2 : Don't worry

Hari telah berlalu.

Pagi berganti siang, siang berganti sore, sore berganti malam, dan begitupun seterusnya.

Ia berjalan masuk ke kelas jurusannya, sesekali melambai balik kearah teman satu kelas sebelum menarik kursi dan duduk sambil menopang dagu, menahan rasa kantuk pada pagi hari ini.

Remaja itu melirik diam-diam keluar jendela seakan sedang mencari seorang reseller yang telah membantu mengobati lukanya kemarin hari. Matanya tertegun kearah sebuah toilet bawah, tepat dimana kejadian itu terjadi.

"..Semoga aja uang gua cukup buat bayar dia.." Gumam Budi. Ia kemudian meraba saku celana yang mendapati sebuah dompet hitam kecoklatan di dalamnya.

Yah.. kalau ia pikir, untuk seorang Reseller; Richard cukup ahli dalam mengobati luka seseorang ternyata. Karena perbuatannya kemarin dilakukan dengan hati-hati dan rapi, Tentu saja respect Budi pada remaja itu semakin meningkat.

"Bud!" Panggil Boby, remaja dengan semir dan jaket ungu memanggilnya dari samping.

"Apaan?" Tanya Budi.

"Gua denger dari Richard kalau lo kemaren lawan pentolannya si Ricco lagi ya?" Boby menatap Budi dengan wajah penuh penasaran.

"Tau ah." Kini Budi bergerak untuk bersandar di kursinya. "Ga mau bahas masalah itu lagi. Gua berantem sama pentolannya mulu anjir??? sampai bosan gua ladenin mereka pada sumpah."

Boby menaikkan sebelah alis. "Lah? Ricco kaga ikutan lagi?"

"Emang ada banci yang ikut berantem?"

"Gaada sih.."

"Nah, itu tau."

"Nice ingpo Bud!"

Kini keduanya tertawa lepas dan menyetujui bahwa ucapan yang barusan itu adalah fakta, diikuti dengan sapaan remaja wanita bersemir pink yang baru saja memasuki kelas.

"Pagi Budi! Pagi juga Boby!~" Lambai Rani.

"Anjayy, pagi Ran!" Balas Boby dengan ceria, Sementara Budi membalas dengan anggukan kepala.

"Lagi bahas apa nih? Gua boleh ikutan ga?"

"Ituー" Boby berdehem, sesekali melirik Budi kemudian memulai pembicaraan setelah mendapat kode anggukan dadi remaja disampingnya.

"ーSi Budi kemaren berantem lagi ama pentolannya Ricco. Tapi yah, seperti biasa, Ricconya ga ikutan."

Raut wajah Rani terpasang ekspresi jijik.

"Dih? Ga ikutan lagi dia? Huuu cemen amat sih..!"

Boby mengangguk setuju. "Makanya! Kan ga adil juga lho Ran kalau si Budi sendirian yang ngelawan mereka-mereka mulu"

"Tapi.. lo menang kan Bud?" Tanya Rani yang beranjak duduk di kursi di depannya dan dibalas oleh anggukan dari Budi.

"Iyalah. Yakali gua kalah sama kecoa selokan kayak mereka."

Boby memutar mata bosan. "Huuuuu si titit, udah mulai sombong nih mentang-mentang bisa berantem..!"

Budi berdecih. "Apaan dah?!"

"Makanya Bud," Ucap Rani. "Lo sekalian ajarin zi Boby berantem tuh. Biar ga nontonin mulu. Jadi kalau komplotannya Ricco datang lagi, si Boby bisa berhenti jadi beban dan bantu lo berantem."

Boby memanyunkan bibir lalu menunjuk Ran tidak suka. "Lo sendiri juga ga ngapa-ngapain ya..! Kok malah gua yang kena?!"

"Eits~" Rani Kini meletakkan jari jemarinya di dada, seringai percaya diri terlihat jelas di wajahnya. "Gua disini sebagai pembawa dan penyebar Informasi. Lo ga lihat kah setiap gua berada, disitu kamera hp selalu siap menemani. Huuuuu~!"

"Idihh... Bud liat tuh Bud..!!" Rengek Boby.

"Berisik! Gua ngantuk bangsat!"

"Budiii...!!"

"Apasih?!"

"Buset dah, lo akhir-akhir ini kenapa suka banget tidur di kelas? Emang dirumah tidur jam berapa? Jangan begadang mulu lho, ga baik." Tegur Rani seraya ia memperhatikan kantung mata yang mulai nampak di mata remaja tersebut.

"No offense sih.." Lanjutnya. "Tapi lo keliatan kayak mayat hidup sekarang. Lo gapapa kan?"

Budi menghela nafas kasar. Kedua tangan disilangkan di depan dadanya. "Lo kira kalau gua berantem, gua bakal kayak Gatot Kaca gitu? Otot kawat tulang besi? Gua manusia biasa anjir, bukan dewa. Luka-luka kayak gini tuh bikin susah buat tidur."

Budi bukannya tidak mau tidur, hanya saja barang yang dibawa para bajingan itu telah menghantam badannya dengan keras sehingga menimbulkan banyak sekali luka dan lebam yang harus ia tutupi.

Kedua temannya Kini beralih untuk menatap figure Budi dari atas hingga bawah.

"Sebentar.." Boby membuka mulut. "Biasanya kan lo cuma babak belur biasa habis dipukul? Kemarin apa aja yang terjadi dah sampai sakit yang lo alami bikin lo susah tidur?"

Budi terdiam sejenak.

"..Pikir sendiri." Jawabnya dengan judes.

Rani mengernyit.

"Plis deh..!! Jangan bilang kalau pentolannya Ricco bawa barang pas berantem?" Raut wajah Remaja wanita itu kini menampakkan wajah kesal. Budi tahu kalau itu bukan diarahkan untuknya, namun tetap saja ia merasa tidak nyaman dengan ekspresi seram milik wanita itu.

Dan kok bisa tebakannya benar anjir?

"Gila ya.. tuh anak gatau diri semua. Udah tau sering kalah lawan lo, malah bawa senjata pas berantem, boss nya ga ikut turun pula..!! Lo kenapa ga bawa juga Bud? Diem-diem gitu buat persiapan kalau mereka mau main curang..!!"

"Haah... Males Ran. Mager bawa barang."

"Lah, daripada lo K.O sama mereka-mereka? Kan lo tau kalau cuman pentolannya doang yang sering mampir ke lo, Bud!"

Benar sih kalau dari dulu yang datangin Budi cuman pentolannya Ricco doang. Dan yah... sejujurnya ia juga cukup penasaran dengan alasan kenapa Ricco tidak ikut adu jotos dengannya.

Atau jangan-jangan, si Ricco mau dengan diam-diam membaca seluruh gaya bertarungny-

"HAH?! SIAPA YANG MUKUL BUDI?!"

Badan Budi bergerak dengan otomatis mengepalkan tangan kanan dan memutar badannya untuk meninju wajah seorang remaja yang tiba-tiba muncul dari belakang kursinya.

BUGH!!

"Bangsat?!!" Protes remaja itu, terhuyung ke belakang dan meringis kesakitan sambil memegang hidungnya. "Ada masalah apa kau Bud?! Sakit kali bah mukaku kau pukul ini!!!"

"Eh anjir?! Sori Zaenal, sori sori,,,, refleks!!" Budi mulai panik ketika darah mulai keluar dari hidung remaja tersebut.

"Hayoloohhhh tanggung jawab..!!" Sorak Rani dan Boby dari belakang.

"BACOT!!"

-

"Eh?! Bud serius, gua ga perlu uang lo, sumpah!" Tangan Richard menolak uang pemberian Budi. "Gua kemaren emang inisiatif niat mau bantu. Lo kan temen gua."

"Halah ngadi-ngadi lo. Gua gamau ada hutang chad, ntar kepikiran mulu."

Lawan bicaranya menatap Budi untuk sesaat. "Aman masbro, yang kemaren bukan bisnis jadi gapapa. Daripada lo mati kehabisan darah di toilet terus gua seret ke rumah sakit malah lebih ribet coy. Mati, crot, amabatukam, Bayangin aja."

Si kocak ngomong apa sih bangsat???

"Hah?! Buat apa gua ngebayangin diri gua mokad?! Gila lo ya?"

"Hahahaha kalem bro, kalem! Canda doang, just kidding ma men~"

"Lo liat muka gua? Peduli kagak?" Suara tawa yang masih saja dikeluarkan Richard malah ikut membuat Budi tersenyum dan tertawa bersamanya.

Terkadang anak satu ini memang menyebalkan, tapi ia cukup menikmatinya.

"Anyway.." Lanjutnya. "Makasih banyak Chad, sakitnya agak berkurang sejak lo bantu bantuin gua kemaren."

"Santai aja, yang penting lo ga kenapa-napa.." Richard menepuk punggung Budi dengan Budi yang menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikeluarkan oleh Richard.

"Tapi ga boleh minta diskon lagi ya!"

"Yeu si tolol, katanya bukan bisnis."

"Hahahaha! Eh- Bud, lukanya udah ketutup semua kan? Terus yang memar gimana?"

Richard tampaknya sangat khawatir dengan keadaan Budi, dan yah... bisa dibilang Budi cukup bersyukur punya teman seperti dia walaupun Cina satu ini rada pelit.

Ia mengangguk pelan, menunjukkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Aman, nanti yang lebam bisa gua oles pakai krim."

"Oke deh. kalau luka lagi, lo boleh datang ke gua ya, gausah sungkan." Richard melihat jam dinding lalu bergegas untuk pergi dari tempat mereka. "Duluan Bud, gua masih mau jual barang ke anak-anak! Jaga diri ya!"

"Kalau ga laku lo dapet apa?!" Budi berteriak kearah Richard yang berlari menjauh.

"Bisa lah cok, gua Cina soalnya!!" Balas reseller itu diikuti dengan gelak tawa Budi.

"Jokes apa lagi itu anjing?!!! Liat SiKonTol dulu napa dah?!!"

"Apa itu SiKonTol, Bud?!!" Balas Richard dari jauh.

"Situasi Kondisi!!"

Richard tertawa keras. "Tolnya apaan?!"

"KONTOL!!" Sorak Budi dengan kesal. Dan seakan tuli, Richard hanya mengacungkan jari jempol dan menghilang dari pandangan.

-

15 menit berlalu, Suara dering bel bisa terdengar di seluruh sekolah menandakan, jam istirahat telah selesai. Para siswa-siswi beranjak masuk kembali ke kelas sambil menunggu guru pengajar pembelajaran selanjutnya.

Budi yang tidak melihat tanda-tanda kehadiran Boby di sampingnya, bergerak memutar kebelakang untuk memanggil Zaenal. Anak ini biasanya tepat waktu kalau masuk kelas, tapi ini sudah lewat 3 menit dan sejujurnya, Budi mulai khawatir dengan anak itu.

Takutnya Boby malah kena rundung sama Osis.


"Zaenal!" Panggilnya.

Zaenal mengalihkan perhatiannya dari Rani ke Budi. "Apa Bud?"

'Buset, kalau suka sama tuh cewe bilang aja napa?' Batin Budi yang mengerti akan perasaan temannya ke Rani.

'Bodo amat.'

"Lo liat si Boby kaga?" Tanya Budi yang hanya dibalas oleh gelengan kepala. Mereka berdua menengok seluruh kelas yang ramai tanpa Boby dan menghela nafas.

"Gua cari dia dulu. Ran, izin bentar!" tanpa basa-basi, ia pergi ke kantin untuk mencari temannya, tetapi sialnya ia tidak menemukan Boby dimanapun. Dengan jantung berdetak kencang, ia mulai berkeliling taman sekolah untuk mencari Boby.

"NI ANAK PERGI KEMANA ANJIR!? BERMANFAAT KAGAK NYUSAHIN IYA!!" teriak Budi dengan kesal. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencarinya di ruang kelas kosong lantai 1, satu-satunya Tempat yang belum ia cek.

Di dalam sebuah ruang kelas yang kosong dan lumayan gelap, terlihat seorang pemuda sedang memakai sebuah jaket berbulu sembari duduk diatas meja kosong dengan satu kaki terangkat diatas meja. sinar mentari memantulkan cahayanya ke arah cermin yang dipegang oleh pemuda itu,

Boby.

Itu Boby. Seorang Boby yang Budi kenal sebagai seorang yang 'lembut.' Terlihat sedang berusaha mengenakan tindik yang hampir terpasang di lidahnya. Budi dapat menangkap beberapa tindik yang sebelumnya belum pernah ia lihat di tubuh Boby selama mereka bermain bersama.

Pemuda itu cukup kaget tidak main, ia bahkan mendapati bahwa ada 5 tindik total di telinga kanan, kiri dan di lidah milik Boby.

"..Bob?"

Suara tersebut membuat Boby berhenti melakukan aktivitasnya. Kedua pupil mata Boby mengecil, perlahan namun pasti, ia menoleh ke arah asal suara yang ia kenal.

"..oh shit..." umpatnya kecil.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top