-3-
"Kumatikan teleponnya!"
Helaan napas panjang mengawali pembicaraan mendadak yang diminta oleh pria bermarga Lee ini. Semilir angin mengitari dua insan yang tengah menikmati embusan udara ringan di atas gedung hampir setinggi tiga meter dengan beralaskan dua kursi kayu coklat dan sebuah payung lebar yang melindungi mereka dari terik matahari sore.
"Ini masalah sched—"
Dering musik menyapa lagi sosok yang tengah bergelut dari setiap suara yang masuk ke ponsel.
"Astaga!! Apalagi ini?!" Terangkatnya kasar benda canggih keluaran model terbaru tanpa mengecek apa yang tertera pada layarnya yang tiba-tiba menampilkan satu nama. Ia lantas menggeser layar tersebut.
"APA?!"
"Dasar anak durhaka! Berani sekali nada suaramu begitu pada ibu hah!"
Pria Lee ini menciut tatkala serentetan kalimat dari tutur kata khas milik sang ibu terdengar. "A-ah Ibu? Maaf aku kira klien tadi, Bu."
Dengusan pendek sebagai jawaban pertama dari kilahan anaknya membuat Lee tertawa hambar.
"Sudah lupakan! Langsung saja, pulang nanti Ibu ingin kamu membawa gadis atau pria cantik sebagai kekasih! Atau pertunanganmu benar-benar akan terjadi!"
"Astaga Ibu masih membahas ini! Aku tidak bisa, Bu," rengek pria ini membuat pemuda di hadapannya menaikkan sebelah alisnya aneh. Melihat dari kelakuannya di luar wibawa yang biasa ditunjukan. "Aku masih muda, Bu!!"
"Muda? Kamu sudah 29 tahun astaga Mark Lee! Tidak bisakah kamu membawa artis asuhanmu yang cantik itu ke hadapan ibu saja?" Omelan panjang terdengar begitu jelas singgah di pendengaran pemuda cantik di hadapan Mark Lee. Sampai-sampai keduanya mengerut malu.
"Ugh maaf Renjun," bisiknya sambil menjauhkan gawai itu dari mulutnya.
Pemuda itu mengangguk pelan, sedikit menganga melihat perangai wibawa manager yang langsung hilang ketika berhadapan dengan ibunya.
"Ibu heran ... kamu ini bekerja di tempat banyak manusia-manusia menawan, tapi kamu tidak bisa menggaet satu pun dari mereka sebagai kekasih?!"
"Bu!"
"Pokoknya dalam seminggu ini kamu harus membawa calon menantu untuk Ibu titik!"
Bersamaan dengan suara tegas yang memerintah, panggilan itu dimatikan. Mark Lee menggaruk telinganya—malu.
"Maaf atas yang kamu dengar, Renjun." Mark berdeham berusaha mengembalikan suasana yabg canggung. Akan tetapi, semuanya sudah terlambat wibawanya hilang tergerus omelan ibunya tadi. "Jangan dipikirkan ya."
"Tidak apa Mark hyung, aku baru melihatmu yang seperti itu." Dia cekikikan manis memandang manager-nya yang masih malu. "Jadi ada apa, hyung?"
"Oh iya, jadi begini, aku ingin mengatur ulang jadwalmu check up dan kunjungan ke teater." Mark menilik perubahan raut ekspresi artis kebanggaannya, senyumnya sedikit pudar. Diskusi tentang teater adalah hal yang cukup sensitif bagi Renjun mengingat dua bulan yang lalu konser tunggalnya dibatalkan sepihak karena cederanya.
"Lalu hyung?"
Lihat! Dia masih mengusahakan terlihat baik-baik saja membahas perihal ini.
"Jadwal check up kemungkinan menjadi di pagi hari dan jadwal untuk ke teater diperbanyak karena kamu dibutuhkan untuk menjadi pembimbing para balerin yang akan mengisi pagelaran tahunan," jelas Mark sembari melihat jadwal Renjun di tablet-nya.
"Kamu sudah diberitahukan soal menjadi pembimbing bukan?"
Renjun kembali mengangguk. Sebenarnya bagi pemuda itu, menjadi pembimbing di saat cedera adalah hal berat. Akan tetapi, dia tidak harus mengajari gerakan hanya sebatas mengamati juga memberi masukan. Meski hal tersebut tentu membuatnya gatal ingin ikut terjun mempraktekkan apa yang dia bimbing.
"Hanya itu saja, tapi jadwal ini mulai berubah besok lusa, Renjun." Pria dengan nama asli Minhyung melihat lagi ke arah tablet-nya memperhatikan setiap tanggalan yang berisi jadwal Renjun.
"Eung, terima kasih, Mark hyung." Renjun sedikit mencondongkan badannya pada sang manager, matanya dia alihkan pada kedua tangannya yang saling menggenggam. "Hyung pasti kesulitan mengatur jadwalku yang bahkan tidak perform ini."
Tangan Mark terulur mengusap helaian rambut halus milik Renjun. "Tidak apa Renjun, ini juga bagian tugasku sebagai manager-mu."
Mark juga merupakan salah satu penikmat seni. Akan tetapi, orang tuanya tidak begitu mengizinkan dirinya menjadi pelaku seni layaknya Renjun, jadi ia pikir menjadi tim sukses di balik para pelaku seni mungkin lebih baik. Berbekal kenalan jauh yang mempertemukannya dengan Jaemin—saat itu Jaemin sedang mencarikan seseorang yang tepat menjadi manager bagi Renjun. Ia berhasil melakukan kontrak sebagai manager Renjun hingga saat ini. Mark bersyukur artis yang dia pegang bukan artis yang kebanyakan maunya, malah Renjun lebih seperti adik manis baginya.
Ya, meski pada persetujuan kontrak, Jaemin mewanti-wanti keras dirinya untuk tidak menyukai lelaki mungil yang menjadi dambaan penonton di teater.
Bicara soal Jaemin, pria itu juga memintanya lebih mengawasi penggemar-penggemar Renjun. Menyuruhnya menolak beberapa hadiah yang diberikan pada Renjun.
Mungkin pertanyaan yang sama terpikirkan di benak kita semua. Kenapa tidak Jaemin saja yang menjadi manager Renjun??
Kalau dia punya waktu dan berkemampuan me-manager-i Renjun—bukannya menjadikan uhuk kekasih, mungkin Jaemin sudah menjadi manager-nya dari dulu. Kira-kira begitulah yang Jaemin ungkapkan ketika ia mengisi kontrak manager Renjun.
.
______________
.
Mark melihat rambut karamel menyembul dari balik pintu dan berlari tergopoh-gopoh menghampirinya dan Renjun.
Panjang umur ....
"Renjunie!" Napasnya tersengal-sengal, dia berpangku pada kedua lututnya. Tanpa memedulikan Mark—setidaknya memberi sapaan pada lelaki itu dan langsung berkata pada Renjun, "Maafkan aku ...."
Renjun bergeming. Lelaki mungil itu malah mengalihkan pandangan berusaha membuat Jaemin tidak dapat melihat ekspresi yang meliputi wajahnya.
Melihat reaksi semacam itu malah membuat Jaemin berlutut meraih tangan Renjun, menggenggamnya erat. "Renjun, sungguh aku tidak bermaksud atas perkataanku tadi. Maaf Renjun ... tolong lihat aku."
Di lain sisi Mark merasa jengah, keberadaannya bagai kaca tembus pandang yang terabaikan. Melihat pemandangan dua orang yang lebih muda darinya seperti sedang dalam sesi bertengkar. Mark jadi terpikirkan, haruskah dirinya membantu mereka?
"Ada apa ini?" tanya Mark mengernyit heran.
"Oh Mark hyung." Lelaki dengan rambut karamel itu berdiri, mengalihkan perhatiannya pada Mark. "Aku ... butuh waktu berdua dengan Renjun, ada yang ingin aku ucapkan padanya."
"Kamu mengusirku ya?"
"Eh bu—bukan begitu, aku sebenarnya mau menyampaikan minta maafku pada Renjun karena kata-kataku tadi," terang Jaemin tidak mengindahkan seseorang yang tengah merengut was-was. "Aku kelepasan memarahi Renjun, karena dia coba-coba melakukan pointé sampai hampir jatuh lalu aku tidak sengaja mengucapkan kata-kata itu."
"JAEMIN!"
Si mungil baru membalikkan badannya setelah penjelasan panjang Jaemin pada Mark.
"Apa?! Kamu mencoba pointé Renjun?" Mata Mark memelotot serius. Hal itu membuat Renjun menciut dan mengangguk pelan atas jawabannya.
"Kan sudah kubilang! Dokter juga sudah mewantimu, tulangmu itu butuh posisi normalnya sampai beberapa bulan ke depan." Mark mendesah berat, ternyata artisnya cukup nakal juga. "Jangan sampai kamu membuat cederamu sendiri bertambah parah, Renjun!"
"Ta—tapi Mark hyung ...," cicitnya.
"Renjun, jangan keras kepala! Ini untuk kebaikanmu sendiri." Mark melirik Jaemin yang dalam diam menatap Renjun. "Jaem, tolong lebih perhatikan Renjunmu!"
"Tentu saja!"
Renjun yang semula menundukkan kepalanya karena merasa ciut akan peringatan Mark kini mengangkat kepalanya. Mata bulat yang berkaca-kaca menatap sebal dua pria di depannya.
Dengan langkah yang masih agak tertatih, dia pergi meninggalkan lagi Jaemin dan Mark.
Dapat keduanya dengar di balik bantingan pintu, teriakan Renjun yang mengatakan bahwa dia membenci Jaemin.
"Apa aku salah lagi?"
______________
Renjun tanpa balet adalah Renjun yang berkelana tanpa raga.
Ungkapan itu benar adanya tersemat untuk Renjun. Tanpa aktivitas seharian penuh yang membuat dirinya selalu berada di teater ataupun sanggar, membuatnya hilir-mudik berkeliaran tak jelas. Pekerjaannya menjadi tidak sesibuk biasanya kala musibah itu datang.
Meski studio Jaemin selalu menjadi tempat terakhirnya untuk singgah, tetapi kaki-kakinya impulsif meninggalkan tempatnya biasa membunuh sepi.
Katakan saja diri Renjun terlalu mudah tersugesti kata-kata sehingga ia memasukkan begitu saja setiap perkataan yang diterimanya dalam satu arti. Tidak memikirkan lebih jauh makna sebenarnya yang Jaemin utarakan adalah untuk kebaikannya sendiri.
Maka dari itu otaknya spontan memerintah menjauh dari semua tentang Jaemin. Renjun tidak kekanakan, hanya saja, bisakah orang-orang mengerti isi hati kecilnya.
Kakinya masih setia menuntun raga yang berjalan tanpa tujuan hingga bahunya berbenturan keras dengan pejalan kaki lainnya.
Ia mengaduh, "Yakh."
"Lihatlah ke depan jika sedang berjalan, Nona!"
Huh? Nona? Panggilan yang menjatuhkan harga dirinya. Belum lagi ditambah ucapan yang orang asing katakan harusnya ditujukan pada dia sendiri yang lebih terburu-buru.
Tanpa sempat melayangkan protes, pemuda itu melenggang pergi dengan cepat, meninggalkan Renjun dengan balasan kata yang tertahan di ujung lidahnya. Ia hanya dapat melemparkan sumpah serapahnya tanpa ada yang mendengar.
"Renjun?"
"YAK!—APALAGI?!"
Lengkingan suara Renjun membuat beberapa orang di sekitar memusatkan perhatian padanya. Renjun terkaget. Bagaimana tidak, jika di saat ia sedang sibuk bersumpah serapah tiba-tiba telapak tangan menarik bahu dan memanggil namanya.
Untung saja Renjun tidak bergerak refleks melakukan aksi bela diri yang pernah diajarkan Jaemin jika bertemu penjahat.
"Uh jangan teriak Renjun."
Renjun melirik kiri-kanannya, orang-orang sudah kembali kepada aktivitasnya dan melepaskan perhatian darinya. Ia bernapas lega. "Maaf, kamu mengagetkanku sih!" kelitnya hambar berusaha menutupi rasa malu.
"Maaf aku tidak bermaksud ... em ngomong-ngomong apa yang kamu lakukan di sini?"
"Aku? Oh hanya sedang berjalan-jalan, Jeno sendiri?" tanya Renjun sembari meneliti penampilan Jeno yang hampir mirip sewaktu mereka pertama bertemu.
Jeno mengernyitkan dahinya heran. "Sendirian?"
"Iya, kamu tidak lihat aku dengan siapa pun di sini, kan?"
Lengkungan kelopak mata Jeno yang terlihat seperti senyum kembali terpatri di wajah rupawan yang penuh peluh. Pemuda itu terkekeh karena sosok di depannya, ternyata mampu menghilangkan rasa penat serta kesal ketika dirinya berlatih tadi. Sikap Renjun di luar dugaannya sama sekali, di pertemuan mereka yang ketiga dia tetap begitu jujur dengan setiap nada ucapannya yang kelewat semangat—kecuali yang satu, waktu itu—membuat Jeno ikut merasa batinnya terisi semangat kembali.
"Mau berjalan-jalan bersama? Kebetulan latihanku juga sudah selesai," tawar Jeno setelah sadar mereka berbincang di tengah jalan menghalangi pejalan kaki lain.
"Tawaran yang menarik. Berjalan-jalan dengan calon artis sebelum terkenal, haha."
Keduanya terkekeh bersama tak menghiraukan posisi mereka yang sebenarnya menghalangi orang lalu-lalang dengan latar lembayung sore menghiasi indahnya tawa dari dua orang yang sama-sama sedang melepas kesal.
Jeno mengakhiri terlebih dahulu tawanya. Dia mengalihkan pandangannya sedetik pada bangunan di sampingnya lalu kembali menatap rupa manis yang tengah berseri-seri. "Tapi aku harus mengambil barang-barangku di dalam, kamu ... mau menunggu atau ikut ke dalam?"
Sudah dibilang bukan Renjun berjalan hanya mengikuti kemana langkah kaki membawanya. Sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa dirinya berada di depan gedung kebesaran tempat Jeno berlatih keras setiap harinya.
Renjun menatap lekat gedung itu, rasa penasarannya muncul akan isi gedung yang hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu saja. Seperti apa di dalam sana? Apa seperti teater dan sanggarnya?
"Aku ikut!"
.
______________
.
Kaca besar memenuhi dinding di setiap sisi ruangan begitu juga speaker yang disimpan apik di setiap sudut atas. Penampakan yang sama dengan tempatnya biasa berlatih di sanggar. Hanya saja tiang barre tidak tersedia mengelilingi ruangan ini.
Namun, Renjun begitu terpana, matanya berselancar bebas mengamati ruang latihan Jeno. Pandangan matanya bertubrukan dengan bayangannya sendiri, ia mengusap halus bayangannya yang terpantul, merasakan kaca dingin menembus kulit arinya. Perasaan ini kembali lagi, menyeruak, mendobrak keras pintu hatinya. Kenangannya berproyeksi di air mata yang menumpuk pada pelupuk mata, bayangan dirinya sedang bergerak anggun kesana-kemari memperlihatkan putaran yang selalu ia banggakan. Satu kenangan itu membawa titik air matanya meluncur, Renjun rindu balet.
"Ayo, aku sudah selesai!" ujar Jeno di ujung berlainan dengannya, memutus bayangan pahit yang tiba-tiba teringat.
Renjun buru-buru menghapus air matanya yang turun, ia menghadap Jeno dengan senyum. "Jeno!"
"Panggil saja Jeno."
"Iya Jeno, bisakah kita di sini saja?"
Jeno sedari tadi menatap lekat pemuda yang lebih kecil menunggu apa yang ingin ia sampaikan. Dia sedikit mengerjap, berusaha menyadarkan diri bahwa tatapannya yang terlalu intens bisa saja menakuti pemuda manis di hadapannya sekaligus mengingatkannya tentang isi kontrak yang mengacu pada larangan memiliki kekasih.
"Tidak jadi jalan-jalannya?"
Gelengan kecil Renjun lakukan, membuat surai halusnya berterbangan. Jeno harus meneguhkan hatinya pada kegiatan kecil yang dilakukan Renjun bisa menarik sedikit demi sedikit perasaannya untuk berkembang. Dia harus berpegang teguh.
"Aku ingin melihatmu menari, bolehkah?" pinta Renjun.
Jeno membalas senyum kecil. "Tentu."
Jeno melepas ranselnya. Menghampiri audio di sudut ruangan, mencari kabel inject untuk menyambungkan ponselnya dengan speaker sampai terdengar nada-nada dengan beat cepat mengalun keras di penjuru ruangan.
Tatapan Renjun tak pernah lepas dari mulai Jeno memutar lagu hingga meliuk-liuk tajam di tengah. Benar-benar memperlihatkan gerakan tegas yang sangat kontras dengan gerak penuh kelembutan dari balet.
Renjun mengerti mengapa menjadi bagian dari boyband itu sulit, melihat jeno sebegini hebatnya pasti dibutuhkan latihan rutin serta latihan-latihan pendukung lainnya seperti latihan fisik demi menguatkan setiap locking pada gerakannya.
Ia teringat seseorang juga yang dulu di tempat yang sama dengan Jeno, tetapi entah mengapa seseorang itu berhenti tidak lagi meneruskan hal ini.
Renjun banyak berpikir hanya dengan melihat Jeno mengentakkan tangan dan kakinya selaras beat lagu. Membuat ia tidak menyadari tangan Jeno tengah terulur di hadapannya, seakan mengajaknya turun untuk menemaninya menari.
"Ti—tidak Jeno, tidak mungkin kakiku—"
Jeno bersikukuh. Menarik pelan Renjun hingga berdiri berhadapan dengannya. "Ini hanya pendinginan, pelan-pelan saja tidak akan apa-apa."
Renjun tentunya mengerti apa yang dimaksud dengan pendinginan. Meski gerakan sederhana yang selalu dilakukan akhir menari hanya sekadar merilekskan seluruh anggota tubuh, tetapi ia masih sangat khawatir.
Seperti waktu itu, Jeno meyakinkannya lagi. Pemuda bersurai hitam legam itu menuntunnya seperti dalam dansa di ballroom megah. Alunan lagu berganti tepat seperti apa yang mereka lakukan saat ini.
Sela-sela jari mereka saling mengisi—bertautan dengan lengan kanan Jeno yang begitu pas menempati pinggang ramping Renjun membawa tubuh mereka ke dalam jarak yang amat dekat. Bersamaan dengan kedua mata mereka yang seolah menghipnotis satu sama lain, tatapan lekat yang Renjun rasakan mampu menggetarkan sesuatu, menjalar naik hingga ke kedua pipinya sampai memerah.
Namun, ....
Renjun mendesis kesakitan.
Jeno menangkap tubuh Renjun yang hampir limbung, mendekapnya lebih erat. "Kamu tidak apa-apa?" Dia memeriksa seluruh tubuh dalam dekapannya lalu kembali pada dua bola mata bening yang terpatri padanya. "Apa yang terjadi?"
Raut khawatir tercetak jelas, tercurah dari mata tajam yang meneduh menatapnya. Renjun tidak ingin menampik bahwa ia kehilangan keseimbangan hanya karena tatapan pemuda ini. Akan tetapi, tidak mungkin dirinya jujur mengungkap hal seperti itu.
Mereka sama-sama terpaku dalam dekapan erat, membiarkan lagu mengganti alunannya, melewatkan setiap bunyi detak jarum jam dengan gemuruh kecil yang mengetuk hati keduanya bersamaan.
Mengabaikan penonton tak diundang yang memandang tajam tertuju pada keduanya.
______________
Satu tahap lagi menuju terselesaikannya pekerjaan Na Jaemin.
Bertemu dengan produser yang telah membeli olahannya selama berjam-jam di studio pengap dengan harapan imbalan berkali-kali lipat untuk membayar hasil jerih payahnya.
Tahap terakhir yang mengharuskan ia keluar dari studio dan memasuki bangunan megah yang memuakkan bagi Jaemin.
Meskipun dirinya menjadi sangat terbiasa keluar-masuk tempat yang bernama agensi tetap saja ada yang membuatnya benar-benar tidak menyukai tempat ini. Jaemin ingin segera menyelesaikan urusannya dan pergi. Akan tetapi, pendengarannya menangkap suara yang ia sangat kenali, membuatnya tergopoh-gopoh menghampiri letak suara tersebut.
Walau yang ia dapatkan bisa diartikan lewat ekspresinya saat ini.
Buku-buku jarinya memutih karena kepalan tangan menguat. Jaemin menggeram rendah. Pemandangan di dalam ruangan yang pintunya sedikit terbuka, membiarkan Jaemin menyaksikan dengan matanya sendiri.
Sosok yang ia kira telah pulang kini ada di dalam.
Dalam dekapan orang lain.
Dengan pandangan terpana satu sama lain. Bahkan di mata Renjun, tatapan seperti itu tak pernah Jaemin dapatkan.
Suara mendesis khas orang kesakitan mendadak terucap darinya.
Tubuh Renjun tiba-tiba limbung. Membuat Jaemin sangat ingin melangkah masuk, tetapi detik selanjutnya adalah pemandangan yang lebih menyakitkan mata.
Dekapan lebih erat.
Dekapan yang mampu menahan pergerakannya. Degup jantung Jaemin seakan-akan berhenti kemudian teremas begitu kuat hanya dengan melihat Renjun terselamatkan dalam dekapan orang lain.
Mata Jaemin memanas. Tak mungkin ada yang bisa menggantikan posisinya di sisi Renjun.
"Tuan Na Jaemin?"
"Hm— iya?" Jaemin hampir kedapatan membuka lebih lebar pintu yang sedari tadi ia intai sampai pria berusia sekitar 40-an menghampirinya.
"Anda sudah ditunggu produser Choi di ruangannya," katanya sambil mempersilakan untuk mengikuti langkahnya.
Jaemin mengangguk dalam diam membiarkan pria itu memandu jalan. Matanya kembali melirik isi ruangan itu dengan tangan terkepal. Renjun harus memberikan penjelasan padanya nanti.
.
______________
.
"Aku sudah mendengar demo versionnya, sangat tepat untuk grup baru yang akan kudebutkan nanti."
Amplop coklat tebal tersodor di hadapannya dengan perlahan mengalihkan fokus seluruh orang pada kemungkinan isi dari amplop yang begitu menggiurkan.
"Sisanya tentu akan kutransfer ke rekeningmu, senang berbisnis denganmu Na Jaemin." Pria yang terlihat lebih tua lagi dari pria sebelumnya, belum lagi penampilan tambun sangat mengesankan keangkuhan bahkan juga dari caranya berbicara. Jaemin hanya mampu mengangguki setiap kata yang terucap dari pria tambun itu sampai jabatan tangan mengakhiri semuanya.
Jaemin mundur dengan hormat, membawa upah hasil jerih payahnya. Meski upah tersebut tidaklah dalam jumlah sepenuhnya—walau ditambah sisa yang dikirim ke rekeningnya. Tangan satunya sudah siap mendarat di knop pintu sampai suara pria tambun itu mencegahnya.
"Sejujurnya kamu kelihatan cocok berada dalam grup boyband ... ya jika kamu berminat, aku akan sangat dengan mudah memasukkanmu."
"Tidak, terima kasih!"
.
.
.
.
To be continued...
.
.
.
Hehe kok update sih? -biarin hehe
Lho kok ada MarkRen sih??? -biarin hehe
Lho kok tumben panjang?? -biarin -eh emang kepanjangan gitu???
Lho lho kenapa biarin mulu sih? Ya biarinlah
Halooooo ada yang gak nungguin work ini gak?? Wkwk
Lol...
Hayo deh jangan pada berekspetasi lebih sama update-an ini ya wkwk
Aku cuma mau menuntaskan apa yang tersimpan di draft karena late update 😌
Oh iya ada yang masih ingat Renjun piyama pink di chapter 1?
Nah uri great fanartist kak riri05kazami buatin visualisasinya yang unyu banget nih /sungkem/
Ucul kan yaaaa? Sampe bikin Jeno aja kaget hehe
Jangan liat collarbonenya nanti kalian khilaf wkwk
Kasih Hatur nuhun/Terima kasih/ sama Kak Riri dong 👍👍
Segini ajalah dulu ya :" kalo ada yg mau kalian tanyain /apaan emang/ nyampah aja di kolom komentar yaaa
Tidak lupa diriku minta sumbangan vote dan commentnya dari readers baik hati yang mau mampir ke sini hehe
© MidsummerKnight (Multimedia)
[Segera di Revisi]
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top