-2-

Gerakan tegas diikuti hentakan bertenaga di tangan yang mulai menunjukkan otot biceps bersinkronisasi dengan setiap ketukan lagu yang mengiringnya. Detail-detail tiap gerakan terlihat jelas dan padat seolah-olah ia adalah profesional yang telah lama berkecimpung dalam dunia modern dance ini.

Dengan peluh yang membanjiri tubuh, ia memfokuskan mata tajamnya pada pantulan kaca. Meneliti proporsi gerak yang tidak seimbang. Mencari letak kesalahan yang mengakibatkan coach memarahinya beberapa hari lalu.

"Hentikan loser!" Suara itu menusuk telinganya menggantikan alunan musik yang orang itu matikan.

Ia memandang setengah sengit orang barusan yang telah lancang menganggu latihannya.

"Move! Para senior ingin memakai tempat ini." Lagaknya penuh kesombongan mengibas-ngibaskan tangan bagai meremehkan.

Dengan sentakan kasar, ia raih tasnya beserta barang-barang yang tercecer. Dengusan kecil ia tunjukan tepat ketika mereka saling berhadapan kemudian melangkah cepat meninggalkan orang-orang memuakkan yang telah menganggunya.

Jalan hidup seorang trainee[1] memang tidak mudah.

Banyak yang mengira setelah masuk menjadi trainee agensi ternama akan memberikan kemudahan untuk sukses nantinya.

Namun, itu hanya bualan belaka.

Perjalanan berat menanti tiap trainee setelah memutuskan untuk membubuhkan tanda tangan di atas kontrak jahanam yang mengikat ketat.

Belum lagi kehidupan antar sesama trainee yang bisa dibilang tidak baik. Pengelompokkan untuk menunjukkan kekuasaan yang terjadi secara alamiah antar trainee biasa, trainee kalangan atas serta trainee-trainee dari luar negeri.

Sudah terlambat untuk menarik keputusan itu kembali. Akan tetapi, Jeno tidak merasakan penyesalan apa pun. Memang sudah keinginannya sedari dulu untuk menekuni bidang yang ia suka dalam jenjang yang lebih serius.

.

______________

.

Pintu otomatis baru saja menutup tepat setelah ia lewat. Jeno melihat jam tangan yang menunjukkan pukul sembilan malam.

"Biasanya selesai jam satu. Ck! Sialan!"

Staff sialan bagi Jeno tadi telah mengambil tiga jam latihan berharganya. Ia butuh latihan-latihan itu. Tidak mudah untuk mendapatkan pujian dari coach apa lagi kesempatan debut yang sangat kecil jika ia hanya bergantung pada kemampuan yang sudah ia miliki.

Jeno harus lebih dari itu.

"Aku harus berlatih lagi nanti." Jeno berdecak kesekian kalinya. "Ah iya di mana ponselku??"

Tangannya sedikit kebas akibat beberapa gerakan yang tadi ia forsir—tengah mencari-cari di mana letak benda canggih itu dalam tasnya yang teracak-acak. Cukup lama Jeno masih berdiam di tempat yang sama sampai tangannya merogoh ke sisi paling dalam tas.

"Nah ini dia!" Hemari Jeno dengan lancarnya mengetikkan sesuatu di gawai kemudian mendekatkan benda itu di daun telinga.

"Halo ..., oh iya Hyunjin, maaf menganggumu malam-malam."

"Bisakah kamu meminjamkan studiomu malam ini? Sebentar saja nanti aku kembalikan kuncinya pagi-pagi sekali, ya?" Jeno terlihat menganggukkan kepala merespon balasan ucapan seseorang yang sedang ia telepon.

"Oke, ada di bawah pot kuncinya? Ya, terima kasih banyak Hyunjin, selamat malam!" Jeno menutup panggilannya, menjauhkan gawai dari telinga. Ada satu kontak nama yang sempat lewat, mengingatkannya kembali beberapa hari lalu ia terluka dan begitu kelelahan akibat terlalu memforsirkan diri.

Ketika Jeno akhirnya di penghujung sore tidak bisa fokus pada latihan yang ia lakukan dua hari tanpa henti. Pelatih memaksanya pulang dari pada berada di tempat latihan terus-menerus salah membuatnya naik pitam. Mau tidak mau Jeno melangkah dengan gontai sambil pikirannya tak menentu. Akan tetapi, hadangan tak jelas dari seseorang yang mungkin dia kenal ternyata tak cukup membuat hari Jeno semakin buruk.

Untungnya ada malaikat kecil nan indah yang menolongnya. Jeno terus berseri tiap kali mengingat wajah dan suara Renjun yang manis.

Lantas jarinya dengan cepat mengetikkan beberapa kata. Jeno tersenyum kala laporan pengiriman pesannya telah sampai.

Hai Renjun ini aku jeno

Apa besok kamu free?

Aku ingin mengajakmu makan siang

sebagai cicilan balas budiku padamu.

Aku tidak menerima penolakkan ya...

SEND

.

______________

.

Sinar mentari pagi menyeruak, menerobos sela-sela gorden menghangatkan suasana kamar yang di dominasi warna putih dan pink. Erangan kecil terdengar dari sosok mungil yang masih bergelungkan selimut putih ketika alarm berbunyi nyaring di samping telinganya. Ia menggeliat tak nyaman kemudian mendudukkan diri dengan susah payah menjangkau alarm tersebut dan mematikannya. Tangannya meraih benda lain yang berada di nakas.

Ia meneliti benda yang disebut gawai itu. Terdapat sekitar 12 pesan masuk di antaranya satu pesan dari Mark, enam pesan dari Jaemin dan lima pesan dari nomor tidak dikenal.

Renjun terburu-buru membuka pesan dari nomor tidak dikenal dan mengabaikan pesan dari Mark ataupun Jaemin.

Hai Renjun ini aku jeno

Apa besok kamu free?

Aku ingin mengajakmu makan siang

sebagai cicilan balas budiku padamu.

Aku tidak menerima penolakkan ya....

"Oh rupanya dari pemuda itu."

Jemari-jemari lentik milik Renjun menari di atas layar sentuh gawainya. Wajah manisnya terlihat antusias waktu mengetikkan beberapa kata.


Halo jeno

Maksudmu hari ini kan? Hari ini aku free

Aku tidak bisa berkata selain iya kan?

SEND

Tak begitu lama bunyi notifikasi menghampiri ponselnya. Tanda pesan masuk.

Iya hari ini.

Hhh, kamu harus berkata iya

Jam 12 di café xxx bagaimana?

Oke Call!
✅ SEND

Pipi gembilnya mengembangkan senyum manis. Ia mengunci layar gawai dan menyimpannya di nakas bersamaan dengan matanya yang melirik jam.

"APA?! JAM SETENGAH 9? AKU TERLAMBAT!!!!"

Renjun melemparkan selimut yang menutupi seperempat badannya dan berlarian kecil memasuki kamar mandi.

Ada pertemuan penting di teater balet sekitar pukul sembilan. Meski Renjun tidak lagi aktif dalam pertunjukkan balet, tetapi ia masih sering mengikuti pertemuan atau bahkan sekadar menonton penari-penari baru yang sedang di latih.

Hal yang tentunya malah menambah beban di hati ketika melihat kaki-kaki anak kecil itu melompat riang mengikuti arahan sang instruktur.

______________

"Hai!"

"Oh hai!"

"Sudah lama menunggu?"

"Tidak, aku juga baru sampai," ujar pemuda dengan jaket luar semi jeans yang berwarna ungu ditambah turtle neck gading di dalamnya. Tangannya hampir tertutupi oleh kain lengan yang kepanjangan, tetapi menambah kesan manis.

Jeno menarik kursi di hadapan pemuda itu. "Apa kamu sudah memesan?"

Ujung helai poninya ikut bergerak waktu dia menggeleng. Jeno sedikit terperangah. Lagi-lagi ia menemukan hal yang menarik dari pemuda ini. "Kalau begitu kita memesan sekarang ya, kamu mau apa?"

"Apa saja aku tidak masalah."

"Baiklah, Renjun."

Jeno memeriksa buku menu, tetapi ia sesekali melirik Renjun yang tengah mengarahkan pandangannya ke seluruh bangunan kafe. Dia terlihat sangat lembut dengan outfit yang dipakainya hari ini. Jeno pikir makanan-makanan lembut dan manis cocok untuknya.

Pelayan kafe mendatangi mereka tepat saat Jeno akan memanggilnya. Bibir tebal nan seksi milik Jeno terus mengucapkan nama-nama yang terdapat di menu sambil sesekali ia menatap Renjun yang terlihat kikuk mengenggam kedua tangannya sendiri.

Pemuda itu masih menelusuri pernak-pernik yang tertata rapih di setiap sudut kafe sampai Jeno mengalihkan perhatiannya.

"Renjun?"

"Ah ya, Jeno?"

"Terima kasih." Jeno menjeda ucapannya. "Jika waktu itu tidak ada kamu, mungkin luka yang aku dapatkan akan lebih parah." Mata Jeno menyipit, menunjukkan eye smile yang selalu menjadi daya tariknya selama ini.

"Sama-sama Jeno. Aku hanya melakukan kewajibanku menolong sesama."

"Aku rasa traktir saja tidak cukup untuk membalasmu ...."

"Eh tidak usah repot-repot! Ini juga sudah cukup Jeno."

Renjun sedikit sungkan, dirinya hanya menolong mengobati, memberi makan, serta tempat berteduh sementara. Akan tetapi, Jeno terlihat sebegitu inginnya berbalas budi.

"Aku serius. Kamu menolong sebagian kecil nyawaku Renjun. Kalau kamu memerlukan bantuanku, mungkin kamu bisa memanggilku."

Pembicaraan mereka berhenti saat pesanan mereka tiba. Renjun mengernyit heran dengan dessert yang Jeno pesankan untuknya.

Menyadari raut kebingungan Renjun, Jeno terkikik, "Aku pikir kamu cocok dengan biskuit yang manis dan lembut."

Renjun mengangguk pelan atas penjelasan Jeno. Biskuit coklat sebagai taburan topping di atas kue strawbbery lembut menggugah mata meski mungkin rasanya akan sangat manis. Sejujurnya Renjun tidak terlalu menyukai yang manis manis, tetapi dia tersanjung akan ucapan Jeno. Dia mulai menyantap hidangan yang tersedia di hadapannya.

"Kamu tidak sekolah? Kurasa ini masih jam belajar," ucap Jeno sebelum menyuap makanan ke dalam mulutnya.

"Aku ini sudah lulus tahu!" balas Renjun yang nadanya dibuat sedikit merajuk.

Eye smile Jeno muncul perlahan di saat dirinya tersenyum malu. Kepalang basah dan salah mengira-ngira. "Ah maaf kukira kamu masih sekolah." Jeno menunduk sekilas mengembalikan percaya dirinya. "Berarti kamu sekarang kuliah ... atau bekerja?"

Pemuda yang lebih kecil menyimpan alat makannya. Seolah-olah ingin berkata serius. "Aku juga sudah lulus kuliah." Dia terkikik melihat ekspresi Jeno yang terkaget-kaget. "Aku juga sudah bekerja di salah satu teater balet."

"Penampilanmu benar-benar menipu." Jeno pura-pura mengalihkan mukanya, tetapi sedetik kemudian ia hampir berteriak tak percaya, "Kamu seorang penari?"

"Iya, bisa dibilang begitu." Renjun mengangguk sambil menyuap sesendok lagi kue ke dalam mulutnya.

"Wah! Berarti kita sama. Aku juga penari!"

"Benarkah? Penari apa?"

Jeno menegakkan tubuhnya antusias. Pemuda itu sedikit berbinar menceritakan hal kesukaannya. "Tadinya aku cuma penari jalanan, tapi ini rahasia ya." Ia mencondongkan badannya dan diikuti juga oleh Renjun. "Aku diterima street casting[2] di agensi Neo City jadi sekarang aku seorang trainee."

Mata Renjun melebar tak percaya mendengar penuturan Jeno. "WAH KAMU CALON ARTIS, JENO!"

Jeno lantas meletakkan telunjuknya di bibir dan mengeluarkan desisan pelan. Ia melirik kiri-kanan berharap percakapan mereka tidak menimbulkan banyak perhatian orang sekitar.

"Oh iya maaf ..., beritahu aku kalau kamu debut[3] ya! Nanti aku akan menontonmu!"

"Harus! Kamu juga Renjun, aku ingin lihat pertunjukkanmu," ujar Jeno sembari menyungging senyum serta pupil hitamnya yang menghilang di balik kelopak mata yang ikut tersenyum.

Namun, lain untuk pemuda di hadapannya. Renjun langsung tersenyum kecut. Wajahnya yang berbinar redup, lantas tergantikan raut muram. "Tidak akan bisa ...."

"Eh, kenapa?"

"Em ...,

aku cedera sekarang dan cukup fatal, butuh waktu lama untuk masa pemulihannya atau mungkin tidak pernah pulih."

Tatapan Jeno mengiba melihat Renjun menundukkan wajahnya. Ia jadi merasa tidak enak mengungkit hal yang mungkin sedang pemuda itu jauhi. "Kamu harus yakin kamu bisa, Renjun, Itu mimpimu, kan?"

"Cedera sefatal apa pun tidak akan menghalangimu mengejar mimpimu."

Renjun mengangkat kepalanya menatap Jeno. Pemuda itu memberikan tatapan meneduhkan dengan eye smile yang menawan. Kata-kata Jeno bagai menguggah pikiran kelam akan kekhawatirannya selama ini.

"Aku yakin kamu bisa! Cobalah sedikit-sedikit, kembali menari sambil beradaptasi dari cederamu. Aku akan membantu jika kamu butuh bantuan."

______________

"Renjunie? Sedang memikirkan apa?"

Pasalnya semenjak pemuda manis itu datang ke studio, dia terus saja tersenyum. Entah apa yang dia pikirkan.

"Tidak ada, Jaemin."

Jaemin mengangguk. Ia kembali memutar bangku menghadapi alat-alat bertempurnya. Studio ini merupakan tempatnya hidup dan alat-alat musik sebagai penunjang dalam hidupnya menggarap lagu-lagu.

Pekerjaan Jaemin menuntutnya untuk terus berada di dalam studio berjam-jam. Memang melelahkan terus berdiam diri di tempat yang sama. Akan tetapi, kehadiran bidadara manis selalu menemaninya, menghilangkan rasa bosan yang lekat di studio sumpek dan sempit ini.

Kehadiran Renjun adalah pengusir lelahnya.

Mengamatinya yang sedang kebosanan menunggu Jaemin selesai dengan pekerjaan saja sudah cukup menghilangkan penat.

Sudah menjadi hal rutin jika Renjun tidak ada kegiatan, dia akan menemani Jaemin di studionya.

Jaemin masih mengingat bagaimana lucunya saat pemuda manis itu menemaninya waktu lalu. Renjun berusaha menahan kantuk, bibirnya menguap kecil dan kepalanya hampir terkantuk-kantuk.

.

______________

.

"Kamu kelihatan senang sekali, Renjunie." Pernyataan itu Jaemin lontarkan setelah melirik Renjun yang masih tersenyum sendiri. "Ada hal yang sedang membuatmu ingin tersenyum?"

"Aku ... sedang senang pokoknya, Jaemin."

"Tidak ingin memberitahu?"

Renjun menggeleng lucu dengan menutup matanya.

"Baiklah baiklah." Jaemin kembali berkutat dengan pekerjaannya. Ia mendapatkan ide setelah melihat mood Renjun yang kelihatan bahagia hari ini. Ia harap Renjun akan terus seperti ini. Kebahagiaan Renjun adalah prioritas utama Jaemin di atas semuanya.

.

______________

.

Renjun sekarang menatap barre[4]-tiang penyangga di sisi ruang untuk balet yang berada di depannya. Kaki-kakinya seperti bergerak sendiri mendekati tiang horizontal itu.

Tangan halusnya menyentuh tiang besi dingin kemudian perlahan menyusuri panjang tiang tersebut. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, Renjun mulai menjinjitkan kakinya mencoba melangkah berpegangan pada tiang sebelum dirinya membuat jari-jari kakinya sebagai tumpuan dan ....

"AKH!"

"RENJUN!!!"

Grep.

Jaemin menghampiri Renjun secepat kilat memeluk pinggang rampingnya, menahan tubuh Renjun yang hampir menghantam kerasnya besi dari tiang barre.

"APA YANG KAMU LAKUKAN?!"

Mata Jaemin berkilat. Posisi mereka bukan lagi yang bisa dikatakan dekat, tetapi saling menempel. Jaemin memeluk Renjun posesif.

Renjun masih berada dalam keadaan terkejut. Badannya sedikit gemetar dengan mulut menganga, ia mendongak menatap Jaemin.

"A-aku ...," lirihnya tak bisa berkata-kata. Seluruh persendian Renjun mendadak lemas. Entah karena kenekatannya atau Jaemin yang membentaknya.

Jaemin melonggarkan pelukannya, membiarkan kaki Renjun berpijak pada lantai dengan benar. "Apa yang kamu coba lakukan?! Kamu tahu, kalau kamu masih cedera dan cederamu itu fatal!"

"Kamu membahayakan diri sendiri tahu!"

"Ta-tapi Jaemin ...," lirih Renjun.

"Jangan lakukan lagi!"

Rasanya Renjun ingin menutup kedua telinganya. Ia meringis menahan sakitnya juga menahan bentakan dari Jaemin. Matanya menatap tak percaya.

Jangan lakukan lagi katanya?

Entah Renjun memang salah mengartikan perkataan Jaemin atau pria itu yang salah mengucapkan kata-kata.

Dengan sedikit tertatih, Renjun mengambil gawainya dan keluar dari studio Jaemin. Membanting pintu itu hingga menyadarkan pikiran Jaemin.

"Astaga! Apa yang kukatakan?!"

.

.

.

.

To be continued...

.

.

.

.

[1]. Trainee : Seorang peserta pelatihan yang mengambil bagian dalam program pelatihan di suatu perusahaan.

[2]. Street Casting : Perekrutan secara langsung yang terjadi di tempat umum.

[3]. Debut : Penampilan publik pertama dari seseorang atau sesuatu.

[4]. Barre : Tiang penyangga horizontal di sisi ruangan untuk ballet.

.

.

.

Nah chapter 2 otte hehe?

Gimana udah kepikiran nih mau #TeamNoren atau #TeamJaemren?

Ga pengen terlalu banyak author' notenya sih tapi ada yg mau aku jelasin

Ini beneran Boy X Boy a.k.a YAOI yaa hehe
Semoga di bayangan kalian renjun munculnya ga pake rok tutu 😅 tapi lucu juga sih /tapi jangan deh

Terus ini renjun kesannya barbie banget ga sih?
Bisi ada yg kurang suka sama beberapa chara di sini 🙍 bisa kasih tau aku

Kalo kalian ngerasa ceritanya garing kasih tau juga ya 😁 biar bisa di revisi lebih baik gituuuh
Nanti juga sih beberapa chapter ke depan bakal ada penambahan cast 😄

Nah kan banyak bgt cuap-cuapnya 😅
Udah lebaran ini aku ga bakalan pegang-pegang laptop jadi kemungkinan bakal up-nya lama :" /walopun draftnya udah ada sih/

#HAPPYNCTZENDAY 여러분들 ㅎㅎ
Udah setahunan aja nih haha
Masih inget waktu victory livenya 14 member buat nentuin ini nama fandom heuheu... Injunnya lucuuuuuu ><

Udh ah kebanyakan..

Jangan lupa vote and comment juseyooo
Kritik dan saran juga!

[Segera di Revisi]

Sekian dan Terima Kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top