23
Kihyun kembali ke rumah dan bukannya masuk ke dalam rumah, dia justru berjalan ke arah Gereja. Namun tepat saat langkahnya hampir menjangkau anak tangga menuju pintu Gereja, saat itu tiba-tiba saja Jooheon berdiri tepat di hadapannya dengan mata sipit yang menatapnya penuh selidik.
"Dari mana?" tanya si pemuda bermata sipit tersebut yang di balas sebuah gelengan oleh Kihyun.
"Tidak dari mana-mana apanya? Jelas-jelas aku melihat Hyeong dari belakang rumah, jangan katakan bahwa Hyeong keluar dari pintu belakang! Mana ada pintu belakang di rumah kita." omel Jooheon yang sempat menunjuk ke arah rumah, dan tentu saja kemampuan Kihyun yang terbatas itu tak mampu mengerti apa yang di katakan oleh Jooheon. Dan yang bisa ia lakukan hanyalah diam.
"Masih ingin menyangkal?"
Jooheon kemudian terdiam dengan wajah bodohnya ketika menyadari bahwa sebanyak apapun ia bicara, Kihyun tidak akan mendengarnya. Dan hal itu membuatnya sedikit merasa bersalah, dia menggaruk bagian belakang kepalanya dan setelahnya membungkukkan badannya.
"Maafkan aku." gumamnya.
Kihyun kemudian melewatinya begitu saja. Berjalan menaiki anak tangga yang akan membawanya menuju pintu masuk Gereja. Sedangkan Jooheon pun kembali menegakkan tubuhnya dan berbalik, menatap prihatin pada punggung Kihyun yang berjalan menjauhinya.
"Aku merindukan suaranya."
"Lee Jooheon...."
Jooheon memejamkan matanya rapat-rapat dengan mulut yang terkatup rapat.
"Jooheon-a..."
Jooheon kembali membuka matanya dengan kekesalan yang terlihat di wajahnya.
"Maksudku bukan suara orang tua itu." gumam Jooheon dengan gigi yang saling beradu.
"Lee Jooheon..."
Seperti biasa, teriakan Lee Harabeoji akan semakin brutal ketika Jooheon tak kunjung memberi respon.
"Ya ampun... Dia sudah tua, tapi kenapa tenaganya masih sebesar itu? Menyebalkan sekali!" gerutu Jooheon sembari melangkahkan kakinya ke tempat asal suara Lee Harabeoji berada.
"Jooheon-a.... Cepat kemari, bodoh!"
"Ya.... Aku datang..."
Kihyun memasuki Gereja yang kosong dan hanya di sinari oleh cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah jendela. Dia melangkahkan kakinya menyusuri bangku-bangku kosong dan membuat ketukan antara sepatu dengan lantai yang ia pijak memenuhi ruangan, namun sayangnya pendengarannya tak mampu untuk menangkapnya.
Dia menghampiri piano klasik di sudut ruangan dan duduk di bangku kecil yang biasa di duduki oleh Yoongi. Dia sendiri memang sudah biasa menghabiskan waktu dengan belajar di dalam Gereja, mengingat tak ada yang bisa ia lakukan di luar sana. Yoongi juga kerap menemaninya dengan sesekali bermain piano atau hanya sekedar menaruh kepalanya di atas piano dan tidur sampai puas.
Namun berapa banyak pun orang yang berada di sekitarnya, Kihyun akan tetap merasa kesepian karna tak ada satu suara pun yang bisa masuk ke dalam pendengarannya. Terkadang dia kerap melamun ketika tak ada orang lain di sekitarnya, terkadang pula dia mengeluhkan nasibnya yang harus berbeda dengan anak-anak lainnya. Dia berandai-andai, jika saja dia adalah anak yang normal, dia pasti memiliki banyak teman. Dan satu hal yang paling penting, dia tidak akan memberikan masalah bagi saudara-saudaranya.
Namun semua kembali pada kenyataan bahwa dia hanya berandai-andai di saat hal itu tidak mungkin terjadi. Dia kehilangan kampuan berbicara dan mendengarnya secara permanen, dia sadar akan hal itu dan bahkan alat bantu mendengar pun tak akan memberi efek padanya. Satu hal yang ia yakini, bahwa dia memang di lahirkan dalam keadaan seperti ini. Cacat sejak lahir.
Pintu Gereja terbuka secara perlahan dan menarik perhatian Kihyun. Pemuda itu meninggalkan buku bacaan yang ia tekuni dan mengangkat wajahnya untuk melihat siapakah yang masuk ke dalam Gereja ketika ekor matanya yang sempat menangkap pergerakan kecil tersebut.
Matanya memicing heran ketika tak mendapati siapapun di pintu yang telah terbuka lebar tersebut, namun dia segera menggelengkan kepalanya guna menepis pikiran buruk yang tiba-tiba menghampirinya.
"Hanya angin, mana mungkin ada hantu di pagi hari." batinnya dan kembali menekuni bacaannya, membiarkan pintu Gereja tetap terbuka.
Untuk beberapa waktu setelahnya, Kihyun hanya menaruh perhatiannya pada setiap lembar halaman yang ia buka tanpa ada sedikitpun rasa bosan yang terlihat di wajahnya. Namun lambat laun matanya terasa begitu berat, rasa kantuk itu tiba-tiba menghampirinya, namun dia masih tidak ingin berhenti hingga kepalanya yang tiba-tiba jatuh di atas bukunya ketika ia tak mampu mengendalikan rasa kantuknya lagi.
"Jooheon-a..."
"Wae? Wae? Wae? Kenapa berteriak lagi?"
"Di mana Kihyun? Kenapa dia tidak ada di rumah?"
"Dia ada di Gereja, berhenti meneriakiku."
Keributan di luar Gereja yang bahkan tak mampu menganggu tidur lelap Kihyun, dan perlahan pintu Gereja kembali tertutup seakan ada seseorang yang mendorongnya dengan pelan sehingga tak menimbulkan suara. Membiarkan Kihyun terlelap tanpa adanya satupun gangguan dari mahluk-mahluk yang tengah membuat kebisingan di luar sana.
"Eomma."
Mulut Kihyun terbuka dan mengeluarkan sebuah lirihan yang terdengar begitu jelas bahwa dia baru saja berbicara. Ya, meski terdengar begitu pelan namun Kihyun benar-benar berbicara saat itu dan hal itu menepis dugaan Kihyun bahwa dia cacat sejak lahir. Namun bukankah semua percuma ketika tak ada yang mendengarkan suara lirih yang terdengar begitu lembut tersebut di saat dirinya berada di alam bawah sadarnya.
Lewat tengah hari, Jooheon mengitari pemukiman untuk mencari keberadaan Kihyun yang tak kunjung menampakkan diri sejak pagi tadi. Dia sudah mengecek ke dalam rumah dan bertanya pada para Halmeoni, namun tetap tak ada yang melihat Kihyun. Hingga rasa kesal sekaligus bosannya, membimbingnya untuk mendudukkan diri di teras rumah tepat menghadap ke arah Gereja.
"Kemana orang ini? Dia sedang sakit, kenapa harus pergi jauh-jauh?" gerutu Jooheon yang masih tetap memikirkan tempat yang kemungkinan di kunjungi oleh Kihyun. Karna jika sampai Lee Harabeoji mengetahui bahwa Kihyun tak terlihat sejak pagi, habislah dia.
"Jooheon-a... Apa Kihyun sudah makan?" terdengar suara dari rumah para tetua yang membuat dahi Jooheon mengernyit ketika ia mengarahkan pandangannya ke sumber suara.
"Sebentar lagi, dia bilang dia sakit perut." lantang Jooheon menjawab pertanyaan dari Lee Harabeoji dan tentu saja dia berbohong demi keselamatannya sendiri.
Lee Harabeoji kemudian menampakkan diri di ambang pintu dan berujar, "cepat suruh dia makan dan jangan lupa berikan obatnya."
"Aku tahu... Tidak perlu repot-repot mengingatkanku." acuh Jooheon.
"Ck, kau ini. Setelah itu jangan lupa bersihkan Gereja."
Jooheon menelan ludahnya dengan susah payah di saat tatapan tak percayanya tertuju pada Lee Harabeoji yang dengan cepat menghilang dari pandangannya karna kembali masuk ke dalam rumah.
"Orang tua satu ini, bahkan dia tidak peduli aku sudah makan atau belum." gumamnya meskipun hal itu sudah sangat biasa baginya.
Seketika batinnya tersentak, dia baru sadar bahwa terakhir kali ia melihat Kihyun masuk ke dalam Gereja. Dia memukul keningnya sendiri dengan gemas, merasa bodoh karna tidak memeriksa ke dalam Gereja terlebih dulu.
"Aku ini bodoh atau apa?" gerutunya yang segera melompat ke halaman dan bergegas menuju Gereja dengan langkah yang terburu-buru.
Dia segera membuka pintu Gereja dengan pelan dan segera masuk ke dalam sembari mengarahkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, hingga langkahnya yang kemudian terhenti bersamaan dengan pandangannya yang terjatuh pada sosok Kihyun yang tidur di balik piano.
"Aish... Orang ini, aku sudah mencarinya kemana-mana, tapi dia malah tidur di sini." gerutunya yang kemudian berjalan ke tempat Kihyun tanpa mengetahui berapa lama Kihyun telah tertidur di sana.
Dia berdiri tepat di samping Kihyun dan merendahkan tubuhnya, sejenak memperhatikan wajah Kihyun yang terlelap dengan damai.
"Kenapa wajahnya tenang sekali? Haruskah aku membangunkannya?" monolognya, merasa tak tega untuk membangunkan Kihyun. Namun dia akan lebih tidak tega lagi jika mengetahui seberapa lama Kihyun tertidur dalam posisi duduk seperti itu.
"Haruskah aku membangunkannya?" gumamnya kembali, dan setelah mempertimbangkan beberapa saat. Dia pun menggerakkan tangannya untuk menyentuh bahu Kihyun.
Dia mengguncang pelan bahu Kihyun, berharap Kihyun segera bangun. Namun Kihyun sama sekali tak memberi respon.
"Hyeong, bangunlah! Sudah waktunya makan siang."
Jooheon kembali mengguncang bahu Kihyun lebih keras dari sebelumnya, namun dia berakhir dengan menggaruk tengkuknya di saat tak ada respon dari Kihyun. Merasa sedikit aneh karna biasanya Kihyun adalah orang yang sangat peka.
Sedikit sentuhan saja bisa membangunkannya dari tidurnya, namun kenapa sekarang ia menjadi sangat sulit untuk di bangunkan. Mungkinkah karna dia tengah sakit?
Jooheon kemudian berhenti membangunkan Kihyun dan menarik pelan tubuh Kihyun. Dengan hati-hati ia menaruh saudara yang lebih tua di atas punggungnya dan menggendongnya untuk segera membawanya pergi dari Gereja.
Selesai di tulis : 13.11.2019
Di publikasikan : 22.11.2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top