-1-

Dyorchestra Present
~•~
Blanc Swan

.

.

.

⚠️ Warning

Cerita ini berisikan konten dewasa untuk chapter tertentu; Kekerasan perkelahian dan kata-kata umpatan kasar yang sangat tidak layak untuk ditiru. Dimohon kesadaran pembaca dalam memahami cerita ini.

Drama, Entertainment-AU! Restricted

Disclaimer: Karya fiksi ini murni milik saya. Beberapa nama di dalamnya digunakan untuk kepentingan entertainment, dan tokoh-tokoh yang digunakan bukan hak cipta milik saya.
______________

Swan lake adalah representatif keindahan paling sempurna. Ratu tercantik dari seluruh angsa yang mengepakkan sayap menawannya, mencari cinta abadi untuk mematahkan kutukan jahat yang menimpa.

Renjun bukan lagi Odette yang selalu memukau. Bahkan The Dying Swan yang mati perlahan dengan anggun masih ditemani sepasang sayap, tidak dapat disematkan pada diri Renjun. Begitu pikirnya.

Lebih buruk dari angsa biasa. Ia angsa yang kehilangan sayap, tak bisa terbang, tak bisa melenggok cantik, tak bisa mengibaskan bulu-bulu putih halusnya, tak bisa merasakan kehadiran sepasang sayap yang menjadi bagian dari hidupnya.

Renjun meratapi kembali dirinya dari balik layar gawai menyaksikan betapa cemerlangnya saat ia berada di atas panggung.

Perasaan membuncah saat penonton begitu mengelu-elukan penampilannya. Memberikan pujian serta harapan besar. Bunyi tepuk tangan yang ikut meramaikan suasana pemberian apresiasi terhadap pelaku seni yang berhasil membawakan pertunjukkan memukau mata penikmat seni kontemporer.

"Apa aku bisa merasakannya lagi?"

Ia sungguh menyayangkan kebodohannya waktu itu.

Symptomatic os trigonum[1] bukanlah cedera biasa, potongan tulang di belakang sendi pergelangan kakinya yang terjepit ketika melakukan tumpuan dengan pointè[2]. Pergelangan kaki yang tertekuk ke bawah menimbulkan sesak, sakit juga memar berkepanjangan di daerah tersebut.

Jika saja ....

Jika saja Renjun tidak terlalu ambisius untuk mencapai kesempurnaan tariannya dan memilih mengistirahatkan barang sejenak kakinya. Mungkin Renjun tidak harus tertekan akan keinginan kuat yang mendesak di dalam hati untuk kembali di panggung balet.

Kedua alisnya menukik mengikuti dua bola mata yang menajamkan pandangan, Renjun melepas kasar gawainya. Ia Menyesal.


______________


Bunyi pintu terbuka tidak mengalihkan atensi sosok yang tengah larut dalam renungan.

"Renjun?" Suara maskulin menyapa gendang telinga memanggil namanya.

Pemuda dengan rambut coklat gelap itu memasuki ruangan kedap suara yang penuh berbagai alat musik. Ruangan yang cukup sesak dan minim penerangan, tetapi menjadi tempat favorite bagi keduanya untuk saling bertemu. Dia mendudukkan dirinya di sebelah Renjun.

"Bagaimana kata dokter?"

Renjun menundukkan kepalanya, menggeleng lemah. "Tidak ada perkembangan ... aku harus benar-benar menunggu cederaku sembuh dan masih harus menunggu lagi untuk masa pemulihannya."

"Aku takut sekali jika tidak ada kesempatan untukku kembali ke atas panggung lagi!"

Pemuda itu mengelus rambut halus Renjun, mengantarkan ketenangan miliknya pada Renjun yang semakin muram. "Kamu hanya harus bersabar ... Renjunie, jangan memaksakan dirimu."

"Tapi sampai kapan Jaem? Aku ... aku takut kehilangan kesempatanku!"

Jaemin, pemuda yang dipanggil Jaem tersenyum kecil menanggapi perkataan Renjun. Senyuman ringan yang mengingatkan Renjun pada masa kecilnya ketika dia menangis, meratapi lututnya yang berdarah akibat terjatuh dari sepeda.

Saat itu Jaemin datang entah dari mana, lalu membersihkan lukanya dan memasang plester berwarna merah muda.

Renjun kecil yang saat itu sedang kesakitan, lantas lupa berterima kasih dan semakin tersedu-sedu menangisi plester berwarna merah muda yang menghiasi lututnya. Membuat Jaemin kecil bertanya-tanya panik mengapa Renjun malah mengeraskan tangisannya.

Rasa sakit dari luka yang menggores kulit masih Renjun rasakan. Belum lagi di sela tangisnya, Renjun berkata ia membenci warna merah muda yang membuatnya seperti anak perempuan.

Kata-kata polos yang meluncur begitu saja dari Renjun, membuat Jaemin tertawa dengan keras. Dalam pikiran Jaemin, kenapa warna bisa jadi identitas penentu seseorang itu laki-laki atau perempuan. Akan tetapi, dia sedikit merasakan ada tatapan aneh menuntut mengarah padanya.

Kening Renjun mengernyit selayaknya tidak paham pada yang Jaemin tertawakan. Matanya yang masih agak sembab menatap jengkel, apa ada yang salah dengan ucapanku?

Raut bingung yang tercetak di wajah Renjun membuat Jaemin segera meredakan tawa. Dia menggumamkan maaf tanpa suara lantaran tidak sengaja tertawa akan kalimat Renjun. "Kupikir kamu memang anak perempuan tadinya ... tapi untuk anak laki-laki seukuran kamu manis juga." Jaemin tersenyum. Senyum yang selalu Renjun ingat sampai sekarang.

Lamunan Renjun terhenti.

Tanpa Renjun sadari jemari Jaemin sudah menekan tuts-tuts keyboard di hadapan mereka. Alunan melodi rendah yang membawa Renjun terhanyut dalam permainan keyboard Jaemin. Nada-nada itu seolah-olah memberi ketentraman pada hati Renjun yang gundah, menghilangkan semua sedih, melupakan masalahnya.

Jaemin melirik Renjun yang tengah memejamkan mata. Dia menatap poni Renjun yang jatuh menutupi hampir seluruh dahi lalu turun ke kedua matanya, meski tengah terpejam Jaemin dapat melihat dengan jelas bulu mata lentik milik Renjun. Cahaya lampu yang remang menerangi ujung hidung bangir putihnya indah serta bibir plum-nya yang menyegarkan.

"Jaemin ...?"

"A-ah, iya Renjunie?" Jaemin mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Di sampingnya Renjun masih memiringkan kepala menatap Jaemin yang gelagapan.

Secepat kilat Jaemin mengubah ekspresinya dan kembali dalam mode maskulin. Ia berdeham berusaha mencairkan suasana yang bagi dirinya begitu canggung.

"Mau membantuku?"

"Bantu apa Jaem?"

Jaemin mulai menyetel ulang keyboardnya. "Biasa, composing."

"Oke, tentu Jaem!" Renjun berseru senang. Senyum mengembang di wajahnya. Jaemin kemudian menarik kursi yang Renjun tempati mendekat padanya.

Dia sungguh bahagia lebih dari apa pun jika Renjun juga bahagia. Jaemin lebih berharap Renjun tidak terlalu mengejar kembali karir yang kemungkinan membuat dia semakin terluka.

______________

Renjun berjalan santai menikmati langit yang mulai mengganti warnanya menjadi hitam gelap. Ia baru saja turun dari bus dan melangkah pulang menuju apartemen.

Jaemin sempat mengkhawatirkan Renjun yang pulang sendirian. Tadinya jika tidak ada pekerjaan yang mendesak dia ingin sekali mengantarnya atau setidaknya menelpon Mark hyung-manager Renjun-meminta untuk mengantar Renjun, tetapi pemuda itu menolaknya.

"Tidak apa", katanya. Hanya saja Renjun benar-benar tidak masalah berjalan menuju apartemennya sendiri. Lagi pula kakinya tidak apa-apa jika hanya menggerakannya untuk berjalan.

Jalan-jalan yang dia lalui sudah begitu sepi padahal beberapa menit yang lalu bulan baru saja naik menggantikan tugas matahari. Beberapa kedai yang Renjun lewati menempelkan tanda tutup membuatnya mengernyit heran. Akan tetapi, Renjun percaya jalanan menuju apartemennya itu aman.

Kurang lebih delapan meter dari tempatnya berjalan, Renjun melihat dua orang dengan salah satunya yang tampak mencurigakan. Dia terlihat mengendap-endap di belakang pemuda satunya.

Tadinya Renjun tidak ingin mencurigainya, tetapi melihat apa yang orang itu bawa membuat Renjun seketika panik. Sebuah benda berujung runcing yang mengkilap tertangkap oleh mata Renjun. Ada yang berniat mencelakai seseorang!

"Apa yang harus kulakukan?" Pemuda manis ini meremat tangannya sendiri, melirik ke kiri dan ke kanan mencari sesuatu. Namun, sayangnya jalanan kali itu tampak lebih sepi dari biasanya, bahkan penerangan jalan belum sepenuhnya menyala.

"Ah batu!"

Berbekal nekat yang alakadarnya, Renjun melempar batu untuk mengalihkan perhatian orang mencurigakan.

Suara benturan antar batu dan tempurung kepala terdengar cukup keras di jalanan yang lengang.

Batu itu tepat mengenai kepala si penusuk.

Namun, alih-alih mengecek siapa yang melemparinya batu, orang itu malah semakin ingin menikam pemuda yang masih tidak menyadari bahaya di belakangnya.

Renjun semakin kalang kabut. Pergerakan cepat orang itu saat akan melayangkan pisaunya ke arah leher pemuda di depan, membuatnya langsung mengambil tutup tong sampah dari besi dan menghantamkannya pada si penusuk.

Bunyi nyaring seketika memecah kesunyian dan membuat perhatian semuanya beralih.

"ARGH!" orang itu berbalik, begitu juga pemuda di depannya. "Bedebah kecil!"

"ADA APA INI?" pemuda satunya yang baru menyadari situasi menegangkan, menangkap sorot mata pemuda kecil yang membantunya tampak ketakutan.

Pisau yang Renjun lihat dari kejauhan kini mengarah padanya. Si penusuk kini menyeringai bengis bergumam, "Aku akan menghabisi kalian berdua."

Refleks Renjun menyilangkan kedua tangan untuk menghalangi pisau yang akan menikamnya, tetapi pemuda lainnya yang masih menelaah keadaan tiba-tiba maju dan menghadang tikaman pisau dengan lengannya.

"AKH!"

Penusuk itu tersenyum bangga. "Nah! Kena si pecundang rupanya! Sesuai rencanaku."

"Astaga!!!" Renjun berteriak kaget. Tiba-tiba ia sudah berada dalam kungkungan pemuda asing yang melindunginya dari tikaman. Matanya membelalak tak percaya begitu melihat darah segar mengalir dari lengan kiri atas pemuda asing.

"Cih! Kurang cukup untuk membuatmu mundur."

Orang itu kembali akan mengarahkan pisau yang kali ini dia tuju pada sisi pinggang kanan.

Namun, pemuda yang masih merengkuh Renjun mendorongnya menjauh kemudian memegang lengan kiri atasnya. Dia meringis perih meski lukanya tidak begitu dalam.

Dalam hitungan detik kemudian pisau yang siap menikam pemuda itu melayang di udara.

"RASAKAN INI!" teriak Renjun begitu ia menyadari tutup tong sampah besi di dekatnya. Ia memberikan pukulan pada sang penikam dengan sekuat tenaga.

Suara debum yang sangat memilukan membuat bulu-bulu halus Renjun berdiri begitu mendengarnya.

Renjun kembali menghantamkan tutup tong sampah amat keras kepada si penusuk hingga terkapar di jalan. Melihat situasi menguntungkan tersebut, Renjun segera membawa pemuda satunya kabur sebelum orang itu kembali sadar.

"Darahmu banyak sekali yang keluar! I-ikut aku! Lukamu harus segera diobati!" Renjun mencoba mengeratkan pegangan orang itu pada pundaknya. Dia melirik orang itu menggeleng dan meringis kecil memegangi lengannya.

Renjun gemas merasa semakin khawatir karena ringisan orang itu. "Ada apa?"

"Argh, a-ak-u seper-tinya ti-tidak bis-a ...."

"Ah lalu aku harus bagaimana???"

Kepanikan melandanya begitu melihat aliran darah semakin mengucur deras. Renjun membawa pemuda itu ke sisi jalan, dia masih meringis hebat.

"Kubawa saja kamu ke apartemenku, bagaimana? Minimarket cukup jauh dari sini ... aku takut kamu kehabisan darah."

Orang itu tak lagi fokus pada ucapan Renjun dan memilih anggukkan menyetujui ajakan yang ia tawarkan.

Dengan bersusah payah Renjun memapah orang tersebut ke apartemennya yang ada di lantai tiga menggunakan lift. Sedikit banyaknya ia bersyukur, pemuda itu masih mempertahankan kesadaran untuk terus berjalan. Tidak begitu membebankan pada kakinya yang ikut menahan. Meski Renjun itu mungil, ia tetaplah lelaki yang memiliki kekuatan, membawa seseorang yang lebih besar darinya masih sanggup Renjun lakukan.

Tangan terampil Renjun mengambil kunci apartemennya yang berbentuk kartu. Ia memindai kartu itu hingga terdengar bunyi klik dan pintu apartemennya terbuka. Renjun berusaha memindahkan tubuh yang semakin meringkuk kesakitan ke sofa. Setelahnya tubuh mungil Renjun kesana-kemari tak henti mengambil perlengkapan P3Knya serta membuatkan makan demi orang asing yang tak Renjun kenal.

Mengabaikan peringatan Jaemin tentang orang asing.

Renjun menghabiskan menit-menitnya mengobati pemuda itu. Wajah yang tampak meringis dengan kening yang berkerut menahan sakit kini telah menunjukkan raut wajah yang tenang.

Mungkin Renjun lancang, ia sedang mengamati kontur garis wajah sempurna yang tercetak saat pemuda tersebut tidak lagi menahan sakit. Dia tertidur dengan pulasnya di sofa milik Renjun. Tak tanggung-tanggung, Renjun juga memberikan selimutnya untuk menghangatkan si pemuda asing.

"Semoga cepat sembuh ...."

______________

"HAH, JAM BERAPA INI??"

Teriakan yang cukup keras hingga membangunkan Renjun dari alam mimpi. Semalam ia tidur larut malam lantaran menjaga tamu yang dibawanya; sampai-sampai ketiduran pula di samping dia. Dengan langkah gontai sembari mengucek pelan matanya yang belum fokus, Renjun menghampiri si alarm gratis yang telah membangunkannya.

"Ini masih pagi, jangan teriak-teriak?!"

Piyama pink-pemberian Jaemin-yang melekat pada Renjun beserta gestur khas orang baru bangun tidur mempermanis penampilannya yang memang dasarnya sudah manis.

Oh my-he's so damn cute!

"K-kamu siapa?" pemuda itu memundurkan badannya, kaget. Mata setajam elang dengan pupil hitam yang membulat lebar tengah tercengang melihat sekeliling ruangan asing tempatnya berada. "A-aku di mana ini???"

"H-HEI ... JAM BERAPA INI?"

Renjun menggaruk dahi kirinya yang tertutup poni. Sepertinya bunga tidur masih membuatnya sangat ngantuk hingga terlalu pusing untuknya membalas pertanyaan beruntun si pemuda asing. "Pertanyaanmu terlalu banyak, aku bingung mau jawab yang mana?!"

"EH?"

Butuh waktu lama untuk Renjun yang masih mengantuk ini menjawab pertanyaan orang asing itu. Bibir Renjun mengerucut sambil terus menggaruk sisi kanan rambutnya yang berantakan.

"Oh iya! Semalam ... ada yang menyerangmu, ingat kan? Tusukan di lenganmu, karena itu aku membawamu kemari."

Mata pemuda itu menyipit. Dirinya terdiam mengingat sekilas potongan-potongan kejadian tadi malam.

"OH! Benar." Jari telunjuk pemuda itu mengacung ke atas mengingat hal semalam. Akan tetapi, tak lama setelahnya dia kembali mendesis, akibat lukanya belum beradaptasi sepenuhnya pada gerakan.

"Kamu ingat?"

Pemuda asing tersebut mengangguk hingga rambut kelam hitamnya ikut bergerak melambai ringan.

Renjun mendudukkan badannya di depan pria yang masih menggunakan kaos hitam tipis dengan celana training blue black. "Oh untunglah, apa ... apa lenganmu sudah tidak apa-apa sekarang?"

"Tidak terlalu dalam sepertinya." Dia melirik lengannya yang masih terbalut perban. "Aku berterima kasih kepadamu! Jika tidak ada kamu, aku tidak tahu bagaimana nasibku nantinya ... aku berhutang budi padamu."

"Sama-sama. Aku ikhlas menolongmu." Renjun menyunggingkan senyuman termanisnya.

"Aku benar-benar berhutang budi padamu. Oh iya sekarang jam berapa ya?"

Renjun menunjukkan jam dinding yang ada di balik pemuda itu tanpa suara. Jarum pendeknya mengarah pada angka tujuh dan jarum panjang pada angka sembilan.

Pemuda yang tadi terlihat tenang itu tiba-tiba melompat berdiri dan berteriak dia kesiangan. Dirinya bergegas mengambil barang-barangnya. Sebelum benar-benar berpamitan, dia meminta kontak ponsel milik Renjun, katanya agar dia dapat menghubungi Renjun dan berharap bisa membalas budi nantinya.

"Dan siapa namamu?" ujarnya.

"Renjun, kamu?"

"Jeno, Jeno Lee."

.

.

.

.

To be continued...

.

.

.

[1]. Symptomatic os trigonum : Sindrom Os Trigonum mengacu pada sakit pergelangan kaki belakang dan memperkecil fleksi plantar (gerakan mengangkat tumit/jinjit) disebabkan oleh "fenomena nutcracker". Ketika os trigonum hadir, tambahan tulang kecil ini bersama dengan jaringan lunak di sekitarnya dapat terjepit di antara tibia (tulang kering), talus dan calcaneus (tulang tumit).

[2]. Pointé : Jari-jari kaki berjinjit tegak lurus

Hehe first chapter otte?

Semoga gak pada berekspetasi tinggi ya huhu ㅠㅠ i hv no much confident 😢

Sesungguhnya untuk chapter 1 ini kepanjangan wkwk

dan masih membutuhkan kritik dan saran 😌 silakan lempar di kolom komentar hehe

© sallYEO (Multimedia)

© jenie (Illustration)

Vote juseyoooooooo

[Segera di Revisi]

Sekian dan Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top