Bukan Bocah Lagi
Tissa merebahkan kepala di meja pantry Galaxy Tower, merenungi kecerobohannya, berharap bertemu Joana. Tissa yang berencana melakukan kesalahan di awal supaya tidak bertahan sebagai butler malah dihadapkan pada keadaan sebaliknya.
Tissa menghela napas berat. Tatapannya lemah. Pipi kirinya menempel pada meja. Tangan terkulai lemas di atas meja.
"Hey, what's up?"
Tissa hanya membalas sapaan Joana dengan helaan napas berat.
"Bagiamana rasanya menjadi butler di hari pertama?"
"It sucks!"
Joana mengerutkan raut mukanya.
"I ruin everything. Tamu VVIP orang yang aku kenal. Someone I'm falling for."
"Wow! Kabar gembira! Pasti dia keren dan berwibawa. So, what's the matter?"
"Aku melakukan kesalahan dan dia mengusirku. Yang lebih parah, aku sekarang tetap ingin jadi butler hanya karena dia."
"Kalau begitu, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Joana.
Tissa melirik Joana malas, bingung dengan maksud temannya.
"Temui dia sekarang. Minta maaf dan lakukan hal yang benar. Meski aku tidak yakin kamu melakukan kesalahan fatal, secara psikologis, orang akan luluh kalau kita minta maaf duluan."
Tissa kembali menghela napas untuk ke sekian kali. Joana mulai mengeluarkan teori psikologinya. Joana bukan psikolog atau mahasiswa psikologi. Dia hanya calon mahasiswa psikologi yang gagal masuk jurusan itu karena mantannya juga mengambil jurusan yang sama. Miris dan drama!
"Nama tamunya siapa?"
"Andre Baskara."
"Bintangnya apa?"
"Okay, okay. I'll go find him." Tissa segera bangkit sebelum Joana memulai ramalan bintangnya. Joana menyunggingkan senyum antusias.
"Aku tahu kamu terpaksa, tapi ini cara terbaik untuk mempertahankan posisimu. Sebelum Alison mendapat laporan buruk tentangmu. Sebelum surat pemberhentianmu keluar."
Masuk akal! Tissa segera merapikan penampilannya. Memastikan tidak ada yang terlewat lagi, baik ponsel maupun anting.
***
Andre Baskara tidak menyangka dia akan bertemu Tissa. Dia memang tahu Tissa dan Matt selama ini hidup di New Zealand. Akan tetapi, Tissa bekerja sebagai butler di hotel Galaxy City jauh di luar dugaannya.
Seragam butler membuat gadis itu berbeda, lebih dewasa. Kesan bocah dan kekanak-kanakan yang selama ini menempel hilang, ditambah saat bersikap formal. Akan tetapi, semua pudar begitu sikap sembarangan Tissa muncul dan disadari oleh Andre. Mengenakan anting biru yang panjang sebelah dalam balutan seragam butler, meletakkan ponsel di saku rok yang ketat dan pendek. Membuat semua mata akan menyadarinya
Jika Andre atasannya, tidak menunggu besok untuk memecat.
Sesaat, Andre dibuat pangling. Hanya sesaat.
Memanggil Andre dengan sebutan "Kak" saat bekerja menjadi bukti konkret, Tissa akan tetap menjadi Tissa. Dia jauh berbeda dari Mareta, sosok yang disebut Tissa dengan "Kak Rere". Menyandingkan dua orang itu seperti membandingkan langit dan bumi, New Zealand versus pasar tradisional Indonesia. Yang satu tenang, yang lain ramai. Yang satu bikin tenang, yang lain bikin waswas.
Kamar Andre berada di ujung gedung. Dua sisi kamarnya berdinding kaca. Salah satunya mengarah ke daratan yang dilengkapi pemandangan bukit hijau berumput, bekas letusan gunung berapi. Sisi lainnya menghadap ke laut, tempat Andre sekarang berdiri, memandang ke arah pelabuhan dan jalur laut menuju pulau.
Boat menepi berjejer di bibir laut. Beberapa yang lain melintas dari selatan ke utara dan sebaliknya. Buih yang dihasilkan sampan-sampan moderen itu muncul dan menghilang seiring sampan yang semakin menjauh.
Tenang, itu kesan pertama yang didapat Andre begitu tiba di New Zealand, termasuk Auckland. Meski termasuk kota bisnis dan wisata, yang notabene banyak didatangi pengusaha dan wisatawan dari berbagai negara, suasana liburan seakan menyambut setiap pengunjungnya. Menyihir Andre untuk bersikap lebih santai.
Andre membuka salah satu kaca jendela. Tidak ada suara riuh kendaraan yang membuat telinga pekak. Yang jelas terdengar dari kamarnya, riuh rendah boat dan ombak di laut.
Suara bel kamar mengalihkan fokus Andre. Dia membuka kunci kamar dan menyuruh masuk orang di balik pintu menggunakan remot kontrol, Robin.
"Permisi, Andre. Aku mau menanyakan agenda berikutnya. Mau langsung lanjut atau—"
"Lanjut. Pertemuan pertama dengan pebisnis kopi Indonesia, kan?"
"Betul. Kamu tidak ingin rehat dulu? Saran dari butler cantikmu tadi, menikmati angin di atas boat, pilihan terbaik."
"Atau kamu yang ingin bersantai?" todong Andre tajam.
"Bukan itu maksudku," elak Robin sang asisten.
"Kalau bukan itu, enough. Bacakan semua daftar agenda dan pertemuan hari ini. Tidak boleh ada yang terlewat. Semua harus maksimal."
Robin membacakan daftar agenda mulai jam, tempat, nama perusahaan, pimpinan perusahaan dan penyelenggara, termasuk gambaran singkat dan detail profil pimpinan-pimpinan tersebut. Hal buruk dan sisi lemah pihak yang akan dia temui pun tidak luput.
"Jadi, total pertemuan hari ini ada delapan."
"Tidak ada yang terlewat?" Andre mengonfirmasi. Robin mengangguk mantap.
Bel kamar menggema. Andre menekan tombol remot untuk membuka pintu. Tissa muncul di baliknya.
Andre tersenyum miring. "Kenapa lagi," tanyanya, "Pengin dipecat secara langsung?"
Tissa menghampiri Andre, berdiri tegak di hadapannya dengan tangan yang saling berkait sopan di perut. Dia masih mengenakan seragam butler yang tadi. Hanya saja, sudah tidak ada anting maupun ponsel yang tercetak di saku roknya. Kakinya yang jenjang, rambutnya yang diikat rapi, posturnya yang bak model, akan menarik perhatian pria mana pun. Andre membuang pandangannya ke arah lain.
"Aku minta maaf. Kak Andre memaafkan atau tidak, aku enggak peduli. Aku akan berusaha melaksanakan tugasku sebaik mungkin."
"Kalau begitu, kamu gantikan Robin menemaniku dalam semua pertemuan hari ini . Robin masih harus istirahat karena jetlag."
"I'm okay, Andre." Robin terlihat panik. Andre mengangkat tangan menghentikan Robin.
"Just take your time. Kamu butuh jalan-jalan."
Mata Tissa berbinar. "Kak Andre serius mau aku temani?"
"Ganti pakaianmu sekarang atau batal?"
"Oke!" seru Tissa antusias.
"Karena kamu menggantikanku sementara, kamu harus ingat jadwal-jadwal ini." Robbin menyodorkan daftar agenda Andre kepada Tissa.
Dari tempat duduknya, Andre hanya memperhatikan reaksi Tissa yang berubah-ubah saat melihat jadwal.
"Robin, bisa kirimkan foto jadwal ini ke ponselku?"
Robin mengangguk. Tissa menunjukkan nomor ponselnya yang ada dalam jam pintar yang melingkar di pergelangan.
"Aku kirim fail word-nya saja. Hanya satu fail. Isinya ada delapan agenda," jelas Robin sambil mengutak-atik tabletnya. "Sudah terkirim!"
"Terima kasih, Robin."
"Aku yang harus berterima kasih. Kamu mau menggantikan aku sementara untuk menemani Andre. Aku sudah mengusulkan untuk jalan-jalan sejenak. Dia tolak."
"Ada topik pembicaraan yang lebih berguna?" interupsi Andre yang dibalas Robin dan Tissa dengan kuluman senyum.
"Sebelum kamu pergi, bacakan dulu daftar agenda itu," perintah Andre refleks.
"Untuk apa? Robin pasti sudah membacakannya untukmu, kan?"
"Aku ingin membuktikan, kamu bisa membaca agenda atau tidak. Kamu tadi terlihat bingung."
"Ada-ada aja. Tadi aku hanya mencerna yang tertulis. Kalau kangen sama suaraku saat membaca, kapan-kapan aku bacain dongeng Maori deh. Aku harus segera ganti baju biar enggak ditinggal." Tissa mengedikkan mata sebelah.
Tissa melipir setelah mengucapkan selamat menikmati New Zealand kepada Robin. Robin tertawa ringan menanggapinya dan melambai. Andre hanya diam melihat tingkah Tissa.
Tissa mengetahui keberadaannya, Andre harus hati-hati. Agenda kedatangannya ke negara paling utara ini dia rahasiakan. Keluarga besar Wijaya tidak boleh ada yang tahu. Sedikit pun agendanya tidak boleh bocor. Setelah hari ini, Andre harus menjaga jarak dari gadis itu. Jika tidak, semua rencananya bakal hancur. Andre pun punya firasat, jika tidak menjaga jarak, perempuan itu akan merepotkan semua misinya.
===
First published: September 1st, 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top