Blend Me Cafe [Lukas]
"Bret bret bret bret gitu suaranya!"
Ya ampun. Ini sudah ketiga kalinya minggu ini.
"Yaudah nggak apa-apa biar gitu juga. Namanya juga Vespa. Kalau mau yang alus suaranya, lo ganti ama honda beat aja." Ray berkata santai. Dari suara yang kutangkap melalui pengeras suara handphoneku, kemungkinan dia sedang menikmati makanan pedas. Berkali-kali kedengeran dia huhah-huhah.
"Ya habis bret bret terus mogok, Raay!" kataku penuh kesabaran. Ini kalau bukan Ray nggak bisa. Kalau pun ada orang selain Ray yang bisa, orang itu sudah pasti bukan aku.
"Ya, itu juga emang biasanya gitu. Paling karburatornya kotor kalo nggak spuyernya kesumbat."
Aku memijat keningku yang mendadak pening. Raymond yang menjawab kepanikanku dengan santai ini adalah sepupuku. Dia punya bengkel kecil di depan rumah bapaknya. Sejak aku pindah kerja ke Jakarta, aku tinggal di salah satu kamar di rumah bapaknya Raymond itu.
Seperti itulah pembawaan Raymond. Saaaantai banget. Termasuk waktu dia tahu aku gay, dia juga santai aja.
"Ray, lo kesini ya, please. Gue udah capek seharian kerja."
Ray mendecap, "Lo tuh satu-satunya orang di dunia ini yang pake Vespa tapi masih panik kalo mogok. Belajar dong makanya bersihin karburator, cek busi, cek koil lah apalah. Jangan asal pancal! Udah gue kesana sejam lagi."
"Sejam?!"
Aku menyerah.
Enam bulan yang lalu, sebenarnya aku masih mengendari motor sport yang berfungsi memudahkan dan mempercepat perjalanan sebagaimana mestinya kendaraan. Motor itu raib tepat di depan gerbang kos lamaku, padahal cuma ditinggal ngambil barang ketinggalan sebentar.
Setelah peristiwa itu, atas saran Raymond, aku membayar Vespa kongo keluaran tahun 1961 yang digadaikan ke bengkelnya tiga bulan sebelumnya.
"Yang gadein masuk penjara. Bayar aja 3 juta, nyicil juga nggak apa-apa," katanya. Yah aku hampir nggak punya pilihan lain, semua tabunganku habis buat beli motorku yang hilang itu.
Dengan sederet persyaratan dariku, termasuk bahwa ia akan siap sedia setiap kali si Kongo mogok, aku menyanggupinya. Pembayaran awal satu juta, selanjutnya nyicil lima ratus ribu tiap bulan. Nah. Masalahnya, setelah pembayaran lunas, dia jadi males-malesan menanggapi keluhanku. Akhir-akhir ini, dia malah kurang ajar nyuruh aku belajar benerin sendiri.
Aku berjalan ke pohon terdekat, mencari sandaran yang stabil buat si Kongo. Kaki-kakinya sudah tidak seimbang, kalau tanahnya agak tidak rata, biasanya distandarin berdiri ngguling ke samping.
Aku menepuk-nepuk kemeja dan celana kerjaku, mencoba membuatnya rapi kembali. Untung besok libur, jadi tidak masalah kalau pulang dengan pakaian berantakan atau istirahat agak telat hari ini.
Setelah memastikan aku meninggalkan Kongo dengan benar, aku mulai mencari tempat buat duduk-duduk. Kugendong ransel di punggung dan kutinggalkan helm di spion Kongo. Sore sudah habis tapi cuaca cerah.
Gue tunggu di Blend me cafè. Kongo di parkiran. Sms kalo dah nyampe. Kukirim pesan ke nomor Raymond dan terkirim tanpa balasan.
Aku tidak terlalu lapar sih, tapi sepertinya minum kopi atau ngemil enak juga sambil nungguin Ray datang.
Aku sudah sering lewat depan cafe ini, tapi tidak pernah sekalipun kepikiran buat mampir. Tempatnya kelihatan nyaman, sayangnya, juga selalu kelihatan terlalu padat pengunjung. Petang ini juga sama, hampir tak terlihat meja kosong. Semua sofa penuh dengan remaja ber haha-hihi. Meja dengan dua kursi semuanya terisi pasangan yang sibuk pegang-pegangan tangan. Di tengah, di sudut, di bar, mau pun di luar tidak ada tempat kosong.
Aku sudah hampir putus asa sebelum kulihat ada satu meja di deket jendela yang seolah tidak tampak oleh orang lain selain aku. Aku buru-buru masuk dan meletakkan bokongku d kursi dengan nyaman.
Hampir lima menit aku duduk, tapi tidak ada seorang pun menghampiri. Tidak ada karyawan yang tampak lalu lalang kecuali di balik meja bar. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Semua orang yang mendapat tempat duduk, masing-masing sudah menghadapi baki berisi minuman dan makanan ringan. Sementara itu di samping dua meja kasir, aku bisa melihat instruksi singkat: ORDER HERE.
Aku menggendong kembali ranselku dan memutuskan untuk mengikuti antrean terpendek untuk memesan minuman.
Saat aku kembali, tempat duduk yang sebelumnya kupakai sudah terpakai orang lain.
"Aku nggak dapet tempat duduk," keluhku pada satu-satunya karyawan yang berdiri di dekat pintu masuk.
"Oh. Bapak sendirian?" Setelah aku mengangguk, ia menunjuk kearah jendela kaca.
Aku menggerakkan kepalaku mengikuti jari telunjuk itu. Pandanganku menyisihkan kepala-kepala yang memenuhi ruangan dan menemukan seseorang tengah menunduk menghadapi bangku kosong di balik kaca. Dia seorang pemuda.
"Kakak yang duduk di luar sana itu juga sendirian. Silakan berbagi. Atau bapak mau waiting list dulu?" Senyum pelayan itu manis waktu menawarkan pilihan antara waiting list dan bergabung dengan pengunjung lain. Bersamaan dengan itu, ia membukakan pintu.
Oke. Aku mengambil pilihan kedua karena waiting list dengan kopi yang mulai dingin jelas bukan ide yang bagus.
Aku memutuskan untuk mendekat dan meminta ijin dengan sopan supaya pemuda itu mengijinkanku duduk semeja dengannya. Ini juga tidak terlalu mendesak sebenarnya, aku tidak lapar sampai butuh duduk berlama-lama. Cuma karena sudah terlanjur memesan kopi saja. Kalau dia kelihatan keberatan, aku bakal menghabiskan makananku tanpa buang waktu lalu mojok aja di parkiran sambil merokok.
Semakin dekatnya aku dengan kursi kosong itu, aku semakin sibuk memikirkan kalimat macam apa yang sebaiknya kugunakan supaya dia tidak keberatan duduk semeja dengan orang asing. Pemuda itu mengenakan polo shirt coklat gelap dan celana pendek dengan warna yang jauh lebih terang. Entah putih atau krem, aku tidak bisa memastikan.
Pemuda yang cukup mengesankan. Rambutnya tersisir demikian rapi. Aku menoleh ke samping kanan dan menilai penampilanku sendiri di kaca. Rambutku sudah mulai gondrong, acak-acakan pula.
Wajahnya belum lagi kelihatan. Kepalanya menunduk khidmat dan kedua tangannya sibuk memainkan handphone, tapi aku tidak perlu melihat keseluruhan wajahnya untuk memprediksi kegantengannya. Kulitnya tampak bersih, berkilau ditempa lampu-lampu cafe bersemburat keemasan. Ketika jarakku semakin dekat dengannya, aku baru menyadari bahwa aku bisa mencium kesegaran edt- nya dari jarak tiga meter sebelumnya. Mungkin empat meter.
Akhirnya aku sampai di samping meja, setelah berjalan berlambat-lambat dengan penuh pertimbangan. Mempertimbangkan kalimat yang tepat untuk menyapa makhluk manis itu. Dia sedikitpun tidak menyadari keberadaanku. Apa ya yang diutak-atiknya di layar handphone itu sampai wajahnya seserius itu? Palingan juga upload foto, kan? Atau main game? Ngecek sosial media? Apa yang menyibukkan seorang remaja selain itu?
"Eh... Sori. Ini kursinya kosong atau lagi nungguin orang?" tanyaku akhirnya, kuputuskan tidak terlalu sopan atau dia akan merasa sedang berhadapan dengan Om-om. "Hehe... Soalnya penuh nih. Boleh numpang duduk di sini, ya?"
Aku sudah lebih dulu meletakkan baki makananku dan menarik kursi sebelum akhirnya ia mendongak menyadari ada orang disekitarnya. Waktu dia mendongak, wajahnya tampak sangat jelas. Matanya membulat dan bibirnya yang penuh berwarna bagus membuka sedikit.
Ekspresi kaget yang menawan.
"Eh... Kosong kok, Kak." katanya.
Dalam sekali lihat, pemuda itu dengan mudahnya membentuk sebuah karakter sendiri di kepalaku. Dari senyumannya yang malu-malu, bola matanya yang bergerak-gerak lucu, cara bicaranya yang manis dan sopan, sudah cukup buatku menentukan seperti apa kepribadiannya. Yang jelas dia menggoda. Bukan menggoda dengan sengaja, tanpa berusaha pun, dia sudah menggoda dengan sendirinya.
"Fiuh... Rame banget ya? Pada ngapain, sih?" tanyaku begitu duduk. "Ini baru pertama saya ke sini. Vespa saya mogok deket sini, lagi nunggu temen yang ngerti mesin. Kamu sering ke sini?"
Dia jelas kelihatan bingung menanggapi pertanyaanku yang bertubi-tubi. Membuatku mengutuki keputusanku untuk bersikap terlalu akrab padanya. Namun, meskipun terdengar ragu, ia merespon juga, "Ngng... Lumayan sih, Kak. Biasanya ama temen. Tapi hari ini aku sendirian," katanya. Diakhiri dengan senyuman kecil yang meringankan perasaan bersalahku sudah mengusik keasikannya dengan diri sendiri, dan handphonenya.
Oke, jangan pernah menanyakan mengenai temannya. Jangan. Yang kau butuhkan cuma tempat duduk, bukan dianggap aneh oleh remaja yang membuatmu terpesona pada pandangan pertama.
Aku mengambil gelas minumanku dan mulai menyesapnya perlahan. Kesempatan ini kupakai buat menelitinya dari ujung rambut ke ujung kaki, sekalian mencegah mulutku ngomong yang aneh-aneh. Sayang, sewaktu pemuda itu menaikkan bola matanya sedikit ke arahku karena merasa aku telah memperhatikannya, kalimat pengalih perhatian yang bisa kuucapkan justru, "Temennya kemana?"
Mungkin dari awal sebaiknya aku tidak pernah mendekati mejanya sama sekali, merokok di samping Kongo lebih cocok untukku. Seharusnya aku ingat, mungkin harus kutulis di catatan kecil yang selalu kusimpan di saku celanaku, bahwa mulutku tidak pernah bisa diajak kerjasama.
"Temenku..." Kalimatnya terhenti, dia tampak berpikir sebentar sebelum melanjutkan, "Ada... Ada kegiatan di kampus. Tapi aku emang lagi pengen sendiri kok, Kak."
Senyuman lebar membingkai gigi-giginya yang putih.
Kenapa dia harus memperlihatkan senyum lebar seperti itu?
Gara-gara senyum lebarnya, aku jadi makin tidak tau diri, "Kok kamu nggak ikutan kegiatan? Malah duduk-duduk di sini?" tanyaku sambil memakan kentang goreng. Aku terlalu gugup berbicara dengannya tanpa mengerjakan apa-apa.
Secara teknis, dia bukan tipe-ku. He was too sweet i could break him. Aku pernah mencium Raymond, dengan paksa, dan hampir pasti dia adalah tipeku sepenuhnya. Raymond jelas berbeda dari pemuda ini, meski sama-sama cute, Raymond itu tsundere. Pemuda ini... Seperti kelinci lepas yang menunggu tuan baik menangkapnya.
"Kamu nggak makan?" tanyaku lagi, kudorong sepiring kentang ke tengah meja, "Mau?"
Tentu saja dia tidak mau. Kepalanya menggeleng sopan dan mulai berhenti memainkan handphone, "Nggak ah, Kak. Makasih. Belum laper. Hehe. Aku lagi pengen sendiri aja. Dinner santai sambil ngelamun."
Apa itu maksudnya dia merasa terganggu? Dinner santai sambil ngelamun? Oh my... cuteness overload alert! Mungkin ini jawaban Tuhan buat kesengsaraanku setiap malam, memendam hasrat memeluk sepupu sendiri. Akhirnya Dia mendengarkanku dan mempertemukanku dengan uke yang malu-malu.
"Kakak naik Vespa?"
Aku terkesiap mendengarnya bertanya, "He eh. Vespa busuk. Mau dibuang sayang, soalnya termasuk benda bersejarah. Nggak ding bohong. Dijual belum ada yang mau aja," jawabku jujur sambil nyengir. Oh iya... Aku kan naik Vespa, bukan naik Kawasaki Ninja lagi. Mana mau dia dibonceng Vespa butut?
"Duh. Saya gangguin ngelamunnya dong," lanjutku kemudian. "Nama kamu siapa? Saya Lukas. Pake K."
"Ih nggak kok, Kak. Nggak apa-apa," kibasnya. Ada semburat merah malu-malu di pipinya waktu dia ketawa dan melanjutkan bertanya, "Aku belum pernah naik Vespa. Entar aku boleh nggak nyobain dibonceng pake Vespa?"
Refleks, aku menelan ludah. Membayangkan membonceng makhluk semanis dan sebesar itu di atas Kongo yang ban-nya kecil dan meliuk-liuk tidak stabil. Pemuda itu tinggi, badannya sih normal, tapi lebih kelihatan berisi dibandingkan tubuhku yang kurus dan kurang makan makanan bergizi. Kalau aku benar-benar punya kesempatan ngebonceng dia, bagian mana dari tubuhku yang bakalan dia pegang? Pinggang? Paha? Aku makin menyesal Kongo bukan kawasaki Ninja. Vespa kan susah mau buat pelukan karena tempat duduknya misah.
"Wah jangan... Nanti kalo mogok lagi saya nggak enak. Kecuali kalo nggak keberatan dorong. Hehe... Itu Vespanya udah butut banget. Emang mau dibonceng kemana?" Aku diam sebentar, mempertimbangkan kemungkinan bahwa dia berpikir betapa berisiknya lawan bicaraku kalau aku jadi dia. Tapi, aku tetep pengen tahu namanya, jadi aku mengingatkan kalau dia belum menyebutkannya sama sekali, "Eh. Namanya siapa tadi?"
Kepalanya menunduk sebentar, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang konsisten malu-malu terus itu. Ah, aku jadi pengen lihat ekspresinya yang lain selain ekspresi adorable yang terus dipertontonkannya gratis di depan mataku.
"Krisna, Kak. Pake K juga." Krisna garuk-garuk kepala, "Nggak kemana-mana sih, Kak. Pengen nyobain aja, tapi kalo sampe dorong mah nggak tahu deh, Kak. Hehe. Entar ada yang marahin nggak kalo Kakak bonceng aku?"
Aku menjawab cepat dan berharap seketika itu juga aku tidak pernah mengatakannya, "Nggak ada sih. Ya paling kamu yang marah kalo tiba-tiba mogok atau pahanya kejepit dudukan belakang. Temen saya sih suka ngamuk kalo udah kena polisi tidur terus pahanya kejepit."
Uh ya ampun. Aku beneran mengatakannya!
Untuk usahaku mengembalikan wibawa, aku berdehem membersihkan kerongkongan, "Nggak bakalan ada yang marah."
"Kok kejepit, Kak?" tanyanya, seperti sengaja membuatku semakin salah tingkah.
"Iya. Itu kan Vespa lama. Dudukan yang belakang udah goyang-goyang." jawabku sembarangan. Tapi memang bener kok. Jok belakangnya emang suka geser-geser dan kalau kena polisi tidur, biasanya yang duduk di boncengan suka misuh-misuh kulit pahanya kecubit-cubit. Apalagi kalo pake celana pendek gitu...
Krisna tertawa, tapi bukan tertawa yang merusak image nya. Tertawanya manis, persis seperti yang kubayangkan dalam kepalaku, "Kalau Kakak suka barang lama, berarti Kakak suka barang antik. Berarti kakak orangnya setia. Bener nggak?" cengirnya.
"Sebenernya sih bukan suka, emang terpaksa aja. Nah... Kalau pake barang antiknya karena terpaksa berarti artinya apa?"
"Berarti Kakak harus belajar buat setia. Hehehe..."
Aku tertawa. Geli. Aku memang selama ini setia menunggu Raymond menyadari perasaannya terhadapku, tapi aku yakin itu tidak ada hubungannya dengan aku mengendarai Kongo. Sebaliknya, aku malah berencana menyerangnya karena aku sudah tidak lagi setia menanti.
Tiga puluh menit kemudian, kami sudah mengobrol mengenai cukup banyak hal dan Krisna mulai bersedia mengambil kentang yang kubeli. Aku cukup menikmati menghabiskan waktu berdua dengan makhluk manis di depanku ini, hingga menanti Raymond yang tak kunjung datang tidak lagi dipenuhi perasaan dongkol. Aku bahkan bersyukur karena Kongo mogok tak jauh dari sini, aku tersenyum lebar pada karyawan yang memberiku ide untuk sharing meja dengan krisna saat ia melintas, aku juga rela-rela saja Krisna lebih banyak menanyakan hal-hal pribadi tentangku daripada aku terhadapnya. Dia toh cuma remaja, mungkin penting baginya nanyain kenapa aku suka bawa ransel, kenapa aku minum kopi atau kenapa aku merokok. Sementara aku, aku cuma butuh dia tersenyum. Syukur-syukur beneran mau bonceng Kongo.
Semakin malam, cafè ini semakin memadat. Beberapa orang yang mengetahui bahwa deretan waiting list masih panjang akhirnya mengambil antrian dan membawa pulang minuman mereka. Buatku yang tidak suka menunggu untuk sekedar makan atau minum, ini aneh.
Buat Krisna sepertinya tidak. Dia tidak tampak terganggu sama sekali meski beberapa kali bahunya tersenggol pengunjung lain yang melewatinya dan bersikeras bertanya padaku setelah menyeruput minumannya yang hampir habis, "Kakak zodiaknya apa?"
Zodiakku?
Emmm...
"Aries." Aku mencoba kembali mengingat dan mengangguk karena seingatku benar. Aku tidak pernah peduli urusan zodiak. Aku tidak tahu orang berzodiak Aries itu seperti apa, match zodiaknya apa, nasibnya gimana, unsurnya apa, makannya apa.
Tapi aku peduli pada reaksi Krisna saat mengetahui zodiakku. Dia menjulurkan lidah dengan lucunya, "Pantes!" katanya, "Aries selalu berani memulai. Orangnya juga percaya diri."
Aku memulas bibirku dengan senyuman melihat keceriaannya.
Seorang lagi menyenggol bahu Krisna dan aku mulai merasa tidak nyaman. Kuedarkan pandanganku dan menemukan antrean mengular dari meja batender. Ular-ularan itu berbeda dari antrean di mana aku memesan kopi dan kentang goreng. Apa yang mereka beli di sana?
"Kenapa, Kak?"
"Ituuu..." Aku menunjuk antrean di dalam dengan menggerakkan daguku, "Mereka ngapain, ya? Kok saya tadi nggak disuruh ngantre di situ?"
"Oohhh..." Kernyitan alis yang semula sempat menghiasi wajah Krisna karena rasa penasaranku menghilang seketika, "Itu Blend me thai tea. Minuman paling terkenal di sini. Banyak orang ke sini demi bisa bikin minuman itu."
Aku mengangguk-angguk. Aku tahu thai tea. Itu teh yang ditambahkan susu evaporasi atau susu sapi atau kadang-kadang santan. Teh yang dipakai bisa macam-macam: teh hitam, maupun teh hijau. Biasanya bahan tambahannya selain gula berupa air bunga jeruk, buah pekak, bubuk asam jawa ditambah pewarna makanan yang rupa rupa, seperti merah, oranye, hijau dan lain-lain. Aku sering melihat gadis-gadis di kantor minum begituan dari cafè ini.
Pertanyaannya, apa yang membuat mereka begitu antusias terhadap teh ini? Maksudku, aku biasa melihat minuman itu dijual di mana-mana, tapi belum pernah aku melihat antrean sepanjang itu untuk segelas thai tea biasa.
Aku lebih tertarik pada pipi Krisna yang agak kotor oleh rempah-rempah bumbu kentang goreng, "Kenapa mereka sampe antre gitu? Seenak apa memang minumannya?" tanyaku, sambil menunjuk wajahnya. "Eh... Ehm...ada apaan itu di pipi?"
Krisna bergerak refleks memegang dan mengusap-usap pipinya untuk membersihkan remah-remah. Sepertinya dia nggak mungkin membiarkanku membersihkannya, padahal aku gemas ingin membantu. Bukannya apa-apa, dia masih saja meninggalkan beberapa titik kotoran yang mengganggu wajahnya.
"Itu karena ada mitosnya, Kak. Kalau kita ngeracik thai tea, lalu hasilnya dikasih ke orang yang kita sukai, nanti dia bisa tahu gimana masa depan hubungan kita sama orang itu"
Oh. Strategi pemasaran yang memanfaatkan remaja-remaja dimabuk asmara. Licik.
"Misalnya nih ya, aku suka Kakak..." Krisna diam sebentar, lalu melanjutkan lagi, "Lalu aku bikin blend me thai tea buat Kakak. Aku racik topping atau perasanya apa aja, udah gitu Kakak minum, dan nanti rasa yang muncul bakalan nentuin hubungan aku sama Kakak. Misal kalo manis ya berarti hubungannya so sweet. Kalo pait ya hopeless. Pokoknya gitulah Kak. Macem-macem interpretasinya. Tergantung yang ngerasain," jelasnya panjang lebar.
Kalau aku mengajak Raymond kesini, kami akan tertawa terbahak-bahak mendengar mitos itu. Betapa manis pun misalnya aku buatkan untuk Ray atau sebaliknya, kami tetap saja akan mengalami hubungan yang mengerikan.
Tapi sekarang, di depan anak ingusan semanis Krisna, blend me thai tea ini seru juga. Apalagi kalau dia menjelaskannya sambil diam-diam mencuri pandang dan buru-buru mengklarifikasi penjelasan karena mungkin takut aku salah sangka, "Tapi itu contoh aja, Kak." elaknya, meski mukanya jelas banget kalo dia berharap itu serius.
Ok. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku tidak bisa membiarkan remah-remah brengsek itu menodai pipi Krisna yang gembil, jadi aku menjulurkan tangan untuk mengusap pipinya, "Itu. Masih ada remah-remahnya."
Semoga dia tidak menganggapku bertingkah berlebihan, buru-buru kutarik kembali lenganku dan kualihkan pembicaraan, "Emmm... Cafè nya pinter ya bikin rame pengunjung dengan cerita begituan," cengirku terdengar menyebalkan. Bagaimana tidak, aku mungkin sedang merusak fantasi remajanya yang menggemaskaaaaan.
"Em. Oke. Misalnya pun benar." Aku mengusap daguku, bersandar di sandaran kursi dan membuat tampang serius supaya dia tidak benar-benar menganggapku menyebalkan sudah mencemooh the blend me thai tea-nya yang fenomenal itu, "Lalu misalnya... Em... Saya juga suka sama kamu, lalu saya ngeracik juga buat kamu. Gimana kalau bikinan saya pahit, sebab saya ngerasa nggak pernah bikin apapun dengan benar, sementara bikinan kamu manis?"
Krisna menunduk, gerak geriknya kaku dan bola matanya bergerak ke sana kemari seperti sedang salah tingkah. Dia berganti-gantian melihat kemanapun kecuali membalas tatapanku, "Itu... Itu aku nggak tahu Kak. Belum pernah nyoba. Kakak mau coba?"
Huwaaaa! Aku hampir tidak bisa menguasai diri sewaktu Krisna membungkuk dan memiringkan kepalanya, tapi masih dengan ekspresi wajahnya yang malu-malu.
Demi (lagi-lagi) mengembalikan kewibawaanku yang nyaris punah malam ini, sebagai pria kantoran yang lebih dewasa darinya, aku mencoba membuat mimik wajah serius dengan mengerutkan kening dan menggodanya, "Kira-kira kalau bikinan saya pahit... kamu jadi nggak bonceng saya nyobain naik Vespa?"
"Ka.. Kakak mau bikin buat aku?" tanyanya gugup.
"Eh... Kamu nggak mau?" Aku jadi ikutan gugup. Aku benar-benar sudah lancang mengabaikan kata 'misalnya' dalam kalimat Krisna. Dia kan dari tadi cuma nanyain apa aku mau coba, bukannya ngajak aku nyobain sama dia. Duh. Konyol.
"Aku sih mau-mau aja, Kak. Siapa yang mau ke sana duluan?"
"Kamu deh. Tar saya ngintip dari sini dulu caranya. Hehe..."
Krisna berdiri, membenarkan celana pendeknya sebentar dan membawa handphone-nya serta sebelum mulai berjalan kembali masuk ke dalam cafe. Aku melihatnya mulai mengantre di meja kasir, menerima dua buah gelas dan mulai kembali ke antrean di depan bartender. Aku menggunakan kesempatan itu untuk mengecek handponeku.
Lo dimana? Gue udah nyampe- Pesan dari Raymond masuk semenit yang lalu.
Kongo di parkiran. Gue senderin di pohon, lo benerin aja tar gue susul- Balasku.
Lo dimana? -Sebuah balasan kembali kuterima.
Lagi sama temen- Balasan kukirim sama cepatnya.
Siapa?
Aku tidak berniat membalasnya.
Siapa?
Lo nggak kenal.
Siapa sih?
Aku membuang kembali handphone ku kedalam ransel, membelasakkannya ke bagian paling bawah saking kesalnya. Satu-satunya hal yang kutahu bisa membuat Raymond tidak dalam pembawaannya yang santai adalah setiap kali dia tahu aku sedang bersama orang lain.
Terserahlah.
Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi setia menunggunya terus-menerus on denial meskipun menurut Krisna mengendarai Vespa seharusnya berarti aku setia. Sebab petang ini, Tuhan dengan sangat baik hatinya mengatur perkenalanku dengan pemuda yang entah dengan alasan apa mau meramalkan nasib hubungan kami lewat segelas teh Thailand.
Teh Thailand dan seni meracik. Hm. Mungkin mitos itu tidak sekedar omong kosong. Kalau aku sih, demi orang yang kucintai, aku akan membuatkannya minuman terbaik yang aku bisa supaya dia bahagia. Masalahnya, aku tidak tahu bagaimana selera Krisna. Masalah kedua aku tidak tahu bagaimana rasa thai tea yang enak. Aku Cuma minum kopi hitam, kopi instan atau teh. Tidak. Aku bahkan tidak suka teh. Masalah ketiga hatiku masih tertambat pada hati yang lain. Bagaimana mungkin aku bisa bikin thai tea yang enak dengan tiga masalah tersebut?
Padahal, aku sangat ingin mengesankan hati Krisna. Meski dia terlalu manis buat jadi tipeku, tapi aku yakin dia sangat loveable. Hidupku akan jauh lebih mudah kalau saja dia ternyata juga menyukaiku.
I am sick of unrequited love.
Di ujung lamunanku, Krisna tiba-tiba sudah kembali ke tempat duduknya. Di tangannya, terdapat sebuah gelas plastik berkeringat yang menampilkan warna hijau segar yang tampak creamy.
"Ini buat Kakak. Sekarang Kakak buatin buat aku. Tapi kalo bisa, jangan ngintip nama-nama rasanya, ya? Aku juga tadi random nyampur-nyampurnya."
"Oh gitu. Oke." Aku langsung berdiri tanpa menyentuh gelas thai tea yang disodorkan Krisna. Setelah berjalan beberapa langkah, aku baru ingat bahwa aku perlu memastikan satu hal, jadi aku berbalik menghampirinya, "Yang tadi saya beneran nanya. Kalo thai tea bikinan saya nggak enak, kamu nggak jadi mau bonceng?"
Krisna mengembangkan senyuman manisnya, "Iya Kak. Aku mau. Kan, aku belum pernah nyobain naik Vespa."
Oke. Sudah bisa dipastikan bikinanku bakalan tidak enak, tapi paling tidak, dia bakalan tetep bonceng Kongo. Aku harus membetulkan jok belakang, supaya pahanya tidak kejepit. Kasihan kalo kulit pahanya yang mulus sampe luka.
Aku berjalan ke antrean yang sudah tidak terlalu panjang. Saat tiba giliranku, aku membayarkan sejumlah uang ke kasir dan mendapat sebuah gelas kosong dan sebuah gelas takar.
"Thai tea harus dibuat dalam keadaan panas, Bapak harus meraciknya terlebih dahulu dengan air panas di gelas takar untuk dicampur dengan air dingin dan ditambah es batu," jelasnya memberi petunjuk.
Aku mengangguk mengerti.
Ada beberapa jenis teh yang bisa kupilih. Berjajar dari yang terdekat denganku, yang pertama ada teh hitam, teh hijau, teh kuning, teh putih, teh Oolong, dan teh bunga. I am completely lost. Aku cuma kenal teh hitam, pernah mendengar mengenai khasiat teh hijau, dan cukup yakin bahwa teh bunga itu sama dengan jasmine tea. Karena Krisna tampak manis dan polos, aku memilih teh putih dan mengisi tiga per empat gelas takarku dengan cairan itu.
Bagian selanjutnya gula cair. Aku sengaja tidak mencampurnya di dalam gelas takar karena akan menyulitkanku mencampur bahan-bahan yang lain, toh ini gula cair, kalaupun kucampur di bagian akhir tidak masalah. Jadi aku menuang satu setengah centi meter gula ke dalam gelas sajiku.
Baiklah ini masalahnya, terdapat beberapa bubuk dan ramuan di meja selanjutnya dan aku tidak tahu itu apa. Ada bubuk yang terlihat seperti serbuk kayu manis, satu serbuk yang saat kucicipi terasa masam, rempah-rempah berbentuk bunga-bunga kecil, kering dan kecoklatan serta beberapa pewarna makanan yang menarik.
Well then, let the magic begin.
Aku membubuhkan setiap rempah dengan porsi yang sama, yaitu seujung sendok teh yang menjadi sendok penakar di setiap jar, kumasukkan juga dua buah bunga kering. Untuk warnanya, aku sempat berpikir keras antara merah muda atau biru, mengingat teh yang kupilih berwarna putih, aku lebih bebas memilih warna apa saja. Merah muda terlalu girly, meski cocok untuk Krisna yang imut, tapi akhirnya aku menentukan warna biru. Kutambahkan evaporated milk dan kuserahkan pada bartender untuk di campur dalam blender. Bartender itu menambahkan sedikit air dingin dalam blendernya sebelum mulai menghidupkan mesin.
Selanjutnya, aku menerima sebuah saringan bersih yang kupasang di mulut gelas sajiku dan kutuangkan dengan hati-hati kedalamnya. Seluruh cairan itu mengisi tiga per empat gelas saji, kutambahkan es batu dan ku topping dengan susu segar. Seorang karyawan wanita meminta kembali gelasku untuk mengemasnya dengan cup sealer, "Mī xāh̄ār thī̀ dī . Selamat menikmati!" katanya riang.
Thai tea-ku berwarna biru, sebiru hatiku.
Saat aku membuka pintu dan berjalan ke arah meja kami, Krisna tengah duduk tegap menanti. Senyuman lebar, seperti biasa, menghiasi wajah manisnya yang semanis kembang gula. Aku mengangkat thai tea-ku dengan bangga seolah berkata, "Hey, I am ready to hitch you a ride, baby!"
"Nah ini..."
Belum lagi aku menuntaskan kalimatku, sebuah suara membuatku kaget bukan main, "Luk, Vespanya di sebelah mana sik?"
Raymond, entah datang dari mana, sudah berdiri tak seberapa jauh dari kami. Rambutnya yang panjang diikat tanpa memperhatikan estetika sama sekali, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana dan wajahnya kecut bukan kepalang.
Krisna tampak kebingungan.
Aku menatap malas pada Raymond. Dia jelas cemburu. Dengan santai, aku justru mendudukkan diriku ke kursi, mencoblos thai tea buatan krisna dengan sedotan dan bersiap menyesapnya, "Di parkiran! Udah sana cepetan benerin. Tar gue susul!"
"Vespa lo nggak ada. Gue dah nyari kemana-mana!"
"Jangan sembarangan lo. Gue senderin di pohon, soalnya kakinya udah nggak seimbang." Aku jadi urung meminum thai tea-ku.
"Ya udah dibawa tukang sampah kali. Makanya buruan gih!"
Raymond mendekat dan menarik lenganku, masih sempat kulihat kening Krisna mengerut sebelum aku buru-buru mengemasi barang-barangku dan meninggalkannya. Aku membawa serta gelas thai tea-ku, tentu saja, dan sebuah pesan singkat kepada bocah manis itu, "Jangan lupa kasih tahu rasanya, ya!"
Tapi aku lupa kami sama sekali tidak menukar nomor telpon.
Bagaimana aku bisa memberitahunya kalau thai tea buatannya agak asam tapi juga manis? Sepertinya dia membubuhkan terlalu banyak kayu manis sehingga aromanya yang khas mempengaruhi cita rasa thai teanya? Akan tetapi, tetap saja terasa enak di lidahku. Ini adalah thai tea paling enak di dunia, ngomong-ngomong, aku belum pernah merasakan thai tea sebelumnya.
Rasanya aku ingin membunuh Raymond saat itu juga. Vespaku masih bertengger manis di tempat terakhir aku meninggalkannya. Dia tidak mengatakan apa-apa mengenai itu tapi menahan lenganku mati-matian saat aku berniat kembali ke cafè menemui Krisna.
Aku mengalah saat kulihat dia sudah hampir menangis.
Kalau malam ini dia masih tidak membiarkanku menyentuhnya, aku akan kembali ke Blend me cafè setiap hari sepulang kerja supaya bisa bertemu Krisna lagi.
Aku akan memberi Raymond satu kali kesempatan. Hanya sekali!
*
*
Hai...
Penasaran sama rasa thai tea bikinan Lukas buat Krisna?
Baca di akun MaaarioBaaastian ya...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top