19 - Forest
Siang ini Jenny dan Mike pergi ke sebuah alamat yang di dapat Mike dari kantornya secara diam-diam.
Mike mendapatkan lokasi itu dengan sangat susah payah. Resiko tertangkap kemudian di pecat sudah siap di terimanya. Tapi bukan Mike namanya kalau ia tidak berhasil mendapatkan keinginannya.
"Kau yakin ini tempatnya Mike?" tanya Jenny. Mereka tiba di pinggiran hutan yang cukup jauh dari kota New York.
"Seharusnya iya" jawab Mike tenang. Matanya mengawasi jalanan di belakangnya atau dari arah lain, mungkin saja ada orang-orang yang mengikuti mereka.
Mike memarkirkan mobilnya di balik pohon besar dan di tumbuhi semak-semak yang cukup rimbun sampai mobil itu tidak terlihat dari arah jalan raya.
Perlahan mereka melangkah ke tengah hutan. Jenny memberi tanda pada setiap pohon yang di lewatinya dengan simbol yang berbeda dan tidak akan terlihat mencurigakan oleh orang lain.
Setelah hampir tiga puluh menit mereka berjalan, mereka melihat sebuah rumah tua yang di kelilingi oleh beberapa penjaga.
"Apa itu mereka?" bisik Jenny.
"Mungkin. Tapi bisa jadi mereka dari kelompok lain. Kita perhatikan saja" ucap Mike siaga.
Tak lama seorang laki-laki berpakaian setba hitam dengan kacamata hitam keluar dari rumah itu.
"Dia," gumam Jenny pelan bahkan Mike sendiri tidak mendengarnya.
"Sepertinya dia pemimpinnya" ucap Mike memberitahu Jenny.
"Apa yang mereka bawa?" tanya Jenny .
Beberapa orang membawa sebuah kantung hitam yang cukup besar dan memasukkannya ke dalam mobil.
"Aku tidak tahu" ucap Mike, matanya terus melihat ke arah mobil yang di naiki oleh laki-laki berkaca mata hitam itu.
"Apa itu artinya kita akan menyelinap masuk?" Jenny bertanya.
"Belum saatnya. Kau ambil seluruh gambar yang ada. Jangan sampai terlewat" perintah Mike.
Jenny merekam keadaan sekeliling rumah tua itu dan aktivitas apa saja yang terjadi, termasuk saat mereka memasukkan tas itu ke bagasi mobil.
"Mike, apa tidak sebaiknya kita masuk saja?" bisik Jenny.
"Tidak sekarang. Kita tidak tahu berapa orang yang ada di dalam sana. Senjatanya mereka juga lengkap.Kita akan tertangkap jika memaksa untuk masuk. Mungkin kita perlu mendekat sedikit" kata Mike.
Tak lama mobil itu melaju cepat meninggalkan rumah tua itu. Kesempatan ini di gunakan mereka untuk mengendap-endap melalui pohon-pohon besar dan juga semak-semak.
Mike dan Jenny menajamkan pendengarannya. Dari arah depan, dua orang penjaga tengah berbincang.
"Kita akan melakukannya akhir pekan ini" ucap salah seorang dari mereka.
"Menurutmu kita akan berhasil?" tanya temannya.
"Pasti. Dan Brown Company tidak akan bisa melawan. Dia akan membawanya pada big bos."
Jenny dan Mike saling menatap dalam diam. Kemudian dengan matanya Mike memberi isyarat agar mereka segera pergi dari sana.
"Kau sudah mengambil gambarnya?" bisik Mike saat mereka sudah berada cukup jauh dari rumah tua itu.
"Sudah" kata Jenny.
Srek srek
Mike memegang lengan Jenny dan memberi isyarat menggunakan jari telunjuk di atas bibirnya, dan langsung di mengerti oleh Jenny.
Mereka bersembunyi di belakang pohon yang cukup besar. Langkah-langkah kaki terdengar mendekat ke arah mereka.
Kreekk
Jenny memejamkan mata sesaat saat kakinya tak sengaja menginjak sebuah ranting kering.
"Siapa di sana?" teriak salah seorang dari mereka.
"Ayo, kita lihat" ajak salah seorangnya lagi.
Langkah-langkah kakipun terdengar semakin dekat. Mike memberi isyarat pada Jenny untuk bersiap-siap berlari jika mereka sudah semakin dekat.
"Berapa jauh lagi kita sampai ke mobil?" bisik Mike.
"Sekitar sepuluh menit kalau kita berlari" ucap Jenny.
"Itu mereka" teriak salah satu dari mereka.
"Shit" umpat Jenny dan Mike bersamaan kemudian lari sekencang-kencangnya.
"Ayo lebih cepat lagi" ucap Mike dengan napas terengah-engah.
Mereka saling mengejar di tengah hutan. Beberapa kali Jenny tersandung akar pohon yang membuatnya terjatuh. Namun mereka beruntung karena ternyata lari mereka lebih cepat dari dua orang itu.
Suara tembakanpun terdengar menakutkan di belakang mereka. Membuat burung-burung di atas pohon terbang karenanya.
Dengan cepat Mike membuka pintu mobil, Jenny pun segera masuk. Mike segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Suara tembakan kembali terdengar dari kejauhan. "Apa mereka mengenali wajah kita?" tanya Jenny dengan napas terengah-engah.
"Semoga saja tidak."
***
Jenny berendam air panas begitu tiba di apartemennya. Rasa perih di kakinya mulai terasa membuat dirinya tidak bisa berendam lama-lama. Jenny segera mengobati lukanya begitu selesai mandi, luka yang cukup dalam gumannya sebelum membaringkan tubuhnya di ranjang.
Keringat dingin mengalir di wajahnya. Kepalanya bergerak gelisah ke kiri dan kanan. Napasnya terengah-engah. Kedua tangannya mencengkeram erat seprainya.
"Jangan pergi. Jangan" igau Jenny di dalam mimpinya.
"Aku mohon" gumamnya lagi. Tubuhnya semakin berkeringat. Napasnya memburu.
"Tidaaakkkkk" Jenny berteriak kencang dalam mimpinya. Tak lama ia kemudian terbangun. Ia memegang dadanya yang berdetak sangat cepat.
Keringat dingin mengalir di wajahnya. Jenny meraih air putih di atas nakasnya dan menenggaknya sampai habis.
Jenny melirik jam dindingnya. Pukul sembilan malam. Jenny memutuskan untuk keluar dari apartemennya. Ia butuh udara segar.
Setelah mengenakan mantel dan memasang penutup kepalanya Jenny berjalan ke arah lift. Setelah sampai di bawah ia langsung berjalan ke arah taman yang tidak jauh dari lingkungan apartemennya.
Dinginnya malam menerpa wajah pucatnya. Jenny memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel. "Apa musim dingin sudah tiba" gumamnya pelan.
Ia terus berjalan meski dengan langkah tertatih. Kakinya tertusuk akar pohon yang cukup dalam membuat perih di kakinya terasa menyengat.
Jenny memandangi kelap-kelip lampu taman. Beberapa remaja terlihat sedang bermesraan di sudut taman.
"Aku memimpikanmu lagi" gumam Jenny.
"Apa kau tidak mengingatku sama sekali?" ucapnya lirih.
Jenny terus melangkahkan kakinya di atas jalan khusus untuk pejalan kaki. Ia hanya sedang ingin berjalan, kemanapun kakinya membawanya meskipun kakinya masih terasa sakit.
"Jenny"
Jenny menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Ia semakin mengeratkan tangannya di dalam saku mantelnya begitu melihat Kate mendekatinya. Sial, kenapa aku harus bertemu mereka batinnya.
"Hai," sapa Jenny tersenyum ramah pada Kate namun tidak melihat ke arah Jhonathan.
"Apa yang kau lakukan di sini? Sendirian?" tanya Kate.
"Hanya berjalan-jalan" jawab Jenny singkat.
"Aku juga sedang ingin berjalan-jalan di taman. Di sini menyenangkan. Kau tahu, aku memaksa Jhon kemari" ucap Kate sambil tertawa ringan.
"Oh ya," ucap Jenny. Sebenarnya ia tidak tertarik sama sekali.
"Kate sudahlah" ucap Jhonathan angkat bicara dengan nada dingin. Matanya terus menatap Jenny tajam. Dari awal Jhonathan memperhatikan telapak kaki Jenny yang terbungkus perban tipis.
"Tidak apa-apa sayang" ucap Kate sembari mengelus lengan Jhonathan.
"Sebenarnya Jhonathan lebih senang kalau kami hanya berbaring saja" ucap Kate dengan senyum nakal yang mengembang di wajahnya.
Tidak perlu merasa sakit berlebihan Jenny. Kau bukan siapa-siapa batinnya. Jenny memaksakan dirinya tersenyum.
"Bukankah itu wajar? Kalian kan pasangan kekasih yang saling mencintai" ucap Jenny dengan sangat tenang.
Berbeda dengan keadaan hatinya yang sedang merintih kesakitan.
"Hahaha tentu saja itu benar. Iya kan sayang?" ucap Kate mengecup bibir Jhonathan dan melumatnya sedikit.
Jenny memalingkan wajahnya. "Mungkin benar yang di katakan Jhonathan. Kalian lebih baik di ranjang saja. Aku pergi."
Jenny meninggalkan dua orang itu dengan langkah cepat meski langkahnya sedikit terseok-seok. Dadanya berdetak cepat. Ada rasa cemburu di hatinya melihat kemesraan mereka.
Dia laki-laki brengsek Jenny tekannya pada dirinya sendiri.
"Jangan berharap lagi. Mimpi tadi memperingatkanmu, bahwa dulu dan kapanpun kau tidak akan pernah memilikinya" kata Jenny pada dirinya sendiri sembari menghapus air mata yang mulai mengalir di wajahnya.
***
Yg mau next bisa komen disini ya 😉😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top