14. Facing Your Mistake

Aku selalu merasa aku bisa menghadapinya. Aku sudah berulang kali membayangkan situasi ini terjadi, terulang sekali lagi tepat di depan mataku.

Kalau begitu kenapa....?

Kenapa saat aku betul-betul berhadapan dengan Tuan Klaus, segala yang telah aku pikirkan baik-baik, semua skenario, semua jawaban, semua pertanyaan yang telah aku bayangkan akan ia ajukan ... semuanya lenyap dari kepalaku?

Sungguh, tidak ada yang bisa aku ingat.

Semua kata-kata, semua sikap yang sudah berulang kali aku bayangkan akan lakukan ketika saatnya tiba kami berdua bertemu sekali lagi, semuanya terhapus dari kepalaku. Sikap dan cara bicaraku kembali ke awal, sebelum kami berpisah berabad-abad lalu.

Sebelum semua tragedi yang mempertemukan kami kembali ... dimulai.

Rasanya seperti ada rantai yang perlahan-lahan merayap di tanah. Mereka menyentuh tangan dan kakiku, mencoba menarikku ke hadapan Dia sekali lagi.

Dulu aku tidak melihat rantai itu, tapi setelah tahu apa itu kebebasan, aku melihatnya dengan jelas. Merasakannya dengan jelas.

Membencinya dengan sepenuh hati.

"Kamu masih hidup."

Suaranya berbeda. Sangat berbeda.

Tapi intonasi suara itu, kata-kata yang diucapkan tanpa emosi itu tidak akan bisa terhapus dari kenanganku. Mendadak saja, kepalaku yang menunduk terasa berat, seperti ada batu menimpa leherku.

Aku masih hidup.

Ah, tentu saja.

Tidak mungkin ia senang pada kenyataan ini. Mungkin, malah aku sudah ada dalam daftar buruannya. Apa aku butuh ditangkap hidup-hidup? Atau ditangkap seperlunya saja? Yang mana pun ... tidak bisa aku penuhi sekarang.

Tidak sebelum aku dan Eka bertemu Tuan Saka sekali lagi.

Setidaknya ... untuk terakhir kali.

"Ya, kelihatannya saya masih hidup."

Sampai hari ini, aku masih merasakan ada sesuatu yang mencekik leherku setiap kali kami saling bicara. Seperti ... ada yang mengganjal di leherku dan membuat napas tidak mau keluar dari dadaku. Sesak.

Sesak yang sangat mengganggu.

Mengherankan, memang, kenapa aku masih bisa terganggu pada sesak napas padahal aku bisa saja bangkit kembali setelah dikubur hidup-hidup. Dan bagaimana semua ini masih terjadi dan masih sangat mengerherankan bahkan sampai hari ini.

Aku harus menyembunyikannya. Jangan sampai Tuan Klaus sadar apa yang aku rasakan. Kalau dia tahu aku tidak senang pada situasi ini ... harus memikirkan cara lain untuk mengalihkan perhatiannya.

Ugh, matanya. Aku bisa merasakan tatapannya ke mari.

Apa aku masih belum boleh mengangkat kepala? Sampai berapa lama ia mau melihatku menundukkan kepala?

Apa ... seperti masa lalu? Ia akan membiarkan kepalaku menunduk selama kami berhadapan? Aku tidak boleh pergi dari hadapannya?

Tidak, itu layak dicoba. Mungkin, jika aku mencoba, jika aku lari cukup cepat, ia tidak akan bisa menyusulku. Ia akan kehilangan jejakku. Dan kami—aku dan Eka—akan sekali lagi aman.

Benar, pergi dari kota ini secepatnya. Kota ini tidak aman.

Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana caraku keluar dari situasi ini? "Apa ... Tuan di sini untuk menangkap saya?"

"Apa?"

Ah, mungkin suaraku kurang jelas. Apakah aku boleh mengangkat kepala agar suaraku terdengar lantang?

Mungkin sebaiknya dicoba.

"Jika orang sepenting Anda sudah turun tangan, saya bisa asumsikan, perintah penangkapan untuk saya sudah turun? Karena ... pastinya mayat saya tidak ditemukan di sana, kan?" Aku mencoba tertawa, tapi yang keluar dari mulutku malah hanya kikik menyedihkan yang terdengar sangat letih.

Ah, tidak boleh. Aku tidak boleh terdengar begitu letih sekarang.

Lagipula, kenapa aku mendadak merasa sangat lelah? Ada apa denganku?

Kenapa setiap kali berhadapan dengan orang ini, selalu saja ada hal-hal tidak menyenangkan yang aku rasa? Kepala yang terasa berat, dada yang sesak, tubuh yang bergeming seprti dirantai, dan rasa lelah yang semakin lama semakin memberatkan mataku untuk terbuka.

Ya, mungkin mendongak dan menatapnya sekarang adalah pilihan terbaik.

Perlahan, aku mengangkat kepala, dengan berani menatap sosok yang berdiri di hadapanku. Sosok yang hawa keberadaan dan kekuatannya tidak akan pernah salah aku kenali, meski ... sekarang ia tampak jauh berbeda.

"Tapi sebelum itu, wadah Anda yang sekarang, apa saya boleh memujinya?" tanyaku pelan. "Anda terlihat jauh lebih bugar dan muda."

Anehnya pemuda di hadapanku tidak ikut tersenyum, meski aku memujinya dengan tulus dan memang itulah kenyataanya.

Dibanding tubuh ... ayahku, jelas wadah tuan Klaus yang sekarang jauh lebih muda. Mungkin usianya remaja, dengan wajah yang sedikit seperti orang Indo. Rambutnya yang pendek sedikit mengingatkanku pada model potongan rambut shaggy pendek yang dulu selalu menjadi ciri khas Eka. Tapi rambut pemuda itu hitam pekat, bukan kemerahan seperti Eka, dan meski tubuhnya sedikit kecil, dia tampak jauh lebih berisi dibanding Eka yang kurus.

Aku tersenyum pada perbedaan wajah itu.

Tidak ada lagi yang mengikat kami berdua. Tidak ada kemiripan wajah. Tidak ada tragedi kesalahan yang akan terus mengingatkan Beliau pada takdir pedih yang telah terjadi.

Sepenuhnya, kami telah bebas.

"Suara Anda yang baru juga terdengar sangat indah," pujiku lagi.

Ia tidak akan perlu merasa bersalah jika pun keadaan memaksanya untuk membunuhku. Karena kini, kami sepenuhnya bukan siapa-siapa. Kami saling mengenal dan hanya itu.

Kami tidak terikat apa pun. Tidak ada beban. Tidak ada kesedihan.

Atau itulah yang harusnya aku katakan.

Tapi Tuan Klaus agaknya tidak setuju. Kedua matanya membulat dan kedua alisnya berkerut. Tampak seperti orang yang ... marah? Jijik? Aku tidak bisa memastikan.

Wajahnya ... aku tidak tahu bagaimana wadah itu mengekspresikan emosinya. Aku tidak mengenal wadah ini. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak tampak senang.

"Maaf, jika saya sudah menyinggung perasaan Anda, Tuan. Saya sungguh hanya ingin memuji," Aku sedikit menundukkan kepala lagi, hanya selama sesaat. "Lalu kembali ke urusan sebelumnya. Saya asumsikan ... tuduhan dan hukuman untuk saya sudah ditetapkan, ya?"

Tuan Klaus tampak semakin kaget. "Apa?"

"Boleh saya tahu, apa saya diperintahkan untuk ditangkap hidup-hidup atau ... ah, tidak, pastinya tidak semudah itu, ya." Benar, mereka tidak akan semurah hati itu kepadaku. "Mereka orang-orang cerdas dan ... ada banyak yang kenal saya. Jadi pasti mereka sudah menghubungkan titik-titiknya dan—

"Tidak ada yang akan menangkapmu!" tukasnya. "Tidak akan aku biarkan ada yang menangkapmu! Walaupun hanya seujung jari—

Kata-kata Tuan Klaus terputus tiba-tiba. Mata merah Aruna itu menatapku dan seketika itu juga, aku memalingkan muka, menundukkan kepala.

Kemudian aku sadar, tubuhku telah berpindah dari posisinya sebelum ini.

Penukasan itu membuatku terperanjat dan instingku langsung mengambil alih. Kakiku melangkah mundur dan tubuhku tersentak, bersiaga pada serangan apa pun yang datang.

Sampai aku sadar, yang di hadapanku adalah Tuan Klaus.

Orang yang paling berhak melakukan apa pun yang ia inginkan padaku. Orang yang mungkin telah mewakili kemarahan dan dendam semua orang kepadaku dan datang hari ini.

"Ah." Tuan Klaus menutup mulutnya. Ekspresinya tampak ... ketakutan?

Kenapa?

"Aku ... yang ingin aku katakan—sebenarnya....." Tuan Klaus mengernyitkan dahi. Ia memegang rambutnya. Kedua matanya terpeham sejenak sebelum ia membuka mulut sekali lagi, lalu ia berhenti menutup mulutnya. "Tidak akan ada yang menangkapmu. Tidak hari ini, tidak seterusnya."

Mendengar kata-kata itu, aku hanya bisa menghela napas. Ketakutanku mereda.

"Anda masih terlalu baik seperti biasa, Tuan," ujarku, memberinya satu senyum. "Tapi, sungguh, Anda tidak perlu menghibur saya seperti itu. Saya ... meski saya bukan orang pintar, saya yakin, saya sudah bukan anak kecil lagi."

Sekali lagi, Tuan Klaus membelalakkan mata dengan aneh. "Apa yang kamu...."

"Apa Tuan tahu? Selepas Anda pergi., saya menyampaikan pesan yang Anda tinggalkan kepada Paman Zen." Sesak itu kembali dan semakin parah. Rasanya ... aku bisa jatuh kapan saja sekarang. Tapi aku merasa harus mengatakan ini.

Menceritakan apa saja yang sudah berlalu dan dilewatkannya. Meski hanya sebentar.

Ya, hanya bagian-bagian pentingnya.

Kepalaku menunduk sedikit, agak malu mengatakan kebenaran yang telah lama aku simpan ini. "Memang mungkin agak terlalu cepat karena hanya dua puluh tahun semenjak Anda pergi, saya pun pergi meninggalkan desa itu. Tapi ... pada saat itu ... sudah tidak ada yang perlu saya rawat. Desa dan Marluk pun ... sudah tidak ada...."

Mungkin aku tidak sepatutnya menceritakan ini. Mungkin semua aib ini sebaiknya aku bawa saja sampai ke liang kubur. Tapi aku tidak bisa. Setidaknya Beliau harus mengetahui ini. Semua ini hal penting.

Dan aku juga sudah membayangkan ini, bukan? Dulu saat ia pergi, aku selalu mengingat semuanya, agar bisa menyampaikan peristiwa apa saja yang Beliau lewatkan selama Beliau tidak ada.

Sekarang Tuan Klaus telah kembali. Tidak ada alasan bagiku unutk menunda.

"Maaf ... saya tidak bisa menjaga Lydia dan yang lain. Ternyata saya tidak cukup mampu melakukannya. Padahal, saya dengan tidak tahu dirinya ... padahal Tuan sudah begitu percaya kepada saya." Kemungkinan karena Tuan Klaus sudah tidak sadarkan diri, kesadarannya terputus dan lama kelamaan semua Budaknya yang terjatuh dalam koma pun ... meninggal. "Saya seharusnya bisa melakukannya lebih baik. Soal desa juga ... seharusnya saya bisa melakukannya lebih baik, seperti mencari obat untuk wabah yang sedang melanda atau mengusahakan segala cara agar kepala desa Marluk bisa bertahan sedikit lebih lama. Tapi saat itu, saya tidak kepikiran untuk mencari obat, Tuan. Saya benar-benar malu. Saya yang sekarang memang masih bodoh, tapi jika dibandingkan dengan yang dulu...."

Benar-benar memalukan.

Mengingat semua kebodohan itu hanya membuatku semakin merasa buruk.

"Tolong maafkan saya."

Tidak ada jawaban yang terdengar. Membuatku menanti-nanti penuh kewaspadaan.

"Itu semua sudah menjadi masa lalu."

Ah, ya, tentu saja. Masa lalu yang tidak bisa diubah. Masa lalu yang sudah berlalu. Tidak akan bisa kembali lagi atau terhapus begitu saja.

Karena kesalahanku itu begitu fatal. Tidak mungkin Beliau akan memaafkannya begitu saja.

"Benar." Aku menatap Beliau lagi. Lalu sekali lagi aku tersenyum. "Dan mungkin saya akan melakukan kesalahan yang sama atau mungkin jauh lebih besar lagi di masa kini, maupun di masa depan."

Tuan Klaus membelalak kaget. Tangannya bergerak naik. Sepertinya ia sudah membulatkan tekad untuk menangkapku.

Benar, kata-kata tidak akan menangkapku itu hanya bujukannya untuk anak kecil. Seperti dulu saat aku masih kecil.

"Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu."

Benar. Karena aku terlalu bahaya untuk disentuh.

"Maaf, saya tidak bisa menyerahkan diri untuk ditangkap ... tidak sekarang." Aku melangkah mundur. "Masih ada urusan yang harus saya atasi. Orang yang harus saya lindungi. Dan tempat yang harus saya tuju."

"Tidak, tunggu!" Tuan Klaus mengulurkan tangan. Dan selama sesaat, aku terpekur. Mencoba memerhatikan dan membaca ekspresinya, tapi gagal.

Ah, ya. Aku tidak akan bisa mengerti dirinya. Tidak akan pernah.

"Sekali lagi saya minta maaf, Tuan Klaus."

"Tidak, tunggu! Jangan pergi....!"

Sebelum Beliau sempat menyelesaikan kalimatnya, aku sudah beranjak dari tempat itu. Setidaknya sudah memastikan tidak ada agatya yang membahayakan Basis Manusia. Aku rasa itu sudah cukup.

Pertemuan dengan Beliau benar-benar tidak terduga dan aku tidak suka itu. Akan lebih baik kami segera pergi dari tempat ini sebelum membawa masalah lebih banyak untuk diri kami sendiri. Aku harus segera memberitahu Eka. Semoga dia baik-baik saja dan kami tidak terkejar.

Langkahku baru berhenti beberapa langkah sebelum titik pertemuan kami. Mendadak menyadari sesuatu.

"Tadi ... Tuan Klaus memanggil namaku?"

***

A/N:

Saya berusaha menunakgna sebanyak mungkin emosi di chapter ini tanpa menghabiskan semua emosi itu untuk chapter-chapter selanjutnya.

Semoga emosi saya tersampaikan lewat chapter ini.

Kira-kira apa yang ingin dikatakan Klaus? Ucapan apa yang tidak sempat ia sampaikan pada Ratna? Apa yang ingin ia sampaikan setelah sekian banyak tahun yang terasa tersia-siakan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top