Blind Date
Wanita itu meringis ketika menatap pria yang tengah memindai penampilannya saat ini, matanya yang tajam menyorot penuh selidik secara frontal membuatnya merasa agak canggung. Dia sebenarnya tidak ingin berakhir di sini dengan pakaian kantornya yang sudah kusut, tapi Ibunya yang membuatnya berpenampilan seperti saat ini.
"Sooji, teman kencanmu sudah menunggu." Hanya kalimat itu yang ibunya berikan kemudian sambungan telepon terputus dan disusul dengan sebuah pesan yang berisi alamat restoran yang harus ditujunya.
Karena tidak memiliki pilihan lain akhirnya Sooji melaju menuju restoran tersebut bahkan tanpa pulang ke rumah untuk berganti pakaian.
Sekarang dia cukup menyesal karena melakukannya, bayangkan saja datang ke sebuah restoran mewah dalam keadaan kuyu setelah bekerja seharian sementara dia menemukan teman kencan yang luar biasa tampan dengan penampilan santainya.
Sooji merasa malu.
"Ehm, jadi kau Bae Sooji?" Pria itu berdehem sebelum membuka suara. Sooji mengangguk enggan padanya, sepertinya aksi memindai pria itu telah selesai.
"Baru pulang kerja ya?"
Sudah tau nanya! Dasar goblok!
Sooji hanya tersenyum kecil ketika menganggukan kepala sekali lagi, dia benar-benar jengah saat ini. Apa motivasi ibunya mengatur sebuah kencan buta untuknya?
"Aduh, suasananya cangung ya." Pria itu tertawa renyah ketika mereka kembali berdiam diri.
"Mungkin karena baru bertemu," balas Sooji enggan. Pria itu mengangguk lalu menyodorkan tangannya.
"Daritadi saya belum perkenalan. Kenalkan nama saya Kim Myungsoo."
"Saya tidak perlu menyebut nama saya lagi bukan?" Sooji menerima uluran tangan pria itu lalu melepasnya secepat mungkin.
"Iya, ibu saya sudah beritau namamu sebelum berangkat kesini."
Setelahnya mereka kembali diam, Sooji sebenarnya bukan orang yang pelit bicara, hanya saja dia terlalu canggung karena bertemu Myungsoo dengan penampilan yang kurang mengenakkan, makanya dia merasa enggan untuk berbicara banyak.
"Oh ya, kenapa kau terima acara kencan buta ini?" Myungsoo kembali bertanya membuatnya mendongak, Sooji mengerutkan keningnya untuk berpikir sejenak.
"Saya dipaksa ibu saya," jawab Sooji membuat Myungsoo tertawa, "kenapa? Ada yang lucu?" Tanyanya heran.
"Tidak, saya hanya berpikir kenapa kau tidak menolak saja?"
"Dilarang menolak. Ibu saya orangnya keras jadi dia akan melakukan apapun untuk mencapai keinginannya," jelas Sooji panjang lebar, dalam hati ia juga merutuki ibunya--meskipun itu dosa--karena terlalu ikut campur dalam masalah asmaranya. Padahal dia sudah berkali-kali katakan jika belum ingin menikah diusianya saat ini.
"Sama dengan ibu saya. Pantas saja mereka bisa berteman akrab."
"Oh, mereka berteman?" Sooji menatap Myungsoo kaget, pantas ibunya ngotot agar dirinya datang di kencan buta kali ini. Ternyata prianya anak dari teman ibunya.
"Lalu kenapa kau datang kesini? Tidak punya pacar?"
Myungsoo tersenyum mengedikkan bahunya, baru saja ingin membuka suara tiba-tiba pelayan datang membawa makanan mereka. Mata Sooji langsung berbinar saat melihat krim sup dan salad sebagai makanan pembuka mereka.
"Ayo makan-" Myungsoo tersenyum saat melihat Sooji langsung melahap krim sup di hadapannya, wanita itu bahkan tidak meliriknya sedikitpun, "saya suka wanita yang makan dengan lahap." Komentarnya membuat Sooji tiba-tiba meringis dan menatapnya dengan malu.
"Itu bukan sindirian, saya benar-benar senang melihatmu makan. Saya tidak suka dengan wanita yang sok menjaga pola makan hingga mereka terlihat sangat kurus kering." Sela Myungsoo cepat menjelaskan maksudnya agar Sooji tidak salah paham.
"Saya anggap itu adalah pujian," gumam Sooji pelan. Myungsoo mengangguk dan membiarkan wanita itu kembali melahap makanannya.
"Saya tidak memiliki kekasih," Sooji mendongak mengangkat alisnya menatap pria itu heran, "alasan saya datang kesini." Myungsoo melanjutkan, wanita itu mengangguk mengerti.
"Saya masih terbiasa hidup sendiri, tapi ibu saya tidak. Makadari itu dia mengatur janji kencan buta bersama ibumu."
Sooji sekarang meninggalkan krim supnya yang sisa setengah, dia lebih memilih untuk mendengarkan Myungsoo dibandingkan makan saat ini. Menurutnya itu lebih menarik dari semangkuk krim sup kesukaannya.
"Lalu kau terima begitu saja?"
"Tentu saya menolak awalnya. Tapi seperti ibumu, ibu saya terus memaksa. Dia bahkan meneror saya hampir setiap hari dikantor, jadi yah mau tidak mau saya datang kesini."
Sooji mengangguk mengerti. Sejujurnya dia sedikit menyukai pria macam Myungsoo. Penampilan luarnya memang sedikit terkesan arogan dan cuek namun, aslinya pria itu ramah dan suka menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar. Berbeda dengan dirinya yang suka bicara namun tidak senang berbicara banyak dalam satu kali kesempatan.
"Ah jadi kita sama-sama korban pemaksaan ibu-ibu ya," Sooji tertawa kecil ketika melihat anggukan setuju Myungsoo. Selanjutnya makanan utama datang, sepiring steak medium rare yang menggugah membuat Sooji kembali menelan salivanya.
"Sepertinya saya tidak salah memesan makanan," gumam Myungsoo ketika melihat binar penuh minat di mata Sooji saat pelayan meletakkan piring bagiannya.
"Ini sempurna."
Myungsoo tersenyum mendengarnya. Mereka kemudian makan sembari bercerita tentang masalah pekerjaan dan beberapa hal remeh lainnya.
Satu pemikiran Sooji yang berubah malam itu, sepertinya kencan buta tidak terlalu buruk juga.
***
"Sooji. Kau ini anak yang benar-benar keras kepala."
Sooji memutar bola mata ketika mendengar ocehan ibunya di hari minggu pagi. Saat bangun tadi dia sangat berharap hari ini bisa mendapatkan sedikit ketenangan namun, ia harus menghela nafas karena ibunya kembali dalam mode ceramah.
"Kali ini apalagi, Bu?" Tanyanya malas-malasan. Sooji sedang menonton tv diruang tengah, sementara ibunya berada di dapur, mengoceh dengan suara lantang. Ayahnya bahkan memilih masuk ke dalam kamar setelah sarapan daripada harus mendengar omelan ibunya.
"Kau dapat kabar dari anaknya Mirae?"
"Mirae siapan, Bu?"
"Hussh yang sopan. Dia itu ibunya Myungsoo. Ini sudah satu minggu sejak kencan kalian, masa masih belum ada perkembangan?"
Sooji menarik nafas panjang. Oh ya, terima kasih pada ibunya yang telah mengingatkannya pada pria itu lagi.
Awalnya Sooji berpikir jika kencan mereka berjalan dengan cukup lancar namun, sepertinya dugaannya salah karena keesokan harinya Myungsoo tidak menghubunginya hingga hari-hari berikutnya, tidak ada tanda-tanda jika pria itu mau melanjutkan komunikasi mereka.
Jadi dia berpikir jika pria itu tidak menyukainya dan Sooji segera memutuskan untuk melupakannya. Tapi hari ini ibunya kembali membuatnya mengingat, betapa dia sedikit berharap pada pria itu.
"Aku tidak berbuat apa-apa bu. Makan malam kami lancar sampai selesai kok," ujar Sooji membela diri, menatap ibunya yang keluar dari dapur dengan pandangan menusuk.
"Lalu kenapa hubungan kalian tidak berlanjut?"
"Yah mana aku tau Bu. Mungkin dia tidak suka sama aku." Sooji meringis, rasanya sedikit tidak enak ketika ia mengatakan Myungsoo tidak menyukainya.
"Makanya Sooji, coba sekali-kali berdandan seperti layaknya perempuan. Bagaimana ada pria yang menyukaimu kalau kemana-mana kau selalu pakai celana dan sepatu butut itu?"
Sooji mendengus mendengar suara ibunya yang melengking, "Bu, penampilanku tidak ada hubungannya dengan semua ini. Kalau memang pria itu menyukaiku ya seharusnya dia juga suka dengan penampilanku!" Serunya tidak terima.
"Ah sudahlah, kamu itu memang keras kepala kalau dinasehati." Ibunya ikut berteriak lalu kembali masuk ke dapur. Sooji berdecak, dia melempar remot tv ke sofa lalu beranjak.
"Apa salahnya dengan penampilanku? Yang penting aku nyaman!" Teriaknya kembali dan dia sangat yakin jika ibunya bisa mendengar kalimatnya barusan, biar saja ibunya mencak-mencak tidak jelas di sana. Setelahnya Sooji beranjak masuk ke dalam kamar. Mengunci diri hingga makan siang tiba.
Dia malas jika harus berdebat dengan ibunya yang sedang sensitif seperti saat ini. Sudah sejak setahun terakhir ibunya selalu mengomelinya untuk segera menikah. Tapi ditolaknya, ia masih berusia 26 jadi perjalanannya masih panjang.
"Di luar sana banyak perempuan yang menikah usia 30 bu."
"Jadi kau mau menikah di usia 30 juga? Jangan bercanda. Kau akan susah memiliki anak!"
Itu yang dikatakannya dulu ketika ibunya pertama kali mendesaknya untuk menikah namun, ibunya dengan keras menolak pemikirannya. Bagi ibunya wanita usia 30 itu sudah terlalu matang untuk dibuahi jadi menurutnya di usia pertengahan 20 adalah waktu yang tepat.
Dan akhir-akhir ini ibunya tiba-tiba menjadi bermasalah dengan cara berpakaian yang dimilikinya yang tidak seperti wanita dewasa lainnya. Dia merasa nyaman untuk mengenakan kemeja dan jins ke mana-mana, tapi ibunya malah mengomel. Katanya perempuan harus terlihat anggun. Pakai gaun dan high heels.
***
Hari minggu berikutnya, Sooji terkejut ketika keluar dari kamar sudah banyak orang berlalu lalang mengurus segala macam hal. Ia mengernyit melihat beberapa sepupunya yang dari luar kota juga ada di rumahnya.
Perasaan semalam rumahnya masih sepi, tapi kenapa pagi ini jadi seramai ini?
"Ibu mau buat arisan keluarga?" Sooji mendekati ibunya yang sedang mengintruksikan istri-istri dari pamannya untuk memasak beberapa menu makanan.
"Oh Sooji kau sudah bangun nak?" Ibunya tersenyum ceria membuatnya mengernyit bingung, "ini sudah jam berapa. Cepat sana mandi dan pakaianmu sudah ibu siapkan."
"Maksudnya?"
"Sudah sana, mandi dulu." Dengan dongkol Sooji menuruti keinginan ibunya, dia kembali ke kamar untuk mandi.
Setelah mandi salah satu sepupunya masuk ke dalam kamar dengan membawa tiga macam kotak yang berbeda ukuran. Alisnya terangkat melihat itu.
"Ini apa Wohee?"
"Kata bibi ini pakaian yang harus kamu kenakan dan aku akan membantumu untuk bersiap," ucap sepupu dari pihak ayahnya. Wohee tersenyum lalu meletakkan kotak-kotak itu di atas ranjang.
"Ayo cepat, kita tidak punya banyak waktu sebelum tamunya datang."
"Sebenarnya ada acara apa? Kenapa kalian semua datang ke rumah? Kenapa aku harus didandani dan siapa tamu yang akan datang?" Tanya Sooji beruntun, Wohee menggelengkan kepala lalu memaksa Sooji duduk dikursi menghadap cermin.
"Sudah jangan bawel. Nanti kau akan tau sendiri jawabannya."
Sooji pasrah meskipun perasaannya masih sangat bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ia bahkan heran mengapa dirinya harus tampil berlebihan seperti ini.
"Jangan tebal-tebal, aku tidak suka," tegurnya ketika Wohee mulai untuk me-makeup wajahnya.
"Tenang saja, aku tau seleramu."
Satu jam kemudian mereka hanya berkutat dengan alat makeup dan hiasan rambut. Hingga ketika Wohee selesai dan membuka salah satu kotak yang dibawanya tadi, mata Sooji terbelalak kaget.
"Aku harus menggunakan itu? Apa tidak berlebihan?"
Tanyanya sembari berbalik menatap Wohee yang sedang memegang sebuah gaun berwarna biru rubi dengan model v neck berbahan satin lembut, bagian atas hingga lengan berbahan brokat yang transparan. Sooji tidak pernah melihat gaun seindah ini.
"Aku benar-benar iri. Ini gaun terbaik yang pernah kulihat Sooji," seruan Wohee dengan nada takjub membuatnya mengerjapkan mata, ia menggeleng tidak percaya.
"Jangan bercanda, ini terlalu berlebihan hanya untuk arisan."
Wohee menggeleng tegas, dia mendekati Sooji membawa gaun itu dengan sangat hati-hati, "kau tidak akan menyesal menggunakan ini. Ayo sekarang ganti."
"Tapi-"
"Hussh tidak ada bantahan. Sana ganti!"
Sooji menggerutu mengambil alih gaun dari tangan Wohee, dia sedikit gugup ketika kulitnya bersentuhan langsung dengan kain lembut itu.
"Luar biasa! Kau sangat cantik Sooji!"
Dan Sooji hanya bisa memejamkan mata malu ketika Wohee menatapnya seolah-olah dirinya adalah seorang artis broadway yang sedang berjalan-jalan di Myeongdong.
"Aku sangat tidak nyaman memakai ini," ucap Sooji menyentuh gaunnya, sebenarnya dia sudah terpana saat pandangan pertama pada gaun ini namun, tetap saja ini rasanya terlalu berlebihan. Apalagi dia sama sekali tidak tau apa yang sedang terjadi di sini.
"Eonni, apa Sooji eonni sudah siap?" Tiba-tiba seorang gadis cantik mengintip dari balik pintu, ketika matanya menangkap Sooji ia berdecak kagum.
"Well, kau benar-benar cantik kakakku." Celetuknya membuat Sooji mendengus, "tamunya sudah datang. Kalian bisa keluar sebentar lagi. Oke?" Wohee mengangguk mengerti.
"Soobin, siapa tamu itu?" Tanya Sooji sebelum adiknya menutup pintu, gadis belia itu hanya menggerling kemudian meninggalkannya begitu saja.
"Hei Bae Soobin!"
"Sooji sudah, sini kau masih harus memakai sepatu dan perhiasan ini," Sooji memutar bola matanya jengah. Mengapa ia harus diperlakukan seperti ini? Semua saudaranya menutup mulut tentang apa yang telah direncanakan oleh ibunya.
"Astaga! Kalian memang berniat membuatku mati penasaran," gerutu Sooji mendekati Wohee lalu membiarkan wanita itu memakaikan perhiasan dan sepatu yang tidak kalah mewahnya dengan gaun yang ia kenakan. Wohee hanya tertawa mendengarnya.
*
"Kau siap?"
Sooji menautkan alis menatap Wohee, mereka sudah selesai dan bersiap untuk keluar namun perkataan Wohee mengatakan seolah-olah kesibukan yang terjadi pagi ini di rumahnya adalah karena acara hari ini adalah miliknya.
"Kenapa aku harus bersiap? Memangnya aku mau bertemu calon suamiku." Rutuknya dengan wajah tertekuk namun, raut mukanya berubah ketika melihat senyum penuh arti Wohee dan kerlingan mata wanita itu.
Tiba-tiba saja sebuah pemahaman menghampirinya, "you must be kidding me?" Matanya melotot tidak percaya, Wohee mengangkat bahunya enggan untuk berbicara membuatnya semakin merasa tidak enak.
"Oh kumohon jangan lagi," Sooji merutuk, ini bukan sekali dua kali ibunya mengadakan acara perjodohan untuknya yang berakhir dengan penolakan, karena semua pria yang di bawa ibunya tidak memenuhi kriteria suami idamannya.
Kali ini pria macam apalagi yang ibunya bawa? Sepertinya dia harus mengatur rencana lagi agar bisa menolak perjodohan kali ini.
"Ini bukan perjodohan lagi Sooji," suara Wohee membuatnya menoleh dengan cepat. Satu detik ia merasa lega namun, detik berikutnya tubuhnya menegang kaku ketika mendengar lanjutan kalimat Wohee.
"Tapi acara pertunanganmu. Ayo turun."
Dan bagaikan kerbau dicucuk hidungnya, Sooji mengikuti langkah Wohee--ah lebih tepatnya dia membiarkan Wohee menariknya menuruni tangga untuk segera ke ruang tamu, di mana semua keluarganya berkumpul bersama tamu yang katanya keluarga calon suami yang datang untuk melamarnya hari ini.
Sial! Aku terjebak!
"Nah itu dia putri sulung kami. Bae Sooji."
Sooji meringis dalam hati ketika mendengar suara ibunya yang sarat akan kebanggaan, ia mengangkat wajah dan menemukan kedua orang tuanya bersama adiknya--Soobin duduk di sofa sementara orangtua calon suaminya duduk di seberang orangtuanya.
"Ayo sini nak duduk, kamu cantik sekali. Pilihan calon suamimu memang yang terbaik." Ibunya berceloteh yang disambut gumaman setuju yang lainnya. Dia hanya terasenyum kikuk dengan wajah setengah menunduk.
"Karena pelamarannya telah selesai dan kami menerimanya. Jadi sekarang waktunya tukar cincin," kini suara ayahnya yang terdengar. Ia menghela nafas panjang menoleh pada ibunya yang juga sedang menatapnya.
"Bu, kumohon-" bisiknya dengan wajah memelas, ibunya tersenyum dan menggeleng.
"Tersenyum sayang, ini hari bahagiamu."
Sooji meringis dalam hati. Mana mungkin dia bisa tersenyum saat ini ketika ayahnya telah menerima lamaran pria yang sama sekali tidak dia kenali? Bagaimana jika pria itu sudah berumur? Atau lebih parah adalah seorang duda yang memiliki banyak anak?
Seburuk-buruknya dia sebagai perempuan, Sooji jelas memiliki kriteria terbaik untuk calon suaminya kelak. Dia tidak ingin salah pilih apalagi jika harus terpaksa memilih pilihan orang tuanya. Sooji tidak akan siap.
Ibunya membawanya untuk berdiri, sebentar lagi hidup bebasnya akan hilang. Ia sangat ingin memberontak tapi ada keyakinan dalam dirinya jika kali ini ibunya tidak akan mengampuninya jika merusak acara ini. Dan mungkin ia memang harus menerima pertunangan ini, setidaknya mereka belum menikah. Pertunangan ini masih bisa dibatalkan suatu hari nanti.
"Myungsoo, ayo dipasangkan cincinnya nak."
Tubuh Sooji langsung menegang ketika mendengar seruan ayahnya, bukan tentang pemasangan cincinnya melainkan tentang siapa yang ayahnya panggil. Ia langsung mengangkat wajahnya untuk menoleh pada ayahnya yang tersenyum lebar kepadanya lalu memutar kepalanya menatap ke depan.
Dan seketika nafasnya terhenti. Pria itu hanya berjarak tiga langkah darinya, tersenyum sangat lebar menatapnya dengan memegang sebuah kotak yang berisi cincin bertabuh berlian di dalamnya.
"Myungsoo?" Bisiknya tidak percaya, Myungsoo terlah berdiri di hadapannya saat ini membuatnya mengerjapkan mata tidak percaya.
"Hai, kau terlihat sangat cantik hari ini."
Jantungnya tiba-tiba berpacu dengan cepat mendengar suara Myungsoo, jadi semua ini nyata? Ia tidak bermimpi bahwa Myungsoolah pria yang tiba-tiba melamarnya?
"So, may i?"
Myungsoo masih tersenyum sembari mengulurkan tangannya, Sooji menunduk menatap telapak tangan besar pria itu lalu mengangkat wajahnya menatap mata Myungsoo lagi. Di sana dia menemukan binar pengharapan yang sangat besar untuknya, membuatnya tanpa segan mengulurkan tangan kirinya.
"Yes." Balasnya dengan suara pelan, tangannya bergetar ketika menyentuh Myungsoo dan tepat saat cincin itu dimasukan ke jarinya ia merasa benar-benar akan pingsan saat ini juga.
"Thank you." Myungsoo mendekatinya lalu memberilan kecupan hangat dikeningnya.
*
Sooji menatap pemandangan di hadapannya dengan senyum tipis, kini acaranya berpindah ke halaman belakang rumahnya yang telah didekorasi sedemikian rupa hingga menyerupai sebuah taman yang sangat indah dengan beberapa kursi dan meja yang ada di sana.
Dia menatap ibunya yang terlihat sangat bahagia ketika berbicara bersama ibu Myungsoo, juga sepupu-sepupunya yang berbincang bersama saudara pria itu. Semua orang terlihat sangat bahagia saat ini namun, ia ragu bagaimana perasaannya sekarang. Terlalu banyak rasa yang datang sehingga membuatnya bimbang.
"Hei," Sooji menoleh ketika Myungsoo datang dan duduk dinsampingnya, dia tersenyum lalu menunduk menatap jari manisnya yang telah dilingkari sebuah cincin indah.
"Apa yang kau pikirkan?" Pria itu bertanya lagi, mungkin Myungsoo sadar jika dirinya sedang bingung akan perasaannya sekarang ini.
"Aku hanya sedang bigung," gumam Sooji jujur, ia kembali menatap orang-orang yang sedang berbahagia di depannya.
"Apa yang membingungkanmu?"
Ia menoleh ketika Myungsoo mengusap kerutan di keningnya dengan lembut, senyumnya otomatis tercipta saat menatap pandangan teduh pria itu.
"Semua ini. Kita hanya melakukan kencan buta sekali, kemudian tidak ada kabar apapun darimu. Dua minggu setelahnya kamu tiba-tiba datang dan--" Sooji mengangkat tangan kirinya memperlihatkan cincin itu di depan Myungsoo, "jari manisku telah berpenghuni. Aku hanya sedang mengurut kejadiannya secara perlahan agar aku bisa mengerti."
Myungsoo tersenyum, semakin mendekatkan dirinya meraih tangan Sooji dan menggenggamnya erat. Pria itu menatapnya dalam membuat Sooji enggan untuk memalingkan pandangannya.
"Aku senang mendengar kau menunggu kabarku setelah hari itu--"
"Hei aku tidak mengatakan aku menunggu," sangkal Sooji.
"Tapi aku menangkap itu dari kalimatmu barusan sayang," wajah Sooji merona saat mendengar suara lembut Myungsoo yang memanggilnya sayang.
"Percayalah aku juga sangat ingin menghubungimu namun pekerjaanku tidak mengizinkan." Jelas Myungsoo membuat Sooji menatapnya bingung.
"Sehari setelah kencan kita, aku harus keluar negri untuk mengurus masalah di kantor. Aku tidak memiliki kontakmu dan tidak punya waktu untuk menanyakannya pada ibu. Pekerjaanku disana hanya memberiku waktu luang untuk tidur dan makan saja. Maafkan aku."
Sooji terdiam. Jadi ini alasannya mengapa Myungsoo tidak memberikannya kabar setelah kencan itu?
"Setelah aku pulang, aku langsung kesini untuk bertemu orangtuamu."
Sooji kini terbelalak menatap Myungsoo terkejut, pria itu ke rumahnya?
"Kapan kau datang kesini?"
"Tiga hari yang lalu. Ibumu mengatakan kau belum pulang kerja, jadi aku langsung mengutarakan niatku pada orangtuamu tanpa kehadiranmu saat itu."
"Dan itu adalah untuk melamarku?" Myungsoo menganggukan kepalanya.
"Ibumu berkata jika kau juga setuju, maka dariitu mereka menyarankan untuk segera membawa orangtuaku kerumah ini agar bisa melamar secara resmi."
"Ibuku bilang seperti itu padamu?" Sooji semakin tidak percaya dengan informasi-informasi yang diberikan oleh Myungsoo, kapan dirinya mengatakan setuju untuk menerima lamaran pria ini? Dia bahkan baru tau akan dilamar pagi tadi.
"Tadi kupikir kau sudah tau bahwa aku akan datang," ucapan Myungsoo membuatnya kembali menatap pria itu. Ia menggelengkan kepalanya.
"Ibu tidak mengatakan apapun. Aku baru tau jika hari ini aku akan dilamar ketika keluar dari kamarku tadi."
Myungsoo tersenyum tipis, ia melirik ibu Sooji yang sedang tertawa bersama ibunya, "aku membuatmu sangat terkejut ya?"
"Sangat! Aku bahkan sangat takut jika pria yang melamarku adalah orang tua." Seru Sooji dengan wajah mengerikan, Myungsoo mengusap lengannya dan menggeleng kecil.
"Buktinya aku bukan orang tua kan?" Sooji tersenyum dan mengangguk malu, "bajunya benar-benar pas ya? Ini terlihat cantik di tubuhmu."
"Apa kau yang memberikan ini untukku?" Myungsoo menganggukan kepalanya.
"Hadiah pertunangan. Kau suka?"
"Tentu saja. Eh, tapi aku belum bilang setuju untuk pertunangan ini."
Myungsoo mengangkat alisnya saat menatap wajah cemberut Sooji, "ya sudah kalau begitu cincinnya dikembalikan saja," ujarnya dengan enteng membuat Sooji melotot padanya lalu menjauhkan tangan kirinya dari Myungsoo.
"Mana bisa begitu?"
"Kan kammu belum setuju jadi cincinnya belum jadi milikmu."
Sooji menggelengkan kepala menolak untuk melepaskan cincin itu, ia menyukai cincinnya jadi tidak mungkin mau mengembalikannya.
"Kalau tidak ingin mengembalikannya berarti kuanggap kau menerima pertunangan kita."
"Eh?"
"Eh?"
Mata Sooji langsung membelalak ketika Myungsoo mendekatinya dan mencium pipinya dengan cepat, jantungnya kembali berpacu hanya karena wajah pria itu sangat dekat dengannya.
Myungsoo tersenyum melihat reaksi Sooji yang seperti terkejut akan tindakannya, dia kembali mendekati wajahnya dan kali ini adalah bibir wanita itu yang menjadi sasarannya. Myungsoo hanya mengecupnya cepat karena tidak ingin mengambil resiko dipergoki oleh orang lain.
"Kita menikah bulan depan ya sayang?"
"Eh?"
-THE END-
Sincerely,
elship.
[27/01/17]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top