멀어 18
Entah mau sampai sejauh mana Ningning akan menjelajahi pasar malam itu bersamanya. Kalau dibilang lelah sebenarnya tidak, hanya saja Jay merasa kalau harusnya mereka akan makan makanan berat, bukan sekedar jajanan pinggir jalan. Setelah berkali-kali membeli makanan kecil, akhirnya Ningning bilang ini adalah tempat terakhir yang akan mereka kunjungi.
Sekali dilihat sebenarnya sudah mencolok karena antrian pengunjung mencapai dua barisan. Jay lagi-lagi menoleh pada Ningning. “Kau gila? Antriannya sangat panjang. Bisa-bisa kita baru makan saat matahari terbit!” sarkasnya.
“Kau tenang saja. Temanku yang akan mengurusnya, dia pemilik resto ini~”
Jay kira Ningning bercanda, namun pada kenyataannya sungguh ada seorang pria yang menghampiri mereka berdua lalu berbincang sejenak dengan istrinya sebelum mempersilahkan mereka masuk ke dalam restoran serta mendapat meja yang terletak di dekat tembok dan sedikit tertutupi bilik bambu. Ini sebuah restoran terkenal, tapi desainnya seperti bangunan kuno.
Di depan tadi ada sebuah tulisan yang telah susah payah Jay artikan berbunyi: tidak menerima reservasi, dan hanya melayani pembayaran tunai. Jadi, Jay pikir kartu kreditnya tak akan berguna di sini. Apalagi Ningning sudah berpesan agar ia tidak menggunakan identitas aslinya.
Ningning langsung sibuk membuka buku menu dan menunjukkannya pada Jay ketika menemukan makanan yang sesuai. “Zaru udon kelihatannya sangat enak. Dan, oh! Kake udon? Kau ingin ini atau varian mentega mentaiko?”
“Pesan saja sesukamu,” sahut Jay malas.
Saat pelayan pergi dari meja mereka, Ningning tiba-tiba berucap. “Mereka hanya terima tunai. Apa kau punya uang cash sekarang?”
“Ada, tenang saja.”
“Oke, bagus.”
Perlu sekitar lima belas menit sebelum pesanan mereka tiba dalam keadaan masih mengepulkan asap panas. Ningning yang paling antusias ketika satu demi satu mangkuk udon diletakkan di atas meja. “Selamat makan!” ujarnya mengambil alih kake udon. Ningning mengaduknya sebentar lalu mulai mencicipi potongan daging yang ada di dalamnya.
“Ayo kita lihat menu lain di sini.” Ningning mengambil buku menu yang satunya. Dimana terdapat berbagai makanan penutup dan menuman beralkohol serta camilan bir.
“Aku mau rum* dan shishamo, kau?”
*Rum: jenis minuman beralkohol yang memiliki kadar alkohol yang cukup tinggi, sekitar 40 persen.
“Sake dan tako wasabi.”
Sebenarnya tiap kali pembelian udon sudah termasuk paket draft beer, tapi mereka telah menghabiskannya lebih dulu sebelum makanannya tiba. Benar-benar pasangan alkoholik yang serasi, kan?
Sekarang Ningning memesan sebotol rum pada pelayan, Jay juga menambahkan sake hangat. Masing-masing camilan alkohol mereka adalah shishamo dan tako wasabi.
“Apa kau yakin bisa mengatasinya?” Jay bertanya memastikan.
Ia meragukan Ningning yang ingin menghabiskan sebotol rum sendirian. Jay menawarkan diri untuk meminumnya berdua. Kadar alkohol yang tinggi dalam rum cukup untuk membuat seseorang mabuk, jika diminum lebih dari secangkir.
“Ini hanya satu botol rum! Apa yang kau cemaskan?” Perasaan Jay mengatakan bahwa sekarang Ningning mulai melantur.
“Aku mau somaek*” Ningning bergumam sambil menelungkupkan kepalanya di atas meja. Jay menjulurkan tangannya dan memegang kening Ningning untuk memastikan sesuatu.
*Somaek: soju yang dicampur dengan bir.
“Jangan pesan alkohol lagi, badanmu panas. Kau sakit, Ning?” tanyanya dengan raut datar. Wajah Ningning memerah karena kesal.
“Bangsat, kau pikir siapa kau berani melarangku begitu? Enyah sana!” Ia menunjuk-nunjuk wajah Jay secara tidak sadar.
“Aku akan menelpon anak buahku— Ning!”
Ningning tak menjawab dan masih sibuk menutupi mulutnya dengan telapak tangan. “Aku ... uhh, ingin ke toilet sebentar. Tunggu di sini.” Ia kembali menahan rasa mual dengan menutup mulutnya sampai ke toilet.
Selama menunggu, Jay memilih untuk memanggil pelayan menotalkan semua pesanan mereka. Makanan utama sudah habis, hanya tertinggal camilan bir yang tak perlu dipermasalahkan. Jay melihat jam tangannya sekali lagi, sudah dua puluh menit berlalu sejak Ningning pergi ke toilet untuk memuntahkan isi perutnya. Namun, sampai sekarang perempuan itu belum menunjukkan batang hidungnya. Apa mungkin toiletnya mengantri?
Jay sadar harus segera mencari tahu. Dia tak bisa terus-terusan duduk santai dan hanya menunggu kedatangan Ningning, firasatnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang terjadi. Hal yang mungkin dijalankan tanpa sepengetahuannya, dan mengancam nyawa istrinya yang sedang sakit. Eh, Ningning mabuk atau sakit? Ah, mana dia peduli soal itu. Sekarang yang terpenting adalah menemukan Ningning.
“Ada apa ini?” Jay bertanya dengan lancar.
“Ada bercak darah basah di tembok toilet, juga di wastafelnya. Kami sedang mencari tahu lewat cctv, siapa saja yang—”
“Apa salah satunya ada yang mengenakan kaus putih dan celana hitam pendek? Dia datang bersamaku, kami sedang makan malam bersama.”
“Apa dia bilang ingin pergi ke toilet?”
“Ya, dia menyuruh agar aku menunggu. Kurasa istriku agak mabuk.”
“Oh, sebentar. Biar aku tanyakan pada yang bertugas mengawasi kamera pengintai.” Orang itu mulai mengangkat ponselnya dan menekan nomor seseorang. Mereka berbincang sebentar menggunakan bahasa yang kurang Jay pahami. Sesekali orang itu melirik Jay.
“Dia bilang ada seorang perempuan yang ciri-cirinya persis seperti yang kau sebutkan, tapi perempuan itu kelihatannya terlalu mabuk sampai pingsan. Dia bilang istrimu digendong oleh seorang laki-laki yang juga pengunjung restoran ini.”
Dia menunjukkan sebuah video dimana terdapat cuplikan rekaman saat Ningning masuk ke toilet dan selang sepuluh menit kemudian tubuhnya malah digendong oleh seorang asing menuju pintu keluar restoran. Jay tak melihatnya karena tempat duduk mereka membelakangi pintu.
“Keparat.” Jay mendecih, kemudian tergesa-gesa berlari keluar dari restoran dan mengabsen tiap cabang jalan yang ada di depannya, begitu banyak alasan kemungkinan Ningning dibawa pergi.
Gerombolan orang-orang masih saja sama seperti sebelum dia memasuki restoran. Tiap inci jalan dipenuhi manusia yang melakukan tawar-menawar juga suara obrolan yang menyatu membuat kepala Jay pening bukan main. Seharusnya ia bisa menolak kemauan Ningning pergi ke pasar malam ini, harusnya ia bisa lebih waspada, harusnya Ningning tak menghilang karena kelalaiannya.
Jay telah menelepon seseorang, orang itu tiba tak sampai setengah jam kemudian. Taki. Diam-diam pemuda itu merupakan tangan kanan Niki dan juga berada dalam bayangan Jay. Taki sebelumnya memang ikut perjalanan mereka ke Jepang meski berbeda jam. Ningning tak tahu soal ini karena Jay butuh seorang yang berbakat untuk mengemban misi penting selain Niki dan Nicholas.
“Ningning menghilang.” Jay mengawalinya dengan kalimat cukup bagus.
“Aku tidak terkejut mendengarnya. Sudah kubilang kalau Ningning bukan orang sembarangan.”
Jay mengepalkan tangannya. “Aku ingin kau menyelidiki tiap musuh kita, jika mereka tak mau bicara, keluarkan satu-persatu tulang dari tubuh mereka. Aku tidak peduli.” Jay menatap mata Taki dalam dan serius, tanpa terselip satu pun keraguan.
“Temukan dalangnya, apapun caranya kita harus mendapatkan bedebah itu, Taki.” Jay melepas topinya, ada beberapa orang yang langsung mengenali wajahnya.
“Apa sebenarnya pesona pecandu itu? Kenapa kau repot-repot mencarinya? Biarkan saja dia hilang, lagipula dia tak berguna.”
“Pecandu yang kau hina barusan adalah istriku.”
•••
catatan:
Waduh, Ning ilang.. tebak siapa yang berpotensi jadi penculiknya! 🤡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top