15 Kenyataan yang Menyakitkan

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” 

(QS Al Baqarah: 216)

~~oOo~~

Penampilan baru Kamala langsung menimbulkan kehebohan massal. Dimulai dari resepsionis, kemudian lorong menuju ke ruangannya, dan terakhir adalah panggung utama yang terletak persis di kubikel tempatnya bekerja.

"Ini serius elo, Kam?"

"Waduh, kesambet malaikat kamu, Mala?"

"Ya, ampun. Gue nggak nyangka, elo bisa tobat juga. Kiamat udah dekat, ya?"

Dan berbagai komentar serupa mampir ke telinga Kamala. Ajaibnya kali ini Kamala mampu menulikan telinga. Wanita itu hanya membalas dengan senyum tipis dan segera menenggelamkan diri pada pekerjaan.

Kali ini Kamala berhasil menyelesaikan naskah Syaron dengan gemilang. Dia menunjukkan hasilnya pada sang bos besar. Pujian beruntun mengalir padanya, yang sayangnya dilakukan di saat yang tak tepat. 

Pria paruh baya itu menempatkan Kamala dalam posisi sulit saat memujinya di hadapan setengah lusin pegawai. Tatapan kebencian dengan segera tertuju pada wanita itu. Ditambah dengan luncuran informasi tentang novel Syaron yang akan segera diangkat ke layar kaca.

“Dasar penjilat.”

“Sok suci. Apa gunanya jilbab kalau cuma dipakai kedok doang?”

“Udah sombong, sok alim lagi sekarang. Kayak nggak ada puasnya jadi orang. Dasar serakah.”

Dalam sekejap pujian atas penampilan baru Kamala berubah jadi hujatan dan cibiran. Begitu bos besar melenggang pergi dari kubikel Kamala, wanita itu langsung jadi samsak perundungan.

Di biliknya Kamala menundukkan kepala dalam-dalam. Tinjunya terkepal di pangkuan. Mati-matian dia berusaha menahan diri agar tidak meledak. 

Dia masih belum terbiasa melawan orang-orang. Itulah alasan utama mengapa dia jadi sangat mudah dirisak. Namun, memendam seluruh sakit hati juga berakibat buruk pada mentalnya.

Kecemasan Kamala meningkat. Serangan panik itu datang lagi. Bibirnya gemetar. Kamala memejamkan mata, berusaha mengatur napas, dan kembali menemukan jika kecemasannya tak kunjung berkurang.

Dia menunggu hingga jam makan siang. Saat semua orang di kantor turun untuk beristirahat, wanita itu segera keluar melalui tangga darurat alih-alih menumpang lift. Kamala pergi dari kantor melalui pintu belakang dan berjalan tak tentu arah.

"Kenapa mereka semua resek banget sama aku, sih?" Kamala menggerutu. "Kerjaan mereka kurang banyak apa? Sampai masih sempat aja ngurusin hidup aku?"

Embusan napas Kamala sangat berat. Ujung kakinya menendang-nendang kerikil yang berhasil ditemukan. Setelah kemarin mendung seharian, hari ini cuaca berubah terik membakar kepala.

Tiba di depan satu butik dengan dinding kaca lebar yang memamerkan maneken berbusana elegan serba putih, Kamala menghentikan langkah. Dia menatap pantulan dirinya di cermin.

Penampilannya sama elegannya dengan patung manusia di etalase. Selera berbusana wanita itu memang patut diacungi jempol. Tingkat kenarsisan Kamala meningkat drastis kala menyadari dia terlihat berkali-kali lipat lebih cantik saat mengenakan hijab.

"Oke, Kamala. Jangan sombong. Allah nggak suka sama manusia yang sombong." Kamala memperingatkan diri sendiri.

Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Ada selapis kehangatan membungkus hati Kamala saat meraba kepalanya yang berbungkus kerudung halus. Segala perisakan yang dialaminya di kantor, jadi terasa tidak ada apa-apanya dibanding kebahagiaan karena berhasil mengenakan hijab.

"Nggak sia-sia aku borong banyak kerudung kemarin. Cakep juga aku kalau pakai kayak gini."

Kamala meneruskan langkah. Pengguna jalan yang memadati trotoar siang itu cukup banyak. Udara terasa kotor oleh polusi, tetapi aroma makanan dan parfum yang samar-samar terbawa angin sedikit menenangkan indra penciuman.

Dia tidak ada rencana hendak makan siang di restoran atau kafe mana. Namun, saat melewati satu tempat yang sudah familier dengan menu berbasis Western, langkah Kamala kembali terhenti. Keningnya berkerut melihat penampakan dua orang yang dia kenal dengan baik.

"Nando sama Amara?"

Kerut di dahi Kamala semakin bertambah banyak saat menyadari ketegangan di wajah dua orang itu. Niat hati Kamala ingin segera beranjak dari depan restoran. Namun, tidak sengaja pandangannya berserobok dengan Amara yang kebetulan melihat keluar.

Kamala langsung mendesis keras. Sementara bola mata Amara membulat besar demi melihat penampilan terbaru wanita itu.

"Kamala!"

Teriakan yang terdengar sampai keluar membuat kepala beberapa pengunjung restoran menoleh. Kamala meringis malu. Terpaksa dia berjalan menghampiri pasangan yang tengah duduk tepat di kursi outdoor.

"Kalian sedang makan siang?" Kamala berbasa-basi.

Wanita itu tidak mendapat respons yang diharapkan. Baik Nando juga Amara masih terlihat memasang ekspresi tegang. Raut muka mereka juga terlihat keruh.

"Sepertinya aku mengganggu kalian. Oke, aku pergi dulu. Semoga hari kalian menyenangkan." Kamala berbalik.

"Hariku nggak pernah menyenangkan lagi, Kamala."

Wanita itu mematung. Kakinya spontan berhenti melangkah. Benak Kamala dipenuhi tanda tanya besar dengan maksud perkataan Amara.

"Sejak Nando ketemu sama kamu lagi, dia terus banding-bandingin aku sama kamu."

Kamala menoleh perlahan. Ekor matanya sempat menangkap tatapan penasaran dari orang-orang yang berada di sekitar mereka.

"Kok, bisa gitu?" Kamala menelan ludah.

"Karena Nando masih cinta sama kamu," desis Amara.

"Amara!" Suara keras Nando yang memperingatkan sudah terlambat. 

Amara melempar lirikan tajam pada pacarnya. Lalu pandangannya beralih ke arah Kamala. Sorot penuh kebencian tidak ditutup-tutupi oleh Amara.

Sementara yang ditatap hanya bergeming. Kamala mengolah jawaban di dalam kepalanya. Pandangannya berganti-ganti dari Amara, ke Nando, kemudian ke Amara lagi. 

"Itu urusan kalian berdua," komentar Kamala dingin. "Aku sudah nggak ada urusan lagi sama Nando."

Kamala berbalik. Dia sudah mulai beringsut pergi saat suara cempreng Amara kembali terdengar.

"Aku benci sama kalian berdua. Kenapa munafik banget jadi orang?"

Kamala menoleh. "Maaf? Munafik? Aku nggak merasa punya sikap itu."

"Dasar pembohong," desis Amara dengan kemarahan meluap. "Kalian pikir bisa bohongi aku? Aku tahu kalau kalian masih saling cinta. Aku cuma jadi alibi buat backstreet kalian, kan?"

"Amara, tolong. Jaga ucapanmu." Kamala mengernyitkan dahi. Dia merasakan tatapan tajam menusuk punggungnya. Orang-orang di restoran mulai penasaran dengan keributan di ruangan outdoor.

"Kamu yang harus jaga sikapmu. Jangan kegatelan jadi cewek, deh."

Kemarahan Kamala terpantik. Namun, emosi yang sudah menggelegak hingga ubun-ubun tak lantas membuatnya melampiaskan kekesalan pada Amara.

"Aku nggak munafik. Aku nggak gatelan. Dan aku nggak pacaran sama pacarmu."

"Halah! Nando tuh, sering banget ngomongin kamu. Aku tunangannya, tapi yang punya hati Nando justru kamu."

"Sudah kubilang, itu bukan urusan aku." Ganti Kamala yang mendesis.

"Malu sama jilbabmu, Kam." Amara mencibir. "Pasti itu kepala kamu tutupi buat kedokmu doang, kan? Kamu itu busuk hati."

"Sekali lagi kamu bicara lancang seperti itu, aku bakal--"

"Bakal apa?" bentak Amara. "Aku yang bakal balas dendam ke kamu kalau hubunganku sama Nando sampai kandas."

Kamala tertegun. Dia menoleh ke arah lelaki yang jadi topik pertengkaran mereka. Dilihatnya Nando hanya menundukkan kepala. Sama sekali tak ada itikad lelaki itu akan melerai pertikaian Amara dan dirinya.

"Kamu masih juga pengecut, Ndo." Kamala menggeleng-gelengkan kepala.

Bukan Nando yang protes, melainkan Amara. Perempuan itu tidak terima mendengar tunangannya diolok-olok oleh Kamala.

"Heh, jaga mulut kamu! Yang pengecut itu kamu! Pasti kamu yang minta Nando buat backstreet, kan?"

"Ini orang perlu dikasih tahu berapa kali lagi, sih? Aku itu nggak pacaran sama Nando." Kesabaran Kamala mulai menipis.

Amara berteriak keras. Telunjuknya teracung lurus ke arah Kamala. Perempuan yang sedang dibakar api cemburu itu mulai kehilangan akal sehat. Mulutnya dengan cepat mengeluarkan racauan beruntun.

"Kayaknya ngerusak naskahmu aja nggak cukup. Laptopmu perlu juga dihancurkan. Biar kamu tahu rasa dan nggak deketin laki orang lagi."

"Amara!" Nando berteriak.

Terlambat!

Amara yang mulai menyadari kecerobohannya terperangah. Mata perempuan itu terbelalak ketakutan. Kontras dengan Kamala yang mengerutkan alis dan menyipitkan mata penuh kecurigaan.

"Ngerusak naskah katamu?" Kamala menelengkan kepala.

Amara melirik Nando. Lelaki itu menggelengkan kepala. Sorot Nando memperingatkan tunangannya agar tidak banyak bicara.

Namun, Amara tak mau patuh. Dia sudah terlanjur kecewa berat. Pertengkarannya dengan Nando siang ini dimulai dari kecemburuannya karena sang tunangan kembali membicarakan penyesalannya berpisah dengan Kamala.

Sudah kepalang basah. Amara memutuskan untuk menyeret Nando ke dalam kubangan masalahnya sekalian. Jika dia tak bisa mendapatkan Nando, lelaki itu juga tak akan pernah bisa mendapatkan mantan pacarnya kembali.

"Aku yang hapus draf novelmu. Ada banyak yang kuhapus. Kurasa itu cukup buat kamu terkena masalah."

Kamala ternganga. Ingatan tentang kepanikannya karena kehilangan draf penting di detik-detik presentasi kembali membayang di dalam kepala. Lalu semuanya menjadi jelas bagi Kamala.

Hari di mana dia kehilangan draf naskah penting itu adalah hari di mana Amara juga tengah berkunjung ke kantornya. Tinju kecil Kamala terkepal di samping tubuh. Bahunya gemetaran menahan luapan emosi dan rasa sakit hati.

“Jadi, kamu pelakunya?” Kamala bertanya memastikan.

“Ya. Aku yang sabotase pekerjaanmu,” jawab Amara lugas.

“Dan semua itu kamu lakukan karena cemburu padaku?” Kamala bertanya dengan nada tidak percaya.

Dagu Amara terangkat tinggi. Pandangannya penuh kebencian pada wanita di hadapannya.

“Jangan pernah dekati tunanganku lagi, Kamala.” Amara mengancam.

“Tidak akan,” balas Kamala tegas.

Wanita itu menatap Nando. Kekecewaan tergambar jelas di sepasang mata gelap Kamala. Ada denyut kesakitan di hati saat menyadari Nando masih terdiam tanpa melakukan pembelaan apa pun.

“Kamu tahu, Ndo?” Kamala berkata dengan nada getir. “Aku menyesal, semenyesal-menyesalnya sudah kenal sama kamu. Kuharap aku bisa mengulang waktu dan menghapus dirimu dari hidupku.”

“Kam ….” Nando terkejut.

“Berhenti panggil namaku. Mulai detik ini aku nggak bakal ingat-ingat kamu lagi. Kita orang asing. Ingat itu, Nando.”

Bersambung --->>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top