4 Mantan Pacar

Cinta bukanlah tentang berapa lama kamu mengenal seseorang, melainkan tentang seseorang yang mampu membuatmu tersenyum sejak saat kamu mengenalnya.

~~oOo~~


Kamala menghela napas berat. Jarinya mengucek mata mencoba meredakan rasa pedas dan perih di sana.

"Itu orang kenapa suka menyendiri melulu, sih? Mana sok banget pas rapat lagi."

"Sok gimana?"

"Aduh, tadi dia tuh, nentang bos gitu. Sok-sokan nolak naskah yang udah dipilih sendiri sama bos."

"Hah? Masa dia seberani itu?"

"Iya. Ini juga nggak sekali-dua kali dia gitu. Pokoknya kalau ketemu naskah yang nggak cocok di dia, pasti mulutnya lemes banget buat protes.

Telinga Kamala memerah. Tangannya langsung menyambar pensil dan meremasnya kuat-kuat. Benda itu patah jadi dua dengan suara mengenaskan.

"Mulut kalian juga lemes banget kalau ngegunjing orang," gerutu Kamala lirih.

Untungnya kubikel tempat dia bekerja berada di paling pojok ruangan dan berdinding cukup tinggi. Sialnya, lokasi kubikel Kamala juga pas di samping dispenser. Otomatis dia harus menabahkan diri karena sering jadi pusat lalu lalang orang-orang.

"Lagian kenapa juga ngambil naskah beginian?" Kamala menghela napas lagi.

Dibuangnya pensil yang sudah patah jadi dua. Wanita itu lantas menyambar tetikus dan mulai menutup halaman dokumen yang terbentang di layar.

"Mentang-mentang sekarang sedang booming romansa erotis, bos main terima naskah sembarangan aja. Ini juga udah jelas bukan romansa erotis, tapi naskah porno."

Kamala merapikan barang-barangnya. Dia menyampirkan tas laptop di bahu lantas berjalan pergi meninggalkan kantor. Kolega-kolega yang tadi menggunjing Kamala sudah tidak terlihat batang hidungnya.

"Kerja di kantor bikin nyesek aja. Apa aku resign dari sini aja, ya?" Kamala berpikir-pikir.

"Tapi kalau aku resign, adek-adek panti nggak ada yang bantu sekolah. Mana donatur sekarang lagi seret pula."

Bahu Kamala lunglai. Langkahnya tak bersemangat. Menjadi tulang punggung keluarga memang sama sekali tak mengasyikkan.

Perjalanan wanita itu berakhir di depan sebuah kafe baru yang letaknya hanya dua ratus meter dari kantor. Kepala Kamala meneleng melihat fasad kafe yang sangat hijau.

"Teduh." 

Hanya itu komentar yang muncul dari mulutnya. Kamala memutuskan di sanalah dia akan mulai merenovasi naskah stensilan yang sudah dibebankan si bos padanya.

Sayangnya kedamaian belum sepenuhnya berpihak pada wanita itu. Saat Kamala selesai memesan makan siang, kepiting soka telur asin dan jus buah campur segar, dia langsung bertabrakan dengan seseorang yang sangat ingin dihindarinya di dunia.

"Kama?"

Telinga wanita itu langsung tegak berdiri. Rahang Kamala mengencang. Senyum dipaksakannya muncul di wajah. Gagal. Alhasil muka Kamala jadi jelek saat ini.

"Nando," sapa Kamala dalam nada dingin.

"Wah, udah lama nggak ketemu, ya? Lo apa kabar?"

Buruk.

Kamala menjawab dalam hati. Namun, yang keluar dari bibirnya hanya sebuah pengkhianatan berkedok basa-basi.

"Baik," jawab Kamala ringkas.

"Lagi cari makan?"

Kamala ingin memutar bola mata. Dia tak habis pikir pada lelaki di hadapannya ini. Probabilitas seseorang mencari bahan bangunan di sebuah kafe hampir mendekati nol persen. Dan Nando justru menanyakan hal yang sangat bodoh itu.

"Begitulah," jawab Kamala sekali lagi dengan nada dingin.

Nando membuka mulut hendak bicara. Namun, niat lelaki itu terjeda oleh satu pelukan maha kuat yang nyaris menyedot udara di paru-parunya.

"NANDO, SAYANG!"

Kening Kamala berkerut. Pandangannya bertemu dengan mata gelap Nando yang juga tengah menatapnya. Buru-buru Kamala melengos demi melihat pemandangan romantis yang terpampang tepat di depan mata.

"Aduh, makasih Sayang, udah mau datang jemput aku. Yok, berangkat."

Nando menahan tangan yang menariknya. Perkataan lelaki itu terdengar manis.

"Amara, tunggu dulu. Kamu perlu kenalan sama seseorang dari masa lalu aku."

Aku dan kamu.

Jenis panggilan itu tidak luput dari pendengaran cermat Kamala. Hati wanita itu kembali tersengat nyeri. Dirinya yang seorang perantau tahu persis perbedaan lo-gue versus aku-kamu di Jakarta.

Aneh, padahal sudah bertahun-tahun. Namun, sensasi menyakitkan itu masih juga muncul. Kamala menggigit bibir menahan rasa sakit di hati.

"Amara, ini Kamala. Dia mantan pacar aku yang itu." Nando memberi penekanan di kata terakhirnya. Perkataan yang tak urung memicu kerut muncul lagi di dahi Kamala.

"Kama, ini Amara. Cewek aku sekarang." Nando memperkenalkan wanita muda berpenampilan super modis di sampingnya.

"Ih, kok, cewek aku doang?" Amara berkata centil sembari mencubit dada Nando.

Wanita itu mengulurkan tangan. Kuku termanikur rapi dalam cat warna ungu gelap tersebut tidak luput dari pengamatan Kamala.

"Halo, gue tunangan Nando sekaligus pemilik kafe ini. Seneng ketemu sama lo."

Kamala tidak salah tangkap. Ada nada kesombongan dalam suara wanita di hadapannya. Tak cukup sampai di situ. Kamala juga dibuat kaget karena kafe yang ditujunya ternyata milik tunangan Nando.

"Hai, aku Kamala." Dibalasnya jabat tangan Amara.

"Wah, medok banget logatmu. Kayak pemain sinetron yang dari kampung-kampung gitu."

Hati Kamala berdenyut mendengar perkataan bernada menghina yang meluncur dari bibir Amara. Tangannya terkepal di samping tubuh.

"Duh, maafin gue. Nggak bermaksud menghina, loh." Perkataan yang jauh dari kata tulus dan diucapkan dalam keriangan yang berlebihan.

Kamala hanya mengangguk. Dia berbalik menghadap meja kasir dan segera bicara cepat.

"Mbak, saya nggak jadi pesen. Makanan tadi buat Mbak aja."

"Kama, mau ke mana?" Nando menahan tangan wanita itu.

"Balik ngantor," jawab Kamala seraya menyentakkan pegangan Nando.

"Kok, lo gitu, sih? Ini kafe Amara. Hormati dia-lah. Jangan baperan macam gitu."

Alis Kamala terangkat tinggi. Suara yang keluar dari tenggorokannya hampir tak dikenali Kamala sendiri.

"Aku? Baperan? Bicaramu ngawur banget."

"Ya, kalo emang nggak baper kenapa nggak jadi makan di sini?" Nando menantang. "Kita emang udah putus. Bokap sama Nyokap emang nggak sreg sama bibit, bobot, bebet lo. Tapi jangan balas dendam ke Amara juga kali."

Kamala terbelalak. Mulutnya terbuka lebar. Ekor mata wanita itu menangkap gelagat tidak mengenakkan di sekelilingnya.

Dia kini jadi pusat perhatian pengunjung kafe. Keringat dingin kembali mengalir deras di tangan Kamala. Jantung wanita itu kembali lagi berdebar sangat kencang. Perutnya terpelintir ngeri kala merasakan tatapan penuh rasa penasaran menusuk-nusuk dirinya dari segala arah.

"Aku nggak tahu apa yang kamu omongin." Kamala berusaha bicara tenang, meski suara wanita itu bergetar.

"Kamu masa lalu aku. Kita udah nggak hubungan sama sekali. Aneh aja kalau kamu masih meributkan kenapa aku nggak jadi makan di sini."

Wanita itu berusaha mengembalikan ketenangan dirinya. Cuping hidung yang melebar menandakan Kamala berusaha mengasup oksigen lebih banyak untuk mengusir rasa sesak di dada.

"Lagian aku nggak minta duit dibalikin, kok. Justru aku sedekah ke kafe tunangan kamu dengan ngasih pesenan aku ke pegawai sini."

Skakmat.

Kamala menangkap basah perubahan raut muka Amara. Dia tak peduli. Situasi menegangkan siang ini lebih dulu dipicu oleh Amara dan Nando.

"Seharusnya aku yang ngomong gitu. Kamu jangan baperan. Mentang-mentang ketemu aku, terus kamu jadi salah tingkah dan playing victim," imbuh Kamala lagi.

Wanita itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Tatapannya tertuju pada sang mantan pacar lalu beralih pada pemilik kafe.

"Kalian berdua emang benar-benar cocok. Sama-sama sombong. Ngomong-ngomong, selamat untuk pertunangannya. Semoga hubungan kalian langgeng."

Hanya begitu saja dan Kamala segera berbalik pergi. Dia berusaha mengabaikan tatapan orang-orang. Langkah Kamala sangat cepat, selaras dengan kecemasannya yang juga makin meningkat.

Dan di trotoar wanita itu nyaris meledak. Dia mengusap kasar air mata yang mengalir dengan punggung tangannya.

"Kenapa kamu masih juga nggak kenal aku, Nando? Padahal kamu udah lama jadi pacar aku. Kenapa sikapmu masih sama gini?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top