멀어 4

“Kau sendirian di sini, manis?”

Ningning mendongak sejenak, dia kembali menenggak minumannya tanpa menghiraukan perkataan basa-basi barusan. Wajahnya telah memerah sempurna, kepalanya berdenging ngilu. Pandangannya linglung saat menatap ke sekeliling ruang yang memburam.

“Wah, aku diabaikan.”

Ningning mengangkat gelasnya. Menatap orang itu dengan mata setengah terpejam dan tertawa renyah. “Kau mau kubunuh dengan cara apa? Aku punya pistol.”

Orang yang mengganggunya tersebut nampak tidak percaya dan menertawakan perkataan Ningning. Dia pikir Ningning melantur karena mabuk. “Daripada saling menembak, lebih baik kita melakukan sesuatu yang panas malam ini~”

“Aku akan menembak keluar isi kepalamu karena berani menganggu waktuku,” ancam Ningning terakhir kali. Dia mengeluarkan pistol yang tadinya merupakan alat untuk membunuh Karina, senjata itu ia arahkan tepat ke jantung pria tadi.

DORR!

Karena penglihatannya yang mengabur, pelurunya sedikit meleset dengan bersarang pada leher. Ningning mendecak malas, kemudian kembali bersandar pada sofanya. Orang-orang di sekelilingnya sudah terbiasa dengan letusan peluru. Matanya terpejam beberapa kali karena terlampau lelah dan muak.

Kau membuat kecerobohan lagi,” ujar seorang pria dengan masker hitam dan kupluk kepala yang mendekat ke arah mejanya.

“Pergilah,” usir Ningning tanpa membuka matanya. Padahal dia tidak tahu siapa yang sedang berbicara dengannya.

Orang itu mengode beberapa pengawal di belakangnya agar membereskan mayat pria kurang ajar tadi, sementara dia sendiri mendekat ke arah Ningning yang terlihat damai tertidur di sofa. “Jeo Ningning, aku akan membawamu sebentar.” Dia mulai menyelipkan tangannya di bawah lutut dan leher yang lebih muda.

Ethan Lee ... kau bajingan,” racau Ningning dalam dekapannya.

“Siapa Ethan?” Dia bertanya pada salah satu pengawalnya, yang dibalas gelengan.

Orang itu tersenyum lembut sembari mengelus kening Ningning yang berada di atas pahanya. Mereka sudah ada di dalam van hitam besar dan mewah miliknya, mobil yang akan membawa keduanya pada tempat-tempat yang indah. Dia mendekatkan wajahnya, mencium kedua pipi Ningning sambil berbisik.

“Aku akan membunuhnya untukmu.”

•••

Niki: Hei, Jay. Kau melupakan perjanjian judi kita malam tadi di Vegas.

Jay pergi dari mansion saat jarum jam baru menunjukkan pukul tiga pagi, masih terlalu dini untuk memulai hari tanpa salam basa-basi. Dia meninggalkan tubuh yang ia nodai itu sendirian dalam gundukan selimut, setelah sebelumnya membereskan seluruh kekacauan kecil yang dia perbuat tadi malam, dan menyuruh beberapa maid serta dokter untuk memeriksa keadaan Ningning saat perempuan itu bangun nanti.

“Kau sehat?” Niki tiba-tiba ada di kantornya. Pemuda Jepang itu menendang sebuah kursi putar tepat ke arah Jay yang baru saja keluar dari lift. “Kau seperti orang gila. Kemarin kau memaki habis Klan Chin dan Wu karena lalai mengemban misi, dan sekarang kau malah tersenyum-senyum sendiri.”

Jay tidak mengelak bahwa dirinya kesetanan kemarin. “Bisa kau menyingkir?”

Niki mendesah kecewa. “Kau melupakan janji kita, Jay. Harusnya sampai besok kita masih di Vegas, lalu ke Makau untuk main kasino.”

“Aku ada urusan.”

“Wanita mana lagi?” tanya Niki. Kelewat hafal jika Jay sering membatalkan janji secara tiba-tiba karena urusan dengan berbagai macam wanita. “Golongan bangsawan atau selebritis?” lanjutnya.

“Tak ada urusannya denganmu,” sarkas Jay.

“Aku mengenalmu sudah lama, Jay. Kita berada di posisi yang sama dimana harus menanggung semuanya sendirian. Kita memang berhak memilih teman tidur, tapi melampiaskannya pada orang yang mabuk bukan pilihan terbaik.”

DEG!

Jay tidak mengerti kenapa ucapan Niki membuat dirinya tersentak. Seolah orang itu tau apa yang terjadi padanya kemarin. Mungkin raut wajah Jay mencerminkan segalanya. “Apa maksudmu?”

“Jeo Ningning. Kau kira aku tidak tahu? Dia perempuan yang menyelamatkanmu saat insiden di Hongkong, bukan?” Niki menatap tajam Jay. “Harusnya kau tidak perlu terlibat dengannya. Dia ... dikelilingi orang-orang berpengaruh besar. Kau tidak pernah tahu siapa yang akan kau hadapi nantinya.”

“Kau pikir itu penting untukku? Aku hanya bermain-main dengannya, bodoh.”

“Orang seperti kita bisa sangat kacau hanya karena satu perasaan cinta.” Niki melanjutkan. “Aku brengsek di dalam, bisa saja kau brengsek di segala bidang.” Pemuda itu mengakhirinya dengan sangat baik, meninggalkan Jay begitu saja.

Jay melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Ningning itu rendah. Lapisan rendah ada karena mereka yang kurang berusaha. Murah. Menjijikkan. Ibunya yang mengajarinya tentang hal itu.

•••

Selamat pagi, Ningning,” panggil sang dokter.

“Pergi!” sahut Ningning begitu melihat seorang wanita dengan jubah putih dan stetoskop yang menggantung di leher.

Seorang dokter tidak akan menurut begitu saja. Dia berjalan mendekati ranjang tempat dimana Ningning sedang berbaring meringkuk seperti bayi dengan selimut tebal yang membalut tubuh polosnya. Dokter itu menarik sedikit selimut yang dipakai Ningning, dan terkejut begitu mendapati beberapa ruam biru gelap keunguan menghiasi leher sampai tengkuk perempuan itu.

“Apa parah?” tanya Ningning pelan. Beringsut menutupi kembali tubuhnya yang bertelanjang dada.

Dokter di sana memasang wajah iba dan memaklumi sikap dari seorang korban. “Jay melakukannya sampai begini?” Dia malah bertanya balik.

Ningning terdiam menunduk, tapi pelan-pelan mengangguk samar. “Bisa kau memberiku obat apa saja agar ruam ini cepat hilang?”

Sang dokter tak bisa menyembunyikan keterkejutannya atas hal ini. “Astaga, aku tak pernah melihat Jay sampai membawa orang ke mansionnya. Tapi, kenapa harus ... perempuan rendahan?” Dia membuka tas yang ia bawa.

Dia adalah dokter pribadi keluarga ini. Sudah lama dia bekerja dan mengabdi karena dulu Ayah Jay sakit-sakitan sebelum akhirnya meninggal. Tentu saja dia lumayan dekat dengan penghuni mansion Jay, terkecuali pemiliknya.

Argh, kenapa semua orang di rumah ini terus menyalahkanku?!”

Mana mungkin. Manusia itu terlalu buta oleh uang dan kekuasaan. Dokter itu menatap Ningning sekali lagi. Sebenarnya dia tidak mau menuduh Ningning, tapi pada kenyataannya ... Jay sungguh tidak pernah membawa siapapun ke mansionnya di manapun itu. Lantas, mengapa tiba-tiba?

“Apa yang kau berikan padanya selain tubuhmu? Banyak wanita yang rela menjadi piece of meat* hanya agar kehidupannya terjamin, tapi tak ada satupun yang menarik hati Jay selain untuk bersenang-senang.”

*Piece of meat: seonggok daging, kiasan yang biasa digunakan untuk mengungkapkan pemuas ranjang.

Diamnya Ningning membuat dokter itu sadar kalau perempuan ini murni sebagai korban. Dinalar, dia juga sebenarnya bersalah karena tetap tutup mulut padahal bisa saja membantu melaporkan kasus ini sembari membuatkan surat visum.

“Ruam ini menyakitkan.” Ningning akhirnya mengakui kondisinya. “Bisa kau membantuku agar ini cepat hilang?”

“Tentu. Apa ada lagi bagian yang sakit?” Seharusnya dia tidak perlu bertanya.

“Ah, benar juga. Apa ini pertama kali untukmu?”

Ningning menggeleng. Ini bukan yang pertama, tapi sudah begitu lama sejak terakhir kali dia melakukannya.

“Apa yang dia gunakan? Bisa jadi ini karena penetrasi yang kurang sempurna.”

“Tidak ada.” Seingat Ningning, Jay hanya menggunakan ludah.

“Pantas saja. Jay memang sedikit kasar.” Ningning menanggapinya dengan tersenyum kecut.

“Ruam itu akan hilang paling lambat tiga hari lagi. Aku akan memberimu obat pereda nyeri, dan juga ...” Dia mengeluarkan banyak obat dari dalam tas dan juga sebuah salep berukuran kecil. “Oleskan ini pada bagian bawahmu yang terasa sakit.”

Ningning menerimanya dengan ragu.

Dokter itu tersenyum lembut dan mengangguk. “Ini tidak akan mudah. Jay pasti tidak melepasmu begitu saja, dia akan terus membayangi hidupmu sekalipun kau menolaknya.”

Dia memberikan sebuah kartu nama. “Aku punya kenalan psikiater, mungkin suatu saat kau membutuhkannya.”

Seorang dokter pasti sudah biasa menangani orang-orang yang mentalnya terguncang. Tak ada raut berarti dari wajahnya, karena memang hal ini sangat wajar dalam pembicaraan para kalangan atas. Kewarasan hanya milik mereka yang memiliki kekuasaan.

“Tidak perlu. Ini bukan apa-apa. Aku sudah terlalu banyak membius diriku dengan obat-obatan.” Yang dia maksud adalah terlalu sering membius dirinya menggunakan obat-obatan terlarang. Tengkoraknya mungkin sudah dipenuhi asap ganja.

“Psikiater tak akan ada gunanya,” ujar Ningning pelan. Matanya menatap obat di tangannya dengan perasaan gamang. “Aku hanya butuh waktu.”

“Bagaimana kalau dia melakukannya lagi?”

Dokter itu mengajukan pertanyaan yang membuat Ningning berpikir cukup lama. Benar juga. Bagaimana jika Jay memperlakukannya seperti semalam lagi? Apa Ningning sanggup menghindari jerat benang hitam itu?

“Aku akan membunuhnya sebelum sempat dia melakukannya sekali lagi.”

•••

catatan:

(Terdapat penghapusan adegan dewasa demi kenyamanan penggemar pihak Jay ataupun Ningning, serta pembaca).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top