7 You are Not Alone

You are not alone. You are allowed to rely on other's.

~~oOo~~

Kamala menggeleng-gelengkan kepala. Dia menatap putus asa pada Dion.

"Please, balikin obatnya," pinta wanita itu memelas.

Dion menatap Kamala untuk beberapa lama. Embusan napasnya terdengar keras. Dia mengangguk singkat dan memberikan botol putih pada Kamala.

Wanita itu langsung menenggak obatnya. Dia merasa malu karena kepergok Dion. Namun, rasa cemas di hatinya jauh lebih penting dibanding persepsi Dion yang notabene baru dikenal.

"Ada apa, Mas?" 

Kamala melirik kehadiran Sarah. Lagi-lagi rasa iri itu mencuat. Melihat wajah teduh dan senyum tipis Sarah membuat hati Kamala bergolak.

"Tidak ada apa-apa." Dion membalas. Dia mengusap puncak kepala Sarah.

"Yok, beri Kama waktu buat kerja. Kayaknya kita terlalu bising tadi."

Kamala tidak tahu dorongan apa yang membuatnya mengeluarkan perkataan seperti itu. Hanya saja, wanita itu mendadak merasa takut sendirian.

"Jangan pergi. Kalian di sini saja temani aku."

Dion dan Sarah saling bertukar pandang. Kamala buru-buru menundukkan pandangan. Dia memelototi laptop.

"Apa … apa ada surah yang isinya menenangkan hati?" tanya Kamala malu-malu.

Dion kembali menatap Kamala. Bibir pria itu melengkungkan senyum tipis. Dia ingin mengulurkan tangan pula untuk mengusap puncak kepala Kamala. Namun, Dion berhasil menahan diri.

"Bekerjalah," ucap pria itu lembut.

Kamala tidak melihat kepergian Dion dan Sarah. Dia terlalu tenggelam pada pekerjaan.

Namun, beberapa detik kemudian telinganya langsung tegak. Suara merdu Dion kembali terdengar. Kali ini hanya Dion, tanpa acara sambung ayat dengan Sarah.

Berbeda dari sebelumnya, mendengar suara berat Dion melantunkan kalam Ilahi, hati Kamala terasa ringan. Perlahan-lahan senyum terkembang di wajahnya.

Ini pasti karena obat yang aku minum. Perasaanku jadi tenang. Ya, ini pasti karena pengaruh obat. Bukan karena Dion.

***

Pekerjaan Kamala akhirnya selesai tepat pukul setengah dua belas malam. Wanita itu menggeliat, meregangkan otot-otot yang terasa kaku.

Kali ini Kamala tak ingin kecolongan untuk kedua kali. Dia membuat salinan pekerjaannya di beberapa tempat. Malam itu juga Kamala mengirim pekerjaannya pada Ridwan.

"Sudah selesai?"

Kamala mendongak. Dion melongok dari atas kubikel. Yang ditanya menganggukkan kepala.

"Iya, sudah. Terima kasih sudah menemaniku."

Kamala meraih tasnya. Dia bersiap pulang, tetapi berhenti bergerak saat Dion berkata tegas.

"Aku antar."

Wanita itu melongo. Otaknya yang biasa cerdas mendadak jadi imbisil. Mulutnya terbuka demi mendengar tawaran Dion.

"Tapi ini sudah larut malam. Sudah masuk pergantian hari malah."

"Justru karena sudah malam, kamu harus diantar. Perempuan tak boleh pulang sendirian di jam-jam seperti ini."

"Eh, tapi istrimu …." Kamala kebingungan.

"Istri yang mana?" Dion juga bertanya kebingungan.

Kepala Kamala berputar mencari-cari keberadaan wanita berkerudung merah jambu. Nihil. Tidak ada tanda-tanda keberadaan orang yang diduga istri Dion itu.

"Ke mana Sarah?" tanya Kamala bingung.

"Oh, maksudmu istriku itu Sarah?"

Kamala mengangguk perlahan. Mata jernihnya mengamati Dion. Ekspresi wanita itu kebingungan saat melihat senyum geli, disusul tawa terkekeh yang meluncur dari kerongkongan Dion.

"Apa, sih?" Kamala sewot. "Istri sendiri kok, diketawain?"

"Siapa yang bilang dia istriku?" Dion geleng-geleng kepala.

Kamala tertegun. "Lah, kalau begitu Sarah–"

"Dia adikku," potong Dion cepat. 

Kamala nyaris terjungkal kakinya sendiri. Rasa panas menjalar cepat di leher dan wajah wanita itu. Kamala dihantam rasa malu luar biasa.

"Sarah itu adik perempuanku. Dia kuliah di sini. Itu salah satu alasanku datang ke Jakarta." Dion menjelaskan tanpa diminta.

Kamala tidak menimpali dengan komentar apa pun. Dia menundukkan kepala dan berjalan cepat keluar ruangan.

"Kalau kamu ingin tahu, Sarah sudah pulang duluan. Tadi Papa sama Mama jemput di lobi bawah."

Kamala tercekat. Dia tidak menyangka bila sikap workaholic-nya membuat dirinya tidak peka sekitar.

"Sarah mau pamitan, tapi nggak enak gangguin kamu kerja. Dia cuma nitip salam."

Kamala hanya mengangguk. Dia bergegas masuk lift. Mereka hanya berdua di kotak baja berat itu.

Dari pantulan di dinding lift, Kamala bisa melihat sosok Dion dengan lebih jelas. Dari sisi fisik, pria itu sempurna. Tidak bercela sama sekali. Skala ketampanannya bahkan bisa masuk dalam level sembilan dari sepuluh.

Untungnya Dion datang setelah jam kantor usai. Kamala tidak bisa membayangkan jika pria itu sampai datang di jam kerja. Bisa-bisa rekan sekantornya sibuk cari perhatian pada Dion.

"Kok, diam?"

Lamunan Kamala terputus. Dia berdeham membersihkan tenggorokan. 

"Nggak ada yang harus dibicarakan," jawab Kamala.

"Ada sebenarnya. Banyak." Dion memamerkan senyum manisnya. "Kamu perantau, ya? Logatmu tak terdengar seperti orang Jakarta."

Kamala berpikir sejenak. Dia baru mengenal Dion. Agak riskan baginya untuk menceritakan tentang dirinya. Namun, di sisi lain Kamala juga ingin bercerita pada pria ini.

Akhirnya keinginan Kamala yang menang. Wanita itu menjawab pertanyaan Dion dengan lancar.

"Asli Malang. Aku di sini hanya untuk bekerja."

"Wah, pantes. Aku kenal sama dialekmu." Dion tertawa. "Malangnya mana, Kama?"

Wajah wanita itu kembali memerah. Telinganya merasa senang mendengar cara Dion memanggilnya. Hanya saja, Kamala masih ingin jaga image. Alih-alih menjawab, Kamala justru berkata dengan nada ketus.

"Kenapa tanya-tanya? Memangnya situ mau melamar aku?"

Kamala tidak tahu kegilaan apa yang merasukinya. Bisa-bisanya dia menanyakan hal sekonyol itu pada orang yang baru dikenal. Ini bukan Kamala sekali.

"Kalau iya, memang kamu mau terima lamaran aku?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top