-7-
Posisi dilematis.
Jaemin membatu dengan dua preferensi berat yang bercokol di benaknya. Belum lagi pandangan seakan-akan menghakimi seluruhnya berpusat pada Jaemin. Kesalahan masa lalunya memang berakibat pada banyak hal, termasuk jeratan agensi yang mulai memanfaatkannya kini.
Ia mengingat Tuan Han yang mengangkat sudut bibirnya menggelikan. Inilah kartu AS yang mereka pegang tengah diluncurkan untuk menyudutkan Jaemin pada dunia infiniti yang tak pernah habis. Sehingga terlalu sulit baginya memilih jalan keluar yang melegakan diri.
Kematian Jikyung saat adiknya itu sudah terikat kontrak membuat ibu Jaemin hampir jatuh pingsan. Orang-orang utusan agensi tersebut seperti tak memiliki belas kasih pada ia dan ibunya. Datang menghampiri ke rumah duka bukan untuk berbela sungkawa, tetapi menagih penalty kontrak yang belum terselesaikan dengan nilai cost mustahil.
Jaemin kala itu masihlah seorang mahasiswa yang menjalani kuliah di luar negeri bersama Renjun. Belum mempunyai apa pun yang cukup berharga membayar penalty yang ditagih orang-orang agensi. Selain itu, ibunya sudah mati-matian membiayai ia dan adiknya, Jaemin tak ingin ibunya kerepotan lagi.
Hanya berbekal ilmu composition yang sedang ia ambil sebagai jurusannya di Juilliard, Jaemin menjanjikan kemampuan komposeringnya untuk agensi tersebut.
Keputusan pertamanya waktu itu sudah membuat Jaemin dalam genggaman. Hanya tinggal menjebaknya semakin erat agar ia sepenuhnya terikat. Akan tetapi, Neo City Ent menjadikan Jaemin di bawah kekuasaan agensi dengan kata lain sebagai artis tanpa harus dibayar.
"Baiklah, kuberi penawaran. Karena Jaemin memang bukan bagian dari agensi, di antara Anda yang ingin kembali meneruskan aransemenmu kepada kami dengan penambahan waktu atau ...
mengambil posisi salah satu di antara mereka yang gugur?"
"Ck! Kedua pilihan itu sama saja." Jaemin memijat pelipis kanannya, pusing dan bimbang menggelayutinya seperti parasit. Punggung badannya semakin menyender pada kursi, matanya terpejam erat demi menghapuskan bayang-bayang wajah yang menatapnya jengkel.
Pilihan yang sama dengan jangka yang berbeda, Jaemin sadar itu tentunya. Tetap pada pilihan mengomposisi lagu terhadap agensi itu untuk dua tahun setengah lagi hanya membuang waktunya percuma. Tidak semua lagunya benar-benar bisa diterima dan melejit hingga harga fantastis. Namun, jika ia memilih menjadi salah satu anggota boygroup maka ....
"Aku akan berhadapan dengan enam orang yang mungkin saling menjatuhkan dan
melepaskan Renjun dari pengawasan ...."
______________
Renjun berjalan dengan sedikit melompat kecil-berusaha menginjak bayangannya yang belum benar-benar tampak. Sesekali melangkah biasa, berusaha terlihat normal ketika orang lain melewatinya. Bias matahari membantunya pagi ini, cukup cerah, tidak terlalu terik atau redup yang membawa sumringah kecil di sudut bibir Renjun ketika menapaki trotoar.
Walau senyum itu terlampau kontradiksi dengan hatinya yang berteriak ADA MASALAH.
Terlalu pagi untuk mengawali hari ini karena jadwal yang Renjun punya sebenarnya masih satu jam ke depan. Akan tetapi, ia memilih bangun pagi sekali menghindari tatap muka dengan seseorang yang mengacaukan kinerja jantungnya sangat aneh kemarin.
Malam penuh embun sisa guyuran hujan tepatnya, saat afeksinya diobrak-abrik dengan tidak jelas oleh emosi yang terpancar dari pemuda 24 tahun di hadapannya. Renjun merasa begitu bingung, bimbang dan tidak mengerti apa lagi yang membuat hatinya semakin berdenyut setiap kali mengingat sentuhan kenyal teramat halus menempel di dahi.
Elektron listrik tersalur dari sentuhan tipis itu menyetrum kesadarannya lalu membagikan seluruh tegangannya ke semua titik terujung di tubuh Renjun.
Aneh, tetapi seperti meloloskan peluru dari selongsongnya.
Seketika itu Renjun merasa kosong. Terpaku, bergeming bahkan bungkam. Seluruh kata yang bisa menggambar keterdiamannya atas perilaku Jaemin.
Menit tiap menit berlalu, Renjun tersadar langsung melarikan diri ke kamar dengan degup jantung dan pipinya yang memanas. Ia tidak mampu berhadapan dengan Jaemin walau hanya untuk memarahi pemuda tersebut yang bukannya tidur di kamar tamu melainkan sofa.
Begitu pagi menjelang, awan tebal canggung masih mengitari seluruh apartemennya. Tidak memberi Renjun pilihan lain untuk tinggal karena ketidakjelasan meraung segera menjauhi sumber ambiguitas itu.
Namun, hal yang tak tampak malah semakin berbekas, melekat erat diingatannya.
Bayangan Jaemin mengecup dahinya tidak hilang dengan mudah.
Renjun tiba-tiba menghentikan langkah, matanya menatap hampa undakan tangga di depan. "Apa artinya semua perlakuanmu Jaemin?"
"Mengapa kamu ...
men... ciumku?"
Akhir-akhir ini Renjun menyadari sedikit demi sedikit perubahan yang terasa pada sahabatnya, Na Jaemin. Pemuda itu memang protektif, tetapi tidak pernah melewati batas wajar di antara mereka. Tentu saja batasan antar sahabat.
Tidak pernah sama sekali.
Namun, ada yang berbeda.
Renjun tidak pernah merasakan pelukan Jaemin yang terasa dipinggangnya sebelum pemuda itu menahan tubuhnya yang hampir menghantam *barre. [Ch. 2]
Renjun tidak pernah merasakan Jaemin yang menggenggamnya pada permintaan maaf pemuda Na ketika dia tak sengaja membentak Renjun. [Ch. 3]
Renjun juga tidak pernah merasakan sebelumnya bagaimana bercanda tawa dengan keadaan tubuhnya yang di atas Jaemin. [Ch. 4]
Ketika merasakan ciuman tipis sepersekian detik di dahinya dengan meninggalkan berjuta pertanyaan yang berotasi tiada henti di pikiran Renjun. [Ch. 6]
Kaki-kakinya yang tidak jenjang kembali berpijak menaiki satu persatu tangga dengan gerakan lambat. Matanya yang tidak fokus terus melihat ke bawah sambil melangkah pelan.
"Jaemin kenapa sebenarnya?" Renjun bergumam. Dengan cepat ia kemudian menggeleng, raut wajah Renjun keruh dan menyendu. "Tidak-tidak, sebenarnya aku berarti apa bagimu Jaeminie?"
Bunyi lonceng yang bergoyang mengejutkan Renjun di depan matanya.
Angin bertiup ringan menerpa wajahnya kala Renjun menggulirkan mata menatap asal suara. Sosok dengan penampilan khas kaos oblong kesempitan yang mencetak lekuk dada bidang serta training hitam muncul di hadapan Renjun. Gestur tangan yang memegang handle suatu pintu mengindikasikan sosok tersebut akan memasuki toko.
Tepatnya kedai kopi.
Ya sebut saja coffee shop.
Beruntungnya trotoar di pagi hari masih cukup lengang sehingga Renjun benar-benar bersyukur ia tidak menabrak seseorang saat menunduk tadi.
Justru denting bel kedai telah menyadarkannya dari lamunan sekaligus membuat maniknya menjumpai orang yang ia telfon semalam.
Pemuda itu mengernyit membawa matanya ikut menyipit hingga tak terlihat. "Renjun?"
Jantung sialan Renjun kembali berulah menghasilkan detak yang lebih cepat. Ia tergagap menyebut namanya.
"Je-Jeno?"
Tiba-tiba saja Renjun merasa dunianya semakin sempit. Belum sempat enigmatis yang ia dapat dari Jaemin selesai kini harus berhadapan dengan sosok lainnya.
______________
Renjun tidak pernah berencana lebih dalam kehidupannya selain mengejar impian yang diinginkan ibunya sebagai penari balet. Pertimbangan hal yang tidak pernah terencana membawa ia selalu terbawa arus, pergi kesana-kemari tanpa arah dengan nyawa dan pikiran yang tak berada di tempat. Karena itu ia merutuki seberapa sialnya takdir mempertemukannya kembali dengan Jeno. Meski raut pemuda itu tampak biasa setelah penolakan tanpa sengaja semalam, Renjun tetap merasa bersalah dan malu.
"Rasanya aneh melihatmu minum kopi," timpal suara Jeno beberapa saat setelah bujukan pria itu untuk singgah sebentar bersamanya di kedai kopi.
Renjun melirik tepat ke hadapannya, rasanya percuma saja bersusah payah menghindari kontak mata Jeno dengan terus meniupi kepulan asap dari kopinya.
"Er ... aku memang tidak terbiasa meminum kopi," ujar Renjun ragu. Jeno sempat melirik ngilu pada tangan mungil Renjun yang menangkup mug kopi panas tanpa bereaksi.
Pemuda dengan eye-smile menawannya yang tengah lenyap menarik mug kopi itu dari genggaman Renjun. "Kalau begitu tidak usah memaksakan." lantas Jeno mengambil tisu basah yang selalu dibawanya setiap latihan. "Tanganmu sampai memerah seperti ini, gara-gara panas dari cangkir kopi, kan?"
Renjun menatap Jeno bingung yang kini sibuk menaruh dua lembar tisu basah di atas telapak tangannya. Dingin yang ditimbulkan tisu basah itu memang membuat tangannya lebih baik meski berbanding terbalik dengan hati dan pipinya yang tetap memanas.
Tangan Jeno yang lebih besar menangkup di atas kedua tangannya, hanya terhalang tisu. Seolah-olah abai pada jarak tak kasat mata yang sebenarnya Renjun bangun sejak bertemu di depan kedai.
Renjun ingin menarik tangannya tapi Jeno menggenggam lebih erat. "Je-Jeno tu-tung-"
"Oh ayolah Jen, kamu tidak lupa ada kami di sini, kan?"
Uh, Renjun menoleh terpaksa pada interupsi suara yang memotongnya. Lebih dari menghindari tatapan Jeno, sebenarnya Renjun lebih ingin tidak berjumpa pandang pada sosok lain yang ada di rombongan Jeno.
Ya Jeno tidak sendiri.
Dengusan lain pun menimpali, "Percuma saja Guanlin, Jeno sedang sibuk bersama malaikatnya."
"Bilang saja kalian cemburu," celetuk Jeno sembari menghadap sorotan mata bosan dari teman-temannya. Genggamannya dengan Renjun telah terlepas dan pemuda manis itu cukup lega setelahnya.
"Paling tidak kenalkan dong, siapa si manis ini."
Renjun mendadak ngeri begitu kerlingan ditujukan padanya oleh salah satu teman Jeno yang baru saja berbicara. Ingin rasanya menyembunyikan diri dari tatapan tak biasa teman Jeno dan termasuk yang diam menatap, entahlah tajam mungkin di ujung sana.
Jeno melotot tajam. "Tidak! kalian terlalu brengsek untuk berkenalan dan berhenti mengerling, Guanlin!" hardik Jeno garang sambil merentangkan tangannya di depan Renjun.
"Dasar pelit!" Guanlin mendelik kemudian meneguk kopinya cepat-cepat.
Pria di sebelah Jeno lalu terkekeh, "Jeno sedang kena love bird kawan-kawan! Ya kan Jen? Tapi seingatku bukannya tadi mal-"
Tangan Jeno lantas membekap mulut temannya dengan tidak elit. Handuk sisa-sisa pertempurannya dari malam sampai pagi menyumpal perkataan pria di sampingnya.
Guanlin yang melihat aksi pembekapan di hadapannya tertawa keras sambil menunjuk tak karuan pada keduanya. Lain lagi untuk Renjun yang keheranan dan salah seorang yang diam tak bereaksi.
"Sudahlah Jen kasihan Hyunjin dibekap handuk bau keringatmu begitu."
Satu-satunya pemuda manis ini tak mengerti keadaan yang terjadi di sekitarnya, merasa aneh dengan situasi tersebut. Setengah senyum ia perlihatkan begitu Jeno melepas bekapannya, tetapi mengirim tinju kecil di lengan pria bernama Hyunjin.
Renjun sempat merasa tidak asing juga dengan Hyunjin tapi kecurigaannya berhenti saat Jeno menepuk tangannya pelan.
"Sepertinya aku akan pergi lebih dulu, tidak apa-apa, kan?" Jeno memberikan tatapan tak rela. "Kami harus beristirahat untuk mulai latihan lagi jam satu nanti."
"Kamu baru pulang latihan kan? Kenapa latihan lagi?"
Jeno berdiri segera dengan kedua tangan masih singgah di telapak yang lebih mungil. "Ah ada pemadatan jadwal karena sepertinya kami akan debut sebentar lagi."
"Debut?" Renjun membeo yang membuat seluruh teman Jeno menatapnya. "Kapan?"
"Aku juga tidak tahu pasti, tapi nanti akan kukabari dan oh ... apa kakimu masih ...?" tanya Jeno hati-hati, tetapi setelahnya ia menyumpahi diri sendiri.
Jeno merasa begitu bersalah ketika wajah manis yang mendongak padanya tiba-tiba menunduk lesu. Sepertinya masih menjadi hal menyakitkan untuk Renjun mengingat impiannya terhenti sebentar akibat kecelakaan individu itu. Ingin rasanya pemuda bersurai hitam ini memberikan penguatan pada sosok setengah rapuh di hadapannya.
Impuls tak sadar Jeno benar-benar melakukannya.
Manik sebening berlian milik Renjun membelalak kaget. Hangat merambat dari pusat kinerja tubuhnya, mengirimkan tegang sekaligus dekapan hangat. Surai rambutnya pun terasa dielus berkali-kali.
Jeno memeluknya.
Mendekapnya.
Mengelusnya.
Serta.
Perlakuan yang tampak deja vu walau berbeda rasa. Bunyi kecup yang sangat kecil, tetapi terdengar sangat jelas di telinganya.
Bersamaan dengan elusan di rambut belakangnya, Jeno mengecup sekilas tepat di tempat yang sama ketika seseorang malam tadi meninggalkan sebuah sentuhan di sana.
Hiruk-pikuk kedai, suara godaan dari teman-teman Jeno berdengung samar. Penglihatannya berbentuk spiral seperti pusaran air yang menyedotnya untuk hilang dari bumi.
Renjun tidak tahu harus berbuat apa.
Hanya Jeno yang bisa terlihat di pandangannya. Senyum tulus terpatri tidak hanya di bibirnya melainkan juga di mata khas pemuda tersebut. Renjun mengangkat telapaknya gemetar membalas lambaian Jeno yang telah berjalan pergi.
Namun, setelah menemui kesadaran dan mencuri pandang segerombolan temannya, Renjun memegang tangan Jeno.
"Jeno!!" mengesampingkan shock effect yang baru saja menerpanya, Renjun berteriak memanggil pemuda itu.
Jeno menghentikan langkahnya yang belum jauh untuk kembali menghadap Renjun. "Ada sesuatu?"
"Eung." Matanya melirik teman-teman Jeno yang sudah menunggu di depan pintu masuk kedai lalu bergidik kecil setelahnya. "Aku ingin menanyakan sesuatu padamu ... nanti malam, apa kamu free?"
"Akan kuusahakan free untukmu."
Renjun bergumam terima kasih sangat kecil sehingga tak terdengar dan Jeno pun benar-benar berlalu setelah mengusak sekali rambut Renjun. Pemuda itu kembali memberikan lambaian di pintu dengan cepat untuk mengejar teman-temannya yang sudah menjauh.
Sejujurnya ia kurang tahu di mana letak yang tepat hatinya atau jantung yang terus berdegup. Renjun memegangi dada kanannya yang terus berdetak cepat.
Renjun menahan degupan lainnya yang ingin menjalari seluruh wajah manisnya. Letupan-letupan di hatinya membuncah hebat meski kebingungan turut menyertai. Ia tak mengerti juga mengapa, tetapi ....
"Kenapa aku menyukainya ...?"
Ia menggeleng-geleng lagi. "Ah tidak mungkin. Tidak. tidak."
Pikiran Renjun semakin semerawut penuh, menancapkan akar masalah baru (bagi Renjun itu masalah) yang tiada habisnya. Baik itu masalah hati dan masalah orang asing yang benar-benar membuatnya sadar bahwa Renjun bukanlah pribadi yang mencelakakan diri waktu itu.
Ya waktu itu, ia begitu termakan kata-kata ambisius yang mendukungnya terus-menerus berlatih.
Renjun tidak begitu pandai menjabarkan detil seseorang, tetapi Renjun ingat cara berpakaian orang tersebut. Topi yang dipakai menutupi mata dengan pakaian training rapih, bajunya dimasukin ke dalam celana juga beberapa lekukan rahang dan bibir yang masih Renjun ingat bentuknya.
Di sudut saku kanan Renjun mendadak bergetar dengan bunyi meraung-raung meminta perhatian. Lantas Renjun mengecek benda metaliknya yang menampilkan nama sang manager.
Ponselnya itu berdering karena panggilan dari Mark hyung.
"Ya hyung ada apa?"
"Em, Renjun sepertinya kamu harus segera ke sanggar ... ada yang ingin membicarakan ...
perpindahan kontrakmu."
"A-Apa?"
______________
Renjun hanya bisa diam sambil meremat tangannya gusar. Mark bagai ayahnya yang memperjuangkan seluruh hak kontrak pertunjukkan yang telah ia sepakati, tetapi seseorang dan yang lainnya berusaha merebut itu di saat Renjun tak mampu memiliki pegangan untuk mempertahankannya.
"Tunggu, sebelumnya aku ingin bertanya, apa dokter memberitahukan berapa lama lagi kemungkinan kakimu sembuh, Renjun?"
Ingin sekali pemuda mungil ini menghindari pertanyaan yang sampai saat ini pun belum terprediksikan bahkan oleh dokter. Ia menggeleng dengan enggan yang nyatanya mendatangkan kepuasan dari salah satu pihak.
Pria di seberangnya menghembus napas penat. "Kalian tidak bisa menahan kontrak seperti ini jika kamu sendiri, Renjun, belum tentu sembuh dari cedera!"
"Tapi dia pasti akan sembuh!" Mark menyanggah cepat dengan tak kalah kerasnya.
"Ya, lalu kapan?"
Iya kapan aku sembuh? adalah sebaris pertanyaan yang selalu Renjun ingin ketahui jawabannya. Namun, hingga detik ini pertanyaan itu masih berupa angan yang terus bergulir menjauhinya.
Ponsel yang deringnya telah ia bisukan mendadak bergetar.
1 Message is unread
Keluar lebih dulu, ada yang ingin kubicarakan.
From : Felix
Renjun menatap ragu-ragu eksistensi manusia lainnya yang menunggu diam tak menaruh atensi pada pembicaraan kontrak. Ia menenggak ludah kasar ketika mata orang di sebrang seperti berbicara untuk segera keluar.
Bersamaan itu Renjun harus menyiapkan hatinya.
"Maaf, aku permisi ke toilet sebentar."
Interupsi Renjun pada kedua manager itu tak memecah konsentrasi mereka mengenai kontraknya. Walau demikian ia benar-benar berharap Mark bisa mempertahankannya.
.
______________
.
Punggung Renjun berbenturan tembok di sudut lain lorong sanggar yang cukup jauh dari ruang diskusi tadi. Tarikan napas yang baru saja ia lakukan berusaha menghilangkan gemetar di sekujur tubuh yang membelenggunya.
Sampai langkah pelan tiba di depannya sambil memberikan pandangan menilai yang kentara seperti remeh.
"Kamu egois sekali."
Renjun mendadak merasakan rongga kosong yang berlubang karena kata-kata di hatinya.
Hati Renjun seketika mencelos begitu menangkap mono silabel dari orang yang bersedekap dan menyeringai.
"Kamu tahu, kamu mencelakakan diri sendiri dan masih tidak mau melepas kontrakmu? Apa kamu sudah tidak punya malu?" Dorongan telak pada pundak kanannya semakin membuat Renjun menempel pada tembok.
"Bukan begitu ... mereka yang ingin mengontrak dengan-"
"Denganmu, iya? Renjun sadarlah! Apa mereka masih mau balerino cedera karena ulahnya sendiri?"
Kalimat terakhir itu bagai bom nuklir yang semakin menyudutkannya di bayang ruang kotak sempit dan pengap. Renjun tak bisa mengelak akan kebenaran yang menghantamnya keras.
"Sudahlah, jangan mempermalukan sanggar lagi, serahkan saja semua kontrakmu seperti konser nanti. Para sponsor penyokongmu juga tidak tentu sabar menunggu kesembuhanmu yang tidak pasti."
"Tapi ...."
Belum sempat Renjun menyelesaikan sangkalannya, sebuah lambaian mengibas-ibas di depan wajah seakan-akan menyuruhnya berhenti akan perkataan basi yang sudah tak bisa lagi dibicarakan.
Renjun menatap nanar sepatu dan lantainya, betis kakinya lemas selepas orang itu pergi kembali ke ruang diskusi.
Berat membebani pundaknya sampai-sampai ia tidak mampu bangkit setelah merosot lemas. Ia membutuhkan siapa pun saat ini untuk membuatnya bisa lari dari masalah. Akan tetapi, nyatanya Tuhan masih ingin mengujinya lewat sebuah pesan dari orang yang sama untuk menyuruh segera masuk ke ruang diskusi.
.
______________
.
Atmosfer yang menyelubungi ruang diskusi masih sama dengan saat Renjun meninggalkan tempat tersebut. Hanya hatinya yang berbeda karena tekanan yang ia dapat membuatnya harus memutuskan.
"Mark hyung sudahi saja."
Mark menoleh secepat pembalap menyusul lawan. Telinganya dia tepuk-tepuk berharap tak salah dengar. "Tu-tunggu Renjun, apa katamu?"
Renjun mengembus napasnya berat, ketidakrelaan masih menyisakan gumpalan di dalam hati. "Kubilang sudahi saja ... berikan saja semua kontrakku yang dua bulan ke depan."
"Kamu yakin?"
"Ya hyung."
"Renjun ...," ucap Mark lirih. Mengamati keadaan artis asuhannya yang begitu muram membuatnya tak tega membiarkan senyum manis yang menjadi favorit di antara penikmat balet melengkung ke bawah.
"Kita masih bisa mempertah-"
"Lepaskan saja, hyung."
Mark bingung harus berbuat apa terlebih pemuda itu sudah berkata telak. Dia tidak ingin menambah keruh di hati Renjun setiap kali membicarakan perihal baletnya.
Satu hal yang bisa Mark berikan saat ini hanya usakan lembut demi memperbaiki mood Renjun yang semakin hilang serta tempat untuk berkeluh kesah.
"Baiklah, hyung akan mengurusnya, kamu tunggu di luar setelah ini kita akan check up."
______________
Mulut terkatup, raga berdiam diri, tetapi pikiran melayang tak jelas. Renjun menahan diri dengan pertanyaan dan segala unek-unek yang mengendap di sudut otaknya yang dilematis. Hanya rematan pada seatbelt yang ia lakukan juga sayup-sayup dengung dari radio bervolume kecil mengalun di antara Mark dan dirinya.
Semenjak Mark hyung menyuruhnya menunggu di luar-lagi saat dokter ingin menjabarkan hasil check up. Aneh menggelayutinya tak ingin pergi.
Bukan karena Renjun sedih tidak boleh mendengarkan apa yang akan dokter bicarakan, tetapi lebih kepada Mark hyung yang seperti membuatnya tenang meski tidak setenang itu.
Ah aku ini bicara apa sih?!
Belum lagi ada seseorang yang seharusnya-walaupun Renjun cukup lega akan ketidakhadirannya bertatap muka untuk mengantarnya ke dokter. Ya sebenarnya kali ini jadwal sahabatnya yang mengantar ia check up.
Namun, lagi-lagi Jaemin bagai air minum bening tak kasat keberadaannya. Sampai detik ini Renjun masih belum tahu dimana dan kemana Jaemin.
"Hyung."
Mark mengalihkan sebentar atensinya kepada Renjun lalu kembali lagi fokus pada jalanan di depan. "Ya, Renjun?" Ia sedang menyetir omong-omong.
"Kenapa hyung yang mengantarku check up? Harusnya ... Jaemin, kan?" Renjun bergumam pelan di akhir kalimatnya. Masih sedikit berat menyebut nama yang mengacaukan perasaannya pagi-pagi sekali-coret sejak semalam.
"Oh dia mengabariku katanya sedang demam juga pusing, jadi menyuruhku untuk menemanimu check up ya sekalian konsultasi terapi mengenai kakimu."
"Demam? Jaemin demam?"
"Iya, hyung pikir kamu sudah tahu." Renjun tidak lagi menanggapi sehingga keheningan yang tidak benar-benar senyap itu kembali menguar ditemani bunyi radio.
Jaemin demam dan dia tidak memberitahuku sama sekali? Mengapa ...? Satu lagi pertanyaan bersemayam di otak si cantik yang semakin kebingungan. Hal yang dia ingat hanyalah Jaemin sejak semalam masih dalam keadaan baik, tetapi berita mengejutkan yang baru saja ia ketahui bahkan bukan dari orangnya langsung.
"Mark hyung tahu Jaemin sekarang dimana?"
"Aku tahu, mau kuantar ke sana?" Kepala Renjun mengangguk mantap. Ia tidak lagi terpikirkan bagaimana Jaemin tadi malam melainkan lebih kepada rasa khawatirnya terhadap pria yang sudah mengubah warna rambutnya menjadi soft pink.
______________
Renjun berjingkak pelan memasuki studio milik Jaemin. Tidak pernah berubah memang suasana yang ditimbulkan tempat biasa Jaemin menghabiskan waktunya, senyap seperti tidak adanya tanda-tanda kehidupan. Akan tetapi, ia bisa memakluminya karena Jaemin pasti membutuhkan tempat tenang untuk berkonsentrasi. Namun, kali ini Renjun sedikit tidak suka suasananya.
Seperti awan mendung memenuhi seisi studio.
Pintu menuju ruangan dimana Jaemin sering berdiam diri sedikit terbuka. Satu yang menjadi kesempatan besar untuk Renjun datang tanpa diketahui Jaemin melalui derit pintu di tengah kesunyian.
Namun, sepertinya Renjun harus menyimpan kejutan begitu dihadapkan pada sosok Jaemin yang tengah menyandar pada kursinya dengan mata terpejam, sempat dilihatnya Jaemin membuang napas yang teramat gusar.
Melankolis.
Satu kata yang menggambarkan kondisi Jaemin saat ini. Renjun melihatnya begitu miris antara dia dan Jaemin. Karena pemandangan kondisi sahabatnya itu membuatnya tak sanggup mendekat.
Namun, begitu mendengar suara ingus yang dihirup keras-keras menyadarkan Renjun.
Menyadarkannya untuk segera menghampiri pemuda itu dan menyemburkan kultum.
"Jaemin!!"
Pemuda bersurai pink soft menoleh ke asal suara. Semakin tampak jelas wajah Jaemin sangat pucat dengan tatapan sayu khas orang sakit.
Renjun jadi berlari karena itu.
"Kamu ini kenapa? Kenapa sakit tidak bilang-bilang sih?" Renjun makin meringis begitu telapak tangannya sudah menyentuh dahi yang panasnya melebihi ketel panci mendidih.
"Maaf." Jaemin berujar lemah. Tangannya lantas menurunkan telapak Renjun di dahinya. "Jangan dekat-dekat denganku nanti tertular."
"Aku tidak akan menjauh darimu sebelum kamu benar-benar sembuh."
Jaemin tidak memiliki sebagian tenaga untuk membalas karena energinya begitu cepat terkuras. Ia membiarkan Renjun mengambil obat-obatan serta alat kompres yang memang disediakan di kotak P3K. Selain itu, alasannya tidak lagi mendebat Renjun, sebab perasaannya sangat sensitif sehingga tidak meyakinkan bagi dirinya agar tidak lagi terbawa perasaan seperti semalam.
Renjun kini sedang memeras handuk kecil yang akan ditempelkan di dahinya. Awalnya ia sempat bingung mengapa Jaemin tidak protes saat Renjun berada di jarak dekat, tetapi setelah dipikir-pikir pemuda itu sudah pasrah saja dipaksa memakan sedikit roti, memakan obat penurun demam lalu disuruh rebahan di salah satu sofa panjang yang ada.
Renjun jadi tersenyum menang Jaemin menurutinya. Karena sering sekali dulu Jaemin menolak dirawat olehnya dengan dalih takut menulari Renjun.
"Jaemin, kenapa bisa demam hm?"
"Kemarin hujan."
"Dan kamu menerobos hujan saat ke agensi?"
Jaemin berdeham menjawabnya. Menimbulkan decakan malas dari Renjun.
"Memangnya kamu ini apa? Superman yang bisa menghantam badai? Tadi malam itu hujan deras bodoh." handuk yang dipegangnya ditekan keras sehingga Jaemin mengaduh dengan suara setengah seraknya.
"Payung dan jas hujan yang kubelikan itu bukan hanya jadi hiasan saja, kan?"
"Maaf."
Renjun tidak mempermasalahkan Jaemin hanya membalasnya dengan kata 'maaf' sebab itu saja sudah cukup meyakininya bahwa tidak ada dinding canggung lagi yang menghalangi mereka. Walau sebenarnya Renjun ragu, Jaemin terlihat diam karena sakit atau berusaha membangun dinding itu.
Selagi Renjun mengompres, mengganti air dan memerasnya untuk Jaemin, pemuda itu tetap diam terpejam. Sampai tangan Renjun harus berhenti di ambang dahi Jaemin karena ucapannya.
"Bagaimana kalau aku menjadi anggota boygroup?"
"Renjun?"
"I-iya Jaemin." Handuk kecil tersebut kembali menyentuh permukaan dahi Jaemin yang berangsur-angsur mengikuti suhu normal, Renjun menenggak ludah pelan kemudian. "Bukankah dulu kamu suka menari dan menyanyi, kalau memang itu baik untukmu kenapa tidak?"
"Tapi aku merasa itu tidak baik."
"Kenapa?"
Jaemin menghelas napas, matanya tidak lagi terpejam menatap sosok yang tepat di atas wajahnya. Ia menyingkirkan handuk yang baru saja renjun simpan di dahi.
"Karena aku tidak akan bisa menjagamu setelah itu."
Membuat Renjun kembali terpekur pada kata-kata Jaemin yang menghentikan waktunya.
______________
Ada satu dan beberapa hal yang paling menabrak ulu hati Renjun saat ini. Akan tetapi, rasa penasaran yang paling tidak terlepas begitu saja ada sejak tadi pagi. Pada akhirnya Renjun ingin tahu, mencari tahu dan menemukan titik kejelasan yang menggangu.
Untuk meyakinkan apa yang ia curigai.
"Halo."
"Apa aku mengganggu latihanmu?"
"Tidak Renjun santai saja, kamu ini selalu bertanya begitu tiap menelepon."
"Aku hanya takut mengganggu calon artis," ucap Renjun terkikik pelan.
"Bisa kuanggap begitu, untuk membayar karena menggangguku, kamu harus mentraktirku, ya."
"Tapi setelah Jeno debut, Jeno yang traktir."
"Tidak masalah, apa pun untukmu."
Ditemani detak jarum jam di studio Jaemin, seluruh benda di sana yang menjadi saksi wajahnya tersipu akibat sapaan Jeno kepadanya, Renjun mengurai lengkungan bibirnya ke atas, berseri-seri mendengar pujian.
"Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Um Jeno ...."
"Ya ...?"
"Kamu masih ingat dengan orang yang menyerangmu saat kita pertama bertemu?"
"Aku masih ingat, kenapa?"
"Aku ragu aku salah lihat, tapi orang itu mirip seperti salah satu ... temanmu ... tadi pagi."
"Salah satu teman traineeku?"
"I-iya."
"Mungkin kamu tidak salah lihat, dan mungkin dia salah satu teman grupku."
"Hah?"
"Jeno yakin? L-lalu siapa temanmu yang selalu diam saja?"
"Hampir 100 persen aku yakin, aku sangat kenal bau khas Hyunjin walau tidak melihat wajahnya saat itu."
"Changbin ya? Anehnya dia tidak biasa diam seperti itu, dia sama saja kadang bermulut pedas."
"Apa?"
Kenyataan pahit dalam dunia Jeno dan nama baru yang mendesak di kepalanya lantas membuatnya pusing. Akan tetapi, Renjun tidak mengerti harus membuat suatu kesimpulan seperti apa dan bagaimana pembuktiannya.
Hyunjin dan Changbin
Siapa mereka?
.
.
.
To be continued...
.
.
.
#revisinotes i want to end this fic really badly but it all depends on how my mood and condition :(
난 안괜찮아
Hai apa kabar? Long time no update ya :'
Kayaknya terlalu lama mangkrak/? ga up jadi lupa sama jalan cerita 😢
Masih ada yg nunggin /NGGALAH lo up lama bingitz/
Bagaimana setelah di up banyak nama baru yg musingin aku juga bingung hahha
Anyway ini work pertama yg ku up setelah hibernasi /dusta :'
Btw ini ku upnya ga recheck recheck lagi maaf kalo ada yg aneh typo dan sebagainya
maaf diksinya gak nyambung berantakan :( kelamaan wb
Ayo saling menyemangati
DAN ASTAGFIRULLAH BANYAK BANGET YA MOMEN NOREN
RASANYA FULL BANGET DIKASIH ASUPAN TAPI MAU LAGIIII
GATAU INI KERASANYA VIBE BLANC SWAN BANGET HAHAHA
Capek aku sama noren
Nuna lelah diserang asupan apalagi noren berasa newly wedding couple lagi anget angetnya
Eh kan udah panjang lagi
Sebagai salam kangen
Kalian pengen jalan cerita ini gimana hahah
Sebenernya aku bikin ngetwist banget loh
Oh kritik dan saran yaaaa aku masih butuh bimbingan dalam menulis
Anyway thank you so much for waiting
[Segera di Revisi]
Sekian dan Terima Kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top