19 Kegelisahan Dua Hati

Kamala termenung seorang diri di kontrakannya yang nyaman. Matanya memang memandangi taman kecil di luar rumah yang tengah diguyur hujan deras. Namun, benak Kamala malah berlarian ke sana ke mari.

Wanita itu mengingat pertanyaan Sarah. Menikah untuk cinta atau iman adalah pilihan yang sulit. Kamala bahkan tidak yakin dirinya pantas untuk mendapatkan seorang calon imam yang baik.

“Padahal aku ingin mendapat suami yang salih.” Kamala mengembuskan napas panjang. “Tapi cewek banyak dosa macam aku masak bisa dapat suami macam Dion yang perfect kayak gitu?”

Terlepas dari variabel bernama cinta, sebagai wanita normal Kamala menyukai sosok Dion. Di matanya, dan Kamala yakin juga di mata banyak kaum sejenis dengannya, Dion adalah tangkapan yang bagus.

Tampan, punya profesi mapan, memiliki keluarga yang hangat dan menyenangkan, dan terpenting adalah pengetahuan agama pria itu yang mumpuni. Siapa wanita yang tidak akan tergoda diperistri olehnya?

Kecuali Kamala sepertinya. Bahkan wanita itu merasa dirinya sendiri juga sangat bodoh karena telah menolak lelaki sesempurna Dion yang jelas-jelas melamarnya.

“Kamu bego apa gimana sih, Kam?” Dia merutuki dirinya sendiri. “Kesempatan buat kamu jadi lebih baik itu. Dion bisa jadi imam kamu. Kenapa kamu masih juga nolak dia?”

Kamala menghela napas. Dia menempelkan dahi ke jendela rumah. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Isya sudah dia laksanakan.

Seharusnya sekarang Kamala tidur. Namun, dia terdistraksi dengan pasangan kakak-beradik yang datang kemarin sore. Perkataan Sarah juga terus terngiang-ngiang di dalam kepalanya.

“Cinta atau Allah?” Kamala mengulang pertanyaan Sarah.

“Tapi aku pernah baca kalau jodoh seseorang itu pasti mengikuti kualitas dirinya. Pengen punya suami Ali, ya, harus bisa jadi Fatimah az-Zahra dulu. Tapi ....”

Kamalam menelan ludah. Kegelisahannya kembali muncul.

“Masak iya aku pantas bersanding sama Dion? Pantesnya dia tuh, sama ukhti-ukhti salihah yang jilbabnya gede itu. Bukan sama aku yang salat saja masih amburadul.”

Kamala mengembuskan napas kuat-kuat. Dia memejamkan mata teringat salah satu kisah yang dibacanya dari novel editannya.

Pernikahan tidak hanya bermodalkan cinta semata. Cinta hanya akan bertahan selama satu sampai dua tahun. Setelah itu, butuh komitmen luar biasa besar untuk menjaga pernikahan sampai kelak maut memisahkan.

“Kenapa Dion bersikeras melamar aku? Padahal aku sudah terang-terangan menolak dia. Ya, Allah. Apa yang salah sama otak Dion, sih?”

Kamala menghela napas berat. Dia mengucek-ucek mata. Penglihatannya kembali mengabur. Seharian ini malah dia sampai harus berkali-kali memejamkan mata karena citra yang tertangkap matanya mendadak jadi pecah.

"Untung sudah resign. Kalau masih kerja, bisa stres parah aku sekarang.”

Kamala beranjak pergi dari jendela rumah. Tangannya memeluk leher, merasakan hawa panas yang tidak biasa.

Di luar hujan masih turun dengan deras. Beruntungnya Kamala tinggal di daerah yang sudah ditinggikan. Jika hujan sederas ini, wilayah Suhat yang berada tepat di depan kompleks tempatnya mengontrak pasti sudah banjir.

Malang semakin tahun bukan semakin menyenangkan. Kota tempatnya dibesarkan ini mulai menyerupai wilayah urban yang lain. Padat dan semrawut dengan segala permasalahan khas perkotaan yang mengiringi.

Langkah Kamala tertuju ke arah dapur tempat dia menyimpan kotak obat-obatan. Sejak Dion dan Sarah pulang kemarin malam, Kamala merasakan suhu tubuhnya meningkat. Mungkin dia demam mengingat daya tahan tubuh Kamala memang menurun.

“Aduh, kenapa dapur pakai bocor segala?” Kamala mengeluh saat merasakan tetes air hujan mengenai kepalanya.

Dia mendongak. Tepat bersamaan dengan itu, lampu rumah mendadak padam. Kamala langsung berseru histeris.

“Astaghfirullah. Ya Allah, kenapa pakai mati lampu segala, sih?”

Jantung Kamala berdebar kencang. Hujan deras, atap rumah bocor, dan sekarang mati lampu. Lengkap sudah penderitaannya.

“Mana nggak ada lilin pula. Ke mana tadi aku naruh ponsel? Ya Allah, kenapa ngasih mati lampunya sekarang, sih? Kenapa nggak besok siang saja?”

Kamala meraba-raba dinding. Dia berhasil menemukan tas selempangnya yang diletakkan di atas sofa, tetapi gagal menemukan ponsel.

Dalam hati Kamala menyesali persiapannya yang tidak matang. Rumah sebesar ini, tetapi dirinya tidak menyediakan lilin dan senter. Kamala begitu sombong dengan menganggap tidak akan terjadi apa pun di rumah sebaik ini.

Kini Allah menegurnya secara langsung. Tidak tanggung-tanggung. Tiga keadaan buruk terjadi sekaligus membuat Kamala mulai merasakan ketakutan.

Dia mengambil dompet dari dalam tas selempang. Kamala pergi keluar dan langsung disambut hujan yang semakin deras.

Langit seolah menumpahkan seluruh persediaan airnya ke bumi. Tidak ada bulan sepotong pun. Bintang juga pelit menampakkan diri. Sekeliling Kamala gelap gulita sebab mati lampu.

“Duh, mana warungnya jauh pula. Ada juga minimarket, tapi harus nyeberang jalan. Pasti banjir banget sekarang.”

Kamala mengambil payung. Bisa saja sebenarnya dia meminta sebatang lilin ke tetangga. Itu jauh lebih efektif dibanding menerjang hujan dan banjir.

Namun, Kamala belum pernah bersosialisasi dengan siapa pun sejak dia tinggal di kontrakan ini. Hatinya malu sekaligus enggan mengetuk pintu tetangga demi meminjam sebatang lilin.

Langkah Kamala pelan. Penglihatannya yang menurun drastis membuat wanita itu harus ekstra hati-hati berjalan.

Namun, baru sepuluh langkah Kamala berhenti. Badannya membeku. Punggungnya serasa dialiri hawa dingin yang berbeda dengan hujan di sekitarnya.

“Ah, pasti perasaanku saja.” Kamala menyemangati diri sendiri.

Kamala meneruskan perjalanan. Ekor matanya tidak henti melirik ke belakang. Sensasi tengah diikuti terus muncul menusuk-nusuk hatinya.

“Masak beneran ada yang ngikutin aku, sih? Ini penjahat atau tetangga mau pulang ke rumah?”

Hati Kamala resah. Dia berjalan lebih cepat. Tidak ada suara langkah kaki mengikuti sebab kalah oleh derasnya suara hujan. Namun, insting Kamala meneriakkan peringatan.

Bak makan buah simalakama. Jika terus berjalan, dia masih dibuntuti. Jika berhenti, mungkin saja orang itu adalah penjahat yang akan mencelakainya. Sementara rumah-rumah di sekitarnya tertutup rapat seolah tidak berpenghuni.

Kamala akhirnya nekat. Dia tidak ingin menanggung risiko. Wanita itu mempercepat langkah dengan kondisi penglihatan yang tidak bagus.

Akibatnya Kamala lengah. Hujan deras membuat genangan air menutupi lubang-lubang di jalan. Dia terantuk satu genangan dan jatuh terjerembab.

Jantung Kamala nyaris berhenti berdetak. Udara serasa dipompa keluar dari paru-parunya saat dia terjatuh. Payungnya terlepas dan air hujan seketika membasahi tubuh.

Jeritan Kamala membahana kencang kala merasakan sentuhan di bahunya. Wanita itu memekik kuat-kuat.

“TOLONG! JANGAN SAKITI SAYA!”

~~oOo~~

Prang!

“Innalillah. Astaghfirullah.” Dion langsung berseru spontan saat cangkir kopi yang dipegangnya tergelincir dan jatuh menghantam lantai.

Suara beling pecah diikuti cipratan cairan hitam panas membuat Dion refleks melangkah mundur. Matanya nanar memandangi kopi yang berantakan di lantai.

“Ya Allah. Mas Dion, kenapa ini?”

Sarah buru-buru mengambil pel. Dion turut membantu adiknya dengan membersihkan pecahan beling. Wajah pria itu murung.

“Hati-hati, Mas. Jangan ngelamun kalau jalan, tuh.” Sarah mengomel. “Untung ini Papa sama Mama lagi nggak ada di rumah. Bisa habis diinterogasi sama mereka entar Mas Dion, nih.”

Pria itu tidak bertanya dari mana adiknya tahu soal dirinya yang tengah melamun. Hampir tidak ada yang bisa disembunyikan dari Sarah.

“Nah, sudah beres.” Perempuan itu menatap hasil pekerjaannya dengan rasa puas.

Dion juga telah membuang pecahan beling ke keranjang sampah setelah sebelumnya membungkus dengan gumpalan koran dan memasukkannya ke kresek kecil. Dia menatap hujan deras yang masih belum juga reda sejak beberapa jam lalu.

“Kamala,” gumam Dion pelan. “Apa kamu baik-baik saja? Kenapa aku mikirin kamu terus?”

“Mungkin setan sedang menjahili Mas Dion.”

Pria itu menoleh. Adiknya sudah berdiri di sampingnya. Mereka berdua sama-sama memandangi hujan yang turun deras dari jendela dapur.

“Telepon Mbak Kama, gih. Hujan kayak gini pasti dia ketakutan.”

Dion menggeleng. Dia berkata asal. “Belum jadi istri. Bukan mahram. Dosa sok perhatian ke dia.”

“Yeee ..., ini Mas juga dosa loh, karena mikirin Mbak Kama terus.” Sarah manyun.

Namun, perempuan itu tidak marah. Dia mengambil ponselnya sendiri dan menelepon rumah kontrakan Kamala.

“Dapat nomor dari siapa?” Dion penasaran.

“Kemarin aku sengaja calling nomor hape aku pakai telepon rumah Mbak Kama. Kalau aku minta mana dikasihlah sama dia.”

Sarah menunggu panggilannya diangkat. Namun, tidak ada balasan. Dia mengulangi dua kali lagi. Hasilnya sama saja.

“Gimana?” tanya Dion.

“Nggak diangkat, Mas. Kok, aku ikutan cemas, yo? Mbak Kama baik-baik saja, kan?”

Bersambung --->>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top