20 Salah Paham
“Mending kita tengok Mbak Kama. Jangan-jangan dia kenapa-kenapa, Mas. Kan, Mbak Kama lagi sakit juga.
Dion mengangguk. Instingnya mengatakan sesuatu yang buruk tengah terjadi pada wanita itu.
“Yok. Mas keluarin mobil. Kamu siap-siap.”
Pasangan kakak beradik itu bergerak cepat. Sarah segera mengenakan kerudung. Dia memelesat ke mobil yang sudah dinyalakan Dion setelah mengunci pintu rumah.
“Bismillah. Semoga Mbak Kama nggak apa-apa.”
Dion mengangguk pada doa adiknya. Dia segera melajukan kendaraan ke arah Griya Shanta. Perjalanan mereka sedikit tersendat karena hujan deras yang menyebabkan genangan-genangan air di mana-mana.
Saat tiba di kompleks hunian Kamala, suasana gelap gulita. Lampu masih mengalami pemadaman. Batin Dion semakin bergejolak. Kekhawatiran sudah meledak hingga ubun-ubun.
Dia membelokkan mobil ke arah kiri. Laju mobilnya perlahan sebelum berhenti di depan rumah dengan pintu yang terbuka lebar. Deras hujan sudah sedikit mereda, tetapi pakaian akan tetap basah bila nekat menerjang keluar.
“Payung, Sar.”
Sarah segera balik badan dan mengambil dua payung. Perempuan itu berkata cepat.
“Jalan sendiri-sendiri aja, Mas. Aku duluan. Khawatir Mbak Kama kenapa-kenapa.”
Sarah bergegas turun. Langkah kakinya sedikit berkecipak menghantam paving block yang tergenang air. Dia tiba di depan pintu rumah dan tertegun.
Suara Sarah serak. Tenggorokannya tercekat melihat pemandangan di ruang tamu.
“Mbak Kama,” panggilnya parau.
Dion menyusul seperempat menit kemudian. Pria itu melongok dari balik punggung Sarah yang masih membeku di ambang pintu.
“Ada apa, Sar? Kenapa nggak masuk? Gimana Kamala?”
Dan Dion melihat pemandangan serupa. Ekspresinya berubah kaku. Badan pria itu tegang.
“Sarah? Dion? Tunggu, jangan pergi! Ini nggak seperti yang kalian lihat!”
~~oOo~~
Kamala menjerit kencang-kencang seraya memejamkan mata rapat-rapat saat seseorang menepuk bahunya. Namun, bekapan disertai suara yang terdengar familier berhasil membuat Kamala kembali membuka mata.
“Ridwan?” tanyanya tidak percaya.
“Ya, ampun. Kam, elo ngagetin gue tau!”
“Kamu yang justru bikin aku kaget.” Kamala sewot berat.
Dia berdiri susah payah. Wanita itu menolak uluran tangan Ridwan yang hendak membntunya. Suara Kamala dingin saat menjawab pertanyaan mantan rekan kerjanya.
“Bukan mahram. Nggak boleh sentuhan.”
“Duh, segitu banget, sih? Kamu berubah sejak pakai hijab, Kam.”
Kamala mengabaikan komentar Ridwan. Dia sempat tolah-toleh melihat ke arah rumah tetangga. Hujan yang deras membuat suara jeritannya tidak terdengar siapa pun, atau memang para tetangganya terlalu individualis sampai tidak bersedia menengok apa yang terjadi.
Entahlah. Kamala tidak tahu. Yang jelas dia bersyukur karena tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi pada orang-orang.
Hujan masih turun. Badannya basah kuyup karena terjatuh. Namun, Kamala tetap memakai payungnya lagi. Tidak ada yang percuma. Dia tahu air hujan akan membuat pakaiannya mencetak tubuh dan Kamala tidak nyaman dengan hal itu.
Mereka berjalan cepat kembali ke rumah. Rencana membeli lilin dan senter sirna sudah. Kamala berhasil menemukan ponsel pintarnya berkat bantuan Ridwan. Bermodal tiga gawai, dua milik Ridwan dan satu miliknya, mereka akhirnya bisa beristirahat.
Kamala sudah berganti pakaian kering. Ridwan terpaksa meminjam kaus tunik lengan panjang Kamala yang untungnya berlebar sama, tetapi sedikit kurang panjang untuk tubuhnya yang jangkung. Pasalnya pakaian dan tas pakaian lelaki itu juga basah kuyup.
“Gue duduk di lantai aja, deh. Enak entar elo buat ngepel ketimbang keringin sofa.”
Kamala mengangguk. Dia bersyukur karena hal itu justru membuatnya berjarak dengan Ridwan. Sengaja Kamala membuka pintu lebar-lebar. Hendak menyuruh Ridwan duduk di teras juga tidak sopan. Alhasil Kamala harus puas dengan duduk di ruang tamu bersama seorang lelaki.
“Tadi gue manggil-manggil elo, tapi elo-nya nggak dengar.”
Kamala menelan ludah. “Hujannya deras banget.” Wanita itu memberi alasan.
“Iya juga, sih.” Dion menyeruput kopi panas yang dihidangkan Kamala. “Rumahmu bocor, tuh.”
“Biarin saja. Udah aku kasih ember.” Kamala mengangkat bahu.
Ridwan menatap wanita di hadapannya. Jujur saja dia merasa kehilangan wanita itu. Sejak Kamala memutuskan berhijab lalu keluar dari penerbitan, Ridwan merasa seperti ada jarak yang terbentang lebar di antara mereka.
Kamala juga lebih pendiam sekarang. Padahal Ridwan sudah mengira hubungan mereka lebih dekat, meski hanya sebatas pertemanan.
“Ada apa ke sini?”
Ridwan menghela napas panjang. Kamala dan sikap tanpa basa-basi yang terlihat tidak cocok.
“Kangen elo,” seloroh Ridwan.
“Nggak boleh. Kita bukan—”
“Mahram. Iya, tau.” Ridwan meneruskan perkataan temannya. Dia mengerucutkan bibir. Kalimat itu seolah menjadi kalimat ikonik baru dari Kamala.
“Gue disuruh Pak Bos ketemu sama elo.” Ridwan akhirnya berhenti berbasa-basi.
Dia sudah kedinginan. Tunik pinjaman Kamala okelah, masih kering. Tapi celana jinnya basah kuyup dan membuat tidak nyaman. Ditambah sikap menjaga jarak Kamala, lelaki itu ingin secepatnya hengkang dari sana.
“Novel Syaron laris manis. Ini sudah mau naik cetak lagi buat kedua kali.”
Kamala tertegun. Dia tidak mengira tulisannya bakal meledak.
“Produser juga sudah oke sama casting pemain. Sekarang lagi proyek pindahin novel ke skrip. By the way, hape elo nggak aktif. Makanya Bos nyuruh gue ke sini.”
Kamala memejamkan mata. Dia tidak tahu apakah hal ini berita bahagia atau buruk. Novel yang ditulis sebagai pelepas beban jiwa tidak disangka ternyata jadi best seller penerbitan.
Jika diangkat dalam produksi film, bisa jadi novel Syaron akan semakin meledak. Kamala sudah tahu rumah produksi itu. Kamala juga sudah mendengar track record produser beserta sutradaranya. Kamala juga tahu efek bola salju yang akan mengiringi kesuksesan novel Syaron.
Dan Kamala tidak siap.
“Kam?”
Wanita itu menatap Ridwan. Kondisi matanya yang masih membutuhkan perawatan medis membuat citra Ridwan mengabur. Kamala memijat-mijat kelopak mata.
“Kenapa diam? Elo nggak kelihatan seneng.”
Otak Kamala berputar mencari jawaban. “Aku syok,” jawab wanita itu singkat.
“Yah, elo aja yang editornya syok. Gimana penulisnya, ya?”
Kamala membeku. Dia lupa total jika Ridwan tidak tahu Kamala adalah Syaron.
“Elo bisa suruh Syaron ke kantor nggak?”
“Hah?” Kamala refleks melongo.
“Iya, ini tujuan gue ke sini sekalian tengokin elo. Bos kan, nggak ada akses ke Syaron. Cuma elo yang punya.”
Kamala mengerjap-ngerjapkan mata. Dia semakin kesal karena dirinya tidak bisa melihat Ridwan dengan jelas.
“Elo bisa ya, bujuk si Syaron buat keluar? Penerbit sama PH film pengen promosiin novel Syaron. Kalau penulisnya ada, audiens bakal lebih seneng.”
Wanita itu kebingungan. Mengiakan permintaan Ridwan dan penerbitan, dia bakal kelimpungan sendiri menunjukkan siapa Syaron. Sementara Kamala tidak ingin menampilkan dirinya sebagai seorang penulis.
“Aku nggak yakin Syaron mau,” jawab Kamala lirih. “Dia itu tertutup banget. Introvert. Sepertinya dia juga punya ketakutan buat tampil di depan umum.”
Ridwan mengernyitkan dahi. “Separah itu, ya?”
“Iya.” Kamala mengangguk tegas.
“Duh, gimana, dong? Gue udah harus kasih kabar ke bos. Kasihani gue-lah, Kam. Jauh-jauh dari Jakarta naik kereta, loh. Gara-gara hapemu nggak aktif terus.”
Kamala meringis dalam hati. Dia merasa bersalah pada Ridwan. Namun, dirinya juga tidak mau begitu saja memunculkan sosok Syaron.
Syaron adalah alter egonya. Jika sampai orang lain tahu siapa Syaron sebenarnya, Kamala tidak yakin pembaca akan mau menerima kenyataan itu dengan baik.
“Kamu kapan balik Jakarta?”
“Dua hari lagi. Mau sekalian staycation aku di sini,” jawab Ridwan.
Kamala tertawa kecil mendengar perkataan mantan rekan kerjanya. “Pikir besok saja kalau gitu. Sebaiknya kamu sekarang ke hotel, deh. Masuk angin entar kamu.”
“Oke.” Ridwan mengangguk. Dia juga sudah lelah. Dari stasiun tadi dia memang langsung ke tempat Kamala.
Wanita itu berdiri. Niat hati ingin mengantar kepergian Ridwan. Namun, di ambang pintu satu sosok berdiri menatapnya dengan mata terbelalak.
“Sarah,” gumam Kamala dengan perut terpelintir ngeri.
Bersambung --->>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top