멀어 3
Jeo Ningning mengempaskan tubuhnya lalu bersandar pada sofa lengkung merah marun yang ada dalam ruangan bercahaya remang tersebut. Dia duduk berhadapan dengan meja bartender, di sisi yang lain terdapat satu meja yang juga hanya diisi oleh satu orang. Ningning memperhatikannya dengan saksama, saat orang itu berdiri dari duduknya, Ningning pun mengikutinya dari belakang seolah mereka adalah kawan lama.
Dia, Karina. Model terkenal dari Australia yang namanya sering Ningning dengar. Ningning mendapat misi untuk menghabisi nyawa model itu sebelum pemotretan besar yang akan Karina hadiri tiga hari lagi.
Ternyata Karina pergi ke toilet. Ningning ikut berdiri di sampingnya dan berpura-pura membasuh mukanya dengan air mengalir. Ningning menoleh saat dia menyadari jika Karina sedang berusaha mengeluarkan isi perutnya di wastafel, wanita itu pasti terlalu banyak meminum alkohol.
Sampai saat Ningning mengeringkan tangannya pun, Karina masih berusaha memuntahkan cairan. Akhirnya wanita itu terduduk lemas di lantai sambil mencengkeram erat rambutnya. Terlihat seperti orang frustasi.
Ningning mendekat lalu mengulurkan tangannya. “Kau butuh bantuan?” tanyanya ramah.
Karina menatapnya ragu dengan matanya yang berair. “Ya, sedikit. Tolong bantu aku naik.”
Ningning berjongkok dan memapah wanita itu berjalan ke arah lift. “Kau sedang sakit? Atau, mabuk?”
“Tidak keduanya,” jawab Karina memegangi kepalanya. “Ah, kepalaku sakit sekali,” gumamnya lirih.
“Di lantai atas ada berapa kamar?” Tiba-tiba Ningning bertanya.
“Ada lima, tapi sepertinya semuanya kosong.”
“Oh, semuanya kosong? Benarkah? Kau sendirian.” Ningning tersenyum aneh, bersamaan dengan pintu lift yang terbuka karena mereka telah sampai ke lantai kamar yang Karina tuju. Lorongnya diterangi lampu, tapi tetap saja terasa sepi dan mencekam karena tak ada orang lain selain mereka berdua.
“Kau tidak takut?” Ningning membuka kunci pintu dengan menempelkan kartu milik Karina.
“Takut soal apa?”
“Banyak hal. Mungkin semacam hantu, atau paling parahnya, jika kau mati tidak akan ada orang yang tahu, kan?”
“Aku memang sudah mati. Karirku hancur.” Karina berkata dengan tatapan kosong menatap deretan lantai putih di bawah kakinya, dia tersenyum miris. “Kau bertanya apa aku mabuk tadi. Aku bahkan tidak minum alkohol satu gelas pun. Aku juga tidak sakit. Itu murni bawaan bayi.”
“Maksudmu?”
“Orang hamil di trimester pertama biasanya memang mual-mual, bukan? Menyusahkan memang, ya.”
Ningning mengerti. “Ah, rupanya kau sedang hamil?” tanyanya yang lebih mirip seperti pengulangan perkataan Karina. “Kalau begitu ... apa bayaranku akan menjadi dua kali lipat karena aku membunuh dua orang sekaligus?” Diakhiri tawa ringan yang menggema.
Karina terkejut mendengar ucapan Ningning, dia reflek berdiri sambil menutupi perutnya dengan tangan. “Sialan! Siapa kau? Kenapa kau mau membunuhku?!”
Ningning tersenyum lebar. Sarung tangan hitam sudah membalut tangannya disertai sebuah pistol kesayangannya yang telah ia bawa kemana-mana. Dia mengangkat senjata laras pendek tersebut hingga jaraknya hanya terpaut satu jengkal dari kening Karina yang berkeringat dingin.
“Ada permintaan terakhir?” tanyanya bersiap menekan pelatuk.
“Tidak! Aku ingin dia lahir dengan selamat, bukannya mati bersamaku.” Karina mulai menangis. Sekujur tubuhnya gemetar karena Ningning malah meniadakan jarak antara kepalanya dengan pistol. Perempuan itu serius soal ingin membunuh dua orang sekaligus.
DORR!
“Berikan aku alasan yang logis. Apa kau mengenal Ethan Lee?” Ningning menurunkan senjatanya, tapi masih tetap memandang Karina rendah. Satu tembakan ke arah lengan seolah tidak berarti apa-apa. Karina tidak akan mati hanya karena luka tembak di lengan sebelah kanan.
“Apa semua ini karena dia? Memangnya apa yang dilakukan kekasihku kepadamu?” Karina memegangi lengannya sambil meringis nyeri.
Ningning diam. Perkataan Karina barusan sudah cukup untuk menjawab pertanyaannya. Setidaknya wanita ini tidak berbohong, atau mungkin terlalu payah untuk menutupi hubungannya. “Lantas, anak itu ... apakah?” Ningning menggantung ucapannya.
“Ya.” Karina mengakui. “Dia belum tahu kalau aku hamil anaknya ... sudah dua bulan ini aku merahasiakannya.” Karina menundukkan kepala semakin dalam. Satu tangannya yang tidak terkena tembak ia sempatkan untuk mengelus permukaan perutnya.
“Keparat itu,” geram Ningning meremas pistolnya. Dia memasukkan kembali pistolnya ke dalam saku, menginjak paha Karina sekuat tenaga, dan menjambak rambut wanita itu sampai menengadahkan kepala menatap matanya.
“Dasar tolol! Apa kau tahu sudah berapa banyak wanita yang ditiduri oleh kekasihmu itu?! Dia tidak pernah bisa cukup dengan satu pemuas ranjang, Karina! Dia bajingan!” teriaknya lantang.
“Aku tahu.” Karina kehabisan kata-kata. Kepalanya pening, bekas tembakan Ningning berdenyut nyeri. Keseluruhan tubuhnya terasa mati rasa. “Anak ini tidak bersalah. Kalau aku memberitahu Ethan soal kehamilanku, aku takut dia akan nekat untuk membunuhnya.”
Bibirnya pucat, luka tembak jika tidak segera ditangani bisa menyebabkan infeksi dan berbahaya. “Aku tidak ingin itu terjadi. Setelah proyek pemotretan besar tiga hari lagi, aku akan berhenti menjadi model dan fokus pada anak ini saja. Soal Ethan aku tidak peduli. Aku bisa membesarkan dia sendirian.”
Ningning melunakkan pandangan. “Bagaimanapun, Ethan harus tahu bahwa sebentar lagi dia akan menjadi Ayah, Karina.”
Karina tidak bisa menjawab, dia menangis deras dibalik telapak tangannya. Meski tidak bersuara, tapi Ningning tahu kalau semuanya terasa berat dan rumit bagi Karina yang tengah berada di puncak karirnya. Ya, wanita ini sedang berpura-pura kuat dan tegar menghadapi semuanya. Begitu banyak kepalsuan yang Karina mainkan hanya demi menyelamatkan satu nyawa yang hadir karena kesalahan besar.
“Seharusnya aku membunuhmu.” Ningning memulai lagi.
Karina terdiam membisu. Dia bersandar lemas pada dinding sembari menahan sakit. “Tidak apa-apa. Aku tahu kau ditugaskan seseorang untuk membunuhku. Lakukan saja. Setidaknya, mungkin kau akan memberi tahu Ethan soal anak ini saat aku mati.” Dia mulai melantur.
Ningning menegaskan raut wajahnya. “Jangan mendramatisir seolah kau akan benar-benar mati beberapa menit lagi, Rin!”
“Aku memang akan mati. Kau yang bilang–”
“Aku memberimu kesempatan,” potong Ningning. Karina menatapnya bingung.
“Sudah tolol, bodoh, ternyata kau juga tuli,” sarkasnya. “Cepat pergi dari sini dan ke rumah sakit. Kau harus memeriksa kandunganmu.”
“Cepat sana sebelum aku berubah pikiran, bangsat,” hardik Ningning membalikkan tubuh ke arah balkon kamar.
Karina dengan kaki gemetar dan langkah yang tertatih berusaha berjalan dengan perlahan. “Terima kasih,” ujarnya tulus sebelum benar-benar pergi dari kamar yang masih diisi oleh Ningning.
“Ah, sudahlah. Lagipula uangku masih terlalu banyak untuk bertahan hidup,” monolog Ningning ketika menyadari jika dia membiarkan satu orang lolos dari cengkeraman maut. Hal yang sekarang dirasakan Karina membuat Ningning seolah melihat kilas balik hidupnya sendiri.
•••
catatan:
Karina gak bakal iseng bongkar identitas Ningning di depan publik kok ... eh, gatau juga deh. Liat aja nanti 🤏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top