멀어 10

Ningning sedikit merasa tenang karena Jay tidak— atau lebih tepatnya belum sempat membicarakan soal pernikahan mereka pada semua kolega bisnisnya. Baru Sunghoon yang tahu, lelaki itu langsung pergi ketika mendengar kabar dari mulut Jay. Entah apa yang akan terjadi nanti, Ningning yakin semuanya kelak akan terbongkar. Sunghoon pasti menyebarkan beritanya secepat yang dia bisa.

Ada beberapa orang yang mungkin sudah bertukar cerita dengan Sunghoon. Orang-orang itu menatapnya dari atas sampai ke bawah, seperti menilai keseluruhan penampilan Ningning dan membuat kesimpulan apa ia pantas bersanding dengan Jay yang merupakan pengusaha sukses. Meski usianya sudah menginjak kepala tiga, tapi Jay benar-benar panas dan populer dikalangan selebritis. Ningning yang merupakan orang asing tentu saja tak sebanding apapun.

Meski pakaiannya adalah barang bermerek ternama, juga dilengkapi beberapa aksesori mewah seperti kalung dan gelang. Namun, tetap saja pandangan mereka menganggap Ningning rendah. Mungkin Ningning terlihat bagai parasit dalam jalur karir Jay, menumpang nama besar dan menggantungkan seluruh hidupnya pada lelaki itu.

“Wah, lihat siapa yang datang.” Satu perempuan bersurai cokelat gelap menghampiri Ningning yang tengah bersandar pada salah satu pilar.

Ningning tak menghiraukannya, ia tetap sibuk mengunyah potongan kue yang telah ia bawa menggunakan piring kecil. Ia berjinjit kaget saat ada tangan yang menepis piringnya sehingga hampir jatuh ke lantai. Untungnya ia secara reflek bisa mengambil piring itu sebelum membentur lantai dengan sangat keras.

“Makanannya jatuh.” Ningning tersenyum tipis pada perempuan lain berambut blonde yang telah menepis piring kuenya. “Kau harus memungutnya sekarang, Nona.” Ia berujar tegas.

“Lancang sekali mulutmu memerintahku begitu. Memangnya kau pikir hanya dengan rumor kalau kau adalah istri Wen Jay bisa membuat kami takut?” Perempuan itu malah balik menantang.

Ningning menggenggam piringnya erat-erat. “Seharusnya begitu. Maksudku ... kabar itu bukan rumor, aku betulan istri Jay.” Meski malas mengucapkannya, tapi setidaknya Ningning harus membalas jika harga dirinya diinjak.

Ia mendecak sebal. “Ah, sudahlah. Percuma juga aku menjelaskannya pada kalian. Aku tak punya waktu untuk drama orang ketiga seperti ini.” Ningning membawa, kemudian menaruh piring itu ke atas meja bundar.

Ningning memilih pergi naik ke lantai paling atas bangunan itu. Bukan karena dia menyukai langit, atau pun menyukai malam. Ningning hanya ingin sendirian dalam sepi sembari melamun tentang apa saja yang sempat terlintas dalam benaknya.

“Harusnya kau berbaur.”

Ningning enggan menoleh, terlalu malas untuk menanggapi perkataan orang asing. Entah siapa yang malah mengajaknya bicara saat ini, yang jelas Ningning tidak sedang dalam mood baik untuk membalas sapaan itu dengan ramah.

“Aku teman Jay, kau tak perlu takut padaku.”

Ningning mendecih sinis, ia menolehkan kepalanya sekilas dan kembali fokus pada para manusia di lantai bawah yang berlalu-lalang. “Pergilah, aku tak ingin dikawal siapapun,” usirnya.

“Aku melihatmu keluar dari mobil yang sama seperti Jay, kalian sepasang kekasih?”

Terasa agak canggung karena Ningning hanya berdeham sebagai formalitas. Lelaki itu berjalan ke arah Ningning sambil memasukkan satu tangannya ke dalam saku. Dia melayangkan pertanyaan yang mengandung keheranan di setiap kata, bukan untuk sekedar basa-basi.

Ningning tebak usia lelaki itu mungkin sama seperti Jay, entahlah ia tidak yakin. Semuanya di atas kertas, jadi masing-masing dari mereka berdua seharusnya tak saling mencampuri urusan pribadi.

Matanya memakai lensa grey, hidungnya mancung, kulitnya bersih, tatapan matanya terlihat bersahabat sekaligus setajam silet dan punya postur badan yang lumayan tinggi. Sedikit lebih tinggi dari pada suaminya.

“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Ningning sedikit risih.

Lelaki mengerutkan kening, jari telunjuknya di bawah bibir. “Hm, aneh saja melihatmu sendirian di sini. Mereka bilang kalau kau itu istri Jay, jika itu benar maka seharusnya akan ada banyak pengawal di sampingmu.”

“Memangnya kenapa?” Ningning membuka blazernya dan menyampirkan blazer tersebut pada bahunya. “Apa urusanmu jika aku istri Jay atau bukan?”

Lelaki itu tersenyum tipis. “Aku tidak bermaksud apapun, aku hanya heran. Setahuku sejak dulu Jay tak pernah sampai seserius itu dengan seseorang. Apalagi sampai langsung ke jenjang pernikahan. Dia bajingan ulung, semua orang tahu itu.”

“Oh, benarkah?” Ningning mengamati gelagat lelaki itu yang menuangkan cairan di gelasnya ke lantai. Mungkin dia merasa terlalu banyak minum.

Lelaki itu mengangguk yakin. “Biasanya hampir setiap hari dia pergi luar negeri, terkadang juga sambil membawa wanita yang berbeda-beda. Lalu, tiba-tiba sekarang dia serius berkomitmen karena sosok sepertimu?”

Mungkin Ningning tidak sadar, tapi saat kalimat itu terucap ia malah meremas gaunnya sendiri. Oh, bagus. Sekarang dia benar-benar kehilangan minat untuk bersenda gurau. Dia begitu sensitif jika itu menyangkut masa lalu Jay, atau hal apa saja yang orang-orang itu dapat tentang latar belakangnya.

“Lalu?” Ia menyahut kelewat santai.

“Terima kasih sudah berusaha mengajakku bicara, tapi topikmu itu aku rasa sedikit kurang pantas.” Ningning berjalan mendekati lelaki itu, hanya tinggal dua langkah sebelum bahu mereka bertubrukan, tapi Ningning malah menghentikan langkah.

“Kau tidak mau mengucapkan selamat padaku atau sahabatmu? Kami ini pengantin baru, harusnya kami mendapat banyak pujian.”

“Aku sudah mengucapkannya sejak beberapa hari yang lalu.”

“Kau berbohong,” sahut Ningning sarkas.

“Wah, apa terlalu kelihatan kalau aku sedang berbohong?” Dia terkekeh sejenak lalu mengambil selangkah lebih baju, menodongkan senjata laras pendek yang tepat mengarah pada kening Ningning sembari tersenyum kecil.

Ningning menatapnya tanpa berkedip, dia memiringkan kepalanya bingung. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya keheranan.

“Kau mau menembakku dengan itu?” Ia menunjuk pistol tersebut.

Lelaki itu mengernyit. Ningning sama sekali tak merasa takut saat pistol itu sungguhan mengincar kepalanya. Ning malah tertawa kecil lalu menurunkan senjata otang itu dengan tenang.

“Pistolmu kosong,” ujarnya. Lelaki itu mengerutkan kening dan lengah selama beberapa saat.

Ningning mengambil langkah cepat dan sigap memerangkap tubuh lelaki itu dalam satu dekapan. Ia menjatuhkan tubuh yang lebih tinggi darinya dengan sangat mudah, membuat lelaki itu terlentang di lantai sembari berusaha melepaskan diri dari kurungan Ningning. Pistolnya terlempar ke sudut yang lain, sulit untuk menggapainya kembali.

Ningning memelintir kaki orang itu dengan semua tenaga yang ia miliki, hanya tinggal menunggu sebentar lagi sebelum kakinya patah. Ningning mendorong sekali lagi ke depan hingga mengundang erangan sakit yang mengudara, kemudian melepasnya. Ia merogoh sesuatu dari dalam blazernya dan langsung manarik pelatuk tanpa bicara.

Dorr!
Dorr!
Dorr!

Dilatih sejak umur sembilan tahun membuat Ning terbiasa dengan hawa berbeda ketika ada yang sedang memata-matai aktivitasnya. Sebenarnya Ningning sepenuhnya sadar kalau orang ini berniat buruk. Ia dengan cepat melayangkan tiga tembakan beruntun dari jarak dekat yang mendarat di bagian perut, kaki, dan tangan. Sengaja. Ning ingin melihat korbannya meraung meminta pengampunan.

“Siapa?”

Hening. Hening lama di pihak orang itu.

“Kau mulai bisu?” Ningning kembali mengeluarkan pistol kesayanganya. Itu membuat orang tadi gelagapan.

Sayang sekali, dia hanya bocah ingusan yang baru terjun ke dunia pembunuhan. Ningning yakin setelah ini akan ada banyak manusia sejenis yang datang menemui ajalnya sendiri karena termakan perintah seseorang yang tak senang soal kabar pernikahan Jay dan Ning.

Dorr!

Satu tembakan terakhir sukses menjadi pelengkap harmoni yang indah.

“Jika kau ingin membunuh seseorang, teliti dulu korbanmu dengan benar.” Ningning mendongak ketika mendengar suara tapak kaki yang mendekat ke arah mereka. Kedua bilah pintu besi itu terbuka lagi menampilkan seorang lelaki berpakaian formal.

“Jay Wen! Jangan diam saja kau, apa kau mau istrimu ini masuk penjara karena satu kasus pembunuhan?” Ningning segera bangkit berdiri dari posisi sebelumnya yang terkesan eksotis.

Dibakar atau kita buang?” Jay menawarkan dua pilihan rumit.

“Dibuang saja,” jawab Ningning cepat. “Setelah itu kita bisa bicara santai berdua di balkon kamar sambil meminum teh hangat, setuju?”

•••

catatan:

Dasar pasangan gila. Mau duduk santai berdua di balkon kamar aja harus bunuh orang dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top