6 - Heart Beat

"Aaahhh," Jenny meringis. Perutnya serasa tertarik hingga menyulitkannya untuk bangun.

Kepala Jenny kembali mendarat di atas bantal. Matanya terpejam. Kedua tangannya menekan perutnya pelan mencoba mengurangi rasa sakitnya.

"Shit," Jenny memaki pelan, mengingat kejadian yang membuatnya terbaring seperti ini.

"Sepertinya kau sudah sehat, sampai bisa memaki seperti itu."

Tidak perlu membuka mata, Jenny tahu pemilik suara bariton itu. Satu-satunya orang yang tidak ingin di temui saat keadaannya terlihat lemah seperti ini.

"Bukan urusanmu." Kata Jenny datar, tanpa membuka mata.

"Apa kau akan menutup mata terus seperti itu?" Tanyanya.

Jenny membuka mata, tatapan mata mereka bertemu, dan untuk beberapa saat mereka terdiam.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanyanya.

"Seperti yang kau lihat." Jawab Jenny datar.

"Kau sudah tertidur selama dua hari, apa kau merasa lebih baik?" Tanyanya lagi.

Perasaanku saja atau aku yang terlalu percaya diri batin Jenny. Ada nada khawatir dalam suaranya.

Jhonathan melangkah mendekat. "Ku bantu duduk," Katanya. Jhonathan mengangkat tubuh Jenny pelan.

"Aaah," Jenny kembali meringis ketika posisi duduknya terlalu tegak.

Jhonathan memperbaiki posisi Jenny sampai Jenny merasa nyaman.

"Minumlah." Katanya memberi segelas air putih, yang langsung di habiskan Jenny.

"Bisa kau panggilkan dokter?" Kata Jenny.

"Dokter sudah memeriksamu satu jam yang lalu." Katanya santai.

"Kapan aku bisa pulang?" Tanya Jenny.

"Paling cepat tiga hari lagi."

"Apa? Aku akan pulang hari ini." Kata Jenny tegas.

"Bangun saja kau tidak bisa, bagaimana kau bisa pulang?" Katanya dengan seringaian kecil di sudut bibirnya. Ingin sekali Jenny meninju bibir itu agar berhenti berbicara.

"Apa kau tidak mendengar ucapanku tadi? Bukan.urusanmu."

"Ada apa denganmu, kenapa kau selalu bersikap dingin padaku?" Tanyanya.

Jenny tertawa sumbang. "Bukankah kau tidak menyukai gadis pirang dekat - dekat denganmu? Aku hanya berusaha tidak berada di dekatmu." Kata Jenny.

Wajah Jhonathan berubah serius. "Kau akan pulang tiga hari lagi. Suka atau tidak. " Katanya dingin.

Jenny menggertakkan giginya. Lancang sekali batinnya marah.

"Apa yang membuatmu menolong Sarah sampai seperti ini? Apa maksudmu yang sebenarnya?" Tanyanya dengan tatapan curiga.

"Dia sahabatku, sudah seharusnya aku menolongnya." Jawab Jenny datar.

Karena kau sangat menyayangi Sarah batin Jenny.

"Kau tidak memiliki niat jahat lainnya?"

Jenny melongo kemudian tertawa, "Kalaupun ada, aku tidak mungkin memberitahumu bukan?"

"Ini apa?" Jhonathan menunjukkan casssete drive yang di ambilnya di cafe waktu itu. Jenny membelalak terkejut.

Jhonathan menyeringai. "Diam - diam kau menyelidiki Brown Tech Company. Siapa yang mengirimmu?" kata Jhonathan tajam.

"Itu milikku, kembalikan."

"Kau tidak bisa di percaya." Desis Jhonathan.

"Kepercayannmu tidak penting buatku."

"Kau akan berhadapan denganku, jangan main – main."

"Aku tidak punya waktu untuk bermain."

"Kau." Jhonathan menggeram marah. Ia mendekati ranjang Jenny, rahangnya mengeras, tatapan matanya sangat tajam.

"Kenapa kau selalu ada setiap penyerangan yang terjadi pada Sarah."

Deg.

Jenny terkejut, ia kemudian menggeram marah, sepicik itukah pandangan Jhonathan padanya?

***

Seumur hidup Jhonathan membenci gadis pirang, mengingatkannya pada pelacur busuk itu.

Ia tahu ia salah, menganggap semua gadis pirang sama, jalang.

Gadis di depannya inipun sama. Ia membencinya dari pertama kali bertemu dengannya.

Bahkan seringkali ia menghinanya. Karena hal itulah Jenny bersikap dingin padanya.

Bahkan kejadian – kejadian buruk yang menimpa Sarah belakangan ini menambah ketidaksukaannya pada gadis itu. apakah dia menolong Sarah ataukah ia salah satu di antara mereka.

"Ah sial." Batin Jhonathan.

Namun sejak ia menciumnya di apartemen waktu itu, ia merasakan sesuatu yang berbeda.

Ia lebih sering memikirkan Jenny. Sejak tangannya terluka malam itu.

Tangannya berdarah, tapi kenapa matanya yang terlihat lebih sakit.

Ada sesuatu yang membuatnya merasa ingin berada di dekatnya.

Namun kebenciannya pada gadis pirang lebih besar daripada apapun.

Gadis itu sahabat Sarah, keponakan yang sangat ia sayangi. Apakah karena itu ia menjaganya dua hari ini? Ataukah karena ia mencurigai keterlibatannya batin Jhonathan, pasti iya jawabnya sendiri.

"Aku butuh ponselku bisa kau ambilkan?" Kata Jenny.

Jhonathan mengambil ransel hitam milik Jenny. Jenny meraih ponselnya, dia mengetik sesuatu. Setelah dia kembali bersandar dan memejamkan mata.

Jhonathan memperhatikan wajah Jenny. Terlihat sangat tenang, matanya menatap bibir Jenny yang tertutup.

Bibir merah yang sangat manis ketika mereka berciuman. Dan sangat kasar jika berbicara dengannya. Sial, kenapa dengan melihatnya seperti ini membuatku bergairah batin Jhonathan.

Klek.

Pintu kamar terbuka, memperlihatkan seorang wanita cantik masuk dengan gaya bak seorang model.

"Kau masih disini sayang?" Katanya langsung menghampiri Jhonathan.

"Apa yang kau lakukan disini Kate?" Tanya Jhonathan heran melihat Kate tiba - tiba masuk ke ruangan Jenny.

"Aku mau menjenguk Jenny. Sarah memberitahuku apa yang terjadi." Katanya sambil memainkan jemarinya di dada Jhonathan.

"Kau tidak menjawab panggilanku jadi, aku bertanya pada Sarah." Jelasnya. Kate mencium bibir Jhonathan.

"Aku merindukanmu." Ucapnya lirih di telinga Jhonathan.

"Sebaiknya kau menyapa Jenny, bukankah kau mau menjenguk Jenny?"

"Kau benar sayang." Kate lalu mendekati Jenny di ranjangnya. Jenny menyaksikan semuanya dan jangan tanya bagaiamana perasaannya. Jenny sungguh sakit hati melihat dua makhluk di depannya ini. Ia ingin mengusir keduanya jauh – jauh. Jika perlu ia akan menendangnya hingga mereka terdampar di pluto.

"Bagaimana keadaanmu Jenny?" kata Kate.

"Jauh lebih baik." Jawab Jenny. Akhirnya ia berhasil bersikap manis.

"Kapan kau keluar dari rumah sakit?" tanya Kate.

"Apa maksudmu bertanya seperti itu?" Tanya Jhonathan pada Kate.

"Sayang, sudah dua hari kau meninggalkan kantor." Kata Kate.

"Itu bukan urusanmu Kate. Perusahaanku akan baik - baik saja meski aku tidak di sana." Kata Jhonathan dingin.

"Maaf sayang. Aku bukannya meragukan kinerjamu. Siapapun tahu siapa kau kalau menyangkut pekerjaan." Kata Kate.

"Tapi kau juga harus memperhatikan kesehatanmu." Kate mengingatkan Jhonathan.

Jhonathan malas melawan Kate berdebat di ruangan tempat Jenny dirawat. Jenny hanya diam menyaksikan perdebatan bodoh di depannya.

"Maafkan aku Jenny, aku hanya khawatir pada Jhonathan. Aku hanya bingung, kenapa dia yang harus menjagamu. Kau tahu kan, kau ... bukan siapa – siapa Jhonathan?" Kata Kate pelan pada Jenny.

"Kate," Tegur Jhonathan. "Sarah sedang dalam perlindungan ketat, dia tidak boleh sendirian di mana pun." Kata Jhonathan geram.

Jenny sangat mengerti maksud ucapan Kate padanya. Ia bisa melihat seringai kecil di sudut bibir Kate. Jenny akhirnya berkata. "Jangan khawatir. Aku akan pulang hari ini."

"Kau akan pulang dua atau tiga hari lagi." Kata Jhonathan marah. Entah kenapa mendengar keinginan Jenny yang ingin pulang dengan kondisi seperti ini membuat Jonathan sangat marah.

"Jhonathan." Kata Kate begitu mendengar kata - kata yang di ucapkan Jhonathan.

"Apa kalian bisa untuk tidak berisik di kamarku?" Kata Jenny kemudian.

Klek.

Pintu terbuka, seorang laki - laki dengan wajah tampan masuk. Laki - laki itu menyunggingkan senyum menawannya.

"Maaf, apa aku mengganggu?" Tanyanya santai.

"Kau datang tepat waktu Mike." Kata Jenny.

"Aku senang kau baik - baik saja sayang." kata Mike sambil mencium pipi Jenny.

"Apa semua sudah beres?" Tanya Jenny.

"Beres, kau sudah siap?" Tanya Mike dibalas anggukan kepala oleh Jenny

"Siapa yang mengijinkanmu pulang?" Kata Jhonathan dingin marah.

"Maaf, urusan ijin dokter dan administrasi sudah beres, Jenny bisa pulang sekarang." Kata Mike tegas namun penuh penekanan.

Jantung Jhonathan tiba - tiba berdetak kencang. Dadanya sesak menahan amarah melihat Jenny di gendong ala bridal style keluar dari ruangan ini.

"Dasar penggoda." Geramnya marah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top