20

Lee Harabeoji masuk ke dalam ruangan Dokter Han setelah sebelumnya mengetuk pintu ruangan dan di persilahkan untuk masuk oleh Dokter Han.

"Eoh! Pak Lee, ada perlu apa? Silahkan duduk."

"Ye."

Lee Harabeoji pun duduk berseberangan dengan Dokter Han yang duduk di balik meja nya.

"Adakah yang bisa ku bantu?" Tanya Dokter Han kemudian.

"Begini, aku hanya ingin memastikan tentang keadaan cucu ku."

Mendengar hal itu, Dokter Han menarik sudut bibir nya menjadi seulas senyum. "Pak Lee tidak perlu khawatir, kondisi cucu Pak Lee sudah stabil sekarang. Sebuah keajaiban bahwa dia tidak membutuhkan bantuan medis lagi, dia sudah sembuh."

"Syukurlah. Jadi, apa aku sudah boleh membawa cucu ku pulang sekarang?"

"Itu di luar tugas ku, karna cucu Pak Lee terdaftar sebagai pasien dari Dokter Chae Hyungwon. Maka Pak Lee hanya bisa membawa cucu Pak Lee keluar dari Rumah Sakit setelah mendapatkan izin dari Dokter Chae Hyungwon sendiri."

"Begitukah? Jadi aku harus meminta izin padanya?"

Dokter Han mengangguk dengan senyum tipis yang masih tersisa di sudut bibir nya.

"Tapi mungkin Pak Lee harus menunda nya terlebih dulu, karna yang aku dengar. Dokter Chae pergi ke luar kota pagi ini."

"Benarkah? Bukankah yang aku dengar bahwa sebelumnya dia sedang sakit?"

"Itu benar, dia baru sadar tadi pagi dan memutuskan untuk pergi karna ada keperluan. Mungkin nanti malam dia baru kembali."

"Ah... Baiklah, kalau begitu aku permisi. Mohon maaf atas gangguan nya."

"Pak Lee tidak perlu bersikap secanggung itu."

"Ye, ye. Aku permisi."

Setelah menemui Dokter Han, Lee Harabeoji kembali ke Ruang Rawat Kihyun. Di mana terdapat tiga cucu tertua yang menemani nya.

"Harabeoji, bagaimana? Sudah boleh pulang?" Ujar Mark, menjadi orang pertama yang menyadari kehadiran Lee Harabeoji.

"Belum bisa, Dokter mengatakan bahwa Kihyun baru boleh pulang setelah Hyungwon memberi izin."

"Kenapa? Kenapa harus menunggu persetujuan nya?" Ujar Jooheon yang tampak tak terima.

"Kihyun terdaftar sebagai pasien nya, jadi kita harus menunggu Dokter yang bersangkutan."

"Kihyun Hyeong bukan nya sakit jiwa, kenapa malah Dokter Kejiwaaan yang menanganinya? Lagi pula aku masih ragu jika dia Dokter sungguhan." Ujar Jooheon dengan gumaman pada kalimat terakhir.

"Ya! Jaga ucapan mu, dia sudah berbaik hati dengan membayar biaya Rumah Sakit Kihyun. Jangan berbicara sembarang!" Lee Harabeoji memperingatkan, namun sepertinya Jooheon tak ingin mendengarnya.

"Dia sedang sakit, bagaimana orang sakit merawat pasien nya?" Yoongi menengahi pembicaraan.

"Dia sudah sadar pagi tadi, dan sekarang sedang pergi ke luar kota. Dokter Han mengatakan bahwa dia mungkin akan kembali nanti malam. Sudah, Harabeoji akan pulang sebentar, kalian jaga Kihyun dulu."

Tak memperdulikan keterkejutan di wajah Jooheon, Lee Harabeoji pergi begitu saja.

"Jika baru sadar, kenapa tiba-tiba pergi ke luar kota?" Ujar Mark dengan nada bicara yang tidak percaya.

"Dia sedikit aneh." Gumam Jooheon dan menarik perhatian kedua saudara karna sedari tadi yang bisa di lakukan Kihyun hanyalah menonton tanpa bisa mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.

"Aneh bagaimana maksud mu?" Mark menyahuti.

"Tadi pagi aku berpapasan dengan nya. Tapi jika di bandingkan dengan Dokter Kejiwaan, dia lebih terlihat seperti pasien Rumah Sakit Jiwa." Ujar Jooheon dengan nada menerawang.

"Jangan asal bicara!" Sergah Mark.

"Aku tidak asal bicara, aku melihatnya dengan mata kepala ku sendiri. Bahkan dia melewati ku begitu saja seakan-akan tidak melihat ku." Penjelasan yang terdengar begitu memaksa.

Dan saat itu pandangan Kihyun tertuju pada Yoongi yang tampak sibuk dengan pemikiran nya sendiri sebelum Yoongi yang sadar akan tatapan nya dan kemudian mempertemukan pandangan keduanya. Melihat hal itu, Kihyun pun dengan segera mengalihkan pandangan ke arah lain.


BLACK SWAN


Gwangju.

Hyungwon menapakkan kaki nya di area pemakam di daerah Gwangju, hamparan rumput hijau yang begitu luas dengan batu berbentuk persegi panjang yang menancap di tanah dan di tata dengan begitu rapi.

Suasana tenang yang tidak bisa ia dapatkan di Seoul, jauh dari aktivitas sibuk di kota besar tersebut.
Sejenak, Hyungwon menjauh dari keramaian. Membawa langkahnya menepi bersama dengan dua ikat kecil bunga berwarna putih.

Wajah pucat nya terlihat lebih hidup di bandingkan tadi pagi, dia pun kemudian turun dari jalan setepak yang membelah area pemakaman menjadi beberapa petak.
Membiarkan sepatu hitam nya bersentuhan dengan rumput hijau yang di rawat dengan cukup baik, dia melangkahkan kakinya di antara makam yang berjajar rapi dengan sesekali pandangan yang membaca setiap nama yang tertulis pada batu tersebut.

Cukup jauh ia berjalan dari tempat sebelumnya dan langkah itu terhenti, mencoba menemukan nama yang ia cari dari tempatnya berdiri. Dan setelah tak menemukan nya, dia kembali berjalan.
Tidak terlalu jauh karna setelahnya langkahnya terhenti ketika ia menemukan dua nama yang ia cari, dua makam yang berdampingan yang berada beberapa langkah di samping nya.

Dengan perasaan yang memberat, dia memutar kakinya dan menghampiri kedua makam tersebut. Berdiri tepat menghadap makam tersebut dan memperhatikan kedua nama yang tertera di sana.
Sebuah tulisan yang tampak sudah usang dan hal itu menunjukkan seberapa lama makam itu berada di sana.
Tatapan sayu itu yang kemudian membimbingnya untuk melangkah maju dan menaruh bunga yang berada di tangan nya ke dalam vas bunga yang telah tersedia di samping batu nisan tersebut.
Setelah menaruh bunga pada masing-masing makam, dia pun perlahan mempertemukan kedua lututnya pada tanah. Duduk bersimpuh dengan pandangan yang terjatuh pada rumput hijau di hadapan nya.

"Aku pulang. Appa, Eomma." Perkataan yang terucap dengan perasaan yang semakin memberatkan tubuhnya, kepingan ingatan yang menyatu dengan sempurna meski sangat terlambat.

Ingatan akan insiden berdarah yang membuatnya hidup seorang diri, kenangan yang sempat hilang darinya dan tiba-tiba kembali tanpa belas kasihan dan melukai jiwa nya.
Perlahan, dia mengangkat wajah nya. Membiarkan kedua orang tuanya melihat bagaimana rupa putra mereka yang telah tumbuh dewasa, namun saat itu juga air mata terlihat menyusuri kulit wajah nya.

"Maaf, karna baru mengingat kalian sekarang. Aku benar-benar minta maaf."

Sudut bibir yang terangkat dengan begitu terpaksa, membimbing pandangan nya terjatuh pada nama sang ibu yang tertulis di batu nisan di hadapan nya. Dan saat itu senyum yang lebih lebar terlihat di kedua sudut bibir nya meski hal itu semakin memperbanyak produksi air di matanya yang sulit untuk di tampung nya lagi.

"Aku mengingat nya sekarang. Aku tidak membenci Eomma, aku juga tidak membenci appa. Aku, akan selalu menyayangi kalian. Jadi jangan pernah berpikir bahwa aku terluka karna kalian, tidak. Aku baik-baik saja, aku minta maaf karna baru bisa mengunjungi kalian sekarang. Aku minta maaf karna tidak mengingat kalian sebelum nya, aku minta maaf."

Pandangan yang kembali terjatuh ketika matanya terpejam dengan kuat, mencoba untuk menahan tangis yang hampir meloloskan diri. Namun angin di sekitar nya tiba-tiba berhembus dengan kasar seiring dengan sebuah tangan yang menutupi matanya dan mengangkat kembali wajah nya.

Dia tidak memberontak, dan bahkan tubuhnya tak bergerak sama sekali. Dia kehilangan kemampuan nya untuk merespon sesuatu, sekaan tunduk kepada pemuda yang mengenakan jas merah yang kini berdiri di belakang nya dan menutupi matanya dengan satu tangan di saat tangan lain nya berada di dalam saku celana bahan berwarna hitam nya.
Wajah rupawan yang terkesan pucat dengan sorot mata yang terlihat menggelap, menunjukkan kesan bahwa dia bukanlah orang yang memiliki belas kasihan.

"Aku sudah berbelas kasih padamu, tapi kau yang meminta nya." Suara yang mengalun dengan lembut dan menerpa pendengaran Hyungwon layaknya hembusan angin yang datang secara perlahan ke arah nya.

"Ku kembalikan semua padamu. Dan sekarang, tanggunglah penderitaan mu sendiri!"

Bagaikan angin, semua yang baru ia dengar pergi begitu saja bagai ilusi. Telapak tangan dingin yang terlepas dari kelopak matanya bersamaan dengan hembusan angin lembut yang menerpa tubuhnya dan malah membuat tubuhnya semakin merendah hingga menyatukan keningnya dengan tanah.
Mulutnya terbuka untuk mengeluarkan sebuah isakan di saat ia mulai menangis, dengan satu tangan terkepal di samping kepala dan tangan lain nya mencengkram dadanya.

Dia menangis dengan suara yang tertahan. Dia menangis, menanggung penderitaan nya seorang diri. Dia menangis, tanpa ada seorang pun yang perduli.


BLACK SWAN


Menjelang sore hari, Hyungwon menghentikan mobilnya di halaman sebuah Gereja dan berhasil menarik perhatian dari salah satu Pendeta yang saat itu berada di teras. Melihat bahwa dia telah kedatangan tamu pun, Pendeta tersebut berjalan mendekat dan menuruni anak tangga seiring dengan Hyungwon yang turun dari mobil.

"Eoh! Kau."

Hyungwon menutup pintu mobilnya dan membungkukkan badan dengan sopan kepada satu-satunya pengasuhnya yang masih hidup hingga kini, dan pertemuan singkat mereka berlanjut dengan keduanya yang duduk berseberangan di dalam ruangan yang terdapat di dalam Gereja.

"Hyungwon-a. Benarkah ini dirimu, nak?" Ujar sang Pendeta yang sudah cukup tua, tampak binar di matanya ketika melihat Hyungwon kembali.

"Benar. ini aku, Chae Hyungwon. Apa paman sudah melupakan ku?" Ujar Hyungwon dengan seulas senyum yang di paksakan.

"Aku tidak lupa. Hanya saja, kau banyak berubah."

"Aku makan banyak, oleh sebab itu aku menjadi lebih besar sekarang." Sebuah candaan yang tak mampu mengundang tawa di antara keduanya.

"Bagaimana keadaan mu? Wajah mu terlihat pucat, apa kau sedang sakit?"

"Aku baik-baik saja, Paman tidak perlu cemas."

"Syukurlah kalau begitu, jadi apa ada hal lain yang ingin kau lakukan kecuali berkunjung kemari."

"Aku baru saja mengunjungi mereka."

Pernyataan yang membuat batin sang Pendeta tersentak, mencoba menerka-nerka 'Mereka' siapa yang Hyungwon maksud.

"Siapa yang kau maksud dengan 'Mereka' nak?"

"Ayah dan Ibu ku."

Sang Pendeta tampak sangat terkejut akan perkataan Hyungwon, karna memang setelah insiden berdarah yang menimpa keluarganya. Hyungwon kecil telah kehilangan semua ingatan dan bahkan dia melupakan bahwa dia memiliki orang tua.

"Kau, mungkinkah?" Ujar sang Pendeta tampak tak percaya.

Hyungwon menjatuhkan pandangan pada meja seiring dengan mulutnya yang kembali terbuka.

"Ye, aku mengingat semua."

Perkataan yang sarat akan sebuah kesedihan, menuntun tangan sang Pendeta untuk mengenggam kedua tangan yang terkepal di atas meja. Mencoba memberikan ketenangan pada pemuda di hadapan nya.

"Aku mengingat nya sekarang. Aku ingat, Ibu ku melukai wajah ku, membunuh Ayah dan mereka terbakar. Aku mengingat nya sekarang."

Mata Hyungwon tertutup rapat, mencoba menahan semua rasa sakit yang tak mungkin di lihat oleh orang lain. Namun ada satu hal yang membuat sang Pendeta ragu terhadap pernyataan nya sebelumnya.

"Nak, angkat wajah mu!"

Mendengar hal itu, perlahan Hyungwon kembali membuka matanya dan perlahan mengangkat wajah nya. Menemukan wajah keriput yang terlihat begitu gusar.

"Coba katakan sekali lagi, apa yang telah di lakukan oleh Ibu mu pada mu?"

"Dia, melukai wajah ku dengan pisau dapur."

"Di bagian mana yang terluka?"

Hyungwon mengangkat satu tangan nya dan menyentuh pipi bagian kanan nya. "Di sini." Ujar nya kemudian dan membuat sang Pendeta menatap nya tak percaya.

"Entah yang kau katakan merupakan sebuah kebenaran atau bukan. Tapi ketahuilah, bahwa saat kami menemukan mu. Kau tidak mendapatkan satu pun goresan di tubuh mu."

Mata Hyungwon membulat, batin nya tersentak dan secara tak sadar dia meraba pipinya. Dia yakin bahwa Ibu nya telah melukai pipi nya dan lukanya benar-benar dalam, kedatangan nya ke sini pun juga untuk memastikan nya. Karna seingatnya, tidak pernah ada bekas luka di wajah nya.

"A-apa yang Paman katakan?"

"Kau tidak memiliki luka apapun. Saat kami dan Polisi datang, lantai satu sudah terbakar habis. Namun tidak dengan lantai dua yang masih baik-baik saja, dan di sanalah. Di salah satu kamar, kami menemukan mu yang sedang terlelap. Apa yang terjadi malam itu?"

Hyungwon mengalihkan pandangan nya, matanya mengerjap tak percaya. Bagaimana semua ingatan nya justru berbanding terbalik dengan apa yang di katakan oleh sang Pendeta, dia ingat betul bahwa saat api melahap kedua orang tuanya. Dia masih berada di lantai satu.
Matanya kembali membulat ketika ia meninggalkan satu memori, ada seseorang selain mereka bertiga waktu itu.

"Hyungwon-a..." Panggil sang Pendeta dengan hati-hati, setelah melihat raut wajah Hyungwon yang tampak terguncang. Dan perlahan dia mempertemukan pandangan keduanya kembali.

"Aku ada di lantai bawah saat itu, aku tidak berada di lantai dua."

Mendengar hal itu, membuat raut wajah sang Pendeta semakin cemas. "Apa Roh jahat itu masih mengganggu mu?" Pertanyaan yang terucap dengan begitu serius.

Roh jahat. Hyungwon mengingatnya, Kepala Pendeta pernah mengatakan nya sebelum tutup usia bahwa dia harus mengirim Roh jahat itu ke tempat yang seharusnya. Dia ingat bahwa Roh jahat yang di maksudkan telah mengambil ingatan nya selama ini, dan dia tahu siapa yang mereka sebut sebagai Roh jahat tersebut. Dialah seseorang yang pernah ia sebut sebagai seorang teman.

Hyungwon menundukkan kepala nya dengan sekilas mengusap kening serta wajah nya, beserta air matanya yang tak sengaja melepaskan diri.

"Hyungwon-a..."

"Dia sudah pergi, dia sudah mengembalikan semua nya. Dia sudah pergi." Gumam Hyungwon yang semakin terdengar begitu lirih.

Sang Pendeta pun beranjak berdiri dan beralih berdiri di belakang Hyungwon, memegang kedua bahu pemuda tersebut.

"Tenang kan lah diri mu."

"Aku tidak apa-apa, ini jauh lebih baik."

"Kuatkan diri mu, nak. Semakin hati mu lemah, maka iblis di dalam hati mu akan bertambah kuat. Kau tidak boleh membiarkan Roh jahat itu mengambil alih diri mu."

Hyungwon menyingkap rambutnya ke belakang, mencoba untuk terlihat baik-baik saja meski pada kenyataan semua ingatan yang kembali ia dapatkan benar-benar membuat jiwanya terguncang. Bahkan dia sendiri tidak tahu kapan ia bisa menyembuhkan luka nya sendiri.

"Paman."

"Ne. Paman di sini."

"Bisa tinggalkan aku sebentar."

"Jika itu bisa membuat mu lebih tenang. Malam ini tinggallah di sini, Paman akan menyiapkan kamar untuk mu."

Atas permintaan Hyungwon, sang Pendeta pun meninggalkan nya sendirian. Dan tepat setelah terdengar suara pintu yang tertutup, saat itu pula Hyungwon menjatuhkan keningnya pada meja dengan kedua tangan yang menekan bagian belakang kepalanya.
Bahu yang sedikit berguncang, dia menutup matanya rapat-rapat dengan wajah yang mengernyit menahan rasa sakit yang kembali menghampiri nya.

"Kenapa, kau baru mengembalikan nya sekarang?"

Suara yang terdengar begitu lirih, menunjukkan seberapa banyak dia menderita akan kenangan buruk yang di kembalikan pada diri nya. Menyakiti hatinya dan merusak jiwanya secara perlahan, tanpa adanya pertolongan.

"Jangan mencari ku. Sekalipun kali ini kau akan mati, jangan pernah menyebut nama ku." Ujar pemuda yang sebelumnya menghampirinya di pemakaman dan kini tengah duduk di atas meja membelakangi nya dengan membawa satu tangkai mawar putih di tangan kanan nya yang tampak terluka sangat parah.

Perlahan tangan nya terangkat dan menaruh bunga tersebut tepat di depan wajah nya.

"Masa kita sudah berakhir, Chae Hyungwon."

Satu tiupan lembut dari bibir pucat yang kemudian merubah kelopak mawar tersebut melebur menjadi butiran abu berwarna hitam yang menyatu dengan udara.
Chae Hyungwon, menangis seorang diri. Menghadapi penderitaan yang tertunda, penderitaan yang mungkin telah menanti seorang pemuda bernama Yoo Kihyun.

Selesai di tulis : 24.08.2019
Di publikasikan : 24.08.2019

🤔🤔🤔 Ini kok si Dokter Chae jadi ikut-ikutan sih, sungguh di luar rencana😌😌😌😌 Si Chae aja di giniin, nanti si Yoo di apain ya😐😐😐😐 Mari kita lihat bersama-sama, apa yang akan di lakukan oleh si Lee ke depan nya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top