seseorang yang namanya Dokter Surya."

Aku melirik sang anak yang ... kalau tidak salah bernama Padma itu. Aku merasa lidahku ini bukan tipe lisan yang mudah berbohong. Tapi ... mungkin aku salah. Mungkin ... sebenarnya aku penipu yang ulung.

Bah, aku bahkan tadi bisa tersenyum sambil berbohong! Entah aku ketularan Ratna karena terlalu banyak bersama atau memang aku ini punya seribu bakat terpendam yang belum dieksplor!

"Lagi?" Padma hampir menggerutu. Wanita itu memijat pelipisnya. "Dan sekarang di hadapan orang asing. Astaga, Ibu, bener-bener, deh....!"

"Nggak apa-apa, kok, Kak. Nggak gimana-gimana juga nanyanya tadi," hiburku. Kemudian, aku menimbang sejenak, memutuskan apa aku harus mengambil langkah yang agak berani atau tidak. "Tadi ... sebenarnya saya juga lihat Ibu ini negur Aruna yang ... itu. Pakai nama Dokter Surya."

Mendengarku menyinggung kejadian tadi, wajah anak itu jadi seperti maling yang tertangkap basah. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa malunya.

"Emang dokter Surya itu siapa, ya? Apa Beliau dokter di sini?" Aku langsung berubah canggung. "Ah, maaf, saya banyak nanya. Soalnya saya baru jadi ... belum tau soal dokter-dokter yang ditugasin di sini."

Sang anak bersedekap. Ia tampak berpikir keras.

Ah, mungkin aku tidak seharusnya memaksanya begitu. Mungkin aku sudah melewati batasku.

Namun tepat sebelum aku mencoba menepis kata-kata yang tadi secara ceroboh aku lontarkan, Padma kembali angkat bicara.

"Bukan, Dokter Surya itu bukan dokter di sini." Ia menghela napas, lalu berlutut di depan ibunya yang kini sudah tertidur dalam posisi duduk. "Ibu saya ... seperti yang Kakak lihat, dia udah sering banget ngelindur. Kalau situasi kayak gini, dia langsung keinget tragedi yang udah bertahun-tahun lalu itu. Nggak lama setelah Perang Merah berakhir. Tapi itu bahkan udah lama banget. Saya masih kecil pas itu."

"Jadi Dokter Surya itu ... dokter dari masa kecil Anda?"

Padma mengangguk. "Pandeglang bukan kota yang punya sistem pertahanan bagus. Berkali-kali Basis Manusia ditembus. Saat saya masih kecil, serangan itu menghancurkan tempat kami tinggal. Banyak korban jiwa. Saat itu, seorang dokter yang sedang ada di sana, bernama Dokter Surya membantu kami. Saya dengar cerita dari orang-orang dulu, Dokter Surya nggak punya keluarga kecuali adik perempuannya yang namanya Chandra."

Padma menghela napas.

"Bahkan saya dengar tempat asal Dokter Surya juga diserang Aruna." Gadis itu mengedikkan bahu. "Gosip dari Ibu-ibu yang antusias banget lihat Dokter Surya keliatan masih lajang. Mereka nyari tau banyak hal dan akhirnya jadi nggak enak hati saat tau kalau sekeluarga dokter Surya, kecuali adiknya, semuanya meninggal dalam penyerangan yang sama."

Jadi begitu. Mereka ... adalah dua orang yang sempat ditolong Surya di masa lalu.

"Kakak dan ibu kakak benar-benar udah melalui banyak hal."

Padma hanya tersenyum sedih. "Saya nggak begitu ingat banyak detailnya lagi. Itu udah lama banget berlalu. Dan kami ... udah kehilangan banyak hal lagi sejak saat itu."

Di antara tenda-tenda yang berdiri dan posko-posko dari rumah permanen yang telah didirikan untuk para warga yang masih dalam tahap pembangunan kembali rumah dan kotanya, Padma memandang ke arah pagar basis Manusia.

"Karena saya nggak begitu kenal, makanya saya nggak begitu merasa apa-apa pas Ibu bilang begitu. Tapi kalau emang bener, kasihan banget Dokter sebaik itu akhirnya jadi begini juga."

Kasihan ... aku tidak tahu soal itu.

Dari kisah Nara, sepertinya Surya juga sedikit banyak, sengaja memberikan tubuhnya kepada Nara. Ia mungkin tidak merncanakan penyerangan itu, tapi jelas, Surya punya sedikit rencana untuk menyerahkan tubuhnya kepada Nara jika seandainya ia mati.

Jalan pikiran dokter itu ... aku sampai sekarang masih tidak mengerti. Dan mungkin tidak akan pernah mengerti. Maksudku ... jika dokter itu tahu Nara akan terus mengingat pengorbanannya seperti ini ... jika ia tahu nasb Chandra akan seperti itu ... apa ia akan mengambil pilihan yang berbeda?

Ah, kadang perandaian tampak begitu berkilau dibanding kenyataan yang berjalan.

"Cuma, ya, saya nggak bisa membenarkan tindakan Ibu juga." Padma berkata lagi. "Masa nyari masalah sama yang kayak gitu, sih, Bu?"

"H-hah?" Mendengar namanya dipanggil, Bu Asyipa bangun dengan kaget. "Padma? Siapa yang manggil Ibu?"

"Nggak ada, tadi ada orang lewat ngedumel sama ibu-ibu." Padma menyangkal, meski nada bicaranya masih agak ketus. "Ibu-ibu yang nyari masalah sama Aruna yang udah tau punya catatan serem banget! Dia bukan Manusia, tapi masih aja diajak ribut!"

"Siapa yang kayak gitu?" Sang Ibu malah bertanya dengan polos.

"Tetangga sebelah!" Padma menjawab dengan asal.

Bu Asyipa yang tampak masih bingung, agaknya tidak mau memancing kekesalan sang anak lebih dari ini. Alih-alih, pandangan sang wanita berpindah naik.

Tapi telingaku mendengar sesuatu. Melirik, aku melihat beberapa Manusia bergerak berkelompok meninggalkan area pengungsi. Mereka tidak tampak membawa senjata, tapi wajah-wajah mereka jelas ... tidak menyenangkan untuk dilihat. Di belakang para pria yang lewat itu, mungkin tidak mereka sadari, seorang anak kecil mengekori mereka.

Anak kecil yang aku sempat takut-takuti tadi.

"Hm....." Mungkin aku harus memeriksanya.

"Ini siapa, Padma?"

Sadar teguran itu, aku pun menoleh, disambut oleh pandangan bingung dari sang ibu. Tanpa pikir panjang, aku langsung tersenyum pada wanita tua itu. Tidak mau mencari masalah lebih jauh lagi.

"Saya cuma relawan yang numpang lewat."

***

A/N:

Setelah ini side story, ya. Saya mau leha-leha dulu.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top