멀어 42
“Telepon pihak rumah sakit, suruh mereka untuk menyiapkan alat operasi dan juga kantung darah. Dia kehilangan banyak darah. Mengerti?”
“Tekan terus lukanya. Hentikan pendarahannya sebelum dia mendapat tindakan lebih lanjut di rumah sakit.”
Ningning mendengar dengan begitu jelas. Perawat sedari mereka di dalam ambulans pun sudah melakukan berbagai cara agar Jay selamat. Yuma berada satu ambulans dengannya, sedangkan Nicholas dan Fuma berada di mobil yang lain.
“Sus, golongan darahku dengannya sama. Kau bisa menggunakan darahku sebagai donor.”
“Ning, kau sedang hamil. Itu sangat berbahaya bagi kau dan juga bayimu,” sela Yuma sebelum perawat mempertimbangkan perkataan Ningning.
“Apa aku terlihat mempedulikan itu, sialan?!” Ningning bertanya marah. Ia kembali menatap perawat di depannya. “Ambil saja darahku.”
Yuma mencengkeram lengannya. “Obat yang kau pakai juga membuat darahmu tak bisa digunakan!” Ningning tertegun. “Jika kita berikan darahmu pada Jay, dia akan segera tewas!”
Perawat tadi memilih tetap fokus menekan pendarahan Jay. “Masih ada kesempatan.” Tatapannya beralih pada Ningning, memberitahu bahwa nyawa orang ini masih bisa diselamatkan.
“Tekanan darah pasien sangat rendah. Pendarahannya semakin parah,” ujar si perawat pada rekan sebelahnya yang lebih berpengalaman.
“Jay, tetaplah sadar! Kumohon padamu!” Ningning panik. Yuma memeluknya dan mengarahkan kepala Ningning agar bersembunyi pada bahunya. Ia menghalangi perempuan itu agar tidak terus-menerus melihat kondisi suaminya yang berjuang antara hidup dan mati.
“Tenangkan dirimu. Jay pasti baik-baik saja,” gumam Yuma pada telinga Ningning.
“Dia tidak baik-baik saja, Yuma ... jangan berbohong padaku. Kondisinya begitu buruk.”
•••
Begitu aroma dari kopi panas menyeruak menabrak udara pagi hari, Ningning terbangun dari tidur panjangnya. Matanya resah saat cahaya matahari yang menerobos melalui tirai separuh terbuka langsung menyilaukan pandangan.
Si pembuat kopi menyadari hal itu, ia menarik tingkap jendela sampai berhasil menutupi seluruh bagian. Lalu, kembali menyesap kopi pagi harinya dengan hikmat.
“Ayah,” panggil Ningning pelan. Kei tersenyum singkat mendengarnya. Lantas ia kembali melanjutkan, “bagaimana kondisi Jay?”
“Jay pasti senang kau sudah sadar,” jawab Kei kembali duduk pada kursi di dekat ranjang anaknya. Ningning tak menyahut.
“Apa ada bagian yang sakit? Mulai sekarang kau harus lebih mementingkan kesehatan bayi itu.” Entah kedengarannya atau bagaimana, tapi Kei seolah ingin mengalihkan perhatian Ningning.
“Aku baik-baik saja. Memangnya apa yang terjadi?” Ningning tak bisa mengingat secara rinci.
“Kau pingsan karena banyak kehilangan darah, lalu ditangani oleh dokter. Dia bilang padaku kalau imun tubuhmu rendah, bayimu juga sangat lemah,” jelas Kei. Ningning ingin beranjak duduk, Kei segera merapihkan posisi ranjang dan bantal agar nyaman untuk dipakai bersandar.
“Mereka khawatir bayimu tidak bisa bertahan dan akan berdampak buruk pada kesehatanmu nantinya. Kau harus benar-benar menjaganya jika tak ingin hal itu terjadi,” sambung Kei ketika selesai menata posisi duduk Ningning.
“Jay sudah berkorban untuk anak ini, aku tidak ingin pengorbanannya sia-sia. Bagaimana kondisinya sekarang?” tanya Ningning lagi.
Kei menghela nafas panjang. “Sudah kubilang, kau harus lebih mengutamakan bayi kalian.” Perkataannya yang seperti itu malah membuat Ningning semakin khawatir.
“Ayah ... kumohon jangan memutar pembicaraan. Aku hanya ingin tahu kondisi suamiku.”
“Dia lelaki yang kuat.” Kei menaruh kopinya di atas nakas kemudian menatap Ningning. “Jay kritis, tapi kondisinya sudah jauh lebih stabil. Dokter bilang, semalam Jay sudah melewati masa komanya.”
Oh, Tuhan ... Ningning mengembuskan napas lega saat mendengar ucapan Kei.
“Soal pelaku penembakan Jay ... siapa namanya? Jun? Junhui?” Pertanyaan retoris yang tak membutuhkan jawaban. “Nicholas balas menembaknya tepat di jantung. Dia anak buah yang patuh dan bisa diandalkan.”
“Ayah,” sela Ningning. Dia tak tertarik membahas topik pembunuhan atau kasus apa pun. Satu-satunya yang ia pedulikan hanyalah keselamatan suaminya.
“Bisa aku menjenguk Jay sebentar?” pintanya memohon dengan raut wajah sepucat mungkin. Ningning meringis saat hendak bergerak. Tubuhnya terasa begitu letih seperti habis mengangkat beban berton-ton.
“Tidak,” jawab Kei tanpa berpikir dua kali.
“Kenapa?” Tentu Ningning merasa tidak terima dengan keputusan Ayahnya.
“Karena kau akan kembali menangis saat melihat kondisi suamimu.”
Ningning menunduk menatap perutnya. “Kau tega mengabaikan keinginan pertamanya?”
“Aku akan mengambil kursi roda.”
•••
catatan:
Chapter ini sebenernya panjang banget, tapi aku bagi dua buat ending (hehe). Sorry kalo yang isinya cuma ngobrol singkat, karena yang serunya sengaja disimpen terakhir 🤡
Btw pertanyaanku di chapter sebelumnya masih berlaku. Ddeungromi atau Jangkku?
Gila, tahun ini aku hectic sama urusan praktikum, ujian tulis, magang, projek dance, novel juga.. AAAAAAAA.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top