-6-
Jaemin akui ada suatu alasan yang mengharuskannya menggarap pekerjaan ini secara terpaksa. Tidak benar-benar terpaksa yang seperti itu. Secara finansial pekerjaannya ini sangat menguntungkan dari segi royalty yang didapatkan. Selain itu alasan berkorelasi lainnya yang menjadikan ia sebagai seorang Komposer lagu bisa menjauhkannya dari hal itu.
Hanya saja, kepada agensi inilah Jaemin sungguh tidak memiliki niat untuk bekerja sama. Dengan salah satu perusahaan hiburan terpandang, Neo City Entertainment.
Namun, kartu AS masa lalunya telah dipegang erat di dalam sana hingga sangat sulit untuknya lepas dari bayang-bayang agensi besar ini. Ia sangat yakin, mereka pasti akan memanfaatkannya layaknya sapi perah.
Ketika Jaemin memberikan apa yang mereka inginkan, dari sanalah mereka tidak akan berhenti. Terus-menerus meminta sampai tidak ada lagi yang dapat diambil dari seorang Na Jaemin.
Well, seperti sekarang ini.
Tidak ada kepentingan lain lagi bagi Jaemin untuk diam dan mengamati mulainya proses technical meeting. Ada produser yang ia temui kemarin, juga beberapa orang lengkap dengan mempertontonkan tanda pengenal mereka yang menggantung di leher tampak sibuk mondar-mandir mempersiapkan sebuah persentasi yang mungkin sebentar lagi terjadi.
Tentunya persentasi penting ini dipimpin oleh seseorang dengan kedudukan tinggi yang dia punya.
Dia datang.
Langkah penuh keangkuhan seolah menguar, merendahkan nyali bagi mereka yang tak biasa melihat tahta kekuasaan tak kasat mata. Sang presdir tertinggi, pemilik keputusan mutlak akan bagaimana agensi ini beroperasi.
Jaemin melirik dengan ekor matanya, sedikitnya tujuh trainees yang berkeringat dingin menelan ludah mereka gugup karena kehadiran sang presdir.
Sebenarnya ini aneh. Kalaupun memang sekarang adalah waktu paling mendebarkan untuk mereka-trainees, kenapa Jaemin harus berada di sini pula?
Di ruangan penuh deretan kursi yang mengelilingi meja berbentuk oval dengan pusat perhatian mereka di arah utara pada sebuah layar proyeksi. Tentunya Jaemin bukan yang tidak tahu tentang kondisi saat ini menunjukkan penentuan terbentuknya sebuah grup beserta isi di dalamnya.
Dimulai dari pengarahan konsep yang dipilih sebagai image grup, genre serta gaya musik yang diusung mewakili konsep, juga tak luput image yang akan diterapkan pada setiap anggota agar benar-benar menyajikan visualisasi grup tersebut.
Creative Director itu menjelaskannya dengan baik, setiap detail yang akan dijalani benar-benar dirincikannya. Namun, yang membuat Jaemin lebih bingung, bukankah sudah seharusnya mulai menunjuk setiap orang trainee dengan posisi yang akan mereka emban nanti?
Tuk.
Bunyi pulpen tersentak di sisi kanan layar proyeksi terdengar. "Baiklah, cukup sampai di situ Nara-ssi." sang presdir angkat bicara. Tangan kanannya teracung ke atas setelah lama bersedekap dengan raut wajah datar.
Merasa tidak diperlukan lagi Nara, creative director berangsur mundur ke tempatnya sembari menunduk. Mempersilakan posisi yang menjadi pusat utama seluruh mata memandang di ruangan ini pada presdir.
"Tidak perlu basa-basi lagi, seluruh trainees yang berada di tempat ini memiliki kredibilitas tinggi hingga bisa mencapai proses pendebutan."
Jaemin mengamati seluruh keadaan. Seusai kalimat yang dibuat mengangkat harga diri para remaja pelatihan, sangat jelas terlihat ada binar senang di mata mereka.
Pujian yang sangat baik, tumben.
"Tapi ...." Desas desus kebahagiaan tertunda lagi. Pria tambun itu perlahan menarik sudut bibir ujung kanannya, sebuah seringaian yang sudah pasti bukan hal baik. "Sudah dijelaskan bahwa Jaemin terlibat dalam pengaransemenan lagu yang akan digunakan untuk debut kali ini dan mengingat kontrak perusahaan yang belum selesai dengannya."
Tidak! Tidak mungkin pria ini menarikku lagi dengan kontrak itu! Seluruh otot dan saraf Jaemin menegang sempurna kala topik yang ia hindari kembali diungkit. Ia mencoba menahan emosinya ketika pria itu melemparkan pandangan kemenangan yang tak dapat terelakan.
Sang presdir menyerongkan tubuhnya ke arah Jaemin. Dia bergumam tanpa suara padanya, "Selesaikan kontrak adikmu, Tuan Jaemin."
Lagi. Senyum memuakkan ditunjukkan kepadanya. Menandakan Jaemin benar-benar kalah dalam medan perang yang telah dibuat adiknya dulu. Sebab inilah Jaemin tidak ingin terikat dengan perusahaan hiburan meskipun dalam nadinya mengalir darah seni begitu deras.
"Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa Tuan Jaemin berkaitan juga dengan debut grup M1 kali ini." Pria yang menjabat sebagai Chief Executive Officer itu menumpukkan kedua tangannya di atas meja. Matanya mengedarkan pandangan ke seluruh ruang sembari mempertahankan senyum.
"Dulu ... keluarga Tuan Jaemin memiliki kontrak yang belum selesai dan sesuai penalty jika tidak membayar denda serta kesepakatan khusus maka tugasnyalah yang menggantikan tempat tersebut."
Sudah dibilang bukan, agensi ini akan memanfaatkannya padahal Jaemin sudah menawarkan pengaransemenan lagunya selama beberapa tahun untuk menyelesaikan penalty tersebut.
Jaemin sangat geram, tetapi ia berusaha menutupi kekesalan yang memang sudah ia duga suatu saat akan terjadi. Banyak mata bergulir memandangnya penuh kasihan, tetapi Jaemin tidak peduli. Seharusnya mereka bersiap-siap menghadapi kelicikan yang mungkin presdir ini lakukan.
Tuan Han berdeham keras mengambil alih atensi para audiensnya. "Seperti yang telah dijelaskan Nona Nara, boygroup yang akan di debutkan nanti berjumlah tujuh orang bersama Jaemin di dalamnya."
Dalam sekian detik ruangan yang memang sudah menegangkan kini dipenuhi dengan bisik-bisik pertanyaan. Kalimat barusan menimbulkan reaksi-reaksi keruh yang mampir di setiap ekspresi ketujuh peserta pelatihan. Mereka berharap sang presdir hanya salah menyebutkan angka keaanggotaan yang akan mengisi boygroup itu nanti.
Namun, tidak ada pengoreksian sedikitpun setelah selang beberapa detik pernyataan presdir Han.
Setelah pandangan mengasihi kini beberapa pasang picingan tajam ditujukan lagi kepada Jaemin. Seolah-olah menghakimi kehadirannya yang tidak beruntung menyebabkan kesialan turut bersama mereka.
Jaemin tersenyum kecut. Dasar para ambisius hanya bisa mengasihi sesaat! Ia merasa seperti dijajah tirani yang mengambil separuh kebebasannya.
Sudah terlalu muak, Jaemin mengangkat tangannya. Pertimbangan yang ditawarkan agensi ini memberatkannya. "Maaf sebelumnya, bukankah kita sudah menyepakatinya jika saya membayar denda adikku dengan seluruh aransemenku selama dua tahun."
"Tentu, tetapi ... setelah kami mendiskusikannya kembali, tidak semua aransemenmu bisa dipakai dan jelas saja belum membayar keseluruhan denda yang ada."
Suasana semakin bersitegang ketika keputusan yang bersifat mutlak memberikan alasan telak pada bantahan Jaemin.
Jaemin bangkit dari kursi nyamannya. Ia bersedekap menunjukkan bahwa seorang Na Jaemin bukanlah entitas yang dapat ditumbangkan. "Tetapi saya yang tidak memiliki keterikatan dengan agensi, persetujuan ini hanya berdasar pada pihak kalian saja!"
"Tidak terikat? Lalu bagaimana kesepakatan Jikyung ini di awal kontrak?" Pria tersebut mengayunkan beberapa lembar kertas yang dia lempar ke hadapan Jaemin. Salinan kontrak Jikyung dan kesepakatan khusus yang terjadi di antara adiknya serta agensi. "Atau Anda mau membayar denda Jikyung sebesar 460 juta?" Pertanyaan tersebut kembali memukul Jaemin. Meski pendapatannya pun cukup tinggi, tetapi Jaemin memiliki kehidupannya dan sang ibu yang harus dibiayai.
Mulut Jaemin mengatup tidak bisa membalaskan lagi argumen. Situasi di sekitarnya memindai ia sebagai si pecundang yang terjatuh di hadapan uang penguasa dunia. Bisik-bisikan kecil orang di dalam sana sangat kentara meremehkannya.
"Sudah saya duga Anda tidak akan bisa." Pria tambun terkekeh, suaranya sangat mengganggu di pendengaran Jaemin. "Baiklah, kuberi penawaran. Karena Jaemin memang bukan bagian dari agensi, di antara Anda yang ingin kembali meneruskan aransemenmu kepada kami dengan penambahan waktu atau ...
mengambil posisi salah satu di antara mereka yang gugur?"
Jaemin mengedarkan pandangannya skeptis. Bekerja lebih lama untuk agensi ini memang merepotkan. Akan tetapi, jauh lebih merepotkan bekerja sama dengan para ambisius yang memandangnya sinis.
Termasuk Lee Jeno yang menyorotnya tajam di ujung sana.
______________
10.32 PM
Jaemin memandang lamat-lamat pintu kecoklatan dengan bahan kayu jati yang diplitur hingga mengkilat. Di dalam sana menyembunyikan sesosok mahkluk cantik yang diam-diam ia cintai selama ini. Perasaannya masih ragu untuk bertemu dengan dia yang memenjarakan hati Jaemin. Meski begitu Jaemin juga tidak sanggup jika harus berselisih terus dengannya.
Aku harus menahan emosi kali ini.
Jika Jaemin ingin hubungannya baik-baik saja, ia harus menahan kemungkinan amarah yang akan keluar. Walau sebenarnya amarah itu demi melindunginya dari dunia yang kejam ini.
Sepertinya pikiran gusar Jaemin membuatnya melupakan eksistensi bel yang jelas berada di sisi pintu. Tangannya malah terangkat mengetuk konstan pintu kayu selama beberapa kali.
Begitu pintu itu terbuka menampilkan perawakan mungil yang dibalut piyama biru langit nan kebesaran. Manik kembar lawannya menghunus Jaemin dengan pandangan malas. Namun, begitu pintu dilebarkan, mengizinkan Jaemin masuk, pandangan itu lenyap bersamaan hela napas yang keluar dari bibir kecilnya.
"Jadi kamu akan menginap?" Renjun bersedekap mengikuti langkah Jaemin yang berjalan mendahuluinya.
Mendengar sebaris pertanyaan datar mungkin sinis, Jaemin langsung membalikkan badannya. "Iya, kita punya masalah yang belum selesai, Injun."
Mereka sama sekali belum menempati sofa nyaman Renjun. Berdiri saling berhadapan membuat perbedaan tinggi keduanya sangat kentara terlihat.
Renjun berlalu melewati Jaemin. Bibirnya tampak mengerucut mengeluarkan keluhan dan cicitan kecil yang samar tertangkap telinga Jaemin. Akan tetapi, salah satunya dapat Jaemin dengar jelas ketika ia mengikuti jejak si mungil menuju sofa.
"Kupikir kamu sudah melupakannya."
"Menurutmu, apa aku bisa melupakan setiap orang asing yang berbuat buruk padamu?"
"Tapi sudah kutekankan, Jeno bukan orang yang seperti itu!" Renjun menghardik tiba-tiba. Dia tidak peduli lagi Jaemin yang beringsut mundur karena sentakannya tepat di wajah rupawan sang Komposer.
"Memangnya aku bicara soal Jeno?"
Jantung Renjun terasa menciut begitu menyadarinya. Perasaan yang meremas itu membuat Renjun kalang-kabut.
Renjun mengalihkan pandangannya pada apap un di sekitar apartemennya. Apa pun itu asal bukan manik elang Jaemin yang menatapnya lurus. "T-tidak."
Pemuda yang sedikit lebih tinggi dari satunya mengempaskan badan, rebahan pada sandaran sofa empuk demi merileskan seluruh ototnya yang terus menegang sejak dari Neo City Entertainment.
"Renjun," panggil Jaemin.
Laki-laki berparas manis yang dipanggil namanya menoleh sedikit demi sedikit. Menemukan sosok yang di sebelahnya sedang mengembuskan napas sarat akan kelelahan. Membuat Renjun sedikitnya bersimpati pada Jaemin.
Apa Jaemin mengalami sesuatu yang buruk di agensi?
"Kamu tahu, pribadimu itu mengundang banyak orang yang tidak memiliki belas kasih untuk mengelabuimu ...," gumam Jaemin dengan sederet kalimat yang tidak Renjun mengerti intinya.
Salah satu lengan kanan Jaemin tumpukan di atas kening sembari memejam mata. "Aku ingin melindungimu ... tapi kamu terus mengumpankan diri pada mereka. Aku ingin kamu berada di cakupan mataku, tapi aku bukan siapa-siapamu yang bisa terus bersamamu."
Renjun memandang getir bentuk keputus asaan yang Jaemin perlihatkan. Dia menyentuhkan jari-jemarinya di lengan kiri Jaemin, mengelusnya perlahan, berharap memberikan sedikit kekuatan.
"Injunie ... tolong, aku hanya ingin bisa memilah mana yang baik dan burukmu untukmu."
Renjun tidak begitu paham apa yang sebenarnya Jaemin bicarakan. Akan tetapi, pertemuan terakhirnya dengan Jeno yang kemudian dihadiahi bogem manis sedikit menyadarkannya. Rasa bersalah itu muncul karena Jaemin benar-benar melaksanakan janji yang dititipkan ibunya.
"Maafkan aku," ujarnya pelan dan lirih. Renjun turut merebahkan punggungnya tepat di sebelah Jaemin. Dengan jemarinya yang masih mengusap-usap lengan pemuda di sampingnya.
Jaemin memutar badan menghadap Renjun. Menghentikan pergerakan Renjun yang masih mengelusnya. Ia bersitatap dengan manik bening yang menariknya jatuh dalam pesona polos nan manis.
Bukan hanya Renjun yang merasa demikian bersalah, tetapi Jaemin juga.
Hatinya sakit melihat Renjun kehilangan senyum manis dalam tundukkan kepala. Jaemin tidak tega.
Jemari Jaemin bergerak pelan mengusap poni rambut berjatuhan yang menghalangi mata Renjun. "Aku harap kamu mengerti kenapa aku berbuat demikian."
"Tapi Jaemin ...." Renjun menahan ucapannya. Secara tidak langsung dia memutuskan kontak mata mereka dengan meneleng ke samping, melepaskan pula jemari Jaemin yang mengelus rambutnya. "Aku bukan anak kecil lemah yang harus kamu lindungi seperti dulu, aku juga tahu mana yang baik dan buruk ... untukku."
"Kumohon Jaem, berhentilah tertahan janji yang dititipkan ibuku ... a-aku sudah bisa berdiri tanpa harus berlindung padamu."
Renjun merasa tersentak dengan gerakan Jaemin yang tiba-tiba terbangun dari sofa. Laki-laki itu membelakanginya, mengabaikan Renjun yang tadinya sudah nyaman bersandar di sisi Jaemin.
Baru saja Renjun hendak bangun dan menjegal lengan Jaemin agar berbalik menghadapnya. Namun, niatnya harus tertahan karena dorongan yang membuatnya bersandar lagi di sofa. Renjun merasakan pinggangnya bersentuhan dengan ujung lutut Jaemin begitu pula kepalanya yang terpenjara dalam kungkungan lengan kokoh.
Tinggal sedikit pergerakan lagi mungkin akan menghasilkan adegan yang kalian bayangkan.
Ada jeda beberapa saat ketika mata mereka saling bertatapan, Renjun seolah-olah tidak memiliki pilihan tatapan lain, selain mata tajam Jaemin.
"Maaf, aku tidak bisa berhenti."
-kenapa? Kegugupannya merasuk sampai ke suara batin. Renjun mengerjap bingung dengan perilaku Jaemin. Otaknya hanya sanggup memproses bahwa ini adalah pertama kalinya Jaemin berada di jarak yang sangat dekat.
Renjun melihat ancang-ancang mulut Jaemin yang terbuka. Dia sudah memejamkan mata akan segala adegan yang berkeliaran di pikirannya.
Rasa dingin membangunkan buku kuduk Renjun. Dia merasa gemetar begitu dengar suara kecup kecil.
Benda kenyal yang Renjun bayangkan menempel manis di keningnya. Meruntuhkan perkiraan yang sudah cukup jauh Renjun khayalkan.
A-apa yang Jaemin ....
Tak ada pergerakan lebih. Jaemin hanya menumpu bibirnya di atas dahi Renjun yang masih tertutup poni.
Namun, bagi Renjun, perlakuan Jaemin ini mendatangkan desiran samar yang menghentikan waktu. Ruangan apartemen yang senyap sangat membantu merasakan gelitikan-gelitikan aneh, tetapi menenangkan.
"Aku tidak bisa berhenti melindungi orang yang kukasihi ...."
______________
Pintu yang membelalak terbanting karena sosok yang memaksa masuk telah berhasil menghasilkan debuman keras.
Setelah sekian lama mengulur waktu, situasi mengizinkannya membuka pintu-dengan bantingan sampai membentur tembok. Memberikan aksesnya pada seseorang yang merasa tidak terganggu atas kedatangannya.
Ia berdecih melihat gestur tenang yang tetap dipertahankan sosok yang duduk di singgasana. Langkahnya tanpa ragu maju menghampirinya dan menggebrak meja.
"Rencana busuk apa lagi yang Anda buat hah?"
Ada selingan beberapa detik yang terisi napas tersengal bekas mengeluarkan amarah. Pria yang sedang duduk dan terfokus pada lembaran kertas mulai terkekeh. "Lama sekali? Padahal aku sudah menunggumu sedari tadi."
"Jangan basa-basi Pak tua, cukup jelaskan mengapa Anda malah memasukkan si komposer sialan ke dalam line debut dan menyisakan satu orang gugur?" Ia menodongkan tatapan menuntut. Dirinya tak habis pikir betapa liciknya seseorang demi sebuah posisi dan uang. Walau demikian, dia menganggap dirinya pun tak jauh berbeda.
Pria tua yang sebenarnya paruh baya itu melepas pulpennya, menselonjorkan kedua kaki tepat di hadapan kehadiran lelaki lain yang menyemburkan emosi tadi.
"Tentunya aku butuh dia untuk segera melunasi hutangnya tapi ... selain itu akan berpengaruh bagus terhadap popularitas grup jika orang berbakat seperti Jaemin ada di dalamnya."
Sesuai dugaan, orang di hadapannya memang benar-benar terlalu pintar untuk memanfaatkan kesulitan orang-orang. Hasil dari perut tambunnya itu pasti berasal dari kelicikan yang dia jalani selama ini.
"Lalu Anda berniat menyingkirkan siapa?"
"Siapa menurutmu?"
Pikirannya lantas mengabsen keenam peserta pelatihan, menilik dari segi kemampuan, uang bahkan orang dalam yang mereka punya. Namun, hanya satu nama yang muncul, dia tak memiliki uang maupun orang dalam, tetapi kemampuannya sangat mumpuni untuk menjadi artis.
"Jeno?"
Pria tersebut tertawa dan berdecak di waktu yang bersamaan. Bisa dibilang tertawaan yang keluar dari pria itu tidak tergolong lelucon menyenangkan. Dia menurunkan kakinya lalu beranjak kehadapan pemuda jangkung yang masih menatapnya skeptis. "Aku kehilangan berlian kalau melepas Jeno."
"Lalu siapa?"
Dia menepuk pemuda yang satunya. Senyum tersungging cukup lebar dalam sangat penuh arti. "Tergantung padamu bisa menyingkirkan siapa."
"Seperti dirimu yang menyingkirkan pesaing putraku."
______________
Malam bertabur bintang sepertinya harus absen kali ini. Hanya beberapa tetes air yang bergulir di balik kaca bus menghiasi langit dari jarak jauh penglihatannya. Mengaburkan pandangan lampu-lampu redup malam dari bulir air. Sama seperti pikiran dan perasaannya, mengabur tak jelas baik itu nasib atau hatinya.
"Menurutmu siapa yang akan gugur?"
Sebuah suara menginterupsi dirinya yang tengah terlarut dalam hening. Ia menoleh ke sisi kiri untuk menjumpai raut yang tidak mengalihkan pandangan dari beberapa orang yang tengah berdiri menggantungkan pegangannya.
"Aku ... tidak tahu." Kali ini matanya lebih asik memandangi seorang ibu yang menaiki bus bersama anak laki-lakinya. Mereka sedikit kelimpungan karena tidak mendapatkan tempat duduk. Ia turut bersedih atas itu.
"Kamu tahu Jen, kita sudah berjuang banyak ... dan tidak bisa gugur begitu saja karena komposer yang belum melunaskan utangnya."
Jeno diam-diam mengangguk. Dunia memang dari dulu tidak bisa memposisikan titik tengahnya dengan tepat sehingga keadilan sangat sulit didapat. Ia dan temannya sama-sama berjuang dengan cara yang bisa mereka tempuh. Bulir keringat, pengorbanan waktu sudah mereka keluarkan semua. Haruskah ketidakadilan dari seseorang yang berpengaruh menghancurkannya?
Pemuda di sebelahnya membuang napas kasar, ia akhirnya melirik Jeno. Tatapannya menyiratkan ambisius yang tak ingin dikalahkan. "Aku tidak akan gugur!"
"Tentu kita tidak akan gugur."
Walau menyingkirkan seseorang dengan cara tidak tepat menjadi pilihan mereka.
Lama keduanya terdiam dalam lamunan tak berarti, harus terusik kala ponsel Jeno berdering keras menuntut untuk diangkat.
Jeno menyunggingkan senyumnya melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Beberapa masalah sebelumnya melupakan ia pada sosok manis yang terus berputar di kepala. Setidaknya hari-hari ke depan tidak begitu buruk karena kehadiran pria manis dengan binar mata polos.
"Ya Renjun ada apa?"
"Apa aku mengganggumu, Jeno?"
Nada suara manis yang terdengar pelan dari sebrang sana. Jeno mengingatnya baik-baik sebagai candu yang ia sukai kini.
"Tidak, santai saja Renjun."
"Oh iya? ... syukurlah."
Jeno menunggu lagi lanjutan perkataan si manis. Meski terdapat jeda tadi, Jeno yakin pemuda mungil itu masih menyimpan kata-kata yang akan diucapkannya.
"Jeno ... sebenarnya maafkan Jaemin tadi sore ya, aku yakin itu hanya refleks karena dia baru bertemu denganmu."
"Tidak masalah, aku mengerti."
"Benar tidak apa?"
Jeno mungkin tampak konyol sekarang dengan cengiran lebarnya, yang untung saja tidak dapat dilihat Renjun Ia mengangguk dengan bodohnya padahal Renjun juga tidak akan bisa melihatnya.
"Iya tidak apa."
"Maafkan atas kelakuanku juga sore tadi."
Hanya bunyi derit khas elektronik yang macet-macet terdengar di telinga Jeno. Ia cukup yakin Renjun tengah terdiam saat Jeno kembali menyinggung tentang ciuman yang hampir mereka lakukan.
"Ah ... itu, aku anggap kamu sedang bercanda."
"..."
Jeno hanya mampu terdiam dianggap seperti itu, untuk sepersekian detik ekspresinya berubah. Ia tidak terima Renjun hanya menganggapnya bercanda. Boleh dibilang Jeno sebenarnya serius dengan pemuda manis yang menembakkan anak panahnya saat pertemuan pertama mereka.
"Tapi aku sungguh-sungguh soal perasaan khususku padamu, Renjun."
"Kuharap kamu mempertimbangkannya lagi."
Renjun merasakan ngilu lagi di jantungnya meski kali ini tidak ingin membuatnya menciut, malah menghasilkan dentuman cepat beberapa kali.
Di seberang sana Renjun hanya bisa menatap ponselnya nanar. Entah apa yang harus Renjun rasakan saat ini. Hatinya sedang bercampur aduk rasa, baik itu dari Jaemin ataupun Jeno. Ia tidak bisa menentukan.
"Maaf Jeno, Jaemin memanggilku."
Nada khas telepon yang sudah diputuskan menyambangi telinga Jeno.
Pertanda berakhirnya panggilan yang dimatikan sepihak oleh lawan bicaranya. Jeno mendengkus kesal mendengar nama pesaingnya yang mungkin akan menjadi pesaing dalam segala aspek, diucapkan Renjun sebagai alasan mematikan telepon.
Jeno berdecih kesal. Dirinya sedikit melupakan ada sosok lain yang sangat dekat dengannya saat ini mendengar semua pembicaraan tadi.
"Kamu ditolak ya?"
"Diam Hyunjin!"
.
.
.
To be continued...
.
.
.
Hai apa kabar?
Pusing gak sama jalan cerita di atas?
Ada yang mau nanya?
Irasional kah alurnya?
Wkwk 😂
•
•
Ada sesuatu yg mengharuskan aku ngehold atau hiatusin ni ff, gimana?
Karena peminat ff ini juga gak banyak amat dan aku lagi ngerjain proposal skripsi
Jadi fokus tanggungjawabnya kebagi dua
Pengennya sih cepet nyelesein karena perkiraan aku ff ini cuma 12 chapter aja (kayaknya)
Tapi semua itu tergantung antusiasme kalian sama kelanjutan blanc swan hehe
Yang pasti sih bakal diselesein
•
•
Gak pada berharap di sini ada adegan mature kan?
Norenmin isnt only about threesome 😌
But yeah menurut kalian?
Jadi injun pilih kiri apa kanan nih?
Sama Calon boygroup?
Atau
Sama komposer ganteng?
Tentukan pilihan injun mulai dari sekarang...
Wkwk 😂
Udah ya a/n nya selalu panjang deh
Vote and Comment selalu ya
[Segera di Revisi]
Sekian dan Terima Kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top