2 Orang Pencemas Mati Hanyut

Menepis adalah hal pertama yang muncul di kepala Kamala. Jadi, itulah yang dilakukan wanita itu.

Matanya terbelalak. Jantung Kamala berdetak sangat kencang. Napasnya bahkan tanpa sadar memburu.

“Ti—tidak usah,” jawab Kamala gugup.
Dia berusaha berdiri. Kakinya sedikit gemetaran. Tangannya bahkan bergetar hebat sampai kesusahan menjaga barang-barang. Alhasil bawaannya kembali jatuh berserakan dan membuat kekacauan kecil yang membuatnya kembali jadi pusat perhatian.

Wajah Kamala pucat pasi alih-alih merah padam. Matanya berkaca-kaca. Berusaha keras dia menenangkan diri. Gerakan wanita itu sangat cepat memunguti barang-barangnya yang terjatuh.

Lalu dia bersenggolan dengan pria yang menolongnya.

Kamala mendongak. Pandangan mereka bertemu. Wajah good looking pria di hadapannya ternyata tak mampu menenangkan debaran jantung yang berontak kencang.

“Sial.” Kamala mendesis keras.

Dia buru-buru merampas buku agenda miliknya dari tangan si pria. Kemudian, Kamala lari terbirit-birit menjauhi tempat itu. Matanya bergerak liar mencari keberadaan toilet dan berhasil menemukannya dalam hitungan detik kedelapan.

Secepat kilat Kamala memasuki satu bilik yang kosong. Dia mengunci pintu dalam suara keras dan mulai mengatur napas.

Gagal.

Gemetar di tubuhnya masih belum berhenti. Air mata kini membanjir deras mengaliri pipi. Kamala susah payah menahan suara isaknya agar tak meluncur keluar dari kerongkongan. Dia duduk di toilet tertutup dan mengangkat lutut lalu menyembunyikan kepalanya di antara lutut.

“Tuhan. Astaga.” Suara Kamala sangat lirih.

Jantungnya masih berdebar. Bukan karena terpesona dengan pria good looking yang telah menyenggolnya tadi. Imajinasi Kamala tidak seliar itu hingga menghalukan adegan drama terjadi dalam hidupnya.

Persoalannya jauh lebih rumit dibanding yang terlihat di permukaan. Kamala masih berusaha mengatur pernapasannya. Saat berhasil menenangkan diri, dia masih harus mendapati kenyataan jika keringat dingin tidak berhenti membanjiri telapak tangannya.

“Tolong, Kamala. Tenanglah!” Wanita itu menghardik dirinya sendiri.

Dia menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan, kemudian menariknya kembali. Kamala melakukan beberapa kali sampai ketegangannya menghilang dan dia bisa kembali tenang.

Perlahan dia menghapus jejak keringat dengan tisu. Kamala tidak peduli riasan tipisnya akan berantakan. Baginya ketenangan jiwa jauh lebih penting dibanding sekadar penampilan sempurna.

“Oke, Kamala. Kamu mampu jalani ini. Nggak ada yang bakal sakitin kamu. Kamu bakal baik-baik saja.”

Sekali lagi Kamala mengembuskan napas keras. Dia bangkit perlahan lantas berjalan keluar dari bilik toilet. Langkah wanita itu tidak langsung pergi dari kamar mandi. Dia masih berhenti sejenak di wastafel dan memandangi pantulan dirinya di cermin.

“Kenapa kamu masih juga panik?” Kamala menanyai dirinya sendiri lewat cermin.

“Semua baik-baik aja. Nggak ada yang salah dengan dunia luar. Kamala, ayolah. Everything will be okay.”

Wanita itu mengembuskan napas kuat-kuat. Entah sudah berapa kali dia berolahraga hidung. Mungkin setelah keluar dari toilet cuping hidungnya akan melebar beberapa milimeter.

Kamala tak peduli.

Yang dia pedulikan hanya serangan panik yang datang tiba-tiba. Dia sudah berusaha menjaga jarak dengan semua orang. Dia sudah berusaha tidak menarik perhatian.

Namun, kehadiran pasangan suami istri yang terlihat mesra dan hangat tadi telah mendistraksinya. Juga naskah dari novel penulis Medan yang membuatnya terbuai.

Kedatangannya ke Sumatra Utara sepertinya malah jadi blunder. Niat hati ingin menghindari keriuhan sejenak di Jakarta, serangan panik Kamala justru kambuh di saat yang tak tepat.

Wanita itu masih ingin bersembunyi di toilet bandara saat ponsel pintarnya menjerit-jerit kencang. Alis Kamala berkerut membaca nomor asing yang berkedip-kedip di layar enam inci.

“Siapa, sih?”

Wanita itu ragu untuk mengangkat. Namun, lengkingan keras suara ponsel benar-benar memekakkan telinga. Cepat-cepat Kamala menggeser tombol terima telepon dan menyapa dingin.

“Halo?”

“Dengan Ibu Kamala Kaneishia?”

Satu suara maskulin menyapanya dari seberang. Kamala mengernyitkan dahi.

“Ya. Saya.”

“Kami dari maskapai GA. Anda sudah ditunggu untuk flight sekarang juga, Bu.”

Kamala terbelalak. Spontan dia melirik arloji dan menepuk dahi.

Dia sudah terlambat hampir sepuluh menit dari jadwal penerbangan. Pantas saja jika dirinya sampai ditelepon pihak maskapai.

“Ya. Ya. Saya segera ke sana.”

Kamala mematikan ponsel dan segera menyeret koper. Langkahnya setengah berlari menyusuri bandara menuju ke arah garbarata.

Dua sosok awak bandara berseragam hijau toska menyambut kedatangan Kamala. Wajah mereka masih tetap tersenyum ramah. Namun, sorot di mata mereka tidak bisa menyembunyikan suasana hati yang khawatir karena penerbangan harus tertunda.

Seolah belum cukup membuat resah, Kamala masih harus menerima serangan kepanikan kedua.

Pasalnya begitu dia menjejakkan kaki di kabin pesawat, pandangan seluruh penumpang tertuju lurus padanya. Mereka berbeda dengan awak pesawat yang masih memiliki stok kesabaran dan keramahan.

Saat berjalan menyusuri lorong di antara kursi, Kamala bahkan merasakan sangat jelas tatapan tajam menusuk menembus punggung dan dadanya. Wanita itu terus menundukkan kepala. Tak berani menatap ke depan sama sekali. Wajahnya sudah semerah kepiting rebus karena menahan malu.

Sempat pula telinga Kamala mendengar suara umpatan kesal berbahasa tradisional yang tak dimengerti wanita itu. Kamala hampir saja menangis karena rasa malu luar biasa.

Gara-gara dia yang harus menenangkan diri dari serangan panik, seluruh pesawat jadi kena imbas. Andai bisa tenggelam ke perut bumi, Kamala pasti sudah lakukan sejak tadi.

“Ini buatmu.”

Kamala menoleh. Wajahnya yang memerah dengan mata sembab pasca menangis di toilet menjadi visual tak mengenakkan sekarang.

“A—aku punya tisu sendiri.” Kamala menolak secara halus. Dia cepat-cepat menundukkan kepala lagi.

“Mau tukar tempat duduk?”

Kamala menoleh kembali. Posisinya memang tidak strategis. Setidaknya untuk saat ini.

Dia berada di tengah. Di samping kirinya seorang wanita gemuk yang terus melirik tajam karena Kamala datang terlambat. Di samping kanannya seorang pria baik hati dengan penampilan rapi dan bau harum semerbak.

“Kalau sudah tenang, boleh oper duduk lagi.” Pria itu menawarkan.

Kamala hendak menjawab. Namun, suara pilot yang mengumumkan keberangkatan pesawat sudah terdengar.

Wanita itu terpaksa menelan rasa cemasnya atas pandangan penumpang satu pesawat. Dia memasang sabuk pengaman dan memejamkan mata. Berusaha membutakan perasaan yang masih saja tidak nyaman.

Dan Kamala keterusan.

Dia masih memejamkan mata bahkan setelah pesawat terbang cukup lama. Kamala sengaja pura-pura tidur dan mengabaikan sodokan penuh kejengkelan dari penumpang wanita di sebelahnya.

Sampai suara berat dan dalam berbisik lembut ke telinga Kamala.

“Aku tahu, kamu pura-pura tidur.”

Kamala bergerak gelisah. Kelopak matanya pun turut bergerak-gerak.

“Buka mata saja. Aku nggak bakal gigit, kok.”

Kamala masih keras kepala. Namun, dia hanya bertahan selama lima menit saja sebelum akhirnya menyerah. Wanita itu membuka mata dan menatap pria di sampingnya.

“Sudah tenang?”

Kamala merasa takjub. Sepertinya pria itu mampu membaca pikirannya.

“Namaku Dion. Kamu?”

Kamala sengaja mengabaikan uluran tangan pria itu. Dia hanya menjawab pendek.

“Kamala,” ucapnya dengan nada datar.

Dion tersenyum tipis. Dia menarik kembali uluran tangannya. Pria itu terlihat mengutak-atik ponsel.

“Kamu muslim?” tanya Dion lagi.

Kamala mengernyitkan dahi. “Maaf?”

Dia tidak suka dengan pertanyaan itu. Agama adalah hal yang sangat privasi baginya. Dan Dion sepertinya menyadari hal itu.

“Jika kamu muslim, aku ingin berbagi suara ini denganmu.”

Kamala menatap sebelah airpods yang diberikan Dion. Lagi-lagi kening wanita itu berkerut.

“Suaranya sangat menenangkan,” imbuh Dion lagi.

“Musik apa memangnya?” Rasa penasaran Kamala akhirnya terpantik.

Dia mengambil sebelah alat penyuara telinga nirkabel keluaran pabrikan asal Amerika. Kamala sepertinya butuh pengalih perhatian karena penumpang wanita di sebelahnya tidak henti terus menyodoknya dengan sengaja.

Derita naik kelas ekonomi.

Kamala bergumam dalam hati. Dia memasang airpods dan mulai mendengarkan alunan dari ponsel pintar Dion.

Kamala tertegun. Refleks dia menatap pria di sebelahnya.

“Namanya murottal. Suaranya serupa gelombang alfa yang mampu menenangkan saraf. Aku selalu mendengarkan tiap kali merasa gelisah.”

Kamala termangu. Dia mulai mendengarkan lebih saksama. Suara seorang pria melagukan satu ayat Al-Qur’an mulai menyapa gendang telinganya.

“Hanan Attaki,” ujar Dion lagi. “Kamu kenal dia?”

“Pendakwah muda populer itu?” Kamala akhirnya berkata cukup panjang. “Aku nggak kenal, tapi tahu namanya.”

Dion menganggukkan kepala. “Bagus. Dengerin aja sampai kamu merasa baikan.”

“Baikan? Kamu ini ngomong apa, sih?” Kamala bertanya tidak mengerti.

“Bukankah kamu cemas?” Dion balik bertanya.

Kamala terperanjat kaget. Dion kembali meneruskan perkataannya.

“Kamu tahu nggak peribahasa orang penggamang mati jatuh, orang pencemas mati hanyut?”

Sebagai seorang editor, Kamala tentu saja tahu peribahasa itu. Namun, dia cukup sopan dengan tidak bersikap sok tahu. Kamala hanya mengangguk singkat.

“Kalau kamu terlalu cemas dengan pikiran orang lain, kamu bisa hancur sendiri. Jangan terlalu dengarkan apa yang ada di kepalamu, Nona. Trik itu cukup ampuh membuatmu tetap tenang.”

Kamala tertegun. Sepasang matanya melekat pada Dion.

“Kamu cenayang, ya?” tuduh Kamala langsung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top